Dunia pernah mengenalnya sebagai Theo Vkytor—penulis jenius di balik Last Prayer, karya horor yang menembus batas antara keimanan dan kegilaan. Tapi sejak kemunculan Flo Viva Mythology, game yang terinspirasi dari warisan kelam ciptaannya, batas antara fiksi dan kenyataan mulai runtuh satu per satu. Langit kehilangan warna. Kota-kota membusuk dalam piksel. Dan huruf-huruf dari naskah Theo menari bebas, menyusun ulang dunia tanpa izin penciptanya.
Di ambang kehancuran digital itu, Theo berdiri di garis tak kasat mata antara manusia dan karakter, penulis dan ciptaan. Ia menyaksikan bagaimana realitas menulis ulang dirinya—menghapus napasnya, mengganti jantungnya dengan denyut kode yang hidup. Dunia game bukan lagi hiburan; ia telah menjadi kelanjutan dari doa yang tidak pernah berhenti.
Kini, ketika Flo Viva Mythology menelan dunia manusia, hanya satu pertanyaan yang tersisa.
Apakah Theo masih menulis kisahnya sendiri… ataukah ia hanya karakter di bab yang belum selesai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Girenda Dafa Putra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Harmoni dan Kehancuran
...Chapter 12...
Inti itu tidak sekadar energi, melainkan kehendak alam nan dapat diolah menjadi kekuatan.
Mereka yang gagal menyeimbangkan alirannya akan kehilangan kendali atas diri sendiri, terpecah antara kesadaran dan kekuatan yang mereka ciptakan.
Sedangkan mereka yang berhasil mengharmoniskannya, menjadi pahlawan yang namanya terpatri dalam sejarah dunia itu.
Bahkan mungkin melampaui logika realitas.
Hujan belum juga berhenti.
Langit seolah menunduk, dan dunia di dalam maupun di luar game terasa semakin samar batasnya.
Dalam sistem nan tertata seolah mengikuti hukum kuno tak tertulis, Inti Lu menjadi poros bagi segala bentuk kehidupan dan kekuatan dalam dunia itu.
Dari sana, lahirlah tatanan nan membagi individu ke dalam lima tingkatan—sebuah peringkat yang tidak hanya mengukur kemampuan, tetapi juga menentukan nasib dan harga diri setiap individu.
Tingkatan kelima—yang juga strata paling bawah dan disebut Sesth—merupakan wilayah bagi para Human Change yang sama sekali tidak memiliki bakat.
Di sana, mereka harus berjuang keras hanya untuk mendapatkan pengakuan atas eksistensi mereka.
Mereka menjadi dasar piramida nan menyangga dunia, bekerja, bertarung, dan terkadang mati tanpa pernah dipandang.
Namun justru di sanalah terbentuk keyakinan bahwa bahkan manusia tanpa cahaya sekalipun masih bisa menciptakan percikan kecil di tengah kegelapan.
Naik sedikit lebih tinggi, yakni tingkatan ketiga, terdapat kelas Rumh.
Di sinilah mayoritas hidup, para Human Change dengan kemampuan biasa, lahir dari keluarga yang tak mengenal kebesaran atau warisan kekuatan.
Mereka berlatih, berharap, dan seringkali gagal, namun tetap menjadi denyut nadi dunia.
Rumh adalah representasi dari keseimbangan, antara mimpi dan realitas, antara keberanian untuk bertumbuh dan batas yang memenjarakan mereka.
Di atas mereka—yakni tingkatan kesatu, bersemayam para Mirhush—individu yang berdiri di ambang keajaiban.
Rata-rata kekuatan mereka setara dengan para elite, dan bagi banyak orang, Mirhush adalah lambang harapan bahwa manusia masih bisa menaklukkan takdir yang semula tidak memihak.
Lalu datang Svenush, lapisan kedua yang melahirkan para jenius sejati.
Mereka bukan hanya menandingi para elite, tetapi melampaui batas-batas itu dengan cara yang tak lagi bisa dijelaskan melalui teori atau latihan semata.
Dalam tubuh mereka, Inti Lu mengalir seperti bintang yang berdenyut di ruang hampa, menyala tanpa perlu alasan.
Keberadaan mereka menggetarkan, menciptakan jarak antara yang mungkin dan mustahil.
Dan di puncak segalanya berdiri Sosh, tingkat keempat, entitas yang begitu jauh di atas standar manusia biasa.
Para Sosh sering disebut sebagai bayangan Dewa dan Dewi, makhluk yang tidak lagi sepenuhnya terikat pada dunia fana.
Mereka bukan sekadar kuat, tetapi juga membawa aura kekekalan, seolah setiap langkah yang mereka ambil adalah hukum baru yang menulis ulang kenyataan.
Mereka adalah hierarki yang membentuk kehidupan itu sendiri, sistem yang membuat dunia terus berputar di antara ketimpangan dan keajaiban.
'Inti Lu, pusat segala tenaga yang membuat Human Change tetap hidup.
Tapi kebanyakan orang hanya melihat angka, bukan kestabilannya.
Padahal yang penting bukanlah seberapa besar nilainya, tapi bagaimana angka itu bisa tetap bertahan di tengah tanpa jatuh ke nol atau meledak sampai lima puluh.
Kalau Parameter stabil di dua puluh lima, berarti itu batas hidupnya.
Turun, mati perlahan.
Naik terlalu cepat, meledak dari dalam.
Sesederhana itu, tapi anehnya, tidak ada yang benar-benar paham.'
