Sekuel dari Bunga dan Trauma.
Jelita Anindya memutuskan pindah ke desa tempat tinggal ayah dari papanya, sebuah desa yang dingin dan hijau yang dipimpin oleh seorang lurah yang masih muda yang bernama Rian Kenzie.
Pak Lurah ini jatuh cinta pada pandangan pertama pada Jelita yang terlihat cantik, anggun dan tegas. Namun ternyata tidak mudah untuk menaklukkan hati wanita yang dijuluki ‘Iced Princess’ ini.
Apakah usaha Rian, si Lurah tampan dan muda ini akan mulus dan berhasil menembus tembok yang dibangun tinggi oleh Jelita? Akankah ada orang ketiga yang akan menyulitkan Rian untuk mendapatkan Jelita?
follow fb author : mumuyaa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mumu.ai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cerita Itu
Rian yang tengah duduk santai sore itu di halaman belakang rumah tampak tidak benar-benar santai. Kedua kakinya menggoyang-goyang tanah, tangannya mengetuk-ngetuk lutut, dan tatapannya kosong menembus pekarangan. Ia bahkan tak sadar kalau sejak lima menit lalu ibunya memperhatikannya dari dapur.
Bu Sri akhirnya keluar membawa sepiring pisang goreng yang masih hangat, aroma manisnya langsung memenuhi udara.
“Kenapa melamun?” tanyanya sambil meletakkan piring di meja kecil di samping putranya. Nada suaranya lembut, tapi penuh selidik yang menjadi nada khas seorang ibu yang tahu ada sesuatu yang sedang dipikirkan anaknya.
Rian tersentak kecil, lalu mencoba menampilkan senyum santai. “Nggak ada apa-apa, Bu.”
Ia mengambil satu pisang goreng yang masih mengepul dan menggigitnya perlahan, menahan panas yang langsung terasa di lidah.
Bu Sri duduk di sampingnya, menyilangkan kaki. “Masalah di kelurahan? Tanah waris itu masih ribut, ya?”
“Nggak kok, Bu.” Rian menggeleng cepat, mungkin terlalu cepat. “Nggak ada masalah.”
Bu Sri mendengus pelan. “Ndak usah bohong sama Ibu. Kelihatan banget dari muka kamu itu, kusut kayak baju belum disetrika.”
Rian hanya bisa mendesah, menatap langit, merasa hidup ini terlalu sulit terutama kalau ibunya ikut membaca pikirannya.
Setelah beberapa detik menunggu jawaban yang tak kunjung keluar, Bu Sri memiringkan kepala, lalu bertanya dengan nada yang lebih pelan, tapi menusuk.
“Soal cucunya Pak Doni, ya?”
Pisang goreng yang sedang dikunyah Rian hampir tersedak. Ia buru-buru batuk kecil, air matanya keluar karena kaget dan malu.
“Bu… kok Ibu tahu?” tanya Rian dengan suara pelan, seperti anak kecil ketahuan curang.
Bu Sri tersenyum sok misterius. “Lho, kamu itu kalau lagi suka sama orang, gayanya kelihatan banget. Gelisah, diem, terus senyum sendiri kayak orang habis dipuji presiden.”
Rian menutup wajahnya dengan satu tangan. “Bu… jangan dilebihin…”
“Tapi bener, kan?”
Rian akhirnya mengangguk kecil. “Iya, Bu. Jelita… tapi kayaknya dia dingin banget sama aku. Mau dideketin susahnya minta ampun.”
Bu Sri menepuk pelan bahu anaknya. “Lha wong perempuan itu memang begitu, Nak. Apalagi yang pintar, yang punya wibawa. Ndak bisa kamu samakan sama yang lain. Jangan kasar, jangan buru-buru. Harus halus…”
Ia kemudian tersenyum geli. “Dan jangan lari-lari ngejar dia di jalan kampung. Satu kampung sudah lihat itu, lho.”
Rian menegakkan badan, kaget. “Bu! Ibu tahu dari mana?!”
“Sini…” Bu Sri mencondongkan tubuh sedikit dan berbisik, “Ibu-ibu pengajian sudah heboh dari siang.”
Rian menutup wajah lagi, kali ini kedua tangan. “Astaga… malunya…”
Bu Sri tertawa kecil sambil mengambil satu pisang goreng. “Lha, kalau kamu suka, bilang saja baik-baik. Deketin pelan-pelan. Jelita itu anak baik, dari keluarga baik. Kalau kamu sungguhan, Ibu dukung.”
Rian menatap ibunya, sedikit lebih lega. “Tapi… Bu, dia dingin banget.”
“Perempuan dingin itu biasanya hatinya hangat kalau sudah percaya,” jawab Bu Sri sambil mengedip.
Rian terdiam. Ada harapan kecil tumbuh.
