NovelToon NovelToon
Cahaya Yang Ternodai

Cahaya Yang Ternodai

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / One Night Stand / Romansa / Bad Boy / Idola sekolah
Popularitas:329
Nilai: 5
Nama Author: Itz_zara

Hujan deras malam itu mengguyur perkampungan kecil di pinggiran kota. Lampu jalan yang redup hanya mampu menerangi genangan air di jalanan becek, sementara suara kendaraan yang melintas sesekali memecah sunyi. Di balik dinding rumah sederhana beratap seng berkarat, seorang gadis remaja duduk memeluk lututnya.

Alendra Safira Adelia.
Murid kebanggaan sekolahnya, panutan bagi teman-temannya, gadis berprestasi yang selalu dielu-elukan guru. Semua orang mengenalnya sebagai bintang yang bersinar terang di tengah gelap. Tapi hanya dia yang tahu, bintang itu kini nyaris padam.

Tangannya gemetar menggenggam secarik kertas—hasil tes yang baru saja ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Tulisan kecil itu menghantam seluruh dunia yang telah ia bangun: positif.

Air mata jatuh membasahi pipinya. Piala-piala yang tersusun rapi di rak kamar seakan menatapnya sinis, menertawakan bagaimana semua prestasi yang ia perjuangkan kini terasa tak berarti.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itz_zara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

11. Mencari Tahu

Kantin langsung berubah lebih riuh ketika geng Ravenclaw masuk. Aura mereka memang selalu menarik perhatian. Darren dengan langkah tenangnya, Aksa sambil memainkan kunci motor di jari, Alvaro cuek dengan tangan masuk saku, Kenzo yang sibuk bercanda dengan Axel, sementara Julian dengan gaya sok santainya berjalan paling depan. Dan tentu saja, Rayven—dengan tatapan dingin, tanpa ekspresi, tapi justru itu yang membuat banyak pasang mata terus mengikutinya.

“Eh, Ravenclaw masuk!” bisik beberapa siswi yang duduk di dekat pintu. Suara lirih itu cepat menyebar, membuat sebagian besar penghuni kantin menoleh.

Geng Ravenclaw memilih meja panjang di tengah, yang langsung kosong karena beberapa siswa buru-buru menyingkir memberi tempat. Julian menjatuhkan tubuhnya ke kursi dengan santai, lalu menyapu pandangannya ke sekeliling kantin.

Sampai matanya berhenti pada satu titik. Tepat di meja pojok, tempat Alendra, Selena, Nayla, dan Elvira duduk.

Julian mendecakkan lidah sambil nyengir. “Woy, lo liat tuh cewek yang duduk di sana,” katanya sambil menunjuk terang-terangan ke arah meja Alendra. “Cantik parah, sumpah.”

Kenzo langsung ikut menoleh. “Yang mana? Yang rambutnya diikat dua itu?” tanyanya, menunjuk ke Selena.

“Bukan, bego,” Julian mendengus. Jarinya sedikit bergeser, tepat mengarah ke Alendra. “Itu. Yang pake seragamnya rapi banget, duduknya kalem. Manis abis.”

Aksa terkekeh, menepuk bahu Julian. “Playboy cap badak lo emang nggak bisa hilang ya, Jul. Baru juga kelar pertandingan, mata lo udah nyari korban baru.”

Darren menggeleng sambil menghela napas. “Jangan bikin heboh di kantin, Jul. Kasian ceweknya diliatin orang sekantin.”

Julian hanya tertawa. “Santai aja, gue cuma bilang dia cantik. Nggak salah kan?”

Sementara itu, Rayven yang duduk di ujung hanya diam. Tatapannya sempat singgah pada sosok Alendra, lalu buru-buru dialihkan ke meja sendiri. Dari luar, ia tampak sama sekali tak peduli, tetap dingin seperti biasanya.

Namun dalam hatinya, ada sesuatu yang bergejolak. Nama itu, wajah itu. Alendra. Gadis yang tadi sempat menatapnya di koridor. Gadis yang, entah kenapa, menimbulkan rasa bersalah sekaligus marah pada dirinya sendiri.

Cantik… batinnya lirih. Bukan hanya cantik, tapi juga familiar. Tatapannya terlalu menusuk, seolah-olah ada kebenaran pahit yang siap menyeret Rayven kembali ke masa lalu yang ia coba lupakan.

Rayven mengeratkan genggamannya pada botol minum. Dari luar, ia tetap dingin dan diam. Tapi dalam dadanya, detak jantungnya berdentum lebih cepat daripada saat pertandingan tadi.

