Dara sebagai pelatih Taekwondo yang hidupnya sial karena selalu diteror rentenir ulah Ayahnya yang selalu ngutang. Tiba-tiba Dara Akan berpindah jiwa raga ke Tubuh Gadis Remaja yang menjatuhkan dirinya di Atas Jembatan Jalan Raya dan menimpa Dara yang berusaha menyelamatkan Gadis itu dari bawah.
Bagaimana Kelanjutannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amanda Ricarlo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bertemu dengan Alia
Waktu istirahat pertama tiba. Langit di luar sekolah sedang cerah, sinar matahari menembus kaca-kaca besar di koridor, memantul di lantai yang licin. Dari arah kantin, suara riuh rendah para siswa bercampur aroma ayam goreng dan sup panas yang mengepul.
Lesham berdiri di antrean kantin dengan nampan kosong di tangannya. Ia bisa merasakan pandangan orang-orang mengarah padanya lagi, sesuatu yang sudah ia alami sejak pertama kali masuk ke sekolah ini. Tatapan itu beragam, ada yang hanya sekilas, ada yang terang-terangan menatap seakan ingin menelanjangi pikirannya.
Ia tidak tahu persis apa yang mereka pikirkan. Apakah mereka sedang menilai penampilannya? Mengingat masa lalunya? Atau hanya sekadar mengikuti gosip yang entah benar atau tidak? Lesham menarik napas panjang, menundukkan wajah, mencoba tidak peduli. Dalam hati ia tahu, semakin ia memedulikan tatapan itu, semakin ia memberi mereka alasan untuk menghakiminya.
Antrean bergerak perlahan. Beberapa siswa di depannya bercanda sambil tertawa keras, sama sekali tidak memedulikan kehadirannya. Setelah menunggu hampir lima menit, Lesham akhirnya menerima sepiring nasi, ayam goreng, sedikit sayur tumis, dan segelas teh manis.
Ia melangkah menjauh dari barisan, matanya menyapu seluruh ruangan kantin yang padat. Semua meja terisi penuh. Tawa, suara piring beradu, dan obrolan bercampur menjadi kebisingan yang menguasai ruang. Namun ada satu meja, tepat di tengah deretan kanan, yang anehnya memiliki empat kursi kosong.
Di meja itu, hanya duduk seorang gadis berkacamata. Rambutnya tergerai ke depan menutupi sebagian wajah. Ia sedang makan dengan tenang, menyendok nasi ke mulut tanpa sekalipun mengangkat kepala. Lesham mengerutkan kening. Empat kursi kosong di kantin yang sesesak ini adalah hal langka, tapi mengapa tidak ada satu pun yang duduk di sana?
Perlahan ia melangkah mendekat, mencoba tak membuat suara langkahnya terlalu keras.
“Bolehkah aku duduk di sini? Semua bangku disana penuh… hanya di sini yang kosong, Apa boleh aku duduk disini?” ucapnya hati-hati, menunggu reaksi.
Gadis itu berhenti menyendok makanan sejenak, menatapnya dari balik kaca mata dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Duduk saja. Aku tidak melarangmu” jawabnya pelan, datar, lalu kembali menunduk ke piringnya.
Lesham menarik kursi dan duduk di seberang. Gadis ini benar-benar pendiam, bahkan tidak memberikan sekadar senyum basa-basi. Makan sambil diam-diam dipandangi seperti ini membuat suasana canggung, dan Lesham bukan tipe orang yang nyaman tenggelam dalam keheningan.
“Namamu siapa? Aku Lesham,” ucapnya sambil memotong ayamnya.
Tidak ada jawaban. Gadis itu tetap memindahkan sendok dari piring ke mulutnya, seakan tidak mendengar.
Lesham tidak menyerah. “Sebenarnya aku cukup mengenal sekolah ini… maksudku, dulu. Tapi sebagian memoriku hilang. Semua orang di sini seperti membenciku. Apa aku pernah melakukan sesuatu yang buruk? Bahkan… ada seseorang bernama… siapa ya? Ah, iya... Evelyn.”
Nama itu baru keluar dari mulutnya, gerakan tangan gadis itu langsung berhenti di udara. Lesham memperhatikan perubahan kecil itu. Ia yakin, gadis ini tahu sesuatu.
“Iya, Evelyn” lanjutnya perlahan. “Aku pernah bertemu dengannya di toilet. Dia bilang aku akan selalu bertemu dengannya. Apa kau tahu maksudnya?”
