NovelToon NovelToon
Dinikahkan Diam-diam Dengan CEO

Dinikahkan Diam-diam Dengan CEO

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / CEO / Percintaan Konglomerat / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: nonaserenade

“Gue gak akan pernah sudi nerima lo sebagai suami gue!”

“Saya tidak keberatan, Maha. Bagaimanapun kamu tidak menganggap, saya tetap suamimu.”

“Sialan lo, Sas!”

•••

Maharani tidak pernah meminta untuk terlibat dalam pernikahan yang mengikatnya dengan Sastrawira, pewaris keluarga Hardjosoemarto yang sangat tenang dan penuh kontrol. Sejak hari pertama, hidup Maha berubah menjadi medan pertempuran, di mana ia berusaha keras membuat Sastra merasa ilfeel. Baginya, Sastra adalah simbol patriarki yang berusaha mengendalikan hidupnya.

Namun, di balik kebencian yang memuncak dan perjuangannya untuk mendapatkan kebebasan, Maha mulai melihat sisi lain dari pria yang selama ini ia tolak. Sastrawira, dengan segala ketenangan dan kesabarannya, tidak pernah goyah meski Maha terus memberontak.

Apakah Maha akan berhasil membuat Sastra menyerah dan melepaskannya? Atau akankah ada simfoni tersembunyi yang mengiringi hubungan mereka, lebih kuat daripada dendam dan perlawanan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nonaserenade, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

13. Gak Suka Diabaikan

"Gue denger Lo punya asisten pribadi yang masih bocil Sas? Beneran masih SMA?" Devan bertanya, orang yang paling dekat dengan Sastra sebagai sekretarisnya.

Sastra hanya mengangguk singkat sebagai jawaban atas pertanyaan Devan, tidak ingin membahasnya lebih jauh. Namun, Devan tampak tertarik dengan topik ini dan tidak menyerah begitu saja.

"Seriusan, bocil beneran? Gue gak percaya lo milih anak SMA buat jadi asisten pribadi. Kenapa gak ambil yang lebih berpengalaman aja? Atau jangan-jangan...itu bojo lo ya?"

Sastra mendesah, lalu menatap Devan sekilas sebelum kembali fokus pada laptopnya. "Hmm, dia istri gue."

Devan tersentak kaget, tebakannya kali ini tidak meleset. "Seriusan lo? Kenalin dong sama gue, siapa tau gue bisa jadi bestie sama istri lo."

Sastra menatap Devan dengan tatapan tajam yang langsung menghentikan godaan rekan kerjanya itu. "Jangan berani lo deketin dia, paham?!"

Devan tertawa pelan, mengangkat kedua tangannya tanda menyerah. "Oke, oke, gue cuma bercanda, bro. Gue nggak serius. Tapi kalau istri lo yang datang sendiri ngenalin diri, lo bisa apa?"

Sastra mengalihkan pandangannya kembali ke laptopnya, berusaha meredam amarah yang mulai muncul di permukaan. "Shut up! Lanjutkan tugas lo Dev, gak usah banyak bicara."

Kalau sudah mode serius begini, bapak Sastra tidak sudi diganggu gugat bahkan sekalipun oleh sekretaris nya ini yang sudah terjerat delapan tahun bekerja dengan putra tertua Hardjosoemarto.

Jadi siapa yang mampu menganggu Sastra? Sepertinya hanya istrinya seorang. Devan pikir begitu, namun ia perlu bertemu dengan istri Sastra siang ini agar bisa menyaksikan langsung seperti apa sosok perempuan bernama Maharani itu.

Devan adalah orang terdekat Sastra yang mengetahui kabar pernikahan atasannya ini, setelah kegagalannya dari putri seorang anggota dewan, ia segera memutuskan menikahi perempuan muda yang umurnya saja belum genap kepala dua. Anak SMA yang bahkan masih perlu banyak-banyak dibimbing.

•••

Sastra dengan sabar menjelaskan setiap detail pekerjaan kepada Maha, memastikan bahwa dia memahami semua yang perlu dilakukan. Ketika ada istilah atau prosedur yang asing di telinga Maha, Sastra dengan tenang mengulang penjelasannya, menggunakan bahasa yang lebih sederhana agar Maha tidak merasa terbebani.

