Rayna Sasa Revalia, gadis dengan karakter blak-blakan, humoris, ceria dan sangat aktif. Dia harus meninggalkan orang tua serta kehidupan sederhananya di kampung karena sebuah kesialan sendiri yang men-stransmigrasikan jiwa gadis itu ke dalam sebuah karakter novel.
Sedih? Tentu. Namun ... selaku pecinta cogan, bagaimana mungkin Rayna tidak menyukai kehidupan barunya? Masalahnya, yang dia masuki adalah novel Harem!
Tapi ... Kenapa jiwa Rayna harus merasuki tubuh Amira Rayna Medensen yang berkepribadian kebalikan dengannya?! Hal terpenting adalah ... Amira selalu di abaikan oleh keluarga sendiri hanya karena semua perhatian mereka selalu tertuju pada adik perempuannya. Karena keirian hati, Amira berakhir tragis di tangan semua pria pelindung Emira—adiknya.
Bagaimana Rayna menghadapi liku-liku kehidupan baru serta alur novel yang melenceng jauh?
~•~
- Author 'Rayna Transmigrasi' di wp dan di sini sama!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Febbfbrynt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tamu Mengejutkan
“Ah, Shit! Kenapa gue baru inget!” pekik Rayna bangun dari rebahannya.
Dia baru saja merebahkan badan di atas kasur empuknya. Seragam masih melekat di tubuhnya. Sepatu masih terpasang di kedua kakinya. Rayna langsung mengingat sesuatu merutuki dirinya sendiri.
“Cowok itu …,” gumam Rayna. Lalu menepuk keningnya, “Mana gue genit lagi.”
Rayna mengigit bibirnya cemas seraya merutuki dirinya sendiri mengingat sikapnya kepada si ketua osis yang di temuinya sebelum pulang sekolah.
Sagara Angga Grayson. Protagonis atau pemeran utama pria ketiga. Dia memang seorang ketos. Dengan wajah ramahnya dan senyumannya yang manis, membuat cewek manapun berdebar saat melihatnya.
Tapi, tidak ada yang tahu bagaimana isi pikirannya. Ya, dia bermuka dua. Di balik wajah ramahnya, ada wajah dingin yang selalu ia sembunyikan.
Saga berada di kelas yang sama dengan Emira. Hebatnya, walaupun dia masih kelas X, dia bisa terpilih menjadi ketua osis dan bahkan membimbing anggotanya yang bahkan lebih tua darinya atau kakak kelas. Namun, dalam kepemimpinannya, dan urusan osis, dia memang sangat bertanggung jawab dan dapat di acungi jempol.
Sebab Saga dan Emira dekat, jangan di tanyakan lagi. Mereka satu kelas membuat keduanya cenderung sering bertemu bahkan tiap hari. Selain itu, Emira merupakan seorang sekretaris dan selalu bersama dengan Saga jika kemana-mana.
Dalam kecerdasan keduanya sangat cocok dan satu pemikiran. Semakin lama, Saga semakin nyaman. Senyuman kepura-puraanya terhadap Emira menjadi tulus. Dan keduanya semakin dekat.
“Eh, bentar.” Rayna berpikir keras. Lalu senyumnya mengembang, “Tadi mereka barengan! Berarti..”
Rayna langsung menjatuhkan badannya kembali ke kasur dengan posisi telungkup. Ia menjerit dengan suara teredam, “Huaaaa.. mereka udah kenal. Dan pasti si saga udah nyaman! Alurnya gak berubah, hahahaaa..”
Kepanikan dan kecemasan Rayna menghiang. Layaknya orang gila, Rayna menjerit-jerit kesenangan. Setelah kewarasannya kembali, Rayna beranjak dan melangkahkan kakinya ke kamar mandi dengan bersenandung.
“Senangnya dalam hati, tetetew ... alurnya tidak berganti, kikikiw ...”
***
“Bang Al, lagi ngapaaaiiin,” teriak Rayna riang saat melihat Alveno di ruang tamu.
