“Di balik seragam putih abu-abu, Nayla menyimpan rahasia kelam.”
Di usia yang seharusnya penuh tawa dan mimpi, Nayla justru harus berjuang melawan pahitnya kenyataan. Ibu yang sakit, ayah yang terjerat alkohol dan kekerasan, serta adik-adik yang menangis kelaparan membuatnya mengambil keputusan terberat dalam hidup: menukar masa remajanya dengan dunia malam.
Siang hari, ia hanyalah siswi SMA biasa. tersenyum, bercanda, belajar di kelas. Namun ketika malam tiba, ia berubah menjadi sosok lain, menutup luka dengan senyum palsu demi sesuap nasi dan segenggam harapan bagi keluarganya.
Sampai kapan Nayla mampu menyembunyikan luka itu? Dan adakah cahaya yang bisa menuntunnya keluar dari gelap yang menelannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13
Mobil mewah milik Elvino perlahan berhenti di mulut gang sempit yang menjadi jalan masuk menuju kontrakan Nayla. Jalanan itu gelap, dipenuhi suara anak-anak kecil berlarian dan bau gorengan dari warung pojok.
Nayla hendak membuka pintu ketika suara Elvino menghentikannya.
“Untuk kali ini, aku bebaskan kau,” ucapnya datar, mata tetap lurus menatap jalan di depannya.
Nayla menoleh perlahan.
“Tapi selanjutnya…” lanjut Elvino, nadanya lebih dingin dari embun pagi,
“…aku tidak ingin mendengar alasan apa pun. Kau sudah menyepakati perjanjian itu, Nayla. Kau hanya bekerja untukku... Untuk melayani ku.”
Sejenak, hanya hening yang menjawab.
Nayla tidak membantah. Tidak pula menjelaskan. Ia hanya mengangguk pelan. Ada rasa pahit yang kembali memenuhi rongga tenggorokannya, tapi ia menelannya dalam diam.
Kemudian, tanpa kata, ia membuka pintu mobil dan melangkah turun. Pintu ditutup perlahan, dan suara mesin mobil yang kembali melaju menjauh seperti mengantar bayangan kesepian di dadanya.
...
Kontrakan kecil itu berdiri rapuh di ujung gang. Dindingnya mulai kusam, pintunya sudah sering berderit, dan lantainya dingin meski tak hujan. Tapi di situlah rumah Nayla. Di situlah hatinya tersisa.
Begitu membuka pintu, suara tawa kecil menyambutnya.
Dari ruang tengah, Lili dan Dio duduk bersila menonton televisi tabung yang suaranya gemeretak. Mereka menonton kartun yang sama untuk entah keberapa kalinya, namun tetap tertawa seakan dunia di luar tak pernah menyakiti.
Sementara itu, ibunya duduk bersandar di lantai, melipat tumpukan pakaian bersih dengan sabar, meski tangannya mulai bergetar karena kelelahan yang lama dipendam.
“Assalamualaikum,” ucap Nayla pelan dari ambang pintu.
“Waalaikumsalam, mbak Nayla!” seru Lili riang. Dio juga menoleh dan tersenyum lebar.
Nayla membalas senyum itu dengan lesung pipi lelah. Ia berjalan masuk, lalu tanpa suara langsung menuju kamar kecilnya. Di dalam, ia membuka lemari, menarik satu laci paling bawah, dan menyelipkan surat skorsing ke bawah tumpukan baju sekolahnya yang sudah lusuh.
Ia berdoa dalam hati.
“Tolong jangan sampai Ibu melihat ini…”
Setelah menarik napas dalam-dalam, Nayla mengganti pakaiannya dengan daster sederhana, lalu keluar dari kamar dan duduk di sebelah ibunya. Ia langsung mengambil sehelai baju dari tumpukan dan mulai melipat.
“Ibu… biar Nayla aja yang ngerjain. Ibu istirahat ya,” ucap Nayla sambil tersenyum lembut.
Ibunya menoleh, senyum kecil terbit di wajahnya yang tampak lebih pucat dari biasanya.
“Ibu masih kuat, Nak. Kamu juga butuh istirahat... kamu sudah terlalu banyak berjuang untuk keluarga ini.”
Nayla menunduk, kedua tangannya berhenti melipat. Suara ibunya seperti belati yang menggores hatinya pelan-pelan.
“Maaf sudah gagal jadi ibu yang baik,” lanjut ibunya pelan.
“Harusnya ibu yang kerja, ibu yang cari nafkah… bukan kamu, Nayla. Bukan kamu yang harus pikul beban seberat ini…”
Dan akhirnya, air mata jatuh di pipi sang ibu. Diam-diam. Tenang. Tapi menyakitkan.
Nayla segera meraih tubuh kurus itu, memeluknya erat dari samping.
“Jangan ngomong gitu, Bu…” bisiknya. “Nayla senang kok bisa bantu Ibu. Beneran. Yang penting sekarang Ibu sehat, dan Lili sama Dio bisa terus sekolah…”
Suaranya mulai pecah.
