NovelToon NovelToon
Cewek Pendiam Inceran Ketos Ganteng

Cewek Pendiam Inceran Ketos Ganteng

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen / Ketos / Murid Genius / Teen Angst / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Idola sekolah
Popularitas:2.4k
Nilai: 5
Nama Author: Putri Sabina

Citra Asmarani Mahardi, siswi culun berkacamata tebal, selalu berusaha hidup biasa-biasa saja di sekolah. Tak ada yang tahu kalau ia sebenarnya putri tunggal seorang CEO ternama. Demi bisa belajar dengan tenang tanpa beban status sosial, Citra memilih menyembunyikan identitasnya.
Di sisi lain, Dion Wijaya—ketua OSIS yang tampan, pintar, dan jago basket—selalu jadi pusat perhatian. Terlebih lagi, ia adalah anak dari CEO keturunan Inggris–Thailand yang sukses, membuat namanya makin bersinar. Dion sudah lama menjadi incaran Rachel Aurora, siswi populer yang cantik namun licik, yang rela melakukan apa saja untuk mendapatkan hati Dion.
Saat Citra dan Dion dipaksa bekerja sama dalam sebuah proyek sekolah, Dion mulai melihat sisi lain Citra: kecerdasannya, kesabarannya, dan ketulusan yang perlahan menarik hatinya. Namun, semakin dekat Dion dan Citra, semakin keras usaha Rachel untuk menjatuhkan Citra.
Di tengah persaingan itu, ada Raka Aditya Pratama—anak kepala sekolah—yang sudah lama dekat dengan Citra seperti sahabat. Kedekatan mereka membuat situasi semakin rumit, terutama ketika rahasia besar tentang siapa sebenarnya Citra Asmarani mulai terungkap.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri Sabina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Harmoni dan Kegelisahan

Di rumah, Citra baru saja masuk halaman ketika ART mendekatinya.

“Non, Tuan udah pulang,” ujar ART dengan lembut.

“Hah… Papi udah pulang dari Singapura,” balas Citra sambil menatap tubuhnya yang masih kotor penuh lumpur. Napasnya ngos-ngosan setelah perjalanan pulang dari outbond.

Ia mengusap-usap tangannya ke celana seragam, tapi lumpur hanya sedikit berkurang.

“Heh… lumayan deh, outbondnya seru banget,” gumamnya sambil tersenyum tipis, walau sedikit lelah.

ART tersenyum hangat. “Non, sebaiknya mandi dulu. Papi Tuan Mahardi sudah ada di ruang tamu, ingin bicara sebentar sama Non.”

Citra mengangguk pelan, menarik napas panjang. “Iya, Bi… bentar lagi.”

Setelah cepat-cepat mandi dan berganti baju bersih, Citra turun ke ruang tamu. Aroma teh hangat dan kue kering menyambutnya. Tuan Mahardi duduk di sofa, wajahnya ramah, senyum lembut menatap putrinya.

“Hah… Cit, pulang kotor-kotoran ya?” ujar Tuan Mahardi sambil tertawa ringan. “Gimana outbond hari ini?”

Citra duduk di sebelahnya, sedikit tersipu. “Seru, Papi… tapi capek banget. Temen-temen kelas gue juga gokil-gokil semua.”

Tuan Mahardi menepuk punggungnya ringan. “Bagus… yang penting kerja sama timnya keliatan. Tapi hati-hati ya, Cit. Sekolah baru, orang baru… kadang ada yang nggak suka sama anak baik. Kamu ngerti maksud Papi 'kan?”

Citra menunduk sebentar, lalu tersenyum. “Iya, Papi… Citra ngerti. Tenang aja, Citra bisa jaga diri.”

Momen itu hangat. Walau sisa lumpur masih terasa di bajunya, hatinya terasa sedikit lega—bisa cerita sama Papi tentang hari yang penuh kekacauan, tawa, dan seru-seruan itu.

Malam itu, Citra memakai celana panjang nyaman dan kaus santai, berjalan pelan ke patio. Suara gemericik air kolam renang berpadu dengan angin malam yang sejuk. Lampu taman memantulkan cahaya lembut di permukaan air.

