Asha, seorang gadis muda yang tulus mengabdikan diri di sebuah rumah Qur'an, tak pernah menyangka bahwa langkah ikhlasnya akan terseret dalam pusaran fitnah. Ia menjadi sasaran gosip keji, disebut-sebut memiliki hubungan gelap dengan ketua yayasan tempatnya mengajar. Padahal, semua itu tidak benar. Hatinya telah digenggam oleh seorang pemuda yang berjanji akan menikahinya. Namun waktu berlalu, dan janji itu tak kunjung ditepati.
Di tengah kesendirian dan tatapan sinis masyarakat, Asha tetap menggenggam sabar, meski fitnah demi fitnah kian menyesakkan. Mampukah ia membuktikan kebenaran di balik diamnya? Atau justru namanya akan terus diingat sebagai sumber aib yang tak pernah ia lakukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nclyaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Awal dari masa penantian
......................
Begitu keduanya duduk, suasana ruang tamu berubah hening. Lampu gantung temaram menyoroti meja kecil dengan teh hangat dan camilan yang masih mengepulkan aroma. Pemuda itu tampak menarik napas dalam-dalam, menenangkan dirinya sebelum bicara.
"Bapak, Ibu... sebelumnya mohon maaf kalau kedatangan ana malam ini membuat kaget. Tapi ana memang berniat menyampaikan langsung di hadapan Bapak dan Ibu. Ana sudah mengenal putri Bapak dan Ibu melalui beberapa kesempatan, melihat bagaimana beliau bersikap, bagaimana adabnya, dan ana merasa ada kebaikan akhlak yang membuat hati ana merasa kalau putri bapak dan ibu termasuk kriteria calon istri idaman ana. Karena itu... malam ini ana datang untuk menyampaikan niat ana, yaitu ingin melamar beliau secara baik-baik, dengan restu orangtuanya." jelas pemuda itu berusaha menetralkan degup jantungnya.
Gadis yang duduk di samping ibunya menunduk semakin dalam. Pipi putihnya tampak memerah, tangannya menggenggam ujung kain gamis dengan gugup. Sementara sang ibu menatap lembut, lalu berpaling ke arah suaminya seolah memberi isyarat agar ia menanggapi lebih dulu.
Ayah gadis itu menghela nafas pelan, setelah mendapatkan kode dari istrinya, ia segera menjawab kalimat pemuda itu dengan gamblang.
"Maa Syaa Allah... Keberanian antum menyampaikan niat secara langsung begini, itu sudah menunjukkan kesungguhan. Ana sangat menghargai niat antum. Zaman sekarang, gak banyak yang berani datang dan bicara dengan keluarga lebih dulu. Semoga Allah berkahi niat baik antum." ucapnya yang diangguki oleh pemuda tersebut.
Ia lalu menoleh ke arah istrinya.
"Kalo menurut ibu gimana?" tanyanya pada sang istri.
Sang istri mengangguk pelan, lalu menatap si pemuda dengan mata teduh. Ia tersenyum menenangkan si pemuda, karena tampang pemuda itu terlihat sangat gugup menghadapi dirinya dan juga sang suami.
"Kalo dari sikap dan tutur katanya saja sudah menunjukkan kesopanan, Ibu rasa ini bukan hal bercandaan yah. Apalagi kalo memang sudah ada kesungguhan, namun tentu, kita juga harus dengar pendapat dari Asha nya." jelas sang ibu, kemudian menoleh kearah Asha, dan diikuti oleh kedua pria itu.
Ucapan itu membuat sang gadis tersentak kecil. Ia menunduk semakin dalam, tak berani mengangkat wajahnya. Jantungnya berdegup kencang, dan seisi ruangan menanti kata-kata darinya.
"Asha, ini tentang masa depan kamu. Jangan sungkan bicara. kita sebagai orangtua cuman bisa menuntun, tapi keputusan tetap ada sama kamu." ujar sang ayah dengan lembut.