“…itu cukup, Bu. Itu lebih dari cukup buat Nayla.”
Mereka berpelukan dalam senyap, hanya ditemani suara televisi yang terus memutar kartun dan tawa dua bocah kecil yang belum tahu apa-apa tentang dunia orang dewasa yang kejam.
Air mata jatuh di pipi Nayla. bukan karena menyesal, tapi karena hancur dan tetap harus terlihat kuat.
Di luar rumah, senja mulai ditelan malam.
Dan Nayla tahu, esok akan lebih berat.
Namun malam ini… ia hanya ingin merasa cukup. Hanya untuk sebentar saja.
...
Malam itu, suasana di kontrakan kecil mereka begitu hangat meski hanya diterangi lampu bohlam temaram yang menggantung di langit-langit. Lantai rumah yang dingin dilapisi tikar anyaman bambu, tempat di mana kebahagiaan sederhana malam itu terhidang.
Di tengah tikar, sebuah piring besar berisi ayam kecap yang menguarkan aroma manis gurih, dikelilingi nasi putih hangat dalam piring kecil yang terbuat dari plastik warna-warni.
Lili dan Dio makan dengan lahap, wajah mereka berseri-seri seperti mendapatkan hadiah dari langit.
"Enak banget, mbak Nayla! Ayamnya manis!" seru Lili sambil mengunyah, bibir mungilnya belepotan kecap.
“Iya... Dagingnya lembut banget! Aku suka ayam kecap!” sahut Dio tak mau kalah.
Nayla hanya tersenyum. Senyum yang tidak biasa. senyum yang nyaris menahan air mata. Melihat dua adik kecilnya makan dengan lahap adalah hadiah terindah hari itu. Bahkan jika ia harus mengorbankan dirinya lagi dan lagi, semua ini terasa pantas… setidaknya untuk tawa kecil seperti ini.
Ia menatap sejenak ayam di piringnya sendiri. ia bahkan belum menyentuhnya. Tapi senyum itu tetap mengembang di wajahnya. Mungkin… begini rasanya bahagia yang menyakitkan.
Sambil menahan tangis yang hampir merembes ke sudut mata, ia kembali menyuapkan nasi ke mulutnya.
Ibunya yang duduk bersebelahan dengannya juga ikut menyantap nasi dengan tenang. Namun sesekali, matanya melirik Nayla dengan ragu. Ada pertanyaan yang menggantung di sana. pertanyaan yang seolah menunggu waktu untuk keluar dari bibirnya.
“Nay…” panggil ibunya pelan.
Nayla menoleh dengan cepat. “Iya, Bu?”
Ibunya menatap anak gadisnya itu dalam-dalam. Suaranya lirih, seolah takut jika pertanyaannya akan melukai.
“Kamu baru beberapa hari kerja, tapi… kamu udah bisa beli ayam, beli cemilan, bahkan ada susu untuk lili dan Dio. Uangnya dari mana, Nak?”
Nayla tercekat. Sendok di tangannya berhenti bergerak. Ia menunduk, berusaha menyembunyikan gugup yang merayap ke seluruh tubuhnya.
Lalu ia menarik napas, mencoba tenang.
“Bos Nayla… orangnya baik banget, Bu,” katanya pelan.
“Kalau Nayla kerja rajin, beliau suka kasih bonus. Katanya biar Nayla bisa bantu keluarga.”
Ibunya terdiam beberapa saat, seakan menimbang kata-kata itu.
“Oh… begitu ya,” gumamnya akhirnya. “Tapi kamu nggak kerja malam ini?”
Nayla buru-buru menggeleng.
“Nggak Bu. Hari ini… giliran libur Nayla. Jadi Malam ini Nayla pengen di rumah aja, bantu Ibu dan main sama Lili dan Dio.”
Padahal, setiap kata yang ia ucapkan terasa seperti menipu bukan hanya ibunya… tapi juga dirinya sendiri.
Ibunya mengangguk. Tapi lalu wajahnya menunduk, dan suaranya terdengar parau.
“Ibu minta maaf ya, Nay. Ibu gagal jadi orang tua. Harusnya ibu yang kerja, yang cari uang. Tapi malah Nayla yang harus…”
“Bu, jangan bilang kayak gitu,” potong Nayla cepat. Ia meletakkan sendok, lalu menggenggam tangan ibunya.
“Nayla ikhlas, Bu. Nayla senang bisa bantu Ibu. Yang penting kita tetap bareng-bareng, tetap makan bareng kayak gini… itu udah cukup buat Nayla.”
Ibunya meneteskan air mata. Ia memeluk Nayla, dan dalam pelukan itu ada seribu luka yang tidak dikatakan, ada seribu ketakutan yang tak pernah diucapkan.
Namun yang jelas… malam itu, mereka makan bersama dalam kehangatan yang tak bisa dibeli oleh uang mana pun.
kasian Nayla hancur N merasa bersalah bngt pastinya ..ibunya mninggal karna tau kerjaan nayla😭