NovelToon NovelToon
Maya Dan Cangkulnya

Maya Dan Cangkulnya

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Mengubah Takdir / Penyesalan Suami / Ibu Mertua Kejam / KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga) / Romansa pedesaan
Popularitas:131
Nilai: 5
Nama Author: R.Fahlefi

Sebuah karya yang menceritakan perjuangan ibu muda.
Namanya Maya, istri cantik yang anti mainstream

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R.Fahlefi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Cekik aku bang!

"Tolong, jangan lapor pak kades. Aku nggak mau Maya dipenjara." Gilang yang penuh perhitungan menjawab.

"Halah, diam kau bang! Kau bukannya nggak mau aku dipenjara, kau itu cuma malu jika orang-orang menganggap kau lemah kan? Malu karena istrimu menghajarmu!" Kata Maya menjawab perkataan Gilang.

Gilang terdiam, tidak membantah.

Sari yang mendengar kalau kedua orang tuanya ngomongin penjara pun menangis berteriak.

"IBU... Sari nggak mau ibu di penjara.. Sari juga nggak mau kalau ayah dipenjara...."

Laras mengelus kepala Sari.

"Nggak usah takut, nanti Sari juga ikut ke penjara." Ucap Laras menenangkan.

Sari semakin berteriak kencang, meski sebenarnya ucapan Laras itu cuma bercanda.

Melihat putri mereka menangis kencang, Maya dan Gilang pun saling bertatap muka. Wajah Gilang yang babak belur, berdarah dan lebam membuat Maya merasa kasihan.

"Nah sekarang gimana? Apa kalian mau kulaporkan?"

Keduanya tidak menjawab.

Laras tersenyum kecil, merasa geram sekaligus lucu dengan tingkah pasangan itu.

"Aku tuh pusing melihat kalian. Aku masih gadis, masih muda, malah aku yang harus mendamaikan perkara rumah tangga kalian."

"Kau itu udah umur 25, nggak muda lagi!" Potong Gilang.

Laras melotot, kesal.

"Udah diam! Ini bukan masalah umur! Masalahnya adalah kalian itu lebih tua dariku!!"

"Kita seumuran Ras." Potong Maya.

"DIAMMM! Kalian bisa diam dulu nggak sih! Biarkan aku ngomong!"

Maya dan Gilang menurut, mereka diam.

"Sekarang, kalau aku mendengar kalian berantem kayak gini lagi, Sari akan aku bawa ke rumahku, lalu kalian akan aku laporkan langsung ke polisi!"

"Tante... Aku nggak mau ibu dan ayah di penjara, aku juga nggak mau tinggal sama tante.. " Kali ini Sari yang memotong.

Laras mendengus, wajahnya cemberut dan memerah.

Gadis itu putus asa.

"Arghhhhhh! Udah-udah! Pusing aku kalian buat! Terserah kalian saja. Mau berantam, mau cakar-cakaran, TERSERAH!"

Laras kemudian membanting pintu dan keluar rumah dengan kesal.

Maya dan Gilang membiarkan Laras pergi. Sari duduk masih dengan air mata, sesenggukan.

Udara rumah yang pengap berubah menjadi dingin.

Selang beberapa saat tanpa kata, Maya akhirnya mengangkat wajah dan menatap suaminya.

"Bang..." Ucapnya pelan.

Gilang menoleh, luka di pelipisnya masih mengeluarkan darah.

Perlahan, Maya bergerak dari duduknya dan mengambil kain basah, kemudian duduk didekat Gilang.

"Aku minta maaf, ya." Suara Maya pelan, nyaris berbisik.

Maya membersihkan luka Gilang dengan kain basah.

Gilang masih diam, membiarkan Maya.

Lebam-lebam di lengan dan wajah Gilang juga di kompres oleh Maya.

Gerakan Maya lembut, pelan. Sesekali Gilang meringis sakit ketika tangan Maya terlalu kuat menekan bagian yang sakit.

Sari duduk di sudut ruangan memperhatikan kedua orang tuanya. Ia tidak sesenggukan lagi, ia tidak menangis lagi. Pemandangan yang jarang sekali dilihatnya ini membuat perasaan Sari sedikit membaik. Dan tidak sadar bibirnya terangkat dan tersenyum.

"Ibu dan ayah kalau kayak gini.. Sari senang." Ucapnya, membuat Gilang dan Maya menoleh.

