Judul: Suamiku Tak Pernah Kenyang
Genre: Drama Rumah Tangga | Realistis | Emosional
Laila Andini tak pernah membayangkan bahwa kehidupan rumah tangganya akan menjadi penjara tanpa pintu keluar. Menikah dengan Arfan Nugraha, pria mapan dan tampak bertanggung jawab di mata orang luar, ternyata justru menyeretnya ke dalam pusaran lelah yang tak berkesudahan.
Arfan bukan suami biasa. Ia memiliki hasrat yang tak terkendali—seakan Laila hanyalah tubuh, bukan hati, bukan jiwa, bukan manusia. Tiap malam adalah medan perang, bukan pelukan cinta. Tiap pagi dimulai dengan luka yang tak terlihat. Laila mencoba bertahan, karena “istri harus melayani suami,” begitu kata orang-orang.
Tapi sampai kapan perempuan harus diam demi mempertahankan rumah tangga yang hanya menguras
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Euis Setiawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
aroma ketegangan di dapur
Embun pagi masih menyisakan sejuknya di sela dedaunan halaman depan rumah Laila. Di bawah langit cerah, Bu Yani dan suaminya bersiap untuk kembali ke kampung. Setelah hampir seminggu menginap, akhirnya hari itu mereka pulang, meninggalkan Laila dengan sejuta rasa lega sekaligus cemas yang menggantung di dada.
“Jangan lupa makan makanan sehat ya, jangan sembarangan. Supaya cepat-cepat punya anak,” pesan Bu Yani sambil memeluk Laila erat.
Laila hanya tersenyum tipis, matanya melirik Arfan yang tampak ogah-ogahan merespons. Ucapan seperti itu sudah seperti rekaman rusak di telinganya. Ia hapal di luar kepala.
“Oh iya, Bi Ratmi,” teriak Bu Yani sambil melirik ke arah dapur, “tolong jaga makanan mereka, ya. Yang sehat-sehat, biar saya cepat dapat cucu!”
“Baik, Bu!” jawab Bi Ratmi dari dapur dengan nada sopan.
Laila dan Arfan pun melambai saat mobil yang membawa orang tua Arfan melaju menjauh dari rumah. Saat mobil sudah hilang dari pandangan, Laila menghembuskan napas panjang, seolah beban besar yang menempel di punggungnya baru saja terangkat.
“Hayo masuk,” ucap Arfan datar.
Sesaat setelah masuk rumah, suasana terasa lebih lengang. Tak ada lagi langkah kaki ibu mertua yang suka tiba-tiba masuk ke dapur atau pertanyaan-pertanyaan penuh tekanan soal kehamilan.
Namun kedamaian itu hanya berlangsung sekejap.
Laila berjalan ke arah dapur dan mendapati Bi Ratmi sedang mengelap meja. Pandangan Laila sontak tertuju pada seragam yang dikenakan wanita itu. Baju berwarna krem khas yayasan, namun beberapa kancing bagian atas dibiarkan terbuka. Meski masih tergolong sopan, namun bagi Laila, itu cukup membuatnya risih terlebih melihat bagaimana Arfan berdiri mematung, tatapannya kosong ke arah yang tak seharusnya.
Laila pun langsung menegur, dengan nada yang cukup tajam.
“Bi, tolong... pakaiannya dijaga, ya. Ini rumah keluarga.”
Bi Ratmi menoleh, tampak tak merasa bersalah. Ia malah tersenyum kecil.
“Memangnya kenapa, Bu? Ini kan seragam yayasan. Saya hanya mengikuti aturan. Lagian, ini rumah Ibu dan Bapak, saya cuma kerja.”
Laila mendekat, menahan gejolak dalam dadanya. “Ya, tapi tolong kancing bajunya dikancingkan lebih ke atas. Saya tidak enak kalau... ada yang lihat.”
Bi Ratmi mengangguk pelan, namun sorot matanya seperti menantang. Ia tidak berkata apa-apa lagi. Hanya tersenyum, lalu kembali mengelap meja sambil bersenandung kecil.
Arfan yang dari tadi berdiri, akhirnya bersuara, “Sudahlah, jangan dibesar-besarkan. Gak usah ribut soal sepele kayak gitu.”
