Rania Alesha— gadis biasa yang bercita-cita hidup bebas, bekerja di kedai kopi kecil, punya mimpi sederhana: bahagia tanpa drama.
Tapi semuanya hancur saat Arzandra Adrasta — pewaris keluarga politikus ternama — menyeretnya dalam pernikahan kontrak.
Kenapa? Karena Adrasta menyimpan rahasia tersembunyi jauh sebelum Rania mengenalnya.
Awalnya Rania pikir ini cuma pernikahan transaksi 1 tahun. Tapi ternyata, Adrasta bukan sekedar pria dingin & arogan. Dia manipulatif, licik, kadang menyebalkan — tapi diam-diam protektif, cuek tapi perhatian, keras tapi nggak pernah nyakitin fisik.
Yang bikin susah?
Semakin Rania ingin bebas... semakin Adrasta membuatnya terikat.
"Kamu nggak suka aku, aku ngerti. Tapi jangan pernah lupa, kamu istriku. Milik aku. Sampai aku yang bilang selesai."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PCTA 12
Malam merayap pelan menuju fajar di kediaman megah milik Adrasta. Cahaya rembulan menyelinap melalui celah tirai, menciptakan bayangan samar yang menari di dinding kamar Rania. Di balik pintu kayu yang tertutup rapat, Rania duduk di tepi ranjangnya, jemarinya saling meremas dalam kegelisahan yang tak kunjung reda.
Sejak pertemuannya dengan Rey di gudang tua barusan, hati Rania tak pernah benar-benar tenang. la merasa seperti berjalan di atas tali tipis yang siap putus kapan saja. Tatapan tajam Adrasta, sikapnya yang semakin posesif, dan bayangan Rey yang terluka terus menghantuinya. la tahu, setiap langkah yang diambilnya diawasi, setiap gerak-geriknya dinilai.
Di sudut ruangan, ponsel Rania bergetar pelan. Sebuah pesan masuk tanpa nama pengirim: "Kau pikir aku tak tahu apa yang kau lakukan, Rania?"
Jantungnya berdegup kencang. la menoleh ke sekeliling, seolah mencari jawaban di antara bayangan malam. Siapa yang mengirim pesan ini? Apakah Adrasta? Atau seseorang yang lain? Pikirannya berkecamuk, mencoba mengingat apakah ada yang melihatnya saat menemui Rey.
Tak lama, pintu kamarnya terbuka perlahan tanpa ketukan. Adrasta melangkah masuk dengan tenang, wajahnya tanpa ekspresi, namun matanya menyiratkan sesuatu yang membuat Rania merinding. la menutup pintu di belakangnya, mengunci mereka berdua dalam ruang yang kini terasa semakin sempit.
"Kau terlihat gelisah," ujar Adrasta, suaranya rendah namun menusuk. Rania menelan ludah, berusaha menjaga suaranya tetap stabil.
"Aku hanya lelah, Adrasta." Adrasta mendekat, langkahnya mantap. la berhenti tepat di hadapan Rania, menunduk hingga wajah mereka hampir sejajar.
"Lelah? Atau merasa bersalah?" Rania mengerutkan kening, berpura-pura tidak mengerti.
"Apa maksudmu?"
Senyum tipis terukir di bibir Adrasta, namun tidak mencapai matanya. la merogoh saku jasnya, mengeluarkan beberapa lembar foto, lalu melemparkannya ke atas ranjang.
Rania menunduk, matanya membelalak saat melihat gambar dirinya bersama Rey di gudang tua. Setiap momen terekam jelas: tatapan mereka, kedekatan mereka, bahkan ekspresi cemas di wajahnya.
"Kau pikir aku bodoh, Rania?" suara Adrasta terdengar lebih dingin dari sebelumnya. "Bermain di belakangku, bertemu dengan musuhku, dan berharap aku tak akan tahu?"
Rania menggeleng cepat, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Aku... Aku hanya ingin menjelaskan semuanya. Aku merasa bersalah atas apa yang terjadi pada Rey. Aku tidak bermaksud-"
Adrasta mengangkat tangan, menghentikan penjelasannya. "Cukup," potongnya tegas. la menatap Rania dalam-dalam, seolah mencari kebenaran di balik matanya yang kini basah.
"Kau telah membuat pilihan, Rania. Dan sekarang, kau harus menerima konsekuensinya." la berbalik, berjalan menuju jendela, menatap kegelapan di luar. "Malam ini, permainan mereka selesai. Tapi sayangnya... kau juga ikut masuk dalam permainanku."
Rania berdiri, mendekat dengan hati-hati. "Adrasta, tolong. Aku tidak ingin ada pertumpahan darah lagi. Biarkan Rey pergi, dan kita bisa memulai kembali." Adrasta tertawa pelan, namun tanpa keceriaan. la berbalik, menatap Rania dengan intensitas yang membuatnya mundur selangkah.
"Memulai kembali? Setelah semua yang terjadi?" la melangkah cepat, meraih tangan Rania dengan kuat, menariknya mendekat. "Kau milikku, Rania. Dan aku tidak akan membiarkan siapa pun mengambil mu dariku."
Sebelum Rania sempat merespon, Adrasta menunduk, bibirnya menekan bibir Rania dengan paksa. Ciuman itu bukan ungkapan kasih sayang, melainkan klaim kepemilikan yang penuh amarah dan obsesi. Rania berusaha mendorongnya, namun genggaman Adrasta terlalu kuat.
Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Adrasta melepaskan ciumannya, namun tetap menahan Rania dalam pelukannya. Ia menatapnya dengan tajam, suaranya rendah namun penuh ancaman. "Besok pagi, kau akan ikut aku... keluar dari neraka ini dan masuk ke neraka yang aku ciptakan khusus untukmu." Rania menatapnya dengan ketakutan, menyadari bahwa perangkap Adrasta kini menjeratnya lebih dalam dari sebelumnya.