Alveno terlihat memakai T-Shirt merah dengan celana rumahan selutut. Kakinya di tekuk satu dan satunya lagi menjuntai ke bawah.
Alveno tidak menyahut ucapannya. Ia tengah fokus bermain game di ponselnya. Bahkan mungkin, Alveno tidak mendengar suara Rayna.
Rayna cemberut karena merasa di abaikan. Ia duduk di sampingnya. Lalu menggeser mendekat menjulurkan kepalanya untuk melihat layar ponsel Alveno, “Main ape, tuh?”
Alveno meliriknya sekilas. Merasa terganggu, ia menjawab ketus, “Paan, sih. Berisik! Pergi sono.”
Bukannya pergi, Rayna semakin mendekat dengan badan menggeser-geser Alveno dengan wajah menyebalkan, “Gue pengen maen, dong..”
Alveno menurunkan ponselnya. Menatap Rayna dongkol, “Apaan, hah?”
Rayna yang di perhatikan, tersenyum malu-malu, “Gak ada, sih. Gue pengen ganggu lo aja.”
Alveno berdecak. Ia mendorong Rayna untuk menjauh seraya melambaikan tangannya isyarat mengusir, “Hush! Pergi, pergi.”
“Gak mauuu..” Rayna mendekat lagi. Lalu bersandar di bahunya, “Gak suka Gelaayyy.”
Alveno tidak menghiraukannya. Ia kembali fokus. Ibu jarinya dengan lincah menggeser dan menari-nari di layar ponsel. Bahkan suaranya terdengar keras.
“Eh, bang. Si bungsu kebmana? Kok gue kagak liat?” tanya Rayna dengan mata menatap lampu besar yang berkelip-kelip di di atasnya.
Alveno menghentikan gerakannya. Ia menatap Rayna yang dengan seenaknya menyenderkan punggung di bahunya, “Bang? Si bungsu?”
Rayna mengangguk, “Iya. Lo kan abang gue. Terus, si bungsu kan si Mira. Lo kenapa bingung?”
Alveno memang tidak mendengar panggilan Rayna saat awal tadi. Jadi sekarang ia bingung adiknya memanggil dengan embel-embel ‘Abang’. Walaupun begitu, ia merasa canggung. Namun di sisi lain, ia sedikit tersanjung.
Tanpa sadar pun, Alveno menerima kedekatan adiknya. Sedari tadi, ia bahkan tidak marah. Hanya sedikit kesal Rayna mengganggunya.
Alveno terbatuk ringan, “Emira lagi kerja kelompok katanya.”
“Ya ampun, tu anak! Udah malem gini, masih aja keluyuran. Gue punya adek terlalu rajin. Jadi insecure deh. Tiap waktu, gue mah malah main ni benda pilih. Baca dunia oren lah, denger musik lah, scroll video cogan lah. Kapan.. ya, gue tobat?” celotehnya panjang lebar.
Alveno menghela nafas jengkel. Ia merasa risih dengan celotehannya. Ia langsung beranjak, membuat Rayna yang masih bersandar langsung terjengkang, “Ah!”
Tubuh Rayna langsung terbaring terlentang di sofa. Untungnya ia tengah duduk di sofa orang kaya, tentu saja tidak merasa sakit. Tapi ia tetap merasa kesal, apalagi melihat Alveno yang tertawa mengejek.
Rayna mengambil sandal di kakinya, lalu melemparkannya, “Dasar abang gada akhlak! Awas lo, yah! Gue doain, lo dapet rezeki banyak! Kalo doa gue terkabul, gue gak mau tahu, lo harus beliin gue coklat sekardus, es krim sekeresek, seblak tiga bungkus, ciloknya dua puluh!!”
Alveno menjulurkan lidahnya ketika sandalnya meleset tidak mengenainya. Rayna semakin geram. Lalu ia berdiri dan mengambil sandal yang satunya lagi.
Tanpa aba-aba, dia langsung melemparnya.
