Oliver Alexander, pewaris tunggal keluarga kaya raya, hidupnya penuh dengan pesta, wanita, dan gemerlap dunia malam. Baginya, cinta hanyalah permainan, dan wanita hanyalah koleksi yang berganti setiap saat. Namun, gaya hidupnya yang semakin tak terkendali membuat sang ayah geram.
Sebagai hukuman sekaligus peringatan, Oliver dipaksa turun tangan mengurus salah satu pabrik keluarga di desa terpencil. Awalnya ia menolak, tapi ancaman kehilangan segalanya membuatnya tak punya pilihan.
Di sanalah ia bertemu Laras Maya, gadis desa sederhana yang polos, lugu, bahkan terlihat norak di matanya. Dunia mereka begitu berbeda, bagaikan langit dan bumi. Tapi semakin lama, Oliver justru menemukan sesuatu yang tak pernah ia rasakan dari wanita-wanita cantik di kota, yaitu ketulusan.
Laras yang apa adanya perlahan meruntuhkan tembok arogan Oliver. Dari sekadar kewajiban, hari-harinya di desa berubah menjadi perjalanan menemukan arti cinta dan hidup yang sesungguhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Demi Bapak Laras Kuat
Laras mengetuk pintu pelan, setelah terdengar sahutan dari dalam ia melangkah gugup masuk ke ruangan Oliver.
“Permisi, Pak.”
“Buatkan saya kopi sekarang!”
Laras melongo sebentar sebelum menjawab pelan dengan sopan. “T-tapi Pak, saya… saya bukan bagian pantry.”
Oliver menyipitkan mata. “Apa susahnya bikin kopi? Atau kamu sudah punya nyali untuk melawan perintah direktur?”
Dengan panik, Laras mengangguk cepat. “B-bukan, bukan begitu. Baik Pak, akan saya buatkan sekarang.”
Ia berlari kecil ke pantry, membuatkan kopi seadanya dengan cara yang ia ketahui. Takaran saat ia membuat kopi untuk Bapak. Tingkahnya yang terburu-buru membuat staf lain menatapnya aneh.
Laras membawa nampan dengan secangkir kopi diatasnya kembali ke ruangan. Begitu disajikan Oliver menyesap sedikit, lalu mengernyit.
“Rasanya hambar, kamu ini bagaimana?! Masa bikin kopi saja nggak bisa?”
Laras menunduk, dalam hati ia bingung kenapa rasanya bisa hambar? Aku sudah membuat kopinya sesuai takaran. Apa mungkin selera orang miskin dan orang kaya berbeda ya? keningnya mengernyit.
“M-maaf Pak, saya akan belajar lagi besok.”
Oliver menghela napas panjang, merasa jengkel sekaligus heran. Gadis itu tidak membantah, tidak membela diri, tidak juga marah. Oliver menyandarkan tubuh di kursi putar, mengetuk-ngetuk pena ke meja dengan ekspresi dingin lalu matanya berhenti pada sosok gadis sederhana yang berdiri di hadapannya.
“Bersihkan ruanganku,” ucapnya pelan, tapi nada angkuhnya seperti perintah yang tak bisa ditawar.
Laras berkedip, sedikit bingung. “Tapi… ruangannya kan sudah dibersihkan OB tadi pagi, Pak,” jawabnya hati-hati, suaranya lirih tapi jujur.
Alis Oliver terangkat. Ia mencondongkan tubuh, menatap lekat. “Aku maunya kamu yang bersihin. Ada masalah?”
Tidak ada ruang untuk membantah. Laras menunduk, buru-buru mengambil kain lap dan mulai bekerja. Tangannya cekatan mengelap meja yang sebenarnya sudah mengilap, menyapu lantai yang tak ada sampah, bahkan merapikan kertas-kertas yang sudah rapi.
Sesekali matanya melirik ke arah cangkir kopi di meja Oliver. Ia mengernyit dalam hati, cangkir itu kosong. Katanya kopinya nggak enak… tapi kok habis? Laras tak berani bersuara, hanya menghela napas pelan lalu kembali mengelap meja.
Oliver memperhatikannya diam-diam. Melihat Laras melakukan perintahnya malah membuatnya jengkel. Seharusnya gadis itu protes, menggerutu, atau paling tidak menunjukkan wajah kesal. Tapi ia bahkan tidak mengeluh sedikit pun.
Belum selesai dengan pekerjaannya, suara dingin Oliver kembali terdengar di telinga Laras. “Pergi belikan makan siang untukku.”
Laras mengangkat wajah, keringat di pelipisnya mulai menetes. “Baik, Pak.” Hanya itu jawabannya, lalu ia melangkah keluar dengan cepat.
Dari meja administrasi, Sita yang sedari tadi memperhatikan menggelengkan kepala. Ia melihat Laras keluar masuk ruangan bos berkali-kali, wajahnya pucat kelelahan. “Kasihan sekali anak itu,” gumamnya lirih, meski tak berani ikut campur. Semua orang tahu Oliver Alexander tak bisa ditegur begitu saja.