Asha menggigit bibir bawahnya, ia meremat lengan gamisnya dengan kuat, ia tidak tahu harus menjawab seperti apa. Biasanya ia akan menolak lamaran melalui kedua orangtuanya, namun kali ini ia harus menolak pria yang melamarnya secara langsung.
Ruang tamu itu masih terasa hening. Pemuda itu duduk tegap, pandangannya penuh harap. Sang ayah dan ibu juga menunggu jawaban dari Asha. Gadis itu menarik napas panjang, menunduk sebentar, lalu memberanikan diri untuk bicara.
"Ayah, Ibu, dan juga Ustadz Afkar... untuk saat ini Asha belum ingin menikah. Asha sudah sampaikan hal itu kepada Ustadz Alam selaku pimpinan di tempat mengajar Asha yang dulu pernah berniat lamar Asha juga, bahwa Asha mau fokus selesaikan pendidikan terlebih dahulu." Sejenak ia berhenti, menatap kedua orangtuanya seolah meminta restu untuk melanjutkan.
"Kalo Ustadz Afkar sanggup menunggu sampai Asha menyelesaikan masa pendidikan... In Syaa Allah Asha bisa menerima lamaran ini. Tapi kalau Ustadz Afkar terburu-buru ingin menikah dalam waktu dekat, maka dengan segala hormat... Asha tidak bisa menerima lamaran antum." sambungnya dengan panjang tanpa jeda, namun tetap sopan.
Pemuda itu terdiam sesaat, lalu mengangguk pelan, senyum tenang terukir di wajahnya. Ia faham yang disampaikan oleh Asha, lagipula dirinya juga tidak buru-buru menikah.
"Maa Syaa Allah, syukron Ustadzah Asha sudah bicara jujur. Ana faham, dan ana sanggup menunggu In Syaa Allah. Karena bagi ana, pernikahan bukan sekadar terburu-buru melangkah, tapi bagaimana mempersiapkan diri dengan baik. Jika itu memang syarat yang anti dan keluarga tetapkan, insyaAllah ana jalani dengan lapang dada." balasnya dengan senyuman manis dari wajahnya yang rupawan.
Wajah sang ayah terlihat lebih lega mendengar ketegasan dari kedua belah pihak. Ia menyandarkan tubuhnya sambil menatap si pemuda dengan penuh hormat.
"Kalo nak Afkar tau, Asha ini sudah empat kali menolak lamaran para ikhwan sebelumnya. Bukan karena tidak ada yang baik, tapi karena memang belum siap, dan para pria itu terburu-buru ingin menikah. Bahkan, ketua yayasan tempat Asha mengajar pun pernah mengajukan niat. Begitu juga salah seorang teman yang mengajar di tempat kalian ini, kalau ana tidak salah. Tapi Asha tetap dengan ucapannya Kalo buru-buru, Asha gak bisa nerima lamarannya."
Sang ibu mengangguk pelan, membenarkan ucapan suaminya. Sementara Asha hanya menunduk, wajahnya memerah karena malu dibicarakan seperti itu di depan Afkar.
"Dari awal, Asha juga sudah berpesan sama ana dan ibunya, kalau ada ikhwan yang mau lamar. sampaikan kalo Asha baru akan menerima jika yang datang siap menunggu sampai ia selesai menuntaskan pendidikannya. Dan antum, adalah yang pertama mengiyakan syarat itu." jelas sang ayah dengan matanya yang mulai berkaca-kaca.
Mata si pemuda itu sedikit berkaca. Ia merasakan ada beban tanggung jawab yang lebih besar di balik keputusannya tadi. Ia pun menunduk sopan.
"Alhamdulillah... semoga Allah mudahkan jalan ini. Kalau begitu, ana mohon izin juga kepada ustadzah Asha dan bapak, ibu untuk menyampaikan niat ini pada keluarga ana di kampung. Kebetulan besok ana mau mudik ke kampung halaman. Ana ingin orangtua ana juga tahu, agar langkah yang ana ambil ini tidak menjadi rahasia, melainkan doa bersama." mohon nya pada mereka.