Bu Sri menambahkan, “Besok kamu antar makanan ke rumah Kakek Doni. Bilang titipan Ibu. Itu kesempatan kamu ngobrol. Ndak usah grogi. Yang penting sopan.”
Rian tersenyum untuk pertama kalinya sejak pagi dirinya yang ditinggalkan oleh Jelita di jalanan.
“Siap, Bu,” ucapnya mantap.
Bu Sri menepuk pipinya pelan. “Lurah kok minder. Masa kalah sama cucunya Kakek Doni yang kalem itu.”
Rian hanya bisa tersipu.
“Tapi…” ucapan Bu Sri terpotong. Kali ini wanita paruh baya itu menatap serius ke arah sang putra.
“Jangan pernah kamu beri harapan pada Nadya kalau memang tidak mau dengannya. Pertegas dengan dia.”
Rian kemudian terdiam. Dirinya sadar jika dirinya tidak segera ‘menyingkirkan’ Nadya segera, pasti akan aja terus salah paham antara dirinya dan juga Jelita.
“Tapi… gimana cara ngomongnya?”
Keesokan paginya, seperti ucapan Bu Sri, pagi itu Rian datang ke rumah Kakek Doni sembari membawa masakan sang ibu yang kembali menjadi ‘alibi’ nya pagi itu.
“Beneran dari ibu kamu… atau ini cuma alasan kamu aja biar bisa ketemu sama cucu saya?” Sepertinya percuma dirinya berpura-pura sebab Kakek Doni pun mengetahui jika ini hanyalah akal-akalannya saja.
“Tapi ‘kan Rian memang sering bawain makanan buat Kakek,” bela Rian.
“Ya… ya… Tetap saja kamu alasan.” Kakek Doni memimpin langkahnya masuk dan diikuti oleh Rian di belakangnya. Tadi Kakek Doni mengajak Rian untuk ikut bergabung dengannya yang akan sarapan.
“Belum keluar dari kamarnya…” ucap Kakek yang tahu jika Rian tengah mencari keberadaan sang cucu.
Rian hanya bisa cengengesan karena kembali ketahuan. Ia melangkah pelan sembari memperhatikan setiap foto yang terpajang di rumah itu. Rian memang sering bermain dan berkunjung ke rumah Kakek Doni, namun baru kali ini dirinya sampai masuk ke dalam rumah.
Di barisan foto itu terlihat sebuah foto besar yang terlihat seperti potret keluarga besar. Kakek Doni terlihat duduk disebuah kursi dikelilingi oleh banyak beberapa anak muda yang sepertinya mereka adalah cucu-cucu beliau. Di Belakangnya ada dua pasang suami istri yang Rian kira adalah anak dan menantu Kakek Doni.
“Pasti yang ini ibunya Jelita,” gumam Rian dan menunjuk seorang wanita yang berdiri dibelakang Kakek Doni.
“Itu Tantenya, bukan ibunya,” ucap Kakek tiba-tiba dan membuat Rian terkejut.
“Tantenya ya, Kek? Tapi lebih mirip kesana, makanya Rian kira ini ibunya,” ujar Rian.
Lalu kemudian pria itu menunjuk ke arah pasangan lain yang berada di sisi Kakek Doni. “Berarti ini orang tua Jelita.”
Rian memperhatikan dengan seksama kedua orang tua gadis yang ia sukai.
“Papanya Jelita kayak galak gitu, Kek,” kata Rian yang membuat Kakek Doni tertawa cukup lebar.
“Galak galak gitu, dia yang terhebat. Nggak ada yang bisa kalahkan dia,” ujar Kakek Doni. Rian bisa lihat jika tatapan mata Kakek Doni penuh kebanggaan ketika bercerita tentang putranya itu.
Rian hanya bisa mengangguk. Lalu kemudian Kakek Doni menatap serius ke arahnya.
“Keluarga kami penuh liku dan cerita, terutama bagi Jelita. Kalau kamu memang serius ingin mendekati cucu saya itu, dan ingin menjalin hubungan serius dengannya, apakah kamu siap… ikut menerima semua cerita itu?”
****
maaf author lama updet lagi, kemarin ada adik yang nikah, jadi cuapeeek pooll. Terus tiba-tiba blank dan susah buat konsentrasi. Ehehhe
Jangan lupa vote, like dan kalau bersedia kasih sesajen buat author, ya biar makin semangat nulisnya 🥰🥰
cabe setan 1 kg 90
rawit 1 kg 70.... ya allah.....😭😭😭😭😭 bawang merah 1 kg 50
Rian harus siapkan mental menghadapi papa Fadi dan kakek Doni
😁
Pak Lurah tolong ya diperjelas, statusnya Nadya buat pak Lurah itu apa. Jangan sampai warganya bergosip lagi lho😂