Ketika perjodohan menjadi jalan menuju impian masing-masing, mungkinkah hati dipaksa untuk menerima?
Faradanila, mahasiswa S2 Arsitektur yang mendambakan kebebasan dan kesempatan merancang masa depan sesuai mimpinya.
Muhammad Al Azzam, seorang CEO muda yang terbiasa mengendalikan hidupnya sendiri—termasuk menolak takdir.
“Kalau Allah yang menuliskan cinta ini di akhir, apakah kamu masih akan menyerah di awal?”-Muhammad Al Azzam.
Di antara keindahan Venezia, rasa-rasa asing mulai tumbuh.
Apakah itu cinta… atau justru badai yang akan menggulung mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azzurry, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hijrah Rasa -11
15 jam perjalanan yang melelahkan.
Dari Jakarta ke Istanbul. Transit. Lalu terbang lagi menuju Venezia.
Di dalam kabin yang temaram, Farah menatap langit malam dari jendela pesawat. Di bawah sana, hanya ada hamparan gelap yang berkilauan sesekali, mungkin lautan, mungkin daratan yang jauh. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya.
Di sampingnya, Azzam masih terlelap. Napasnya stabil, matanya terpejam tanpa beban.
Berbeda dengan Farah.Matanya sulit terpejam sejak mereka meninggalkan Jakarta. Ada sesuatu yang membuat dadanya sesak. Mungkin ini kelelahan. Mungkin ini perasaan asing yang belum bisa ia definisikan.
Saat pesawat mulai menurunkan ketinggian, dan lampu-lampu kota mulai terlihat di kejauhan, Farah merasa sesuatu dalam dirinya perlahan meluruh.
Akhirnya.
Venesia. Kota yang selama ini hanya ada dalam imajinasinya. Kini nyata di hadapannya.
Bandara Marco Polo terasa lebih sunyi dibanding bandara-bandara besar yang pernah ia singgahi.
Udara malam menyambutnya dengan sejuk. Ada aroma khas yang ia hirup dalam-dalam, garam laut, air kanal, kayu tua yang lembab. Aroma yang terasa asing, tapi juga menenangkan.
Farah menarik jaketnya lebih rapat saat mereka berjalan menuju dermaga bandara. Suara koper berderak di atas lantai kayu, berpadu dengan desiran angin yang menyapu rambutnya. Di belakangnya, Azzam melangkah pelan, diam.
Dan Farah bersyukur akan itu.
Malam ini, ia tak ingin berdebat. Ia hanya ingin menikmati kota ini dengan tenang.
Lampu-lampu kecil di dermaga memantulkan cahaya ke permukaan air yang tenang. Kanal membentang luas, berkilau di bawah sinar lampu, menciptakan ilusi seolah kota ini terbuat dari emas cair.
Seorang pria tua dengan wajah penuh garis-garis kehidupan menyambut mereka. Jaket kulit lusuh membungkus tubuhnya, tapi senyumannya hangat.
"Buonasera, signorina. Dove andiamo?"
(Selamat malam, nona. Kita mau ke mana?)
Farah ingin menjawab, tapi lidahnya terasa kelu. Ia melirik Azzam yang kini berdiri tepat di sampingnya.
Lalu, tanpa menoleh, Azzam menjawab.
"Cannaregio."
(Salah satu kota di Venezia)
Pria tua itu mengangguk, tersenyum kecil. "Ah, Cannaregio... Il cuore di Venezia. Andiamo."
(Ah, Cannaregio... Jantungnya Venesia. Ayo pergi)
Dengan cekatan, Pria tua itu membantu mereka memasukkan koper ke dalam motoscafo—taksi air yang akan membawa mereka menembus jantung kota.Farah dan Azzam segera naik ke motoscafo.
Lalu, perlahan, mereka meluncur di atas permukaan kanal.
Farah duduk di tepi perahu, membiarkan angin malam menyentuh wajahnya. Rambutnya berkibar ringan.
Di kedua sisi kanal, bangunan-bangunan tua berdiri anggun, beberapa diterangi lampu redup, yang lain tertutup bayangan. Jendela-jendela kecil memancarkan cahaya keemasan. Venesia terasa seperti sebuah kota yang terjaga dalam mimpi.