Wajah Maya memerah, tapi buru-buru ia menyembunyikan agar Gilang tak melihat.

Tapi lain halnya dengan Gilang, wajahnya memang merah, tapi itu karena lebam di hajar istri.

"Aku nggak seharusnya mukul abang." Ucap Maya lagi, kali ini benar-benar dengan perasaan bersalah. Ia telah menghajar suaminya, babak belur.

Gilang tetap diam, membiarkan tangan lembut istrinya membersihkan darah-darah yang masih menempel di wajah dan lengannya.

Melihat suaminya tidak menjawab, Maya semakin merasa bersalah.

"Bang... Aku minta maaf ya, aku khilaf." Kali ini Maya mengatakannya dengan wajah penuh dosa.

Gilang menoleh, akhirnya mengangguk pelan.

"Aku... Juga." Jawab Gilang.

"Beneran abang maafin?" Tanya Maya, memastikan.

"Iya, aku juga minta maaf gak berhasil membunuhmu."

Kening Maya berkerut, "Ihhh! Apaan sih bang! Jadi abang benar-benar pengen aku mati ya?"

Secuil senyum muncul di bibir Gilang, lalu berucap pelan, "Canda."

Dan Maya melihat itu.

Melihat lengkungan di bibir Gilang.

Bertahun-tahun melewati samudera rumah tangga, baru kali ini Maya melihat lagi sang nakhoda tersenyum padanya. Meski dengan kondisi memprihatinkan, senyum Gilang tetap manis, sama seperti dulu.

Maya pun ikut tersenyum, hatinya lega. Perkataan maaf dari suaminya itu membuatnya lupa bahwa baru saja mereka hampir saling bunuh-bunuhan. Apalagi melihat senyuman Gilang yang dulu pernah menggetarkan hatinya.

Tak sadar Maya menyenderkan kepalanya di bahu Gillang.

Gilang membiarkannya saja.

Sari yang melihat kedua orang tuanya akur langsung ikut bergabung. Maya memeluk Sari, Gilang juga mengusap kepala putri mereka.

Pertengkaran mereka berakhir.

Dan hari ini, kedua manusia yang terus bertengkar itu untuk pertama kali terlihat akur. Hari yang menenangkan setelah badai api yang hebat. Rumah mereka lebih lega, senyum Maya merekah, Gilang tampak tenang, dan Sari tentu saja senang melihat ibu dan ayahnya tidak bertengkar.

Malam hari setelah Sari tidur, Maya yang baru membereskan dapur membuatkan kopi untuk Gilang. Mereka duduk di ruang tengah, kepala Maya menyender di bahu Gilang.

"Bang, lukanya masih sakit ya?" Tanya Maya.

"Sakitnya nggak seberapa May, tapi malunya itu.. besok, pasti Laras udah bergosip kesana-kemari."

Maya mengangguk setuju, "Maafkan aku bang, aku benar-benar nyesal sudah mukul abang. Tapi kalau saja abang nggak mencekikku, aku juga gak bakalan melakukan itu."

"Aku nggak benar-benar mencekikmu May, aku itu masih waras. Kamunya saja yang meronta kayak babi yang kena jerat, tapi..."

"Tapi apa?" Potong Maya menoleh.

"Aku akan mencekikmu malam ini." Ucap Gilang.

Maya terkejut, melepaskan kepalanya yang bersandar di bahu Gilang.

"Apa maksud abang?"

Mata Gilang menatap Maya dengan sorot tajam, tangannya mulai terangkat dan mengarah ke leher Maya.

Tubuh Maya menjauh, wajahnya mulai pucat.

"Bang!! Sadar bang! Kita itu baru baikan!!"

Gilang nggak peduli, tangannya mulai mendekat ke leher Maya.

Dan sesaat kemudian. Sebelum Maya benar-benar panik..

Gilang tersenyum, matanya berkedip-kedip.

Maya bingung, "Bang?"

Gilang melingkarkan tangannya di leher Maya, masih berusaha mencekik membuat Maya heran. Laki-laki itu tersenyum aneh, matanya berkedip.

Lalu, sedetik kemudian jemari Gilang pun mencekik Maya.

Pelan..

Lembut..

Kemudian mulai menggelitik leher istrinya itu.

Maya merasa geli, lalu tertawa kecil.

Gilang terus menggelitik istrinya itu. Mulai dari leher sekarang berpindah ke ketek Maya. Terus di susul ke area lain yang lebih sensitif.