 

Pulang sekolah, suasana halaman mulai sepi. Satu per satu siswa bergegas pulang, ada yang menuju halte, ada yang naik mobil jemputan, dan ada juga yang mengayuh sepeda. Alendra melangkah sendirian ke arah parkiran, setelah berpisah dengan Selena, Nayla, dan Elvira yang menuju ke mobil orang tua masing-masing.

Seperti biasa, ia mengambil jalan menuju deretan sepeda. Namun langkahnya mendadak terhenti ketika melihat letak sepedanya hari ini. Tepat di samping deretan motor-motor besar yang sudah diduduki oleh geng Ravenclaw.

Helm hitam berderet di stang, suara mesin beberapa motor sudah dipanaskan, dan tawa khas mereka terdengar jelas. Tubuh Alendra langsung menegang, jari-jarinya mencengkram erat tali tas.

“Itu…,” Julian yang duduk di atas motornya langsung menunjuk dengan dagu. Senyumnya lebar, seperti menemukan mainan baru. “Tuh cewek, bukannya yang gue bilang cantik tadi di kantin?”

Axel menoleh, lalu mengangguk dengan wajah penuh arti. “Bener. Itu yang namanya Alendra. Anak pinter di sekolah ini. Katanya koleksi pialanya aja udah banyak banget.”

“Alendra, ya…” Darren mengulang pelan, matanya mengikuti arah pandangan Axel.

Alendra menunduk, berusaha cepat-cepat meraih sepedanya tanpa menoleh sedikit pun. Namun jantungnya berdegup keras. Rasanya sesak sekali berdiri di tengah tatapan mereka.

Julian, yang memang nggak bisa diam, tiba-tiba bersiul kecil. “Wih, ternyata si anak pinter beneran cantik, ya. Pantes aja guru-guru suka, ternyata bukan cuma otaknya aja yang oke.”

Tawa kecil terdengar dari Kenzo dan Alvaro. Aksa hanya geleng-geleng kepala, sementara Darren tampak biasa saja.

Rayven? Ia hanya duduk diam di atas motornya. Tatapannya singgah sekejap pada Alendra, cukup lama untuk membuat dadanya kembali bergetar. Ada sesuatu yang asing sekaligus familiar dalam sosok gadis itu. Ia ingin bicara, tapi lidahnya kelu.

Alendra menunduk makin dalam, tangannya bergetar saat menarik sepedanya keluar dari sela motor-motor besar itu. Ujung tasnya sampai nyenggol spion motor Rayven, membuatnya semakin panik.

“Eh, hati-hati dong,” suara Julian meninggi, meski nada menggoda masih kental. “Nanti lo jatohin motor kapten kita lagi.”

Alendra langsung membeku. Ia buru-buru mengucap lirih, hampir tak terdengar, “M-maaf…”

Rayven menoleh cepat. Suara itu—lirih, rapuh, tapi menusuk. Ada perasaan aneh yang langsung menohok dadanya. Namun sebelum ia sempat membuka mulut, Alendra sudah mendorong sepedanya dengan terburu-buru, meninggalkan mereka tanpa menoleh sedikit pun.

Hening sejenak menyelimuti geng Ravenclaw, sampai akhirnya Julian kembali bersiul. “Ck, menarik banget tuh cewek. Gue jadi penasaran, Ven. Kayaknya cocok tuh buat kapten kita.”

Rayven tak menanggapi. Ia hanya menatap punggung Alendra yang semakin menjauh, tatapannya dalam, penuh pikiran yang tak bisa ia ungkapkan.

Rayven menyalakan motornya, suara mesinnya langsung menggelegar lebih keras dari yang lain. Semua mata geng Ravenclaw menoleh.

“Eh, lo mau kemana, Ven?” tanya Darren sambil mengerutkan dahi. “Kita kan biasanya nongkrong bareng dulu.”

Rayven memasang helmnya, menyembunyikan ekspresi wajah yang sedikit kaku. “Gue ada urusan. Kalian duluan aja.” Suaranya datar, tak memberi celah untuk ditanya lebih jauh.

Julian langsung bersiul usil. “Urusan atau… ada cewek?” godanya sambil tertawa keras.

Rayven hanya melirik tajam, membuat Julian buru-buru mengangkat tangan tanda menyerah. “Oke, oke, gue nggak nanya lagi.”