Kali ini gadis itu mengangkat wajahnya. “Aku Alia. Kau bisa memanggilku dengan nama itu. Dan… sebaiknya kau jauhi Dia. Dia bukan orang sembarangan, Jika ada orang yang berurusan dengannya. Hidupnya tidak akan tenang” katanya singkat, suaranya datar tapi mengandung sesuatu yang tidak ia mengerti.
Selesai makan, Alia berdiri sambil merapikan piringnya. Lesham menelan cepat makanan di mulutnya, lalu memanggil dengan suara setengah tercekik, “Unggu awwku…(Tunggu Aku)
Mereka kini berjalan berdampingan di koridor lantai satu. Alia tetap diam, tatapannya lurus ke depan, seakan memutuskan untuk tidak bicara lagi. Lesham beberapa kali melirik, mencoba membaca ekspresi yang ia sembunyikan.
Dan tiba-tiba teringat Salah satu pesan yang membuatnya penasaran, dan mencoba untuk bertanya padanya.
“Apa kau yang mengirim pesan di ponselku… yang menyuruhku menjauhi Evelyn?” tanyanya akhirnya.
Langkah Alia berhenti. Lesham juga berhenti. Mata Alia tampak ragu, seperti sedang mempertimbangkan sesuatu.
“Jujurlah padaku. Aku ingin tahu yang sebenarnya. Kalau aku sudah mengingat semuanya, aku tidak akan repot-repot mengejarmu hanya untuk mendapatkan jawaban seperti ini” kata Lesham, kali ini nadanya tulus, bahkan sedikit memohon.
Alia menatapnya cukup lama, lalu bertanya, “Kau benar-benar ingin tahu?”
Lesham mengangguk. “Iya. Tolong jelaskan semuanya.”
Alia menoleh kanan-kiri, memastikan tidak ada siswa lain di sekitar mereka. Lalu ia menggenggam pergelangan tangan Lesham dan menariknya menuju perpustakaan.
Mereka menaiki tangga ke lantai dua. Tempat itu sunyi, hanya terdengar bunyi langkah mereka dan sedikit derit pintu ketika Alia membukanya. Udara di dalamnya dingin, aroma buku tua bercampur wangi debu halus memenuhi hidung.
“Sekarang cepat jelaskan,” pinta Lesham, rasa ingin tahunya sudah di puncak.
Alia mengeluarkan ponselnya, membuka sebuah video, lalu menyodorkannya. “Lihat ini.”
Lesham menerima ponsel itu. Matanya membelalak perlahan ketika video diputar. Dalam rekaman itu, seorang perempuan terekam melakukan hal tak pantas dengan seorang guru di ruang laboratorium. Kamera menangkap dari sudut lorong sempit, wajah perempuan itu tak terlihat jelas karena membelakangi kamera.
Lesham menoleh pada Alia, wajahnya penuh tanda tanya.
“Aku tahu itu bukan kau,” kata Alia mantap. “Dan Aku ada di sana, tepatnya saat aku sedang diruangan lain. Aku lihat sendiri kau hanya kebetulan lewat setelah seseorang merekam ini. Tapi orang-orang percaya kau pelakunya. Aku yakin orang yang benar-benar merekam video ini masih ada di lingkaran mereka.”
Lesham menatap layar ponsel lagi, pikirannya berputar cepat. “Apakah ini Evelyn?” gumamnya pelan.
“Aku tidak tahu siapa perempuan itu,” jawab Alia. “Tapi sejak kau dituduh, Evelyn terus mengganggumu… dan terus menganggu hidupmu, sampai kau hampir melompat dari atap sekolah karena tidak kuat dengan tekanan dari mereka. Untung aku ada di sana dan menyelamatkanmu.”
Lesham terdiam, matanya menatap Alia lebih lama dari yang seharusnya. Ada rasa hangat, campuran lega dan haru, menyelinap di dadanya. “Jadi… kaulah orang yang selama ini kucari. Terima kasih, Alia. Kau sudah menyelamatkanku.”
Alia hanya tersenyum tipis, mengangguk pelan, seolah menganggap itu bukan hal besar, padahal bagi Lesham, itu adalah segalanya.
Dan untuk saat ini Bagaimana caranya Lesham membuat rencana untuk mengalahkan Mereka, dan mengungkap dan kebenaran.