Nindya adalah wanita empatik dan gigih yang berjuang membesarkan anaknya seorang diri. Kehidupannya yang sederhana berubah ketika ia bertemu Andrew, pria karismatik, mapan, dan penuh rahasia. Dari luar, Andrew tampak sempurna, namun di balik pesonanya tersimpan kebohongan dan janji palsu yang bertahan bertahun-tahun.
Selama lima tahun pernikahan, Nindya percaya ia adalah satu-satunya dalam hidup Andrew, hingga kenyataan pahit terungkap. Andrew tetap terhubung dengan Michelle, wanita yang telah hadir lebih dulu dalam hidupnya, serta anak mereka yang lahir sebelum Andrew bertemu Nindya.
Terjebak dalam kebohongan dan manipulasi Andrew, Nindya harus menghadapi keputusan tersulit dalam hidupnya: menerima kenyataan atau melepaskan cinta yang selama ini dianggap nyata. “Istri Bayangan” adalah kisah nyata tentang pengkhianatan, cinta, dan keberanian untuk bangkit dari kepalsuan yang terselubung.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seroja 86, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Hari Minggu sore, setelah banyak keraguan, Nindya akhirnya membawa anaknya ke sebuah kafe keluarga di pinggiran Batam. Ia sempat menimbang-nimbang hingga menit terakhir, tapi entah mengapa kakinya tetap melangkah ke sana.
Andrew sudah menunggu di sudut ruangan, mengenakan kemeja kasual. Saat melihat mereka datang, ia berdiri dan menyambut dengan ramah. Tidak ada sikap berlebihan, tidak ada paksaan, hanya senyum tulus.
“Ini pasti Yudith ,” ucapnya sambil menunduk sopan ke arah anak Nindya.
“Halo,..Yudith kamu bisa panggil aku Uncle Andrew .”
Anak itu menatapnya sebentar, lalu bersembunyi di balik tubuh Nindya. Andrew tertawa kecil, tidak tersinggung sama sekali. “Tidak apa-apa Uncle tidak makan anak anak loh.”
Perlahan namun Pasti Yudith putrinya mengulaskan senyum dan tanpa di sadari Putri kecilnya itu sudah duduk di pangkuan Amdrew hal yaang hampir mustahil
Nindya memperhatikan interaksi itu dengan hati yang sulit ia kendalikan. Untuk pertama kalinya, ia melihat sisi Andrew yang berbeda—bukan eksekutif percaya diri yang selalu tampil sempurna, melainkan seorang pria yang sabar dan tulus berusaha mendekati dunianya.
Saat mereka duduk bersama, percakapan mengalir lebih ringan. Andrew tidak membicarakan pekerjaan, tidak pula mencoba menguasai pembicaraan. Ia lebih banyak mendengar, memberi ruang bagi Nindya dan anaknya untuk merasa nyaman.
Di tengah suasana itu, Nindya sadar: pertahanan yang ia bangun perlahan runtuh. Dan meski ia tahu jalan di depan tidak akan mudah, hatinya mulai menerima bahwa mungkin, hanya mungkin, Andrew benar-benar ingin menjadi bagian dari hidupnya.
Pelayan datang membawa menu, dan Andrew dengan tenang menawarkan,
“Yudith suka apa? Ada jus jeruk atau milkshake.”
Yudith masih diam. Nindya menoleh ke anaknya,
“Mau milkshake cokelat, ya?” Bocah itu mengangguk cepat, lalu menunduk lagi.
Andrew memesan tanpa banyak komentar. Setelah pelayan pergi, ia membuka percakapan ringan, tidak menekan, tidak mendesak.
“Yudith suka mainan apa sayang?”
Bocah itu menoleh sekilas, ragu.
“Barbie,” jawabnya lirih.
Andrew tersenyum lebar, tapi tetap tenang. “Wah nanti Uncle jadi tidak bisa bedakan dong, mana Barbie mana Yudith sama sama cantik sih."
Mata Yudith berbinar, lalu menutup mulutnya bocah itu terkekeh kecil.
Nindya memperhatikan perubahan itu dengan hati yang sulit ia kendalikan. Andrew tidak mencoba tampil keren atau memikat dengan cara berlebihan.
Ia hanya hadir dengan kesabaran yang jarang ditemuinya pada orang dewasa, apalagi pria dengan posisi seperti Andrew.
Ketika minuman datang, Andrew sengaja menunggu Yudith menyeruput milkshake-nya dulu.
“Enak?” tanyanya.
Yudith mengangguk, kali ini lebih percaya diri. “Enak.”
Andrew mengangkat cangkir kopinya.
“Bagus kalau begitu, cheers.” Ia mengangkat cangkirnya ke arah gelas kecil Yudith . Bocah itu sempat bingung, tapi akhirnya menempelkan gelasnya dengan kikuk. “Cheers,” katanya pelan.
Nindya tersenyum. Pemandangan itu terasa begitu sederhana, tapi hatinya bergetar.
Percakapan berlanjut ringan. Andrew tidak banyak bertanya soal pribadi Yudith , hanya menyinggung hal-hal kecil yang membuat anak itu nyaman mainan favorit, kartun yang disukai.