Laila menatap Arfan dengan sorot tak percaya. Ia tidak tahu apakah Arfan sengaja membela atau hanya tidak ingin suasana menjadi tegang. Tapi satu yang pasti, sejak hari itu, firasat buruk mulai menyelinap dalam benak Laila.
Malam harinya, saat Laila berbaring di ranjang, pikirannya terus dipenuhi bayangan si Bi Ratmi. Ia memang tidak berniat suudzon, tapi sebagai seorang istri, perasaan itu muncul begitu saja. Wanita itu memang tidak muda lagi, tapi penampilannya tidak mencerminkan usia. Bahkan, jujur saja, Laila merasa kalah jauh dari segi bentuk tubuh. Apalagi saat ini, Laila tengah lelah secara fisik dan mental, akibat tekanan soal kehamilan.
“Mas,” bisik Laila lirih saat Arfan masuk kamar. “Kamu rasa... Bi Ratmi cocok gak kerja di sini?”
Arfan mengangkat alis. “Kenapa tanya begitu?”
“Gak apa-apa. Cuma nanya. Soalnya... ya kamu tahu sendiri, rumah ini kecil, dan... aku agak gak nyaman aja kalau lihat dia pakai seragam kayak gitu.”
Arfan hanya mengangkat bahu. “Ya udah, nanti kamu yang atur seragamnya. Suruh dia pakai celemek atau jaket. Aku gak terlalu mikirin itu.”
Jawaban Arfan terasa seperti pelarian. Tidak menenangkan. Tapi Laila memilih diam. Ia tidak mau bertengkar hanya karena firasat.
Beberapa hari berlalu. Bi Ratmi menunjukkan diri sebagai pekerja yang rajin. Ia bangun lebih pagi dari semua orang, menyapu, mengepel, memasak, dan selalu menawarkan bantuan pada Laila.
Namun entah kenapa, Laila merasa pelayanan itu berlebihan. Terlalu sopan. Terlalu sering bertanya, “Mau dibuatkan teh, Bu?” atau “Bapak mau saya setrika bajunya juga?”
Suatu sore, Laila sedang menyiram tanaman di halaman depan. Ia melihat dari jauh Bi Ratmi berbincang dengan Arfan di dapur. Keduanya tampak tertawa kecil. Tak terdengar jelas obrolannya, tapi senyuman di wajah Bi Ratmi membuat hati Laila mencelos. Perasaan itu makin menjadi saat melihat Arfan juga ikut tersenyum, sesuatu yang mulai langka dilakukan di hadapan istrinya.
Malamnya, Laila tak bisa tidur.
Ia menatap langit-langit kamar dengan mata terbuka lebar. Pikirannya berkecamuk. Ia tahu dirinya sedang berusaha menjadi istri yang baik. Ia sudah menuruti semua permintaan Arfan. Bahkan, ia rela mempekerjakan pembantu agar bisa tetap tampil cantik di mata suaminya. Tapi mengapa hatinya terus merasa was-was?
Apakah ia terlalu cemburuan?
Atau... justru insting seorang istri yang sedang mencoba memperingatkan dirinya?
Keesokan harinya, Laila berbicara pada Bi Ratmi secara empat mata.
“Bi,” ucap Laila perlahan di dapur. “Mulai sekarang, tolong pakai celemek kalau lagi masak atau bersih-bersih, ya. Aku gak enak kalau ada tamu datang terus... kelihatan terlalu terbuka.”
Bi Ratmi mengangguk pelan. Tapi matanya jelas menunjukkan ketidaksukaan.
“Baik, Bu. Saya akan ikuti. Tapi mohon maaf kalau saya dianggap salah. Saya cuma kerja.”
Laila hanya mengangguk dan berbalik, tak ingin memperpanjang pembicaraan.
Beberapa hari setelahnya, ketegangan makin terasa. Arfan makin sering pulang lebih malam, dengan alasan lembur. Laila mencoba percaya. Tapi saat Arfan di rumah pun, sikapnya menjadi dingin, seperti tak mau banyak berbicara.
Laila duduk termenung di kamar, memeluk bantal, pikirannya mulai lelah dengan segala prasangka.
“Apa aku mulai kalah?”
“Apa aku terlalu buruk di matanya?”
“Atau... memang dia mulai tergoda?”