Wati seorang istri yang diperlakukan seperti babu dirumah mertuanya hanya karena dia miskin dan tidak bekerja.
Gaji suaminya semua dipegang mertuanya dan untuk uang jajannya Wati hanya diberi uang 200ribu saja oleh mertuanya.
Diam-diam Wati menulis novel di beberapa platform dan dia hanya menyimpan gajinya untuk dirinya sendiri.
Saat melahirkan tiba kandungan Wati bermasalah sehingga harus melahirkan secara Caesar. ibu mertua Wati marah besar karena anaknya harus berhutang sama sini untuk melunasi biaya operasi Caesar nya.
Suaminya tidak menjemputnya dari rumah sakit. saat Wati tiba dirumah mertuanya dia malah diusir dan suaminya hanya terdiam melihat istrinya pergi dengan membawa bayinya.
Bagaimana nasib Wati dan bayinya? Akankah mereka terlantar dijalanan ataukah ada seseorang yang menolong mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wahyuni Soehardi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Saat itu Tono sedang berada di rumah mamanya.
“Tono mama kesepian tinggallah bersama mama nak.” Pinta nya.
“Bagaimana Tono bisa tinggal disini kalau mama tetap tidak bisa menerima istriku.” Jawab Tono.
“Makanya terima usulan mama menikahi Jenni” kata mamanya.
“Aku sudah punya istri ma masa harus menikahi Jenni?” balas Tono.
“Laki-laki boleh punya istri lebih dari satu kok. Kenapa kamu tidak melakukan nya Tono, kau sebagai laki-laki jangan terlalu bucin sama perempuan. Jaman sekarang sudah biasa kali pengusaha kaya raya punya istri lebih dari satu.” Mama Tono mulai ngeyel.
“Aku bucin keturunan dari siapa? Bukankah mama juga bucin terhadap papa sehingga tidak mau berpisah barang seharipun dan memilih meninggalkan anak semata wayangnya demi selalu dekat dengan suaminya?” Kata Tono.
“Huh kamu ni ngeyel aja kalau dinasehati orang tua, dasar bocah gemblung.” Ketus mamanya.
“Assalamualaikum…..” seorang wanita yang cukup matang bertubuh sintal kulit sawo matang yang eksotis melenggang memasuki ruang tamu yang luas itu.
“Waalaikumsalam….balas mamanya Tono.
“Tante Hani apa kabar” sapanya sambil cipika cipiki.
“Kok panggil Tante sih sebentar lagi kamu kan jadi mantuku, harusnya kau panggil aku mama.” Kata bu Hani.
“Tono ada Hani disini kenapa diam saja? Temani Hani ngobrol dong mama kan ada janji massage, itu orang yang mau massage mama sudah datang.” Katanya sambil meninggalkan Jenni dan Tono sendirian diruang tamu.
“Hai Jenni kau sudah makan?” Sapa Tono.
“Aku kesini mau makan siang sama Tante Hani tapi beliau ternyata lebih memilih mau massage dari pada makan siang.” Jawab Jenni.
“Baiklah kalau begitu kutemani kau makan siang. Dirumah sudah disiapkan.” Katanya.
Tono dan Jenni makan siang bersama di rumah itu. Mbak Jum mengawasi dari jauh. Dia tidak terlalu suka dengan apa yang dilihatnya karena Tono sudah menikah dengan keponakannya. Tapi dia sendiri tidak bisa berbuat apa-apa karena nyonya besar nya tidak bisa menerima Fitri sebagai menantunya.
Jenni adalah anak seorang pemilik perusahaan. Masih lajang dan lulusan dari luar negeri. Keluarganya memiliki saham cukup besar di perusahaan papanya Tono.
Perkawinan bisnis akan sangat menguntungkan bagi perusahaan warisan papanya itu. Hingga saat ini perusahaan belum di percayakan pada Tono karena masalah pribadi mama Tono yang tidak menyetujui pernikahan anak semata wayangnya.
Tono jadi dilema. Mau menemani mamanya tapi istrinya tidak bisa disatukan dengan mertuanya. Mau hidup mandiri mertuanya keberatan karena dengan begitu tidak bisa menguasai gaji menantunya. Itulah sebabnya Tono tidak berterus-terang kalau perusahaan itu milik ayahnya dan keluarga istrinya tahunya Tono bekerja di sebuah perusahaan dan gajinya hanya sebesar 5.5jt. standar UMR di kota besar.