"Ini bagian yang penting," ujar Sastra sambil menunjukkan dokumen di laptopnya. "Kamu harus bisa memprioritaskan tugas-tugas ini. Kalau ada yang nggak paham, langsung tanya saya."

Maha mengangguk, matanya fokus pada layar sambil berusaha menyerap informasi sebanyak mungkin. "Oke, gue ngerti."

Sibuk dengan agenda masing-masing tiba-tiba ada suara ketukan yang cukup intens dari luar pintu. Sastra segera mengizinkan saat tahu bahwa diluar sana adalah Devan.

Devan melangkah masuk dengan senyum lebar di wajahnya. "Wah, serius banget nih," ucapnya dengan nada menggoda, melirik antara Sastra dan Maha.

Maha segera menoleh kearah laki-laki asing yang belum ia kenal. Devan menyadari tatapan Maha dan dengan sigap mengulurkan tangan sambil tersenyum ramah. "Hai, gue Devan. Sekretaris Sastra," ujarnya dengan nada santai.

Maha menatap tangan yang terulur sesaat, sebelum menyambutnya dengan sedikit canggung. "Maharani," jawabnya singkat, masih berusaha menilai orang asing di depannya.

Devan tersenyum lebih lebar, tampak tertarik dengan Maha. "Nice to meet you, Maha. Jadi lo yang jadi asisten pribadinya? Bakal seru nih kayaknya," ucapnya sambil melirik Sastra sekilas, seolah mencoba mengukur reaksinya.

Sastra hanya mendengus pelan, namun tatapannya tak hengkang tersorot tajam kearah Devan.

"Gue kira sekretarisnya Sastra perempuan, aduhai, seksi, plus hot, eh taunya sama-sama batang." Celetuk Maha tanpa di filter, memang sudah terbiasa mulutnya melepas sendiri tanpa berpikir, ingin membuat Sastra emosi dan ilfeel adalah harapan terbesarnya.

Devan melebarkan matanya, tentu saja senyumannya semakin lebar. Tak ia sangka bahwa seorang Sastra Hardjosoemarto yang sangat terhormat dan terencana sudah menikahi perempuan bar-bar seperti ini. Jauh sekali dari kata sopan santun seperti mantan tunangannya yang anak dewan itu. Namun, Devan lebih tertarik dengan perempuan seperti Maha. Pemberontak dan lebih dominan.

"Sastra lebih suka sekretarisnya cowok, iya ga Sas?" Devan menggoda Sastra yang tentu saja mendapatkan jawaban sekaligus pertanyaan tak terduga dari Maha.

"Oh jadi Mas Sastra lebih suka cowok. Lo gay Mas?" Pertanyaan Maharani mendapatkan tatapan menghunus dari Sastra, tentu saja ia tak suka dikatain dan dituduh begitu.

"Mau buktikan malam ini hmm?"

Sial. Maha selalu gagal membuat laki-laki ini terhanyut dalam emosi yang sedang Maha pancing. "Gak perlu, lo gak usah membuktikan diri. Biasanya orang yang punya penyimpanan seksual suka pengen di buktiin."

Sastra menatap Maha dengan intensitas yang membuat ruangan seakan mendingin. "Saya hanya perlu membuktikan, bagaimana?" ucapnya dengan nada rendah tapi penuh ketegasan.

"Gue bilang gak perlu."

Devan yang menyaksikan pertengkaran sengit antara Maha dan Sastra segera menengahi pasutri itu.

"Duh, gue niat kesini mau ngasihin berkas sama lo Sas." Devan seakan bukan penyokong dari penyebab masalah itu, yang ia tangkap memang rumah tangga mereka problematik. Maklum istrinya Sastra masih bocil yang perlu banyak di bimbing.

Sastra menghela napas panjang, berusaha menahan amarah yang mulai membara di dalam dirinya. Ia melirik Devan yang kini tampak kikuk, menyodorkan berkas-berkas ke arahnya.

"Taruh di meja, Dev. Gue cek nanti," ucap Sastra dengan nada dingin, sementara matanya tetap tertuju pada Maha. Devan dengan cepat menuruti permintaan Sastra, meletakkan dokumen-dokumen itu di meja dan mundur perlahan, merasa sudah cukup menonton drama rumah tangga ini.

