 
                            Erina (29th) dipaksa Ayahnya bercerai dari suaminya. Erina dipaksa menikah lagi untuk menebus kesalahan Ayahnya yang terbukti telah menggelapkan uang perusahaan. 
Agar terbebas dari hukuman penjara, Erina  dipaksa menikah dengan Berry, seorang CEO dari perusahaan ternama tempat Ayahnya bekerja. 
"Tolong Nak. Ayah tidak ada pilihan lain. Bercerai lah dengan Arsyad. Ini jalan satu-satunya agar ayahmu ini tidak masuk penjara," Wangsa sangat berharap, Erina menerima keputusannya,
 
"Tinggalkan  suamimu dan menikahlah denganku! Aku akan memberimu keturunan dan kebahagiaan yang tidak kau peroleh dari suamimu." pinta Berry tanpa peduli dengan perasaan Erina saat itu.
Bagaimana Erina menghadapi polemik ini? Bagaimana pula reaksi suami Erina ketika dipaksa bercerai oleh mertuanya sebagai syarat agar Erina bisa menikah lagi?
Yuk baca kisah selengkapnya, seru dan menegangkan! Happy reading!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon FR Nursy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 11 Kedatangan Wangsa
"Bisa Bu. Boleh pinjam ponsel Ibu sekarang?"
Dengan antusias Erina menyerahkan ponselnya pada Razan. Dia berharap Razan mampu membantunya menemukan suami yang belum diketahui keberadaannya saat ini.
Mungkin ini sedikit lebay karena baru sekitar satu jam suaminya tidak mengangkat teleponnya, Erina jadi sangat khawatir. Bukan apa-apa, sejak kejadian kemarin firasat Erina menjadi memburuk karena ucapan ibu tirinya, Ayahnya dan sultan itu membuat hatinya ketar-ketir, khawatir mereka melakukan tindakan di luar batas pada suaminya agar impian mereka terwujud.
"Ibu ke dalam dulu ya! Ibu akan kembali segera," Erina membuka pintu mobil, lalu menuju rumahnya.
Rumah sederhana itu terlihat sepi karena memang anaknya pun ia titipkan di rumah tetangga yang tidak jauh dari tempat tinggalnya. Karena ia masih ada urusan lain maka anaknya belum bisa diambil. Dia membiarkan anaknya bersama tetangganya sampai urusannya selesai.
Erina langsung keluar rumah begitu selesai mengganti pakaiannya. Namun ia dikejutkan dengan kedatangan Ayahnya yang selama ini menuntutnya untuk bercerai.
"Erina! Untung kamu sudah ada di rumah. Masuk! Bapak mau ngomong."
Wangsa mencekal lengan Erina agar mau masuk ke rumahnya kembali.
"Ada apa sih, Pak! Bukannya urusan kita sudah selesai ya?" tanya Erina setelah berada di dalam rumah.
"Dasar bodoh! Apa kurangnya Tuan Berry sehingga kamu terang-terangan menolaknya, hah! Tuan Berry ganteng, cakep, kaya, seorang sultan yang hartanya tidak akan habis tujuh turunan. Kamu malah menolak Rizki yang benar-benar sudah ada di depan mata! Kamu tuh harusnya mikir, jangan egois. Lebih mentingin suami yang tak berguna itu. Dia itu sampah, buang saja! Ga guna jadi orang. Dia itu cuma tukang ojol tapi belagu ga mau ceraikan kamu!" ujar Wangsa penuh emosi.
"Pak cukup! Bapak tidak perlu hina suami Erin. Bagaimana pun dia menantu Bapak, yang dulu sempat Bapak banggakan karena keadaannya yang sedang berjaya. Kini suami Erin sedang terjatuh, harusnya Bapak beri dukungan pada Erin agar lebih sabar menghadapi rumah tangga Erin agar tidak hancur karena keadaan. Tidak ada seorang pun orang tua yang rela rumah tangga anaknya hancur kecuali Bapak. Harusnya Bapak bisa berpikir jernih, kami sudah berumah tangga dan rumah tangga Erin baik-baik saja jadi tolong jangan pisahkan Erin dengan suami Erin," berang Erin tidak terima suaminya dihina.
