"Pasar tidak mengenal itu, hutang tetaplah hutang"
"Kalau anda manusia, beri kami sedikit waktu"
"Kau terlalu berani Signorina Ricci"
"Aku bukan mainan mu"
"Aku yang punya kendali atas dirimu"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Saskya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MURKA DI KEDIAMAN GABRIEL
Suara pecahan kaca membahana, diikuti teriakan perempuan.
"LAGI-LAGI KAU BERJUDI, GABRIEL! UANG KITA HABIS UNTUK MELUNASI OTAK BODOHMU!" teriak Chiara, istri Gabriel, wajahnya merah padam sambil menunjuk pecahan vas bunga di lantai.
"SUDAH, CHIARA! AKU AKAN SELESAIKAN! JANGAN BERISIK SEPERTI—"
BAM!
Pintu depan yang kokoh terlempar ke dalam, berderak hebat dari engselnya, seolah hanya dihempas oleh angin topan yang berdiri di ambang pintu bukanlah angin.
Itu adalah Kairos Valente.
Tinggi badannya memenuhi bingkai pintu, bayangannya jatuh panjang dan menakutkan di lantai.
Ia tidak memakai jas, hanya kemeja putih yang sedikit kusut, lengan digulung hingga ke siku, memperlihatkan urat-urat yang menegang.
Matanya, bagaikan dua bara arang yang menyala-nyala langsung menancap pada Gabriel.
Gabriel yang sedetik sebelumnya masih membusungkan dada, seketika berubah menjadi tikus yang terjebak. Wajahnya pucat pasi, tubuh gemetaran tak terkendali.
"V-Valente...?" gumannya, suaranya tercekat.
Chiara menjerit kecil, tangannya menutup mulut. Jantungnya berdebar kencak, seperti ingin keluar dari dada.
Dia melihat bukan pada seorang pria, tapi pada badai yang menjelma. Aura dingin dan mematikan yang dipancarkan Kairos membuatnya sulit bernapas.
Kairos melangkah masuk. Setiap hentakan sepatu botnya di lantai marmer seperti detak jam kematian.
Dia tidak peduli dengan Chiara, tidak peduli dengan pecahan kaca. Fokusnya hanya satu.
Gabriel.
"Kau... berani... menyentuhnya?" suara Kairos rendah, bergetar, namun mematikan seperti desis ular.
"Apa… apa maksud—"
DHOK!
Tidak ada peringatan.
Tinju Kairos menghunjam ke perut Gabriel dengan kekuatan penuh. Gabriel terhuyung ke belakang, tercekik, air mata langsung meleleh karena sakit yang tak tertahankan.
"Dia terbaring di sana Gabriel," geram Kairos, sambil mencengkeram kerah baju Gabriel yang merosot dan mendorongnya keras ke dinding.
BAM!
"Dia babak belur, penuh luka, sementara kau... kau bisa bernapas lega di sini?"
Jleb!
Ingatan Gabriel langsung tertuju kepada Aurora. Ia mencoba melepaskan diri namun cengkaraman Kairos terlalu kuat.
"Tolong... saya... salah..." rintih Gabriel, napasnya tersengal.
"SALAH?" Kairos mengaum, menggemakan seluruh ruangan. Tinju lain mendarat di pipi Gabriel, disusul satu lagi di tulang rusuk.
Suara pukulan itu keras, tulang, dan memualkan. Gabriel roboh ke lantai, merintih, tubuhnya meringkuk menahan sakit.
Chiara menjerit histeris, tetapi tidak berani mendekat. Dia hanya bisa menatap ngeri saat Kairos berdiri di atas tubuh suaminya, bagaikan algojo.
Tiba-tiba, mata Kairos menangkap lengan kiri Gabriel yang terulur. Sebuah ide balas dendam yang lebih mengerikan terlintas.
Dengan kecepatan kilat, tangan kanannya yang besar menjepit pergelangan tangan kiri Gabriel, menancap seperti besi.
"Kau pakai tangan ini untuk mencelakakannya, bukan?" desis Kairos, suaranya dingin menusuk tulang. "Maka kau tidak perlu lagi tangan ini."
Mata Gabriel membulat, diliputi terror murni. "Tidak! Jangan—!"
Tapi sudah terlambat.
KREKK!
Suara patahan tulang yang keras, kering, dan mengerikan memenuhi ruangan.
Gabriel menjerit kesakitan yang bukan lagi manusiawi, sebuah lolongan panjang yang penuh penderitaan.
Tangannya yang kiri sekarang menggantung dengan sudut yang tidak wajar.
Chiara berteriak histeris, akhirnya ambruk pingsan di sofa.
Kairos belum puas, ia membungkuk menarik kerah Gabriel. "Dengarkan baik-baik, kau sampah—"
"SUDAH, KAIROS! CUKUP!"
