NovelToon NovelToon
Malam Saat Ayahku Mati

Malam Saat Ayahku Mati

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Aulia risti

Di dunia tempat kepercayaan bisa menjadi kutukan, Izara terjebak dalam permainan kelam yang tak pernah ia pilih. Gadis biasa yang tak tahu-menahu tentang urusan gelap ayahnya, mendadak menjadi buruan pria paling berbahaya di dunia bawah tanah—Kael.
Kael bukan sekadar mafia. Ia adalah badai dalam wujud manusia, dingin, bengis, dan nyaris tak punya nurani.

Bagi dunia, dia adalah penguasa bayangan. Namun di balik mata tajamnya, tersembunyi luka yang tak pernah sembuh—dan Izara, tanpa sadar, menyentuh bagian itu.

Ia menculiknya. Menyiksanya. Menggenggam tubuh lemah Izara dalam genggaman kekuasaan dan kemarahan. Tapi setiap jerit dan tatapan melawan dari gadis itu, justru memecah sisi dirinya yang sudah lama terkubur. Izara ingin membenci. Kael ingin menghancurkan. Tapi takdir punya caranya sendiri.

Pertanyaannya bukan lagi siapa yang akan menang.
Melainkan... siapa yang akan bertahan.
Karena terkadang, musuh terbesarmu bukan orang di hadapanmu—melainkan perasaanmu sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aulia risti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kebenaran yang terlambat

Diruangan pribadi Kael. Cahaya temaram, penuh dokumen dan foto di meja. Suasana dingin dan berat.

Pintu terbuka keras. Kai masuk dengan langkah cepat dan penuh emosi. Ia membawa setumpuk berkas yang tampak usang tapi penting. Tanpa berkata sepatah kata pun, ia melemparkan berkas-berkas itu ke meja di depan Kael.

"Aku sudah mencari tahu semuanya, Kael. Dan sekarang aku tahu..."

Kael menatapnya, diam. Dingin seperti biasa. Tapi sorot matanya penuh tanda tanya.

Pramana memang orang yang mencuri senjata, dan ya—dialah yang menyebabkan kematian Karina. Tapi dia cuma pion. Semua itu terjadi atas perintah..."

Kai menarik napas, lalu melanjutkan dengan suara rendah namun penuh tekanan.

"…atas perintah Moreno Valdarez."

Kael membeku.

"Moreno…?"

Kai mengangguk. Matanya tajam.

"Nama itu muncul di catatan intelijen bayangan. Mafia internasional. Bergerak di bawah radar, tapi jaringan dia luas, sampai ke militer. Dia yang memerintahkan penjualan senjata ilegal. Dia juga yang mengincar Karina karena wanita itu tahu terlalu banyak."

"Dan Pramana…?"

"Cuma eksekutor, dan satu hal lagi yang perlu kau tahu..."

Kai mengangkat sebuah lembaran foto lama—foto seorang wanita muda yang mirip dengan Izara, bersama seorang pria asing, bukan Pramana.

"Izara… bukan anak kandung Pramana. Dia cuma anak tiri. Ibunya menikah dengan pria itu setelah ayah kandung Izara meninggal."

Kael terdiam. Matanya mulai berubah, rahangnya mengeras.

"Dan tahu apa yang Pramana lakukan? Dia menukar nyawa istri yang bahkan rela ikut dengannya—demi kepentingan pribadi. Dia jual informasi lewat istrinya, lalu biarkan dia mati ketika semuanya bocor ke tangan musuh."

"Jadi... Izara kehilangan ibunya karena Pramana...?" Ucapnya pelan nyaris tak bersuara.

"Ya. Dan setelah itu... dia hidup di bawah bayang-bayang monster itu. Disiksa. Dipermainkan. Dan yang paling ironis, Kael..."

Kai menatap Kael tajam.

"Dia satu-satunya yang tidak punya salah, tapi justru paling menderita. Dan kau… malah tambah menghancurkannya."

Kael menunduk, rahangnya mengeras. Tangannya mengepal di atas meja.

"Selama ini… aku membenci orang yang salah. Dan Izara..."

