Demi menghindari bui, Haira memilih menikah dengan Mirza Asil Glora, pria yang sangat kejam.
Haira pikir itu jalan yang bisa memulihkan keadaan. Namun ia salah, bahkan menjadi istri dan tinggal di rumah Mirza bak neraka dan lebih menyakitkan daripada penjara yang ditakuti.
Haira harus menerima siksaan yang bertubi-tubi. Tak hanya fisik, jiwanya ikut terguncang dengan perlakuan Mirza.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadziroh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Luka dalam
Haira keluar dari kamar Mirza. Berjalan pelan menahan rasa nyeri di bagian bawah sana. Demi apapun, ia masih tak rela dengan apa yang dilakukan Mirza padanya. Air matanya terus mengalir membasahi pipi, menatap punggung Mirza yang ada di ruang tengah.
Laki-laki biadab, kamu akan merasakan apa yang pernah aku rasakan, rutuk Haira dalam hati. Melanjutkan langkahnya melewati bi Enis yang sedang membersihkan lemari.
Kenapa Nona Haira jalannya seperti itu, apa Tuan Mirza menyiksanya?
Sekilas bi Enis melihat tanda merah di pundak Haira yang terekspos. Hatinya ikut tersayat mendengar tangisan Haira di sepanjang jalan menuju kamar.
Jangan-jangan Tuan Mirza meminta hak nya dengan paksa.
Bi Enis memilih pergi ke belakang, ia tak sanggup melihat Haira yang semakin hari semakin menderita. Namun juga tak bisa berbuat apa-apa.
Haira mengunci pintu kamarnya lalu berlari masuk ke kamar mandi. Ia mengguyur sekujur tubuhnya dengan air shower yang mengalir deras. Tangisnya kembali pecah menyesali pilihan yang kini menjeratnya.
"Kenapa aku sebodoh ini," ucapnya terputus-putus. Membenturkan kepalanya di dinding. Menggaruk bagian lehernya hingga terluka. Tak peduli dengan darah yang mengucur bersamaan dengan air yang mengalir. Rasa sakit yang tercipta akibat benturan dan cakaran kukunya itu bahkan tidak terasa dibandingkan rasa sakit saat Mirza mengambil keperawanannya. Luka dalam yang diberikan Mirza jauh lebih menyakitkan dari apapun.
"Apa yang harus aku katakan pada nenek. Pasti dia sangat marah padaku kalau tahu aku tidak perawan lagi."
Haira duduk merangkul kedua lututnya. Ia lelah menghadapi masalah yang saat ini menimpa. Berusaha sekuat apapun, dia tetaplah seorang wanita yang butuh kasih sayang dan perlakuan yang lembut.
Suasana di ruang makan itu sangat hening. Hanya suara dentingan sendok dan piring yang terdengar. Sesekali Mirza melirik pintu kamar Haira yang tertutup rapat. Tangannya terus mengaduk-aduk makanan tanpa ingin menyuap.
Ke mana dia? tanya dalam hati.
Arini menatap gerak-gerik aneh sang kakak, ia bisa membaca guratan cemas di wajah pria itu.
"Kakak kenapa?" tanya Arini membuyarkan lamunan Mirza.
Mirza menggeleng cepat. Menyembunyikan rasa gelisah yang dari tadi memenuhi dadanya.
Aku yakin kak Mirza memikirkan sesuatu, tapi apa?
Arini hanya bisa menerka, ia takut Mirza akan marah jika banyak bertanya.
Mirza memanggil bi Enis yang melintas di belakangnya. Ia tak tahan berdiam diri, sementara hatinya gundah gulana.
"Panggil kan Haira, aku butuh sesuatu," titah Mirza pada Bi Enis.
"Baik, Tuan."
Bi Enis berlari kecil menuju kamar Haira. Tanpa menunggu waktu lagi ia langsung mengetuk pintu.
Beberapa kali ketukan, akhirnya pintu terbuka lebar.
Mata bi Enis ikut berkaca saat melihat kondisi Haira yang memprihatinkan.
"Nona kenapa?" tanya Bi Enis lirih, takut Mirza mendengar ucapannya.
Mata Haira tampak sembab dan memerah. Banyak luka di bagian leher dan juga kening. Wajah gadis itu juga terlihat pucat dengan rambut basah dan acak-acakan seperti belum disisir.
"Saya tidak apa-apa, Bi. Ngapain bibi ke sini?" tanya Haira sambil tersenyum paksa.
"Nona di panggil Tuan Mirza di ruang makan."
Haira mengangguk. Kini ia lebih memahami, statusnya di rumah Mirza bukanlah seorang istri, namun hanya pelayan yang harus punya waktu kapanpun untuk melayani Tuannya.
