Hidup Nara berubah dalam satu malam. Gadis cantik berusia dua puluh tahun itu terjebak dalam badai takdir ketika pertemuannya dengan Zean Anggara Pratama. Seorang pria tampan yang hancur oleh pengkhianatan. Menggiringnya pada tragedi yang tak pernah ia bayangkan. Di antara air mata, luka, dan kehancuran, lahirlah sebuah perjanjian dingin. Pernikahan tanpa cinta, hanya untuk menutup aib dan mengikat tanggung jawab. Namun, bisakah hati yang terluka benar-benar mati? Atau justru di balik kebencian, takdir menyiapkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar luka? Dan diantara benci dan cinta, antara luka dan harapan. Mampukah keduanya menemukan cahaya dari abu yang membakar hati mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RizkaAube, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter : 11
“Sayang, kamu yakin nggak mau menginap dirumah mama Mama malam ini?” Tanya melisa dengan lemah sembut sambil menyentuh tangan Nara yang sudah duduk disebelahnya di ruang keluarga.
Malam itu udara terasa dingin, tapi suasana rumah besar keluarga Zean cukup hangat. Nara baru saja menyelesaikan makan malam bersama keluarga besar itu tanpa Zean. Pria itu belum juga pulang.
“Nggak usah, Ma. Besok saya harus pagi-pagi sekali. Kalau kesiangan, saya bisa dimarahi atasan,” jawab nara pelan, sopan. Senyumnya tertahan, tapi tetap hangat.
Melisa menatap Nara lama, seolah ingin membaca isi hati gadis di depannya saat ini. Gadis ini terlalu lembut untuk dimasukkan ke dalam cerita yang terasa seberat ini. Tapi Melisa tahu, yang namanya takdir, kadang tidak pernah datang dengan cara yang mudah.
“Nanti kapan-kapan nginap lagi, ya sayang?”ujarnya. “Mama senang lihat kamu ada disini, rumah jadi terasa lebih ramai”
Nara hanya menunduk, tak tahu menjawab apa. Di hatinya masih ada rasa canggung yang belum pergi. Ia tahu, semua ini begitu cepat. Terlalu dipaksakan oleh keadaan. Tetapi ia juga tak bisa menyangka kehangatan keluarga ini terlebih dari Melisa sedikit demi sedikit meruntuhkan tembok dalam dirinya.
“Jangan manjain dia, Ma,” celutuk Cika datar dari arah tangga. Ia berjalan ke ruang tamu sambil membawa bantal panda yang menggemaskan dan duduk dipojokan sofa.
Nara menoleh, tersenyum. “Cika belum tidur?”
“Belum”jawab gadis itu, masih dengan wajah yang datar tapi nada suaranya sudah jauh lebih hangat dari sebelumnya.
“Kamu mau pulang?”tanya Cika tiba-tiba, menoleh setengah ke arah Nara.
“Belum, lagi nunggu Zean katanya sekalian diantar,”jawab Nara.
Cika mengangguk pelan. “Kalau weekend kakak kesini lagi, aku ajarin bikin pudding milo.”
Nara menatap gadis cuek itu dengan ekspresi terkejut sekaligus tersentuh. “Serius? Wah, aku suka pudding.”
“Em boleh, tapi jangan harap aku bikinin. Harus bikin sendiri aku hanya ajarin caranya saja,”sambung Cika cepat, ekspresinya tetap dingin.
Melisa terkekeh geli. “Itu versi sayang ala cika, kamu harus belajar menejemahkannya.”
Mereka tertawa kecil, sampai akhirnya suara mobil terdengar dari luar rumah. Beberapa detik kemudian, pintu utama terbuka, terlihat Zean berjalan dengan tubuh yang sedikit lelah.
“Maaf, aku baru pulang,”ucapnya sambil menghampiri dan menyalimi kedua orang tuanya.
“Capek banged kelihatannya,”komentar hendrik sambil memutar bahunya.
Zean hanya mengangguk. “Tadi ada hal yang harus diselesaikan dikantor”
Melisa mengangguk. “Ngak apa-apa, ya sudah kamu istrahat saja. Nara biar mama suruh antar sama pak deni saja.”
Zean menggeleng, “Tidak apa ma, biar aku saja yang mengantarkannya pulang”
“Tapi kamu terlihat sangat kelelahan sekarang,”ucap melisa.
“Tidak apa ma”Zean mengelus lembut lengan melisa. “Ayo”ucapnya singkat pada nara.
Nara berdiri, lalu berpamitan pada semua orang.
“Terima kasih atas makan malamnya, Ma. Pa,”ucapnya tulus, sambil menyalami keduanya.