"Oke, gue cabut dulu. Lo urusin aja ini dulu, Sas. Jangan lupa beresin ya," ucap Devan dengan tawa kecil, mencoba meredakan ketegangan, namun Sastra melirik tajam kearahnya tanpa beranjak dari posisinya.

"Serem amat!" Gumam Devan yang langsung keluar dari ruangan atasannya.

Setelah Devan keluar, ruangan terasa semakin sunyi. Maha masih menyilangkan tangan di dada, tampak tidak terpengaruh oleh sikap intimidasi Sastra.

"Kamu nggak bisa terus-terusan ngomong seenaknya, Maha," kata Sastra dengan nada yang jauh lebih terkontrol meskipun jelas nadanya cukup mendeskripsikan emosional nya. "Ini tempat kerja, dan saya butuh kamu belajar mengontrol ucapan."

Maha mengangkat alis, seolah tidak peduli dengan teguran Sastra. "Gak usah sewot kali, kalau lo gak merasa yaudah sih diem aja."

Sastra menghela napas lagi, kali ini lebih panjang. "Nope, kamu masih berpikir saya gay kan?"

Maha mengedikan kedua pundaknya, lalu mengalihkan pandangannya pada dokumen lagi. "Lo nya aja di seriusin, udah lanjutin aja kerjanya."

Bukannya kembali melanjutkan, Sastra bangkit dari duduknya, mendekati Maha. Sang empu kembali mengalihkan atensi pada Sastra.

"Lo mau a—apa?" Maha tiba-tiba panik melihat tubuh tegap itu mendekat kearahnya.

Sastra tidak menjawab, melainkan terus mendekat, membuat Maha sedikit gugup. Tatapan intens dari pria itu tak pernah berubah, seolah-olah membaca setiap pergerakan dan reaksi Maha. "Barangkali kamu mau lihat bagaimana tubuh saya bereaksi normal bersama perempuan, saya bisa buktikan."

"Sinting lo, udah sana duduk lagi!"

Sastra tetap mendekat, duduk disebelah Maha lalu tangan perempuan itu ia genggam begitu halus, sialnya Maha terpaku pada sentuhan yang berhasil membuat tubuhnya menegang dan terdiam di tempat.

“Kamu selalu menantang, Maha,” bisik Sastra dengan nada rendah yang penuh kendali. “Saya ini bukan orang yang mudah dipermainkan.”

Maha merasakan dadanya berdetak lebih cepat. Entah karena terintimidasi atau perasaan yang tak ia mengerti, tatapannya beralih dari tangan Sastra ke wajah pria itu. Sastra tetap menatapnya dalam, seolah menantang Maha untuk bicara.

"Lo tuh...bener-bener nyebelin!" Maha akhirnya berkata, meskipun suaranya terdengar lemah dibandingkan dengan sikap keras kepala yang biasanya ia tunjukkan.

Sastra kembali tersenyum tipis, tetapi senyuman itu bukan tanda kelembutan. "Apa kamu masih berpikir saya seorang gay?" Tangannya bergerak naik dan mendarat di wajah Maha. Sastra mengusap pipinya selembut sutra lalu semakin nakal turun di daerah bibir sang empu, ia mengusap bagian bawahnya dengan gerakan sensual.

Maha menegang, tubuhnya terdiam di tempat. Sentuhan lembut itu membuat jantungnya berdetak semakin cepat, tak seirama dengan logikanya yang mendesak untuk menyingkirkan tangan Sastra. Namun, tubuhnya seakan enggan bergerak.

Maha menelan ludah dengan susah payah, merasa terjebak dalam permainan yang ia mulai sendiri, namun kini berbalik menyerangnya. "Lo beneran gila, Sas," suaranya nyaris berbisik, berusaha mengembalikan kontrol dirinya.

Sastra hanya menatapnya lebih dalam, mendekatkan wajahnya, hampir bisa dirasakan hembusan napasnya yang hangat. "Kamu sudah menyentuh emosional saya Maha."

Sebelum Maha sempat membalas, Sastra melepaskan genggamannya dan berdiri, menjauh seolah tidak ada yang terjadi. “Jangan pernah menantang saya lagi, Maha. Kamu mungkin tidak suka hasilnya,” ucapnya dengan nada dingin sebelum kembali ke tempat duduknya.