"Masalahnya Bapak harus melunasi hutang Bapak, Erin!" ujar Wangsa geram.
Erina menatap tajam Ayahnya. Tidak pernah terlintas sedikitpun ia akan menghadapi situasi seperti ini. Situasi dimana ia harus memilih antara Ayah atau suami.
"Pak...yang menikmati uang hasil korupsi itu siapa? Bukan Erin. Tapi istri Bapak yang dengan teganya menjadikan Bapak menjadi tikus di kantornya sendiri. Ini tidak adil bagi Erin. Kalau mau, dia dong yang seharusnya bertanggungjawab bukan Erin. Kalau memang uang itu habis tak bersisa, Bapak tinggal jual lagi rumah dan mobil yang jadi kebanggaannya. Jangan sampai istri Bapak yang menikmati hasilnya sementara Bapak harus menderita dan mau mengorbankan kebahagiaan Erin," protes Erin tidak mau kalah.
"Kalau kamu tidak mau menikah sama Sultan itu berarti kamu harus bantu Bapak mencari uang untuk melunasi hutang-hutang Bapak!"
"Pak!"
"Jangan bantah omongan Bapak. Kamu anak Bapak satu-satunya jadi harus nurut, paham!" Wangsa langsung pergi meninggalkan Erina yang syok dengan ucapan Ayahnya.
Gigi Erin bergemeletuk, rahangnya mengeras. Dia merasa tidak bisa mengatasi permasalahannya sendiri. Sedangkan masalah orang lain yang paling rumit pun ia sanggup mengatasinya dengan mudah.
Erina menganga tidak bisa mengucapkan apapun. Tubuhnya terkulai lemas. Ia terduduk di sofa. Erina merasa apa yang sudah ia katakan pada Ayahnya menjadi nol besar. Saran yang diberikan pada Ayahnya, ditolak mentah-mentah tanpa alasan yang jelas. Ayahnya lebih mencintai istrinya, Ayahnya lebih melindungi istrinya. Erina memejamkan matanya menekan kesabaran yang bertubi. Belum selesai masalah satu, timbul masalah lainnya.
Seorang lelaki berumur 16 tahun yang tadi berada di dalam mobil keluar dari persembunyiannya di balik tembok. Seraya tadi melihat Wangsa datang dengan mencekal lengan Erin, sehingga ia merasa khawatir dengan keadaan guru cantiknya itu.
Dengan cara mengintip dari sela-sela pintu, dia melihat secara langsung adegan Wangsa saat memarahi gurunya. Entah permasalahan apa yang dialami gurunya saat ini, yang jelas ia merasa prihatin. Kini dia berada di tengah pintu rumah Erin. Menatap lembut guru yang sedang menunduk lesu.
"Bu ..."
Erina mengangkat kepalanya, ada senyuman tipis di bibir anak didiknya. Ia berusaha ikut tersenyum sambil menyeka sudut matanya.
"Raz, sejak kapan kamu berada di situ?"
Erina hampir lupa dengan keberadaan Razan di rumahnya.
"Razan tadi mendengar kalian bertengkar. Maaf Razan tidak sengaja mendengarnya. Kalau Razan diberi kesempatan buat menolong Ibu, Razan siap Bu. Siap membantu Ibu. Ibu tinggal bilang nominalnya berapa untuk melunasi hutang bapaknya Ibu,"
Erina bergeming, dia tidak tahu siapa Razan. Namun Razan sudah mau membantunya. Seraya menghela nafasnya dengan panjang. Erina menghampiri anak remaja yang beranjak dewasa tersebut.
"Razan, Ibu percaya sebenarnya kamu anak baik. Biarkan masalah Ibu menjadi urusan Ibu. Terima kasih kamu punya niat baik untuk menolong Ibu. Tapi maaf Ibu tidak bisa menerimanya. Biarkan mereka bertanggungjawab dengan kelakuannya. Oiya gimana, kamu sudah mengetahui keberadaan suami Ibu?"
"Sudah Bu. Raz tahu tempatnya. Kita jalan sekarang?"