Melisa menggenggam tangan Nara lebih lama dari seharusnya. “Hati-hati di jalan, ya. Nanti kabari mama jika sudah sampai.”
“Iya, Ma.”
Cika mengangkat tangan kecilnya dari sofa. “byee..jangan lupa pudding”
“Siap!”balas Nara sambil tersenyum.
Mobil melaju di jalanan gelap menuju arah pinggiran kota. Lampu-lampu mulai jarang, di gantikan oleh deretan pohon dan juga bangunan tua. Di dalam mobil, suasana hening.
Zean fokus menyetir. Rahangnya mengeras seperti biasa. Wajahnya tak menunjukkan ekspresi, hanya dingin dan tenang. Seolah semua ini bukan bagian dari hidupnya, hanya sebuah kewajiban yang harus diselesaikan.
Nara duduk disampingnya, melipat tangan di pangkuan. Ia sesekali menoleh ke luar jendela, mencoba menikmati jalan pulang yang tenang, meski ada kekakuan yang yang tidak bisa ia abaikan.
“Maaf merepotkan,”ucap Nara akhirnya, memecah diam diantara mereka berdua.
Zean tidak menoleh. “Nggak apa-apa.”nada suaranya tetap datar, namun ringan.
Nara mengangguk kecil. Lalu memilih diam lagi. Ia tahu Zean bukan orang yang suka bicara. Tapi kadang, diam pria itu lebih dingin dari pada amarah.
Beberapa menit kemudian, mobil Zean berhenti di depan sebuah rumah tua berwarna biru muda. Rumah peninggalan kedua orang tuanya. Sepi, hanya lampu teras yang menyala temaram.
Zean mematikan mesin. “Sudah sampai.”
Nara membuka sabuk pengamannya. “Terima kasih sudah antar.”
Zean hanya mengangguk sekali. Tatapannya lurus ke depan, tidak berusaha menatap Nara ketika gadis itu membuka pintu dan turun dari mobil.
Saat nara berjalan menuju gerbang, ia sempat menoleh sebentar. Zean masih berada di balik kemudi, duduk tanpa gerak, seperti hendak pergi secepaf mungkin setelah tugasnya selesai.
Pintu pagar berderit pelan saat Nara membukanya, Zean sudah berbalik arah dengan mobilnya, tanpa menoleh. Tidak ada lambaian. Tak ada suara. Hanya punggung mobil yang semakin menjauh di dalam kegelapan.
Udara malam menyusup ke lehernya, membuatnya menggigil sebentar. Ia berjalan menuju teras, melewati pot-pot kecil yang berisi lidah mertua dan rosemary yang ia rawat dengan begitu penuh kasih sayang.
Lampu teras kuning pucat menyinari pintu kayu rumah itu. Rumah peninggalan yang sederhana. Namun selalu terlihat bersih, tenang, namun…sunyi.
Tangannya merogoh tas, mencari kunci. Begitu pintu terbuka, aroma khas rumahnya langsung menyambut dengan tenang.
Ia meletakkan tasnya diatas meja kecil dekat pintu, lalu masuk ke dapur tanpa menyalakan semua lampu. Ia sudah hafal setiap sudutnya.
Dari kulkas, Nara mengambil botol air, menuangnya ke gelas, dan meneguk perlahan sambil bersandar pada counter dapur.
Baru saja ia meletakkan gelas, rasa mual datang. Tidak tajam, tapi cukup membuatnya harus menahan napas dan menggenggam meja.
Nara menutup matanya. Ia pikir ini mungkin hanya karena kelelahan saja.
Ia mengatur nafas. “Mungkin masuk angin,” gumamnya.
Beberapa saat kemudian, ia berjalan ke kamar.
Kamar itu terlihat bersih dan teratur. Sprei baru diganti dua hari lalu. Tirai diganti minggu lalu. Buku-buku disusun rapi di rak.
Ia melepas kancing kemejanya, menggantung di balik pintu, lalu duduk di pinggir ranjang. Tangannya mengusap perut secara refleks.
Perasaan aneh muncul lagi. Bukan mual bukan juga lelah, tetapi semacam sebuah firasat.
Nara mematikan lampu kamar. Lalu naik ke atas tempat tidur dan menarik selimut. Hanya lampu meja yang menyala redup.
Pikirannya melayang pada ponsel di samping ranjang. Puluhan WhatsApp belum dibalas, Teman SMA, rekan kerja di toko, bahkan beberapa orang yang sudah lama tak menyapanya semua mendadak muncul. Semua menanyakan hal yang sama.