Tenang. Misterius. Seakan setiap batu dan airnya menyimpan cerita yang telah berusia berabad-abad.
Di sampingnya, Azzam masih diam.
Farah meliriknya sekilas. Cahaya lampu dari kanal menciptakan bayangan lembut di wajahnya. Pria itu tampak menikmati perjalanan ini, atau mungkin sedang larut dalam pikirannya sendiri.
Dan entah kenapa, Farah tidak keberatan.
Malam ini, ia ingin membiarkan segalanya mengalir begitu saja. Ia menutup matanya, merasakan kedamaian yang sudah lama tak ia rasakan.
Saat motoscafo akhirnya merapat di Cannaregio, langit sudah sepenuhnya gelap.
Lampu-lampu dari gang sempit menciptakan refleksi keemasan di permukaan air.Udara malam terasa lebih dingin.
Farah bangkit, bersiap turun.
Tapi saat ia hendak melangkah, Azzam tiba-tiba mengulurkan tangan.
"Hati-hati, Fa." Suaranya pelan. Lembut.
Farah terdiam. Ia menatap tangan itu. Lalu ke wajah pria itu. Ada sesuatu di sana—sesuatu yang jarang ia lihat.
“Kenapa?Ayo,” ujar Azzam, saat Gadis itu tak kunjung menerima uluran tangannya.
Lalu Farah meraih uluran tangan pria itu dan turun dengan hati-hati.
"Apa mungkin dia kesambet hantu baiknya Venezia. Apa iya?" Gumam Farah dalam hati, berusaha mengabaikan sesuatu yang bergemuruh pelan di dadanya.
Setelah mereka turun dari taksi air, Azzam segera membayar, lalu segera menghubungi pengurus apartemen mereka.
Sementara itu, Farah berdiri diam di dermaga.
Memandang kota ini sekali lagi.
“Venezia,” gumamnya pelan.
“Hei … jangan dekat-dekat.” Teriak Azzam. “Nanti lompat lagi.” Sambungnya lagi.
Farah mendelik. “Bawel.”
“Ayo,” Ajak Azzam, tapi gadis itu masih diam di tempatnya. “Malah bengong lagi ni bocah.” Azzam menghampiri Farah dan menarik gadis itu.
“Nggak usah tarik-tarik,” tolak Farah tapi, Azzam masih terus menariknya.
Keduanya melangkah menuju toko kecil milik Tuan Pietro, pria tua yang telah mengurus apartemen Azzam selama dua tahun terakhir. Letak tokoh hanya beberapa meter dari dermaga, hanya berjalan sebentar akhirnya mereka sampai di depan tokoh
Tuan Pietro menyambut mereka dengan senyum hangat.
"Ciao, benvignù sior Azzam e siora!" sapanya dengan logat Italia yang kental.
(Halo, selamat datang Tuan Azzam dan Nyonya)
"Questo xe el to appartamento, l'ò netà quando che el sior Azzam me ga ciamà. Par piaser, riposève, spero che sia comodo."
(Apartemen Anda, saya sudah membersihkannya ketika Tuan Azzam menelepon saya. Silakan beristirahat, saya harap tempatnya nyaman.)
Azzam mengulas senyum lalu menjawab. “Grazie, signore.”(Terima kasih, Pak)
Sementara Farah gadis itu hanya mengangguk sopan, meskipun bahasa Italia masih asing di telinganya. Tetapi ia sedikit mengerti ucapan pria itu.
Tuan Pietro lalu menyerahkan kunci apartemen pada Azzam kembali berucap.
"Spero che stè ben e che ve trovè a vostro agio qua. Se gavé bisogno de qualcosa, vegnì al me negozio."
(Saya harap kalian baik-baik saja dan merasa nyaman di sini. Kalau kalian butuh sesuatu, datanglah ke tokoh saya.)
"Grazie, signore," Azzam mengulas senyum, Lalu meraih kunci yang di berikan Tuan pietro.