Maha tetap diam di tempat, bibirnya masih terasa panas akibat sentuhan Sastra. Tangannya gemetar ringan, tapi ia berusaha menyembunyikannya. "Gue gak akan pernah kalah dari lo, Sas. Dasar sialan!" Ucapnya pelan, masih berani memaki dan akan tetap begitu meskipun kali ini ia tidak memegang kendali penuh.

•••

Ternyata cukup melelahkan juga membagi waktu seperti ini. Maha mulai lebih serius memikirkan masa depannya. Ia sadar bahwa tahun ini adalah tahun terakhir sekolahnya, dan itu menjelaskan bahwa ia akan memasuki dunia sesungguhnya yang lebih keras. Tentang ambisi dan impiannya itu, sepertinya harus ia redam untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi yang tampak semakin jauh dari jangkauan. Realita finansial keluarganya menjadi tembok besar yang tak mudah ditembus, terlebih lagi ada hutang yang harus dilunasi—jumlahnya tidak sedikit.

Sambil menarik napas panjang, Maha menatap kosong pada desain pakaian yang ia gambar di dalam sketchbook. Garis-garis halus pada sketsa itu, meski indah, seolah menjadi pengingat betapa jauhnya impian yang ia simpan selama ini. Cita-cita untuk menjadi desainer fashion semakin terasa sebagai mimpi yang nyaris mustahil. Dia tahu bahwa tanpa pendidikan lebih lanjut atau kesempatan yang tepat, sketsa-sketsa ini mungkin hanya akan menjadi bagian dari buku gambarnya, tanpa pernah diwujudkan.

Ia membaringkan kepalanya di atas meja belajar, membiarkan keletihan merambat di seluruh tubuhnya. Cahaya lampu belajar yang temaram menyinari beberapa sketsa yang tersebar di atas meja, namun Maha tak lagi memandanginya. Matanya terpejam, seolah mencari pelarian sejenak dari beban pikiran yang menghimpitnya.

Sastra datang setengah jam kemudian, mengetuk pintu kamar yang setengah terbuka. Tidak ada jawaban dari dalam, hanya keheningan yang menyambutnya.

Sastra mendorong pintu dengan perlahan, ia mendapati Maha terbaring di meja belajarnya, kepalanya bersandar pada lengannya yang dilipat. Cahaya lampu di meja menciptakan bayangan samar di wajahnya, menggambarkan keletihan yang tak bisa disembunyikan.

Sastra masuk kedalam dengan senyap dan berhenti tepat disamping perempuan nya. Ia memperhatikan sketsa dalam sketchbook Maha. Sastra mengambilnya kemudian membuka lembaran-lembaran yang menunjukkan desain pakaian dengan detail yang rumit dan indah.

Kemudian Mata Sastra tertuju pada satu gambar yang tampaknya belum selesai—sebuah gaun elegan dengan garis-garis halus yang menunjukkan kreativitas Maha yang luar biasa.

Ia menggeser pandangannya kembali pada Maha yang masih tertidur lelap di meja. Tanpa pikir panjang, Sastra meletakkan sketchbook itu kembali ke tempatnya dan mulai mengangkat tubuh Maha perlahan untuk mulai memindahkannya ke tempat tidur. Gerakannya hati-hati, seolah takut membangunkan Maha dari tidurnya. Saat tubuhnya terangkat, Maha hanya mengerang pelan, tapi tidak terbangun.

Sastra dengan lembut membaringkan Maha di atas kasur, menyelimutinya agar tetap hangat. Dia memastikan bahwa perempuan itu nyaman sebelum akhirnya duduk di sisi tempat tidur, menatap wajahnya yang damai.

Dia menggeser rambut yang jatuh menutupi wajah Maha. "Kamu terlalu keras pada diri sendiri...tapi itu adalah bagian dari kehidupan. Saya akan tetap berada di belakang kamu, suka atau pun tidak suka kamu pada saya Maha."

Sastra tahu bahwa perempuan ini tengah mati-matian memikirkan tentang masa depannya. Karena itu Sastra akan menekan Maha supaya giat belajar dan mau melanjutkan studinya, walaupun akan selalu dan sering berdebat lagi tentang posisi mereka masing-masing, yang dianggap Maha sebagai pernikahan tidak pernah terjadi dan Sastra hanya orang asing dalam kehidupannya. Sastra tidak memperdulikan hal seperti itu karena dari awal dia sudah tahu bakal jadi seperti apa diawal pernikahan nya ini.

