Anara adalah siswi SMA berusia 18 tahun yang memiliki kehidupan biasa seperti pada umumnya. Dia cantik dan memiliki senyum yang manis. Hobinya adalah tersenyum karena ia suka sekali tersenyum. Hingga suatu hari, ia bertemu dengan Fino, laki-laki dingin yang digosipkan sebagai pembawa sial. Dia adalah atlet panah hebat, tetapi suatu hari dia kehilangan kepercayaan dirinya dan mimpinya karena sebuah kejadian. Kehadiran Anara perlahan mengubah hidup Fino, membuatnya menemukan kembali arti keberanian, mimpi, dan cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aulia risti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Tak lama kemudian, mereka sampai di rumah Bagas.
Fino berkata ingin ke toilet, jadi kini hanya Bagas dan Anara saja di ruang tamu itu.
“Nar, aku sudah putuskan… aku akan membantu Fino menemukan dirinya.”
Anara spontan menoleh dengan alis terangkat tinggi. “Beneran? Kamu nggak kesambet, kan?”
Bagas mendengus kesal, menyandarkan tubuh ke sandaran sofa.
“Kamu kira aku bercanda? Malam itu… aku lihat sendiri Fino yang rapuh. Dia kayak… hilang arah. Aku nggak tega, Nar.”
“Tapi kamu kan tahu, Fino itu orangnya… rumit. Kadang dia bisa baik banget, kadang kayak dingin nggak mau dideketin. Kamu yakin mau ikut campur?”
“Nar, kadang orang kayak gitu cuma butuh satu orang yang mau dengerin. Kalau nggak ada yang peduli, dia bisa makin nyemplung ke jurang.”
Anara terdiam, bibirnya terkatup rapat, Bagas benar.
Saat itu, suara pintu toilet berderit pelan. Fino keluar, menatap mereka bergantian.
“Kenapa diem-dieman? Apa kalian lagi ngomongin sesuatu?”
Bagas menggeleng pelan. “Nggak ada, ya kan, Nar?”
Anara cepat-cepat mengangguk, pura-pura tak ada yang dibicarakan.
“Oh iya, Fino… kita latihan panah sore ini, kan?” tanyanya.
“Iya, jam tiga nanti.”
“Oke kalau gitu aku pulang dulu. Kalian… baik-baik, ya. Bye.”
Anara buru-buru melangkah keluar, meninggalkan mereka berdua.
Begitu Anara pergi, Bagas berdiri dari duduknya lalu menepuk pelan pundak Fino.
“Lo boleh tinggal di sini.”
Fino menoleh. “Maksudnya?”
“Gue tahu lo diusir, kan?”
Fino mengernyit. “Lo tahu dari mana?”
Bagas tersenyum tipis. “Menurut lo… siapa yang mau keluar hujan-hujanan sambil bawa koper kalau bukan diusir?”
Fino terdiam, tidak langsung menjawab. Beberapa detik kemudian ia berkata pelan,
“Makasih, Bagas. Gue—”
“Ets, nggak ada yang gratis,” sela Bagas cepat.
Fino menaikkan alis, sementara Bagas melanjutkan, “Lo harus cuci piring, masak, sama cuci baju sendiri. Karena di sini lo bukan tuan muda lagi.”
Ucapan itu membuat sudut bibir Fino terangkat. Senyum tipisnya justru membuat Bagas sempat tertegun—itu pertama kalinya ia melihat Fino tersenyum.
**
Sore harinya, Anara dan Fino sudah berada di lapangan untuk latihan memanah. Namun, ada satu hal yang langsung membuat Anara kesal: Bagas… juga ada di sana.
“Kamu ngapain di sini?” tanyanya curiga.
“Latihan,” jawab Bagas santai.
“Hah?”
“Iya. Mulai hari ini, aku putuskan untuk jadi atlet panah.”
Anara mendengus, lalu tertawa terbahak. “Atlet? Bagas… Bagas… kamu lari satu putaran aja udah kayak mau pingsan, apalagi jadi atlet.”