“Kamu beneran nikah sama Zean Anggara Pratama?”
Nara menarik nafas dalam. Rasa sesak tiba-tiba saja datang, bukan karena mual. Tapi karena sebuah kenyataan.
Dia gadis sederhana yang tidak pernah pacaran, tiba-tiba saja sudah menikah dengan pria yang bahkan tidak pernah benar-benar saling mengenal satu sama lain. Owner ZAP Group. Sosok dingin yang seakan menjadikannya hanya bagian dari kesalahan yang harus di bayar.
Dan besok dia harus kembali ke toko, berpura-pura biasa saja di hadapan semua teman-teman kerjanya. Siap dengan cibiran halus. Siap dengan amarah puput, sahabatnya sendiri yang baru tahu kabar pernikahannya itu dari undangan yang tersebar di media sosial, bukan dari mulut nara sendiri.
Puput kecewa, terluka. Dan Nara sadar, itu semua karena kesalahan nara sendiri.
Ia menatap layar ponsel yang menyala. Salah satu pesan belum di buka.
Dari Puput.
“Nara… aku cuma mau tahu, kenapa kamu nggak cerita tentang semua ini?”
Nara menatapnya lama, tapi tidak membalas. Ia meletakkan ponsel pelan diatas meja. Memejamkan mata, tapi dadanya tetap terasa sesak.
...\~⭑ ⭑ ⭑ ⭑ ⭑\~...
Di sisi lain, di tengah malam yang mulai merayap menuju pagi, lusi masih betah duduk di dalam sebuah klub malam. Di tangannya ia menggenggam erat sebotol minuman berakohol yang sudah tinggal separuh.
Entah sudah berapa banyak umpatan dan kata-kata tak karuan yang keluar dari mulutnya, semua makian itu tertuju pada satu nama, Nara. Gadis muda yang menurut Lusi telah merebut segalanya darinya.
“Udahlah, Lus. Lo ikhlasin aja Zean. Bukannya si vico juga tampan dan kaya raya?”ujar dela, sahabatnya, yang duduk di samping dengan ekspresi jenuh tapi tetap peduli.
Toh, dalam cerita ini, Lusi sendiri yang bersalah. Jadi buat apa terus-terusan menangis dan merancau seperti orang gila.
Apalagi setelah mendengar kisah yang keluar dari mulut lusi tentang insiden besar yang terjadi di perusahaan Zean. Dari semua yang di ceritakan, Dela semakin yakin tak ada harapan bagi Lusi untuk kembali ke pelukan Zean.
“Enggak, del…Gua gak mau Zean sama gadis murahan itu…gadis gatal, pelac*r itu! Gua masih sayang sama Zean, huuuu…”Lusi meracau, lalu kembali meneguk minumanya dalam-dalam, seperti ingin membakar rasa sakit di dalam dadanya.
Dela mendesah keras, lalu berdiri dan menarik lengan Lusi. “Udah, yuk pulang. Lo udah kelewatan.”
Tanpa menunggu persetujuan dari Lusi, Dela langsung memapah tubuh sahabatnya itu, tubuh Lusi yang terlihat begitu indah hampir tak bisa berdiri tegak, menuju mobilnya yang terparkir di depan Klub.
Dela memang terkenal nakal. Tapi tidak sebebas Lusi. Meski begitu, satu hal yang tidak berubah darinya, dia adalah sahabat sejati. Dia tahu kapan harus jadi teman bersenang-senang, dan kapan harus jadi tempat sandaran.
“Akk…aku ak-kan kasih…pela-jaraaan pada…gadis si-alan itu…liat aja…aeghhh..”Lusi terus mengoceh di antara mabuknya, suaranya berat nyaris tak terdengar jelas.
Dela melajukan mobilnya menuju rumahnya, bukan rumah Lusi, ia tahu, di kondisi seperti ini, Lusi tidak bisa pulang kerumahnya yang dingin, sunyi, tak lagi terasa seperti sebuah rumah melainkan sebuah neraka.
Lusi memang berasal dari keluarga kaya. Tapi sejak kecil, hidupnya jauh dari kata bahagia. Papa dan mamanya sering bertengkar, dan puncak pertengkaran semua ini berawal dari sang ayahnya yang membawa pulang wanita lain, madunya dibawa pulang dibawah atap yang sama. Sejak hari itu, rumah megah mereka tak lebih dari sebuah istana rusak yang penuh luka dan kebencian.
Lusi jarang pulang. Hidupnya menjadi liar, penuh pemberontakan. Dia terbiasa berpindah dari satu pasangan ke pasangan lain, sampai akhirnya ia bertemu Zean.