Dari hari ke hari ibu mertuanya makin sering uring-uringan karena pendapatan nya menurun. Wati mentransfer gaji anak laki-laki nya hanya sebagian saja. Berkali-kali Bu Warni menelepon anaknya tapi tidak dijawab. Pesannya pun hanya dibaca. Mau menemui anaknya di kantornya dia tidak tahu dimana kantor anaknya selama ini yang dia perdulikan hanya gajinya yang semuanya diserahkan kepada ibunya.
Tidak ada lagi yang membantunya memasak, mencuci pakaian dan membersihkan rumah. Mau tidak mau sekarang dia sendiri yang melakukannya.
Menu harian yang biasanya ada daging, ikan, ayam kini makin jarang ada menu ketiga bahan premium itu. Lebih sering tahu dan tempe paling mewah telur.
Fitri sesekali membantu beli ayam kalau anaknya ingin makan dengan lauk ayam goreng.
Suaminya terkadang membeli daging untuk masakan empal daging, semur dan sop daging kesukaannya dan untuk tambahan gizi anak laki-lakinya.
Kini adik iparnya berhasil memberontak dan mengikuti istrinya hidup diluar rumah orang tuanya. Mungkinkah istrinya mau diajak memberontak juga?
Saat itu Wati sedang antri di ruang pasien dokter spesialis anak untuk kontrol bayinya.
Untuk pertamakali nya anaknya ke dokter ditemani papinya. Hatinya diliputi oleh kebahagiaan. Dalam hatinya dia tidak henti-hentinya bersyukur atas kemurahan Tuhan menyatukan kembali keluarganya yang sempat hampir berpisah.
Setelah mengantarkan anaknya kontrol ke dokter anak Wati mampir ke swalayan yang ada di apartemen mereka untuk belanja kebutuhan sehari-hari.
Begitulah kehidupan mereka hingga tak terasa beberapa bulan berlalu. Wati mulai berbelanja di pasar biasa karena harganya lebih murah. Dia menggendong anaknya pakai gendongan jarik sambil membawa tas belanja.
Saat sedang memilih-milih buah tiba-tiba rambutnya ditarik kebelakang. Dia mengaduh. Buah yang ada di genggaman nya terlepas. Anaknya menangis ketakutan.
“Akhirnya ketemu juga menantu kurang ajar. Mau sembunyi kemana lagi kau. Bikin anakku berani melawan ibunya sendiri.” jerit ibu mertuanya.
“Ibu….” Wati terkejut.
Tanpa ba…bi…bu diseretnya Wati keluar dari pasar.
Dengan sekuat tenaga Wati melawan. Untuk sejenak dia melupakan anaknya demi bisa melepaskan diri dari cengkraman ibu mertuanya.
“Lepaskan….!” Teriak Wati.
Ibu mertuanya hendak memukulnya tapi Wati menangkis dan mendorongnya hingga perempuan setengah baya itu jatuh.
“Jangan pernah menyakitiku lagi bu. Sampai kapanpun aku tidak akan pernah kembali ke rumah mertuaku. Kalau kau ingin anakmu kembali silahkan ambil. Aku bisa hidup mandiri tanpa anakmu. Jangan pernah memaksaku kembali serumah denganmu.” teriaknya.
Wati segera berlari dan naik ke atas gojek yang lagi mangkal.
“Cepat jalan pak.” Perintahnya.
Gojek itu melihat kejadian antara Wati dan mertuanya segera meluncur. Sepeda motor nya dengan cepat membelah jalan raya. Dari kejauhan ibu mertua Wati memaki-maki sambil mengacung-ngacungkan tinjunya.
Anak Wati terus menangis ketakutan. Sesampainya di apartemen. Wati menangis. Untunglah belanjaannya tidak ketinggalan dan hanya tinggal berbelanja buah saja.
Dia menenangkan anaknya. Membersihkan anaknya, menggantikan bajunya lalu memberinya susu hangat. Tak lama anaknya sudah tertidur.
Akhirnya bisa damai