Dalam kesunyian nan hanya diisi oleh gesekan pena dengan kertas, Theo menatap catatannya yang dipenuhi garis-garis kusut, lingkaran tak jelas, serta tanda coretan yang lebih mirip dengan upaya melawan logika daripada mencatat ilmu.
Tangannya bergerak perlahan, menghapus bagian yang tak perlu, memperbaiki urutan, menautkan kembali serpihan pemikiran nan sempat tercerai.
Di antara titik-titik tinta yang mengering, ia mencoba memahami kembali hakikat bagaimana seseorang dapat mengukur kekuatan Inti Lu di dalam tubuh seorang Human Change.
Bukan sekadar nilai atau angka, tetapi sesuatu yang lebih mendasar.
‘Keseimbangan antara kehidupan dan kehancuran.’
Dalam dunia yang tunduk pada hukum energi, Parameter adalah jantung kedua, Benih Tenaga nan mengatur detak ritme kekuatan, menandai batas antara mereka yang hidup dan mereka yang hanya berpura-pura bernafas di antara pusaran daya.
Theo menyadari, dalam dunia Flo Viva Mythology, angka tidak pernah menjadi ukuran yang sejati.
Kekuatan sejati tidak ditentukan oleh seberapa besar atau kecil Parameter, melainkan pada seberapa lama angka itu mampu bertahan di tengah gelombang perubahan.
Ia membayangkan seseorang dengan stabilitas Parameter bernilai dua puluh lima, berdiri di antara dua jurang.
Nol dan lima puluh.
Jika angka itu menyentuh salah satunya, maka keseimbangan akan hancur, dan tubuh sang pengguna akan runtuh bersama Inti Lu-nya.
Maka seluruh latihan, seluruh meditasi dan pengorbanan, hanya berpusat pada satu hal.
Menjaga angka itu agar tetap menari di tengah-tengah, tanpa jatuh, tanpa terangkat terlalu tinggi.
Begitulah cara dunia ini bekerja, menuntut manusia untuk memahami kesetimbangan yang tidak kasat mata.
Namun perjalanan untuk menaikkan stabilitas Parameter bukan sekadar soal teknik, melainkan ujian batin yang disebut Sinarakata.
Dalam ritual ini, sang Human Change harus memadukan dua kutub kekuatan—nominal terendah dan tertinggi—dalam satu wadah energi, lalu mengikat keduanya melalui gerakan yang menyerupai tarian kuno.
Setiap tarian dilakukan sesuai dengan angka stabilitas yang dimiliki.
Dua puluh lima kali gerakan untuk stabilitas dua puluh lima, seratus kali untuk seratus, dan seterusnya.
Namun semakin jauh tarian dilakukan, semakin berat beban yang menekan tubuh dan jiwa sang penari.
Setiap langkah adalah pertempuran, setiap gerakan adalah luka yang mungkin tak tersembuhkan.
Banyak yang gagal di tengah jalan, tubuh mereka remuk, kesadaran mereka terurai seperti pasir dihempas badai.
Bagi mereka yang berhasil menuntaskan Sinarakata, bukan hanya kekuatan yang meningkat, tetapi juga pemahaman tentang keseimbangan antara kekacauan dan kehendak hidup.
Di dunia yang memuja kekuatan, Sinarakata menjadi garis pemisah antara mereka yang hanya ingin kuat dan mereka yang benar-benar memahami arti keberadaan.
'Setiap kelas Human Change selalu diakhiri "H".
Entah itu kepanjangan, tanda, atau—'
Buuuuk!
'Sial, penghapusnya jatuh.'
Huuufh!
'Tadi mau bicara apa, ya? Ah, benar-benar lupa yang tadi hendak diomongkan.
Sudahlah, fokus saja pada catatan ini.
Dunia Flo Viva Mythology terlalu ruwet untuk disusun rapi melalui teori.'
Udara di ruang itu terasa berat, menekan seperti beban tak kasat mata yang menggantung di atas kepala.
Di atas meja kayu nan penuh coretan dan noda tinta, selembar kertas lusuh tergeletak dengan tulisan yang belum rampung.
Di sana, rangkaian teori mengenai Parameter, stabilitas, dan anomali sistem Human Change terlihat setengah jadi, seolah pemiliknya sendiri kehilangan arah di tengah pikirannya.
Theo menatapnya lama, membiarkan mata menelusuri garis-garis huruf yang tak sempurna, lalu beralih ke penghapus yang terjatuh dari genggaman.
Suara benda itu mengenai lantai begitu pelan, nyaris tak terdengar, namun cukup untuk memutus arus pemikirannya yang mengalir seperti sungai deras.
Dalam sekejap, dunia yang tadinya begitu kompleks kini seakan runtuh menjadi keheningan yang ganjil.
Tadinya, ia ingin mengurai alasan mengapa ketetapan Parameter tidak boleh terlalu rendah atau terlalu tinggi.
Dalam logika dunia Flo Viva Mythology, stabilitas bukan hanya tentang keseimbangan angka, melainkan keseimbangan eksistensi.
Ketika Parameter terlalu rendah, tubuh kehilangan kendali atas Inti Lu, membuat pengguna rapuh seperti wadah kosong yang kehilangan denyut kehidupan.
Namun ketika terlalu tinggi, kekuatan itu meluap melampaui batas wadahnya, menelan pemiliknya dari dalam, hingga tubuh dan jiwanya meledak menjadi energi tak terkendali.
Bersambung….