Mata tertawa, "Udah bang, udah, a-ku.. nggak tahan.. geli.."

"Aku akan mencekikmu malam ini, May, Cekik-cekikan.. yang tidak sakit," sambung Gilang.

Akhirnya Gilang menghentikan gerakannya.

Maya pun berhenti tertawa.

Keduanya saling bertatap wajah. Keduanya saling berpandangan.

Bibir Maya terbuka, ia tahu maksud dari suaminya. Kalau malam ini akan mereka lanjutkan dengan berhubungan cekik-cekikan.

Gilang pun langsung mencium Maya, lembut dan tidak tergesa.

Tak lama setelah itu mereka pun berpindah tempat, melakukan hal yang seharusnya dilakukan oleh pasangan suami istri.

Malam itu sungguh indah, cumbuan yang membuat Maya merasakan dihargai sebagai istri, cumbuan yang membuat Maya melupakan pertengkaran selama ini, membuat Maya terlelap tidur dengan senyuman di wajah. Penuh kasih, penuh sayang.

Maya dan Gilang memang sering sekali bertengkar. Tamparan di wajah, bentakan, omelan, hinaan, semua hal-hal menyakitkan dalam rumah tangga mereka rasakan. Tapi, ada sebuah hal yang tidak lepas dari mereka.

Cinta!

Bagaimanapun hebatnya amarah dalam diri mereka saat bertikai, tak sekalipun dari keduanya benar-benar ingin berpisah.

Seperti Maya, ia memang lebih tersakiti. Ia menanggung beban rumah tangga yang tidak tanggung-tanggung. Merawat Sari sedari kecil, hidup dengan uang yang tidak manusiawi dari Gilang, bersabar dengan sikap semena-mena suaminya. Tapi, hal yang tidak bisa ia hilangkan adalah cinta! Ia mencintai Gilang! Meskipun Sari juga menjadi alasannya untuk bertahan.

Begitulah cinta, ia datang untuk memaafkan.

Gilang lebih rumit hidupnya.

Ia tahu kalau Maya menderita, ia tahu kalau Maya kekurangan uang. Tapi, otaknya sudah konslet, uang gajinya semua ludes untuk foya-foya, uang gajinya habis untuk mentraktir teman sekantor dan teman di kampung. Rasa bersalah itu selalu muncul dalam dirinya, tapi bodohnya ia tak pernah bisa nge rem tabiat, tidak bisa membatasi uangnya ketika sedang nongki-nongki.

Apalagi ketika Mirna dan Ibunya meminta duit, ia tidak bisa berkata tidak! Karena mendiang orang tuanya memberi amanah, cukupi kebutuhan ibumu, cukupi kebutuhan adikmu!

Dan ketika ia dan Maya ribut di rumah ketena urusan duit, alih-alih menjelaskan dengan baik, Gilang tersulut emosinya, menampar, membentak, hingga kemudian di luar rumah pikirannya mulai waras dan menyesal.

Gilang mencintai Maya itu benar, tapi Gilang tidak memperlakukan Maya dengan baik!!

Beberapa hari setelah cekik-cekikan.

Ternyata firasat Gilang benar.

Di warung, teman-teman Gilang tertawa terbahak-bahak.

"Jadi kau nggak keluar tumah beberapa hari ini karena dipukuli?"

"Lang.. lang, masa kalah sama istri?!"

Wajah Gilang merah padam, merasa malu.

"Itu kecelakaan, nggak seperti yang kalian kira! Istri ku itu lembut, sabar, nggak mungkin berani mukul!" Sanggah Gilang.

"Alah.. nggak usah malu bro, semua orang juga udah tahu kalau kau itu habis dipukuli sama istri."

"Iya benar, tapi kalau dipikir-pikir istri kamu hebat juga Lang, jangan-jangan ia punya bakat jadi petarung MMA."

Mereka tertawa, kecuali Gilang yang kesal. Ia kesal diceritakan orang sekampung, kesal dianggap cemen. Tapi ketika ia ingat saat Maya marah kemarin, wajah istrinya itu kayak singa lagi ngamuk, membuat Gilang merasa ngeri sendiri, dan berpikir dua kali untuk marah-marah lagi.

Dibalik warung itu, kebetulan Maya mendengar perbincangan mereka.

Maya tersenyum sedikit, ia kasihan sama Gilang, tapi ia juga lega karena Gilang sama sekali tidak berkata buruk tentangnya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!