Suara tegas itu memotong ketegangan.
Samuel muncul dari pintu, tubuh besarnya bergerak cepat. Dia langsung merangkul Kairos dari belakang, menariknya mundur dengan susah payah. "Diam, sudah cukup Kai! Kau mau ngebunuh dia?"
Hampir bersamaan, Luca menyelinap masuk, dengan sigap berlutut di samping Gabriel yang babak belur.
"Bapak bisa berdiri?" tanyanya dengan suara datar, meski matanya memeriksa luka-luka Gabriel dengan cekatan.
Kairos masih menggelepar dalam dekapaan Samuel, napasnya memburu, matanya masih penuh amarah yang belum tersalurkan.
"Lepaskan aku, Sam! Dia pantas menerima lebih!"
"Tidak! Tidak seperti ini!" hardik Samuel, berusaha menenangkannya.
Suasana masih runyam, dua figur lainnya tiba-tiba muncul.
Matteo dan Aurel.
Mereka terkesiap, menatap pemandangan kacau balau di depan mata.
Pecahan kaca, vas yang hancur, Gabriel yang berlumuran darah dan ditopang Luca, serta Kairos yang masih dikungkung Samuel dengan wajah yang masih menganga karena amarah.
Aurel menutup mulutnya, matanya berkaca-kaca. "Oh, Tuhan... Kai..."
Matteo hanya bisa menghela napas panjang, wajahnya muram. “Brutal banget Kai.’’ Lirih Matteo.
Mereka datang untuk mencegah kekacauan, tapi ternyata sudah terlambat dan meninggalkan reruntuhan dari sebuah ledakan emosi yang memakan segalanya.
"Sudah, Kai! Cukup!" geram Samuel, lengannya yang berotot mengunci tubuh Kairos dengan erat.
Kairos masih menggelepar, amarah yang membara membuatnya seperti hewan yang terluka. "Dia sudah babak belur, Kai! Apa ini yang Aurora mau? Melihatmu jadi pembunuh?"
"Lepaskan aku, Sam! Dia belum cukup membayar!" hardik Kairos, suaranya serak dan penuh dendam.
Saat itulah Matteo melangkah mendekat. Wajahnya yang biasanya santai kini penuh ketegangan.
Dia tidak mencoba menahan, tapi justru menempatkan diri di depan Kairos, menatap lurus ke mata sahabatnya yang penuh badai itu.
"Kairos," ucap Matteo, suaranya rendah tapi menembus riuh. "Dengerin gue!. Aurora tidak ada di sini tapi gue yakin banget, dia gak mau melihat elu kayak gini."
Kalimat Matteo seakan menyentuh saklar yang berbeda di dalam diri Kairos.
Perlahan-lahan, perlawanannya melemah. Napasnya yang memburu berubah menjadi terengah-engah yang tidak teratur, matanya menatap sesuatu yang sangat jauh dan menyakitkan.
Traumanya, kenangan akan kekerasan masa lalunya kambuh membuat tubuhnya gemetar halus di pelukan Samuel.
Melihat perubahan itu, Samuel dan Matteo saling pandang. Dengan satu kesepahaman, mereka mulai menarik Kairos perlahan ke arah pintu, menjauh dari kekacauan yang telah ia ciptakan.
Sementara itu, Luca sudah selesai memberi pertolongan pertama pada Gabriel. Dia mengangkat teleponnya.
"Iya, saya Luca. Siapkan tim medis dan ruang gawat darurat. Kami akan membawa Bapak Gabriel Ricci ke rumah sakit. Kondisinya cukup parah, multiple fraktur di lengan."
Luca menutup telepon, dia memandang Gabriel yang merintih. "Tenang, bantuan akan segera datang."
Di sisi lain, Aurel berlutut di samping Chiara yang masih pingsan di sofa. Dengan lembut, dia menepuk pipi wanita itu dan membuka kancing kerah baju Chiara agar bisa bernapas lebih lega.
"Bu... Ibu bangun," bisiknya halus.
Beberapa detik kemudian, kelopak mata Chiara bergetar dan terbuka perlahan.
Tatapannya kosong dan bingung, sebelum ingatan akan kekerasan tadi menghantamnya kembali. Dadanya naik-turun, tapi Aurel segera memegangi bahunya.
"Sudah, Bu. Sudah selesai. Tenang dulu," ucap Aurel, mencoba menenangkan.
Chiara hanya bisa terisak-isak lemah, ketakutan dan rasa hancurnya terlalu besar untuk diucapkan.
Pintu rumah yang setengah hancur terbuka lebar, mengungkapkan pemandangan yang suram.
Kairos yang separuh tertatih-tatih dibawa pergi, Gabriel yang sekarat, dan seorang wanita yang hancur jiwanya. Kekacauan telah usai, tapi luka yang ditinggalkannya baru saja mulai.
TBC🐼