(Terima kasih)
Farah melirik Azzam sekilas. Bagaimana pria ini bisa begitu akrab dengan seseorang di kota sejauh ini? Seakan dia bukan sekadar pendatang di Venesia.
Tanpa banyak bicara, mereka pun berjalan menuju apartemen. Menyusuri lorong-lorong sempit kota Cannareigo. Hanya berjalan kaki sekitar 20 menit akhirnya mereka tiba di gedung apartemen dengan gaya Klasik, Begitu pintu terbuka, Farah terpaku.
Apartemen ini lebih luas dan lebih mewah dari yang ia bayangkan, luarnya terlihat biasa saja siapa sangka dalamnya cukup mewah. Mungkin jika ia harus menyewah Apartemen seperti ini, mungkin ia akan membayar dengan angka Fantastik selama tiga tahun .
Langit-langit tinggi dengan lampu gantung kristal. Lantai marmer memantulkan cahaya keemasan. Sofa beludru biru tua tertata rapi di ruang tamu. Jendela besar menghadap kanal, memperlihatkan permukaan air yang berkilauan di bawah lampu jalan.Sempurna. Terlalu sempurna.
Farah melangkah masuk, mengedarkan pandangannya. Ada rak buku besar memenuhi satu sisi dinding, meja kayu mahoni yang terlihat mahal, dan lukisan klasik yang tergantung di atas perapian.
Jantungnya berdegup. Ia tidak pernah menyangka bahwa Azzam memiliki apartemen seperti ini di Venesia.
"Ini kamar kita," suara Azzam memecah mengalihkan atensi Farah.
Farah menoleh. Azzam sudah berdiri di depan pintu kamar utama, menatapnya dengan ekspresi tenang.
Farah mengerutkan kening. "Kita?"
Azzam mengangguk. "Hm.. saya dan Kamu?
Farah masih mengedarkan pandangannya keseluruh penjuruh ruangan.
“Harus banget sekamar?”
Azzam masuk kedalam kamar dan meletakkan kopernya dan koper Farah disamping lemari.
“ Hm.. sesuai kontrak kita kan,” ucap Azzam.
Farah memutar bola matanya malas. “Aku nggak mau tidur sekamar.”
Azzam mengernyit heran. “ Kenapa?”
“Ya … nggak mau. Nanti Mas, macam-macam lagi,” Farah bergidik negeri, lalu berjalan mengintari kamar itu.
“Emang kenapa, mau saya seribu macam pun nggak masalah kamu istri saya,” ujar Azzam seraya menaik turunkan kedua alisnya.
Farah mendengus kesal, sembari duduk di tepi tempat tidur. “ Pokoknya aku nggak mau. TITIK.”
“Kamu harus mau.TITIK,” keukeh Azzam. Pria itu hendak masuk kedalam kamar mandi lalu menghentikan langkahnya.” Dalam kontrak kita, kamu harus nurutin saya selaku suami. Yah, walaupun pernikahan ini cuma perjanjian, tapi secara agama, kita sah."
Farah memutar matanya malas. “Ngancam aja terus.”
Azzam terkekeh. “ Saya cuma mengingatkan kewajiban kamu.” Lalu pria itu melanjutkan langkahnya yang tertunda.
Kesal, tentu Farah kesal, pria itu selalu bertindak semaunya tanpa berpikir bagaimana dengan dirinya. Entah sampai kapan pria ini akan menyulitkan hidupnya?
Setidaknya di sini, jauh dari orang tua mereka, ia bisa lebih bebas. Tidak ada yang akan tahu bagaimana kehidupan rumah tangga mereka selama di Venesia.
Setelah membereskan barang-barang mengemasnya ke dalam lemari Farah bergegas menuju dapur, perutnya sejak tadi sudah meminta di isi. Saat membuka kulkas Farah cukup tercengang ternyata isinya cukup banyak dan semua makanan kesukaanya ada di sana. Farah mengulas senyum, ternyata pria itu cukup peka
Mungkin saja pria itu sudah meminta penjaga apartemen untuk mengisinya.
Gadis itu mengambil sebungkus yogurt rasa strawberry dan dua bungkus spaghetti instan, sosis dan bahan lainnya.Sebelum memasak, Farah terlebih dulu mengganjal perutnya dengan yogurt.