Tanpa menunggu, Rayven melajukan motornya keluar dari area parkiran. Angin sore menyapu wajahnya, tapi pikirannya masih penuh dengan sosok itu. Alendra. Gadis yang tadi dengan wajah pucat bergegas menuntun sepedanya.

Rayven mengurangi kecepatan motornya ketika melihat dari kejauhan Alendra sedang mengayuh sepedanya perlahan. Dari arah belakang, ia mengamati. Gerakannya tampak lemah, bahkan sesekali gadis itu harus berhenti sebentar, memegang perutnya, sebelum kembali mengayuh.

“Lo kenapa, sih…?” gumam Rayven pelan dari balik helm. Ada rasa aneh di dadanya—campuran penasaran, bersalah, sekaligus… takut.

Ia menjaga jarak agar tidak ketahuan, membiarkan motornya melaju pelan di belakang. Hingga akhirnya, Alendra membelok ke arah jalan kecil yang menuju sebuah bangunan sederhana dengan papan nama di depannya: Café D’Amour.

Alendra turun dari sepedanya, menata rambutnya sekilas di kaca jendela café, lalu melangkah masuk dengan senyum tipis yang dipaksakan.

Rayven menghentikan motornya tidak jauh dari sana, mematikan mesin, dan hanya menatap pintu café yang baru saja menelan sosok gadis itu.

“Jadi lo kerja di sini, Alendra…” bisiknya pelan. Jari-jarinya menggenggam erat stang motor, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.

Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Masuk dan berpura-pura jadi pelanggan? Atau pergi, pura-pura tidak pernah melihat apa-apa?

Tapi satu hal yang jelas, sejak hari itu nama Alendra tidak lagi bisa keluar dari pikirannya.

Rayven tetap duduk di atas motornya, helm masih terpasang rapat, pandangannya tak lepas dari café kecil itu. Dari balik kaca, ia bisa melihat siluet Alendra yang sudah mengenakan apron hitam, sibuk menyapa pelanggan pertama yang datang sore itu. Senyumnya terlihat ramah, meski tatapan matanya menyiratkan kelelahan yang dalam.

Rayven terdiam lama. Ada sesuatu yang menggelitik di dadanya, perasaan yang asing. Biasanya ia tidak peduli dengan orang lain, bahkan terhadap teman satu gengnya sendiri. Tapi kali ini, ia justru betah hanya untuk mengamati seorang gadis yang bahkan tak pernah bicara dengannya.

Tangannya mengetuk pelan stang motor, seolah menahan gelisah. Beberapa kali ia ingin turun, masuk ke café, dan melihat lebih dekat. Namun, setiap kali niat itu muncul, ia segera menggeleng pelan. “Nggak, Ven. Lo jangan aneh-aneh,” gumamnya.

Lampu jalan mulai menyala, menandakan sore beranjak menuju malam. Rayven akhirnya menarik napas panjang, menyalakan kembali motornya, lalu melajukannya perlahan menjauh dari café. Suara mesin yang berat memecah keheningan jalan kecil itu, namun ia tak menoleh ke belakang sekali pun.

Alih-alih langsung menuju markas Ravenclaw, Rayven memilih pulang ke apartemennya lebih dulu. Ia butuh tempat tenang untuk mengatur pikirannya yang berantakan. Begitu masuk ke unit apartemen mewah itu, ia melempar jaket ke sofa, lalu duduk di kursinya tanpa menyalakan lampu.

Hanya cahaya kota dari balik jendela besar yang menerangi wajahnya. Helmnya ia lepas, rambutnya sedikit berantakan, dan matanya menatap kosong ke arah gelap.

Bayangan Alendra di balik kaca café tadi masih jelas terpatri dalam kepalanya. Cara gadis itu tersenyum meski jelas lelah, cara ia menyembunyikan sakitnya, bahkan cara ia berusaha terlihat baik-baik saja. Semua itu menusuk Rayven dengan cara yang tidak bisa ia jelaskan.

“Kenapa gue mikirin dia terus?” bisiknya pelan, suara nyaris serak.

Ia menyandarkan kepala ke sandaran kursi, menutup mata, tapi justru semakin jelas bayangan wajah Alendra muncul di benaknya. Membuatnya resah. Membuatnya ingin tahu lebih banyak.

Malam itu, Rayven tidak langsung pergi ke markas seperti biasanya. Ia memilih duduk lama dalam diam, menunggu kegelisahan di dadanya reda—yang sayangnya, justru semakin menjadi-jadi.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!