Tuan Mahardi duduk di kursi panjang, menyesap kopi sambil menatap tablet. Saat melihat Citra datang, ia menurunkan tablet dan tersenyum hangat.

“Alhamdulillah, kamu udah pulang, sayang,” ujar Tuan Mahardi.

“Alhamdulillah juga, Pih. Aku kangen suasana rumah,” jawab Citra sambil duduk di sebelahnya.

Tuan Mahardi menepuk ringan bahu Citra. “Gimana hari ini, kamu? Capek nggak?”

Citra menghela napas, menatap kolam renang sebentar sebelum menoleh ke ayahnya. “Capek sih… tapi seru juga, Papi. Aku nggak nyangka bisa seramai itu sama teman-teman baru.”

Ayahnya tersenyum, menyesap kopi lagi. “Papi seneng kamu bisa enjoy, tapi hati-hati ya. Papi nggak pengin kamu disakiti sama orang yang nggak baik.”

“Aku ngerti, Pih… Aku bakal jaga diri. Tapi jujur, kadang aku capek harus selalu hati-hati,” ucap Citra pelan. Matanya menatap ayahnya, ada rasa lega bisa cerita.

Tuan Mahardi menggenggam tangan Citra sebentar. “Papi tahu, sayang. Tapi percaya deh, kamu nggak sendiri. Aku selalu ada buat kamu, oke?”

Citra tersenyum tipis, menunduk sebentar. “Iya, Papi… Aku seneng banget bisa ngobrol sama Papi kayak gini. Rasanya lega banget.”

Mereka berdua duduk tenang, ditemani gemericik kolam dan aroma kopi hangat. Malam itu, walau hari di sekolah penuh kekacauan, hati Citra terasa damai karena bisa merasa dekat dengan ayahnya.

“Papi,” panggil Citra sambil menatap ayahnya.

“Ada apa, Nak?” Tuan Mahardi menoleh, senyum hangat di wajahnya.

“Papi kenal Raka?” tanya Citra, nada penasaran.

“Raka siapa, sayang?” Tuan Mahardi sedikit bingung.

“Raka Aditya Pratama… anak kepala sekolah,” jelas Citra sambil mencondongkan badan.

“Oh, tentu aku tahu dia. Dia kan tahu tentang donatur sekolahmu, dan Tuan Wijaya pasti juga kenal anaknya,” jawab Tuan Mahardi sambil tersenyum ringan.

Citra menggeleng, wajahnya masih penasaran.

“Yaudah, lain kali Papi kenalin deh. Sayang Papi juga nggak punya fotonya sih,” canda Tuan Mahardi, membuat Citra tersenyum kecil.

“Yaudah, Papi. Mau mandi dulu, kamu masuk belajar ya,” kata Tuan Mahardi sambil membelai kepala Citra.

“Bi!” panggil Tuan Mahardi setelah berdiri.

“Iya, Tuan,” jawab ART cepat.

“Siapkan air hangat dan makan malam di kamar aja. Aku banyak kerjaan malam ini,” perintah Tuan Mahardi.

“Baik, Tuan,” jawab ART patuh, sambil menahan senyum melihat momen hangat antara ayah dan anak itu.

Citra melangkah masuk ke rumah, melepas sepatu di foyer, lalu matanya tertumbuk pada piano hitam mengkilap di sudut ruang tamu.

“Udah lama banget aku nggak main piano… apalagi semenjak les terakhir waktu SMP,” gumamnya pelan sambil menarik kursi dan membuka tutup piano.

Jari-jarinya mulai menari perlahan di atas tuts hitam-putih, nada-nada lembut mengisi ruang tamu yang sepi. Ia menutup mata sesaat, membiarkan alunan musik menghapus penat dari hari OSPEK yang penuh kekacauan.

Beberapa menit berlalu, nada-nada semakin lancar, tangan Citra mengalir seirama dengan pikirannya sendiri. Sesekali ia tersenyum tipis, teringat kenangan lama saat belajar piano dengan semangat di masa kecilnya.