Tiba-tiba, Azzam muncul menghampiri. Gaya santainya tampak segar dengan kaos putih oblong dan celana jeans selutut yang pas di tubuhnya.
“Mau ngapain?” Tanya Azzam sembari mengambil segelas air di meja pantry.
Farah memutar bola matanya malas. “ Bisa lihatkan?”
Pria itu menaikan kedua alisnya dan bibirnya membulat sempurna. “Nanya doang, sensi amat bu.”
“Sana pergi.” Usir Farah sembari mengambil peralatan masak pada kitchen set.
Alangkah terkejutnya Farah tiba-tiba pria itu muncul di sampingnya.
“ASTAGA…” Pekik Farah, gadis itu memegang dadanya karena terkejut.
“Biasa aja,”ucap Azzam, “Sana duduk, biar saya yang masak.” Pintah pria.
Farah memicingkan pandangannya.”Emang Mas, bisa masak.”
Azzam tidak menjawab. Pria itu mengambil alih tempat Farah hingga menyuruh gadis itu duduk di kursi pantry.
Farah terlihat enggan beranjak, tetapi kalau boleh jujur ia sebenarnya juga lelah setelah penerbangan dari indonesia, karena perutnya terus minta di isi akhirnya ia berinisiatif memasak sendiri.
Tatapan gadis itu tak beralih pada Pria berkaos putih yang terlihat lihai dengan spatulanya .
Tak butuh waktu lama, masakan Azzam pun selesai. Ia menata dua piring spaghetti dengan topping yang menggoda, lalu membawanya ke meja pantry.
Azzam lebih dulu melahap makanannya dengan lahap. Sementara itu, Farah hanya menatapnya tanpa banyak bicara. Menyadari tatapan gadis itu, ia pun berhenti sejenak.
Azzam memicingkan pandangannya. “Makan.”
Farah menggeleng.”Ini amankan Mas,? Ini nggak ada racunnya kan?”
“Ish.” Azzam mendesis sembari tangannya terangkat siap menyentil kening Farah. Tapi dengan sigap gadis itu memundurkan kepala.
“Mas, Mau KDRT.” Farah menyilangkan tangan di dadanya.
“Makan.”
“Nggak. “
“Makan,”
“Nggak mau.”
“Yauda sini makanannya ,biar saya yang makan,”ucap Azzam hendak mengambil makanan milik Farah.
Dengan sigap Farah menahannya. “Enak aja, ini punya aku.”
Azzam memutar bola matanya malas. “Yauda makan.”
“Ini aku nggak matikan Mas, makan ini.” Farah nyengir kuda.
“Ya, mati kalau malaikat izrail nyabut nyawa kamu,” ujar Azzam.
“Ish…” Farah mendesis kesal. Akhirnya ia mengalah dan memakan makanan buatan Azzam. karena memang ia sudah sangat lapar.
Azzam pria tersenyum menang, ketika gadis itu memakan masakan buatannya dengan lahap. Saat Farah sibuk dengan makanannya Pria itu masuk kekamar dan tak lama terlihat Pria itu kembali menghampiri Farah.
Farah baru saja menyelesaikan makan malamnya dan mencuci piring bekasnya sendiri. Azzam sudah lebih dulu mencuci piring yang ia gunakan, lalu kini duduk di kursi pantry, menunggu Gadis itu.
Terlihat Farah mengeringkan tangannya sehabis mencuci piring, Azzam berdiri menghampiri dan menyodorkan sebuah black card.
“Buat?” Tanya Farah datar.
“Pakai kartu ini buat kebutuhan kamu,” ucap Azzam menyodorkan black card itu. “ Ambil.”
“Nggak usah aku udah punya.” Tolak Farah, sembari melangkah menuju sofa di ruang tamu.
Azzam menarik tangan Farah membuat langkah gadis itu tiba-tiba berhenti.
“Apa sih, tarik-tarik.” Kesal Farah menarik tanganya.
“Ambil nggak, atau saya cium.” Pinta Azzam sembari menarik paksa tangan Gadis itu untuk menerimanya.