Pluk! Bukan. Bukan Alveno yang terkena sandal itu. Tapi Evando yang tidak sengaja lewat tepat mengenai kepalanya.
Rayna dan Alveno tercengang. Setelah hening beberapa saat, keduanya langsung tergelak.
“Hahahahaha..” Tawa keduanya bergema di rumah besar itu.
Evando menggeram kesal, “Lo gak sopan, Rayna!”
Rayna merasakan perutnya sakit karena tertawa. Lalu ia menghampirinya dengan tawa yang masih belum bisa berhenti, “Hahaha.. Sorry, sorry. Gue gak sengaja.. haha..”
“Rame banget. Ada apa?” Suara Alisa mengalihkan atensi ketiga orang itu menuju kepadanya.
“Pfft—Itu, Mah. Tadi Rayna nyender ke bahu bang Al. Tapi dia berdiri. Jadinya Rayna kejengkang. Terus, Rayna lempar sendal tuh ke dia. Eh kenanya malah ke kepala bang Evan,” jelasnya dengan gerakan yang hiperbola.
Alisa tertawa kecil seraya geleng-geleng kepala. Dia berkata dengan lembut, “Kamu harus minta maaf, Rayn.”
Rayna langsung berbalik badan menghadap Evando, “Maaf, Bang Evan. Gue gak sengaja. Kalo mau balas dendam, ke Bang Al aja, oke?”
Alveno melototi Rayna, “Lo yang lempar. Kok, gue yang diaalahin.”
“Pokoknya lo yang salah! Cewek gak pernah salah, ya!” Rayna berkacak pinggang. Lalu menjulurkan lidahnya.
Alveno mendengus dongkol. Lalu pergi ke kamarnya.
Sedangkan, Evando yang masih mengusap kepalanya, menurunkan tangannya menjadi menggaruk tengkuknya ketika mendengar panggilan ‘Bang’. Reaksinya sama dengan Alveno. Ia mengangguk dengan enggan memaafkannya.
Rayna tersenyum lebar, “Makasih Udah maafin gue, Abang ganteng.”
Evando mengerjap dengan gerakan salah tingkah di panggil ‘Abang ganteng’. Dia pergi begitu saja.
Alisa merasa lega entah kenapa. Sebenarnya ia sudah memerhatikan mereka dari awal. Dia kira mereka akan saling cuek, atau Alveno mengacuhkan adiknya. Namun mereka terlihat sangat dekat layaknya adik kakak yang suka bertengkar. Ia pun merasa lega dan tenang.
Alisa pun tidak bisa bersikap tidak peduli lagi seperti sebelumnya. Selain karena penyesalan saat Rayna tidak bangun tiga hari, Alisa tidak mau sikap murung Rayna kembali. Jadi sikapnya lebih lembut.
“Udah malem. Kenapa Mira belum pulang, yah?” gumam Rayna yang masih Alisa dengar.
“Bentar lag—“
Ucapan Alisa terpotong saat pintu terbuka. Rayna tersenyum, “Panjang umur!”
“Assalamu’alaikum,” salam Emira ketika memasuki pintu rumahnya.
“Wa’alaikumussalam,” jawab Rayna dan Alisa berbarengan.
“Mir! Lo lama banget sih pulangnya?! Gue khawatir lo di culik wewe gombel!” omel Rayna seraya mendekatinya.
Emira tidak mengerti siapa yang kakaknya sebut di kalimat terakhir. Namun ia merasa hangat karena dia mengkhawatirkannya, “Tadi ada masalah di jalan.”
Rayna mengernyit, “Masalah apa?”
Emira menoleh melirik ke luar pintu, “Ayo, masuk dulu aja.”
Rayna memiringkan badannya melirik orang yang Emira suruh masuk di balik pintu.
Lalu matanya membola melihat seorang cowok yang sangat ia kenal memakai hodie hitam, rambut berantakan, dengan wajah dinginnya.
“Arsa?!"
biar flashback
kok pindah NT?😅