Sang ayah tersenyum, lalu mengangguk penuh pelan.
"Itu sikap yang tepat. Sampaikanlah pada orangtua antum, agar mereka juga ridho dan mendukung. InsyaAllah, kalau semua sudah jelas, kita bisa duduk kembali dalam pertemuan keluarga besar." balas Ayah Asha.
Asha menunduk lebih dalam. Meski belum ada ikatan resmi, malam itu ia merasa seakan sudah terikat dalam sebuah komitmen. Komitmen yang tak terucap, namun jelas terasa. Menjaga diri, menjaga hati, dan menahan diri dari fitnah, pemuda itu pun demikian. Mereka menyadari, meski statusnya belum terikat, ada rasa tanggung jawab untuk tidak saling melampaui batas.
Ruang tamu kecil itu menjadi saksi, bahwa sebuah ikatan terkadang dimulai bukan dari cincin, bukan dari seremonial, tapi dari janji hati yang sederhana, yaitu untuk menunggu dengan sabar, dan menjaga diri sampai waktu yang Allah tetapkan tiba.
Obrolan pun perlahan mereda. Gelas teh sudah tinggal setengah, camilan hampir tak tersentuh. Afkar meraih sesuatu dari dalam tas kecil yang ia bawa, dengan hati-hati, ia mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna Navy, lalu menoleh ke arah Asha.
"Ini untuk ustadzah Asha, anggap saja kenang-kenangan kalau ana pernah mampir ke rumah ini. Tidak seberapa nilainya, tapi semoga anti berkenan." ucapnya menyerahkan kotak kecil tersebut.
Asha menoleh kearah orangtuanya, setelah mendapat anggukan dari sang ayah, ia menatap kotak kecil itu. Segera ia menerima kotak tersebut, semburat merah mewarnai pipi mulusnya.
"Jazakallahu khoiron ustadz," ucapnya setelah menerima kotak tersebut.
"Wa Jazakillahu khoiron ustadzah," balasnya dengan senyuman manis.
Sang ibu tersenyum, sedangkan ayahnya hanya mengangguk kecil, seolah paham maksud si pemuda yang ingin meninggalkan kesan tanpa berlebihan. Setelah itu, Afkar bangkit dari duduknya. Ia merapatkan kedua telapak tangan di depan dada, lalu sedikit membungkuk dengan sopan.
"Kalau begitu, Pak, Bu, Ustadzah Asha... ana pamit dulu, kebetulan ini juga sudah malam. Mohon doa agar perjalanan ana besok kembali ke kampung berjalan lancar. InsyaAllah setelah ana sampaikan pada orangtua, kita bisa bicarakan lebih lanjut dengan keluarga besar."
Ayah Asha ikut berdiri, lalu menepuk bahu Afkar dengan hangat.
"Jaga dirimu baik-baik, Nak. Semoga Allah mudahkan urusanmu. Apa yang sudah kita bicarakan malam ini, biarlah menjadi awal kebaikan. In Syaa Allah, kalo niatnya lurus, Allah sendiri yang akan menjaga." ujar Ayah Asha dengan lembut.
"Aamiin... terima kasih banyak, Pak, Bu. Semoga Allah membalas semua kebaikan keluarga." ucapnya sebelum meninggalkan ruang tamu.
Asha hanya menunduk, memeluk kotak kecil itu erat di pangkuannya. Senyum samar menghiasi wajahnya, meski ia tidak banyak bicara.
Dengan langkah tenang, pemuda itu pun keluar dari rumah, menutup malam dengan kesan yang sulit dilupakan. Meski belum ada ikatan resmi, seolah sudah terpatri janji hati, yaitu untuk saling menunggu, menjaga, dan tidak tergesa dalam menapaki jalan yang suci.