"Tu…Tuan memanggil saya?" Suara Haira tersendat karena isakan kecil.
Mirza melirik Arini yang masih sibuk dengan makanannya. Lalu menatap jemari Haira yang sedikit keriput seperti orang kedinginan.
Apa dia mandi berjam-jam, kenapa kulitnya seperti itu?
Arini mendongak, menatap Haira dari atas hingga bawah. Matanya berhenti di leher wanita itu. Seketika ia tersedak daging yang hampir tertelan di tenggorokan.
Menunduk lagi saat Mirza mengalihkan pandangan ke arah wajahnya.
Kenapa leher Haira terluka. Apa itu bekas ciuman kak Mirza? Tapi tidak mungkin, mungkin saja itu hanya alergi.
Arini menatap Mirza dan Haira bergantian. Bibirnya pun membisu melihat wajah datar sang kakak.
Sadar menjadi pusat perhatian Arini, Haira menaikkan sedikit bajunya hingga menutupi sebagian lukanya.
"Aku ingin bicara sama kamu."
Mirza beranjak meninggalkan meja makan.
Baru saja satu langkah mengikuti Mirza, kaki Arini menghalangi Haira hingga wanita itu jatuh tersungkur di lantai.
Mirza menoleh tanpa ingin menolong. Pria itu hanya melihat Haira yang nampak kesusahan saat berdiri.
"Kalau jalan itu nggak cuma pakai kaki, tapi pakai mata juga."
Arini meneguk minumannya. Pura-pura tak terlibat dengan apa yang terjadi.
Sabar Haira, ini adalah ujian hidup yang harus kamu jalani. Tuhan tidak akan menguji hambanya di batas kemampuan, kamu wanita yang kuat dan bisa melewati ini semua. Menguatkan diri sendiri.
Haira melanjutkan langkahnya mengikuti Mirza yang sudah tiba di salah satu ruangan yang ada di samping kamarnya.
Di tempat itu terdapat satu meja dan kursi, beberapa rak buku berjejer rapi di pinggir, Haira mengira itu adalah ruang kerja.
Seperti Arini dan Bu Enis, Mirza pun menatap luka yang memenuhi leher putih Haira.
Dari lubuk hati terdalam, terselip rasa kasihan, namun jika teringat dengan Lunara kemarahannya kembali memuncak. Memusnahkan semua kebaikan yang ingin ia lakukan.
"Lupakan kejadian tadi. Anggap saja kita tidak pernah melakukannya."
Kedua tangan Haira mengepal sempurna. Setelah mengambil kesuciannya, Mirza lepas tangan dan memintanya untuk melupakan semuanya.
Ok, fine, Mirza seorang laki-laki yang gampang untuk bersilat lidah. Lalu bagaimana dengan dirinya sebagai seorang wanita yang sudah kehilangan kehormatan? Bahkan harga dirinya sudah terinjak-injak.
Haira maju satu langkah mendekati Mirza yang memunggunginya. Ia mengumpulkan semua keberaniannya.
"Saya tahu Tuan banyak uang dan bisa membeli apapun. Tapi Tuan tidak bisa membeli harga diri saya. Jika ingin menghancurkan hidup saya, ok. Anda sudah berhasil. Tapi apa kabar ibu Anda jika tahu tentang semua ini, pasti dia akan menjerit dan merasakan luka yang sangat dalam. Dia akan menangis jika tahu kelakuan Tuan. Saya berjanji akan melupakan kejadian tadi, tapi saya tidak akan melupakan orang yang sudah menghancurkan hidup saya."
Mata Haira mulai digenangi air mata, ia tak sanggup lagi untuk diam dan membendung amarahnya yang menyesakkan dada. Harga diri adalah segalanya, namun sekarang ia tidak memiliki itu.
"Ingat. Semua yang kita lakukan pasti akan ada balasannya, dan saya akan tertawa disaat itu menimpa, Tuan."
Haira membalikkan tubuhnya. Mengusap air matanya yang terus mengalir membanjiri pipi.
Entah kenapa, kali ini bibir Mirza terkunci rapat. Jangankan untuk membalas ucapan Haira, untuk mengucapkan sepatah kata pun tak mampu saat istrinya itu menyangkut tentang ibunya yang sudah meninggal.
Setelah tak ada percakapan, Haira keluar meninggalkan Mirza yang masih dalam mode diam.
𝚑𝚎𝚕𝚕𝚘 𝚐𝚊𝚗𝚝𝚎𝚗𝚐 𝚜𝚊𝚕𝚊𝚖 𝚔𝚗𝚕 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚊𝚞𝚗𝚝𝚢 𝚊𝚗𝚐𝚎𝚕𝚊 🤣🤣