“Eh, asal aja! Aku nggak kayak gitu,” protes Bagas.
“Tapi kenyataannya emang gitu,” balas Anara sambil menyeringai.
Perdebatan kecil mereka kembali memanas—bukan pertengkaran sungguhan, tapi justru ciri khas hubungan mereka.
“Hey, kalian! Sudah, berhenti!” tegur Pak Hadi, pelatih mereka.
Fino hanya tersenyum melihat tingkah keduanya.
“Kalian mau latihan atau mau ribut?” lanjut Pak Hadi.
Anara dan Bagas langsung kompak menjawab, “Latihan, Pak.”
“Kalau begitu, cepat berdiri di posisi masing-masing.”
“Iya, Pak,” jawab mereka bersamaan sebelum bergegas.
Pak Hadi meminta Fino untuk membantu Anara, sementara Bagas berlatih sendiri. Namun, bukannya fokus, Bagas justru merasa cemburu. Ia mendekat, seolah sengaja ingin mengacaukan momen mereka.
“Ini gimana caranya?” tanya Bagas sambil mendekat hingga jarak Anara dan Fino hampir tak tersisa.
Fino menurut, lalu mengajari Bagas teknik memegang busur yang benar. Tapi Anara mulai kesal—Bagas memang ahli mengganggu.
Tanpa pikir panjang, Anara menendang pelan bokongnya.
“Ih, ngeselin banget sih kamu!”
“Ahkkk!” rintih Bagas dramatis.
**
Latihan selesai menjelang senja. Anara, Fino, dan Bagas berjalan beriringan keluar lapangan, masing-masing menenteng busur dan anak panah yang sudah dimasukkan ke dalam tas.
“Capek banget…” keluh Anara sambil mengusap keningnya.
“Capek karena kebanyakan ngomelin aku” seloroh Bagas, membuat Anara melotot.
Fino tersenyum tipis melihat keduanya yang tak henti-hentinya saling sindir.
Mereka bertiga terus melangkah menyusuri trotoar. Namun, Anara tiba-tiba menghentikan langkahnya.
Seorang pria berdiri diseberang mereka. Wajahnya keras, rahang tegas, dan sorot matanya… dingin.
“Ayah…” bisik Anara nyaris tak terdengar.
Fino dan Bagas saling berpandangan, lalu otomatis memandang ke arah pria itu.
Perlahan pria itu melangkah mendekat. Anara menelan ludah, jantungnya berdegup kencang.
"Oh, begini yang kamu lakukan? Pantas saja sekarang kamu nggak membantu ayah."
Anara menggeleng cepat, wajahnya pucat.
"Nggak, ya… dengerin Anara dulu—"
Namun belum sempat ia menjelaskan, tangan ayahnya sudah lebih dulu mencengkeram pergelangan tangannya dengan keras.
"Pulang sekarang!" titahnya dingin.
"Ayah… sakit," ringis Anara, mencoba melepaskan cengkeraman itu.
Fino yang melihatnya tentu saja tak tinggal diam. Ia maju, meraih tangan Anara yang lain.
"Lepaskan.Apa perlu sekasar ini?" cetusnya dengan tatapan tajam.
"Siapa kamu, berani-beraninya memerintahku?" balas pria itu, suaranya penuh amarah.
"Saya nggak perlu memberitahu siapa saya. Tapi kalau Om bertindak kasar begini, walaupun ke anak sendiri, saya bisa melaporkannya ke polisi," ucap Fino mantap.
Bagas yang berada di samping Fino segera menarik Fino mundur, memisahkannya dari Anara.
"Apa-apaan sih? Lepasin!" seru Fino, berusaha menahan Anara agar tidak dibawa pergi.
Namun Bagas tetap menahannya, hingga Anara akhirnya diseret paksa oleh ayahnya. Barulah setelah keduanya menghilang dari pandangan, Bagas melepaskan Fino.
"Lo ngapain? Lo nggak lihat Anara—"
"Gue lihat, Fino. Tapi dengan lo bersikap kayak tadi, lo cuma bikin Anara makin dalam masalah," ujar Bagas tegas.