Yudith menjawab dengan polos
, “frozen."
“Kenapa?” tanya Andrew, mencondongkan badan seolah benar-benar penasaran.
“Karena dia cantik.”
Andrew tertawa kecil
“Kamu juga cantik”
Yudith memandang Andrew, matanya berbinar.
Nindya hanya terdiam, membiarkan momen itu mengalir. Ia merasa asing sekaligus hangat melihat bagaimana Andrew bisa membuat anaknya tertawa tanpa paksaan.
Selama ini, hanya ia sendiri yang menjadi pusat dunia Yudith. Tapi sore itu, untuk pertama kalinya, ada orang lain yang berhasil masuk ke dunia kecil anaknya.
Nindya tersenyum meski dalam hatinya masih ada sedikit kekhawatiran. Ia tahu Andrew bukan pria sederhana. Masa lalunya penuh luka dan intrik.
Tapi sore itu, ia melihat sisi yang lain: seorang pria yang bisa menurunkan egonya, menyamakan diri dengan anak kecil, tanpa kehilangan wibawa.
Ketika hari mulai senja, mereka memutuskan pulang. Di parkiran Yudith tiba-tiba menggenggam lengan Andrew sebentar. “Uncle Andrew…” panggilnya.
Andrew menoleh, kaget sekaligus senang. “Ya?”
“Besok kalau main, bawa barbie ya.”
Andrew menunduk, matanya melembut.
“Janji lain kali, Uncle bawa barbie .”
Yudith mengangguk puas, lalu berlari kecil ke arah mobil bersama Nindya.
Nindya yang berjalan di belakangnya sempat menoleh ke Andrew.
“Kamu menang.”Ucap Nindya sambil menjabat tangan Andrew
Andrew hanya tersenyum dan menepuk punggung tangan Nindya.
“Apa aku bilang, anak anak pasti suka sama aku."
Kata-kata itu membuat wajah Nindya merona tanpa ia sadari. Ia buru-buru menunduk, lalu masuk ke mobil. Tapi sepanjang perjalanan pulang, ia tidak bisa menghapus senyum tipis dari wajahnya.
Malam itu, setelah Arka tidur, Nindya duduk lama di ruang tamu. Ia merenungkan semua yang terjadi. Rasanya sulit dipercaya, Andrew—pria yang awalnya hanya ia kenal sebagai atasan yang berwibawa—kini bisa membuat anaknya tertawa lepas.
Ada rasa takut, tentu saja. Takut membuka hati lagi, takut mengulang kesalahan masa lalu. Tapi di sisi lain, ada bagian dalam dirinya yang perlahan mulai percaya bahwa mungkin, hanya mungkin, Andrew berbeda.
Dan untuk pertama kalinya, ia membiarkan dirinya tidak menolak kemungkinan itu.
Andrew duduk di balik kemudi mobilnya, mesin sudah menyala tapi ia belum juga bergerak. Dari kaca spion, ia masih sempat melihat Nindya menggandeng Yudith masuk ke lobi apartemen. Bocah kecil itu melambaikan tangan sebentar sebelum menghilang di balik pintu.
Senyum Andrew sempat bertahan beberapa detik, lalu perlahan pudar. Ada rasa hangat yang tertinggal, tapi juga sesak yang sulit dijelaskan.
Yudith. Nama itu kini berputar di kepalanya, menggema bersama tawa renyah yang tadi memenuhi kafe. Bocah itu baru tiga tahun, penuh rasa ingin tahu, dengan mata besar yang jernih.
Usianya hanya selisih dua tahun dengan Rachel putri kandungnya di Vietnam. Putri yang jarang ia jumpai, tapi setiap kali mengingatnya, dada Andrew terasa ditusuk rasa bersalah.
Ia memejamkan mata sebentar. Kenangan itu datang tanpa bisa ia cegah: hari ketika ia pertama kali menggendong bayi kecil itu di sebuah rumah sakit di Ho Chi Minh.
Tubuh mungil yang dibalut selimut putih, aroma khas bayi yang masih melekat kuat di ingatannya. Saat itu, ia berkata pada dirinya sendiri bahwa ia akan selalu ada, bahwa meski hubungannya dengan Michelle tidak jelas, anak itu tetap berhak mendapatkan ayah.
Namun kenyataan tidak semudah janji. Pekerjaan, konflik rumah tangga, hingga jarak antarnegara membuat kehadirannya semakin jarang.
Michelle semakin menuntut, dan Andrew semakin menjauh. Yang tersisa kini hanyalah hubungan yang rapuh panggilan video singkat, sesekali kiriman hadiah, dan wajah kecil yang menatap layar tanpa benar-benar mengerti mengapa ayahnya hanya hadir lewat kamera.
Melihat Yudith hari ini, Andrew seperti dihantam kenyataan pahit. Senyum polos bocah itu mengingatkannya pada putrinya sendiri. Andai waktu bisa diputar, mungkin ia akan memilih lebih sering pulang, lebih sering duduk menemani putrinya menggambar atau sekadar bercerita sebelum tidur.