“Ah… rasanya tenang banget ya,” bisiknya sambil menatap tuts piano, membiarkan musik menjadi pelarian dari semua drama sekolah dan kekacauan hari ini.

Nada-nada lembut masih mengalir dari piano ketika Citra mulai menundukkan kepala, matanya menatap tuts. Hatinya campur aduk.

“Raka… dia selalu ada buat aku. Sederhana, tapi tulus,” gumamnya pelan. Tangan kanannya berhenti sesaat di tuts, membiarkan bayangan Raka muncul di pikirannya. Ia tersenyum tipis, tapi cepat menepisnya.

Lalu pikirannya melayang ke Dion. “Kenapa ya… setiap kali Dion ada, jantungku deg-degan gitu? Padahal aku nggak suka sama dia,” batinnya. Nadanya mulai berubah, jari-jarinya menekan tuts dengan sedikit gemetar, nada-nada yang tadinya ringan kini terdengar lebih sendu.

Citra menarik napas panjang, membiarkan musiknya menjadi cerminan perasaannya: campuran penasaran, takut, dan sedikit kegembiraan yang ia sendiri belum mengerti. Piano itu seolah jadi teman bicara yang paling jujur.

Ia menundukkan kepala lagi, tangan kirinya menyapu tuts perlahan, seakan mencari jawaban dalam nada. “Aku cuma pengen semuanya normal… pengen sekolah tanpa drama, tanpa masalah. Tapi… rasanya semua makin ribet tiap hari,” bisiknya.

Di balik tirai, cahaya sore menembus masuk, membuat bayangan Citra dan piano seolah menyatu. Musiknya terus mengalir, lembut tapi penuh emosi, seperti ungkapan hati yang tak bisa ia sampaikan dengan kata-kata.

Ia menutup mata, membiarkan dirinya hanyut sejenak. Di hatinya, meski bingung dengan perasaan terhadap Dion dan rasa nyaman dengan Raka, ada satu hal yang pasti: piano selalu jadi tempat ia kembali menemukan ketenangan.

Setelah menutup piano, Citra duduk di bangku panjang di dekat jendela. Mata menatap ke luar, tapi pikirannya jauh melayang.

Wajah Dion terus muncul di kepalanya, senyum samar yang selalu bikin dadanya berdegup lebih cepat. Ia menggigit bibir, berusaha menepis bayangan itu, tapi sia-sia.

Ucapan Raka pun terngiang jelas di telinganya, seakan ikut menambah beban:

“Cit, mending lo jauhin Dion deh… daripada lo ribet-ribet sama Rachel sama gengnya.”

Citra menarik napas panjang, menutup mata, mencoba menenangkan diri. “Raka… dia cuma mau jaga aku. Tapi kenapa ya… hati ini nggak bisa diem kalau Dion ada di dekatku?” gumamnya lirih.

Tangannya bermain dengan lengan bajunya, sedikit cemas. Campuran perasaan yang ia sendiri belum mengerti: penasaran, takut, dan entah kenapa, ada sedikit ketertarikan yang tak ingin ia akui.

“Kenapa setiap kali Dion muncul… aku merasa deg-degan gitu? Padahal aku nggak suka sama dia,” batinnya lagi, lebih keras kali ini, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

Citra menoleh ke piano, seakan mencari jawaban dari tuts-tuts yang tadi ia mainkan. Nada-nada lembut itu terasa seperti suara hatinya sendiri. Ia menepuk meja pelan, menarik napas, lalu berbisik:

“Besok… aku harus hati-hati. Tapi… aku juga nggak bisa pura-pura nggak peduli.”

Di balik tirai, lampu jalan mulai menyala satu-satu. Bayangan malam dan musik tadi membuat suasana terasa hening, tapi di dalam hati Citra, kegelisahan dan rasa penasaran itu justru semakin nyata.

*

1
Ical Habib
lanjut thor
Siti H
semangat... semoga sukses
Putri Sabina: maksih kak Siti inspirasi ku
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!