"Dia tidak tahu apa-apa." Tegas Kai.

Sunyi sejenak. Sebelum akhirnya kai berkata,

"Kau tahu siapa musuhmu sekarang. Kalau kau mau balas dendam… arahkan ke tempat yang benar."

Kael menatap Kai. Kali ini, sorot matanya tidak lagi dingin. Tapi kosong. Seperti seseorang yang baru saja menyadari kehancuran yang dia ciptakan sendiri.

"Aku akan cari dia. Moreno. Dan sebelum dia mati, dia akan tahu rasa kehilangan yang sebenarnya." Ucap Kael.

"Tapi jangan lewat cara yang sama seperti yang kau lakukan ke Izara. Jangan jadi dia."

• • •

Beberapa Hari Kemudian – Rumah Kai

Rumah itu sunyi. Tirai-tirai ditutup rapat, cahaya matahari hanya masuk lewat celah kecil. Di sudut kamar Izara duduk dibatas ranjang, berselimut hingga leher, memeluk bantal dengan tangan yang masih sedikit gemetar. Pandangannya kosong menatap televisi yang menyala tanpa suara.

Kai masuk membawa teh hangat, pelan-pelan meletakkannya di meja.

“Kalau kau butuh apa-apa… cukup panggil aku. Aku ada di kamar sebelah.”

Izara hanya mengangguk kecil.

Kai menatapnya beberapa detik, ingin bicara lebih, tapi ia tahu... paksaan tak akan menyembuhkan. Ia mundur pelan, meninggalkan ruang tamu dalam senyap yang memekakkan.

Di dalam pikirannya, Izara masih mendengar suara malam itu.

Tangan itu. Nafas itu. Tatapan dingin itu.

Ia memeluk bantal lebih erat. Mencoba melindungi dirinya sendiri dari dunia yang terasa terlalu bising—meski sebenarnya hening.

Di tempat lain —

Kael duduk di dalam mobil, mesin tak menyala. Matanya menatap sebuah rumah dari kejauhan. Rumah milik Kai.

Ia sudah duduk di sana hampir satu jam.

Tak berniat masuk. Hanya ingin memastikan dari jauh.

Dari kejauhan, pintu rumah Kai tiba-tiba terbuka. Kael, yang diam-diam mengamati dari dalam mobilnya yang terparkir beberapa blok, langsung menegakkan badan saat melihat sosok itu muncul.

Izara.

Gadis itu keluar membawa payung, tanpa Kai, hanya sendiri. Langkahnya pelan, teratur, tapi matanya kosong. Wajahnya pucat diterpa cahaya lampu jalan dan dinginnya hujan.

Perlahan, perempuan itu berjalan menuruni anak tangga halaman, lalu melewati jalan kecil yang sepi. Tak ada tujuan yang jelas. Tapi langkahnya pasti. Seolah ada sesuatu yang harus ia datangi.

Kael sejak tadi sudah memperhatikannya, tapi baru kini ia keluar dari mobil. Dengan topi hoodie menutupi kepala, ia mengikuti dari jauh, berusaha tak menimbulkan suara.

"Dia ingin ke mana hujan-hujan begini..." gumam Kael, setengah cemas, setengah takut.

Izara terus berjalan menembus hujan, tubuhnya setengah basah. Langkahnya membawanya ke arah yang tak asing bagi Kael—arah jembatan tua di ujung kota, jembatan yang menyeberangi sungai deras yang membengkak karena hujan semalam.

Kael mulai gelisah. “Izara… jangan bilang...”

Ia mempercepat langkah. Nafasnya mulai memburu.

Sementara Izara kini berdiri di tengah jembatan, menatap air sungai yang hitam dan berderu kencang di bawah sana. Tangannya menggenggam gagang payung erat-erat, lalu perlahan meletakkannya di lantai jembatan.

Kael nyaris berteriak.

Izara menaiki pagar pembatas jembatan. Tangannya bergetar, tapi matanya lurus menatap ke bawah.

“Aku tenang…” bisiknya ke udara.

Kael berlari. “IZARA!!”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!