Tak lama, Laras kembali dengan bungkusan makan siang di tangannya. Nafasnya sedikit terengah, tapi ia tetap tersenyum sopan saat meletakkannya di meja Oliver. “Ini makan siangnya, Pak. Kalau begitu saya izin keluar ya, Pak…”
“Tunggu.” Oliver menahan, suaranya tajam. "Saya belum selesai, jangan keluar sebelum saya perintahkan untuk keluar."
Laras terdiam, ia berdiri di pojok ruangan sementara Oliver membuka bungkusan makanannya dengan santai. Aroma lauk panas segera memenuhi ruangan. Perut Laras yang kosong sejak pagi merespons dengan bunyi lirih, membuatnya buru-buru menelan ludah.
Oliver menyendok nasi, mengunyah perlahan. Ia tahu betul gadis itu lapar, keringat masih bercucuran di pelipisnya. Tapi bukannya menawarkan, ia justru sengaja melirik sekilas, lalu kembali menikmati makanannya seolah-olah Laras tidak ada di sana.
Detik-detik terasa panjang. Laras menggenggam jemarinya erat, menahan diri agar tidak goyah. Ia menelan ludah, berusaha mengabaikan keroncongan di perutnya. Sabar Laras, sebentar lagi selesai, batinnya.
Sita yang melintas di depan pintu hanya bisa menghela napas panjang. Dari kaca, ia sempat melihat Oliver makan dengan tenang sementara Laras berdiri menunduk. “Bos keterlaluan…” gumamnya. Tapi sekali lagi, ia tak bisa berbuat apa-apa.
Di dalam ruangan, Oliver merasakan sesuatu yang aneh. Sejak tadi sudah menunggu gadis ini meledak namun sampai akhir wajahnya tetap teduh, bahkan ketika ia jelas-jelas diperlakukan tidak baik. Ia menyeka mulut dengan tisu, menatap Laras yang masih menunduk. Gadis itu seperti pohon kecil yang terus berdiri meski diterpa angin kencang. Tidak akan goyah dan tidak akan roboh.
Oliver memalingkan wajah, menyandarkan tubuh ke kursi sambil mendengus. Entah kenapa justru ia yang merasa kalah, Oliver semakin tertantang untuk menguji Laras.
Matahari bahkan belum muncul, tapi dapur kecil itu sudah berisi aroma bawang goreng dan nasi hangat. Laras menyalakan tungku lebih awal, tangannya cekatan menyiapkan lauk sederhana. Sebuah kotak bekal mungil terbuka di atas meja, sementara di sampingnya ada satu porsi lagi untuk bapaknya.
Laras menoleh, buru-buru mendekat saat Bapaknya bangun dan mencoba mengambil alih peralatan dapur. “Bapak nggak usah repot-repot masak, biar Laras aja.” ucapnya pelan. Ada nada sayang sekaligus khawatir dalam perkataannya. Sejak bekerja di pabrik, ia tak tega membiarkan Bapak yang sudah renta harus bangun subuh demi menyiapkan makanan sebab Laras tidak lagi bisa mengantarkan bekal makan siang untuk Bapak.
Meski wajahnya masih tampak letih, tangan Laras bergerak lincah. Sealaman Laras sulit tidur, kepikiran soal perlakuan Oliver padanya. Apa mungkin ia menyimpan rasa dendam sehingga memperlakukannya seperti ini? Rasanya… berat, tapi tidak ada pilihan lain selain tetap kuat.
Bapak menatap penuh sayang pada putri semata wayangnya. Dalam kehidupannya di dunia ini memang tidak dilimpahi materi yang berlimpah. Tapi Bapak bersyukur Allah menitipkan harta yang jatuh lebih berharga dari materi.
“Kamu juga nggak boleh capek-capek, Nduk. Gimana dengan kerjaan barumu, kamu nyaman nggak?”
Laras menggeleng, “Laras nggak capek kok, Pak.” ia terdiam sejenak sebelum melanjutkan dengan senyum tipis, “kerjaaan juga lancar.”
Bapak mengela napas lega, “Syukur alhamdulillah, Nduk. Bapak selalu berdoa untuk masa depan kamu.”
Kata-kata itu membuat dada Laras hangat. Ia menggigit bibir menahan haru, lalu memeluk lengan bapaknya dengan lembut. “Laras cuma mau Bapak sehat. Kalau Bapak sehat, Laras kuat apa pun yang terjadi di pabrik.”
Bapak menatap wajah putrinya yang polos, tak terasa matanya basah. “Nduk, jangan pernah berubah. Dunia boleh keras, tapi hati yang tulus itu selalu dijaga Gusti Allah.”
Laras mengangguk, menatap bekal di meja. Saat itu ia merasa sedikit lebih tenang. Apa pun yang dilakukan Oliver nanti ia harus kuat, karena ada Bapak yang menunggunya di rumah.
Setelah bekal siap, ia mengecek kembali bungkusan makanan untuk bapaknya. Wajahnya mengulas senyum kecil. “Setidaknya Bapak bisa makan enak hari ini,” gumamnya lirih.
jasngan gengsi aja di gedein 😀😀😀
ntar bucin tingkat Dewa, kluudahcinta 😀😀😀