•••

Maha turun menuju lantai utama, ia segera pergi menuju ruang makan dan disana, ia melihat Sastra tengah berkutat di dapur seorang diri, tangannya cekatan mengaduk wajan berisi nasi goreng. Asap tipis mengepul dari sana, aroma gurih mulai memenuhi ruangan.

Sastra tampak serius dengan apa yang dikerjakannya, matanya fokus, sesekali tangannya memutar sendok kayu untuk mencampurkan bumbu. "Kamu sudah bangun?" suaranya terdengar tanpa menoleh.

Maha terkejut sebentar, tapi akhirnya menjawab pelan, "Iya... Lo rajin amat sih, anak konglomerat tapi hidup kaya melarat. Lo kayaknya sengaja memperkerjakan para asisten rumah tangga cuma buat bersihin rumah besar lo doang ya? Rugi dong." Celetuk Maha dengan nada khas sindirannya.

"Saya tidak terlalu suka banyak orang lain mencampuri kehidupan saya sekalipun itu untuk hal pekerjaan rumah tangga. Saya suka suasana rumah yang seperti ini, dan saya lebih suka masak dengan tangan sendiri. Lebih tahu apa yang kita mau dan merasa puas dengan hasil yang sudah kita upayakan walaupun tidak terlalu mewah."

Maha masih berdiri di pintu dapur, merasa sedikit terkejut dengan keterusterangan Sastra. Ia mulai mendekat ke meja makan, mengambil sendok dan mencicipi nasi goreng yang baru saja disajikan. "Hmm, terserah lo deh."

Sastra tersenyum kecil, membiarkan Maha sarapan lebih dulu sementara ia berniat merapikan bekas masak. Namun, tangan halus Maha menahannya.

"Lo bisa duduk di sini nggak sih? Nikmati dulu masakan lo sendiri. Gak usah berlagak kayak pelayan yang harus layani gue. Duduk aja, temani gue makan. Gue tuh nggak suka makan sendirian," kata Maha, meredam gengsinya untuk hal ini. Sejak kecil, ia merasa sulit makan di meja makan jika tidak ada yang menemani, seolah-olah ia terlihat sangat menyedihkan.

Sastra akhirnya menarik kursi dan duduk di samping Maha, menikmati pemandangan sederhana pagi itu. "Lalu apalagi yang tidak kamu suka?" tanya Sastra, memancing percakapan. Ia berharap bisa lebih mudah mendapatkan perhatian Maha dalam suasana santai seperti ini. Jika berhasil, Sastra berencana memanfaatkan sarapan pagi sebagai kesempatan untuk berbicara lebih banyak dan mendalami lebih jauh tentang apa yang dirasakan Maha.

"Banyak. Gue nggak suka dikasihani, gue nggak suka dianggap dan dipandang remeh, gue juga nggak suka kalau ada yang meremehkan kemampuan gue, gue gak suka didiemin kalau ada masalah, gue gak suka dibentak dan gue gak suka diabaikan." jawab Maha dengan nada serius, sembari menyendok nasi goreng ke dalam mulutnya.

Sastra mendengar seksama, ia tersenyum tipis, seolah mampu menarik sisi emosional terdalam dari Maha. "Kalau saya mendiami kamu, apa kamu bakal marah?"

Maha mengangguk cepat, "Marahlah. Gue lebih suka orang yang terus terang. Gue lebih suka diajak komunikasi langsung, gue lebih suka dimarahin daripada didiemin. Gue lebih memilih ribut satu sama lain karena itu—emosi gue akan lebih terasa dipahami."

Sastra mengangkat alis, terkesan dengan kejujuran Maha. "Berarti kamu lebih memilih konflik daripada ketidakpastian?"

"Ya," jawab Maha sambil mengunyah, "kadang konflik itu bikin gue merasa lebih hidup, lebih berarti. Kalau ada masalah, ya, selesaikan aja. Jangan cuma diem atau ngehindar."

Sastra mengangguk, menyukai suasana pagi itu. "Kalau begitu saya tidak akan pernah mengabaikan kamu."

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!