“Ish…” Farah mendesis kesal. “Nih, kartunya saya ambil.” Sembari menempelkan black card pada keningnya.
Azzam tergelak menahan tawanya. Hingga gadis itu berlalu pergi.
____
Pukul 10 malam waktu venezia, pria itu baru saja menyelesaikan pekerjaanya. Ia keluar dari ruang kerjanya. Sebelum masuk ke kamar Azzam hendak ke dapur untuk mengambil segelas air.
Tapi langkahnya terhenti saat mendapati Farah gadis itu sedang tidur di sofa.
Bukannya ke dapur Azzam malah menghampiri Gadis itu.
Senyum simpul terukir diwajah Pria itu, dengan gerakan pelan Azzam menyelipkan tangannya ditekuk dan dibawah lutut gadis itu lalu mengangkatnya.Langkahnya pelan sangat pelan karena takut Farah terbangun.
Tapi, baru saja sampai di depan pintu kamar, gadis itu terbangun.Matanya membulat sempurna.
“Ngapain sih? Turunin,”rontak Farah.
“Diam. Atau saya lepas,” ancam Azzam. “Saya cuma mau bawa kamu ke kamar.”
Farah menggeleng cepat. "Nggak. Aku tidur di luar aja." Dengan cepat Farah melompat dari gendongan Pria itu.
Azzam hanya mengangkat bahu. "Terserah kamu."
Pria itu langsung merebahkan tubuhnya di kasur king-size, sementara Farah berdiri di ambang pintu, masih bimbang.
Dengan wajah kesal dan setengah kantuk, ia kembali ke ruang tamu, lalu menjatuhkan tubuh di sofa.
“Kuat-kuat ya Fa…" gumam Farah pada dirinya.
Farah menarik selimut tipis yang ada di sana. Matanya terasa berat, tubuhnya lelah setelah perjalanan panjang.Ia memejamkan mata sejenak, membiarkan pikirannya melayang.
"Nggak nyangka sekarang Aku di Venezia.”Sebuah senyum kecil muncul di bibirnya.
Namun, sebelum ia bisa benar-benar terlelap—
TUK. TUK.
Farah menegang. Matanya membulat sempurna.
Ketukan pelan terdengar dari pintu apartemen.
Jantungnya mulai berdetak lebih cepat.
Siapa yang mengetuk?
Mereka baru saja tiba. Tidak ada yang mengenal mereka di sini.
TUK. TUK.
Lebih keras kali ini.
Farah menelan ludah, menoleh ke arah kamar Azzam. Tapi pria itu pasti sudah tidur atau mungkin pura-pura tidak peduli.
Dengan sedikit ragu, Farah melangkah ke pintu dan bertanya: "Chi è?" (Siapa)
Tidak ada jawaban.
TUK. TUK.
Farah merinding. Ada sesuatu yang tidak beres.
Tiba-tiba—
BRUK!
Pintu bergetar. Seseorang atau sesuatu menekan dari luar.
Farah mundur cepat, napasnya memburu.
Pikiran buruk mulai berkecamuk di kepalanya.
Jari-jarinya bergetar, tetapi ia berusaha tetap tenang.
Namun, suara itu kembali.
TUK. TUK.
Suara itu Lebih cepat. Lebih keras.
Farah langsung berlari ke kamar di mana Azzam berada.Dengan napas memburu, ia menarik selimut pria itu dan langsung memeluknya erat.
Azzam, yang awalnya sedang sibuk dengan ponselnya, menegang. Farah menggenggam kausnya dengan erat, wajahnya tertanam di dadanya.
"Fa, hei kenapa?" suara Azzam terdengar heran.
Farah tidak menjawab. Tubuhnya masih gemetar.
"Kenapa sih?" Tanya Azzam penasaran.Farah masih menempel di dadanya, jantungnya berpacu.
Pelan-pelan Farah menatap Azzam,Posisinya kini memeluk pria itu dan berucap.
“Aku tidur sama Mas, ya … disini."
***
Hola...
Jangan lupa Like, komen dan subscribe
Follow juga Authornya.
Kamshammida.