"Tunjukkan saja alamatnya. Biar Ibu mencarinya sendiri. Raz harus kembali ke sekolah sekarang. Nanti para guru mencarimu. Nanti dikira Raz diculik Ibu,"
Raz tertawa, "Mana ada. Mereka takut kalau memarahi Raz, Bu."
"Kok gitu?"
Razan tampak berpikir, kemungkinan besar guru yang ada di hadapannya itu tidak tahu tentang dirinya. Jadi lebih baik Razan menyembunyikan identitasnya. Nanti dengan seiring berjalannya waktu, gurunya akan tahu dengan sendirinya.
"Hey, kok jadi diam? Sudah sana kembali ke sekolah!"
"Tidak Ibu. Raz tidak akan kembali ke sekolah sebelum tuntas membantu Ibu. Raz tunggu di mobil!"
Razan langsung menuju mobilnya. Dia tidak ingin gurunya mengalami situasi yang rumit. Razan menyadari hal ini tidak biasa ia lakukan. Razan pun tidak tahu mengapa ia begitu peduli pada guru cantiknya itu. Apakah karena ia sangat merindukan mama yang telah meninggalkannya? Keberadaan Erin di kelasnya tadi pagi membuat Razan menyesali perbuatannya karena ia seolah sudah menyakiti mamanya.
Perilaku Erina hampir mirip dengan mamanya Razan. Untuk itu lah Razan ingin berlama-lama dengan Erina, seolah tak ingin melepasnya kembali.
Razan sangat merindukan mamanya. Razan merindukan pelukan dan kasih sayang mamanya yang kini terlihat pada sosok Erina yang berbeda dari guru lainnya. Keibuannya, ketegasannya, sampai senyumnya.
"Mama, Razan merindukanmu," gumamnya dalam hati sampai Razan tidak menyadari kalau Erin sudah duduk di sampingnya.
"Kalau gitu, Razan pulang saja biar cepat bertemu Mama!" ujar Erin membuyarkan lamunan Razan.
Razan menoleh, cukup kaget karena gurunya sudah ada di sampingnya. Razan tertawa,
"Mana mungkin Bu,"
"Kok gitu? Pasti mamamu sedang menunggu di rumah..."
Razan menggeleng, "Tidak ada yang menunggu Razan di rumah Bu. Mama sudah meninggal dan papa terlalu sibuk di kantor. Tanpa peduli dengan Razan. Razan malas untuk pulang," ujar Razan perlahan membuka isi hatinya yang selama ini ditahannya.
"Maaf ya, Ibu tidak tahu. Kalau Razan mau curhat, silakan! Ibu siap menjadi pendengar setia."
Razan tertawa lagi, " Kalau Razan cerita ke Ibu apa Ibu mau percaya?"
"Ya tentu saja. Mengapa tidak? Itu pun kalau Razan percaya sama Ibu."
Razan menoleh sebentar, ia belum bisa menceritakan sekarang. Terlalu banyak beban yang sedang dihadapi guru cantiknya. Dia tidak ingin menambah beban hidupnya.
"Razan percaya sama Ibu. Tapi nanti saja. Kita fokus mencari suami Ibu saja ya!" ujarnya bijak.
Suasana hening, hanya lantunan lagu Dadali yang mengiringi perjalanan mereka. Kini mereka sibuk dengan pikiran masing-masing.
Tidak lama kemudian Razan menghentikan mobilnya di sebuah perkebunan di perbatasan kota.
"Tidak salah ini tempatnya, Raz?"
"Kalau berdasarkan petunjuk di ponsel memang di sini Bu. Kita turun!"
"Tapi tidak ada motornya di sini. Kemana Bang Arsyad?" tanyanya dengan frustasi, seraya menutup wajahnya yang cemas.
Netra Erina menyapu sekeliling yang terlihat sepi. Sementara Razan sibuk mendeteksi keberadaan ponsel suaminya Erin.
"Bu...saya melihat ponsel tersebut di sana!"
Nah kan si emi nyerocos aja sih mulutnya
Pak polisi kena palakkk🤣🤣🤣🤣
nahh lohh Bu Emmi ... bersiap lahh
Tenang Bu gurumu ngk kan biarkan mu pergii
gimana dia bisa di atur kalau papanya aja ngk ngertii