Andreas Wilton sudah terlahir dingin karena kejamnya kehidupan yang membuatnya tidak mengerti soal kasih sayang.
Ketika Andreas mendengar berita jika adik tirinya akan menikah, Andreas diam-diam menculik mempelai wanita dan membawa perempuan tersebut ke dalam mansion -nya.
Andreas berniat menyiksa wanita yang paling disayang oleh anak dari istri kedua ayahnya itu, Andreas ingin melihat penderitaan yang akan dirasakan oleh orang-orang yang sudah merenggut kebahagiaannya dan mendiang sang ibu.
Namun, wanita yang dia culik justru memberikan kehangatan dan cinta yang selama ini tidak pernah dia rasakan.
“Kenapa kau peduli padaku? Kenapa kau menangis saat aku sakit? Padahal aku sudah membuat hidupmu seperti neraka yang mengerikan”
Akankah Andreas melanjutkan niat buruknya dan melepas wanita tersebut suatu saat nanti?
Follow instagramm : @iraurah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iraurah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dalam Jeruji Emas
Langit senja mulai menggelayut di atas cakrawala saat mobil hitam berlapis baja memasuki halaman luas dari sebuah mansion megah di pinggiran kota. Gerbang besi setinggi tiga meter perlahan terbuka, membiarkan kendaraan itu melaju perlahan melewati jalanan berbatu yang ditata dengan presisi, dikelilingi taman-taman bergaya Eropa yang tertata apik.
Mansion milik Andreas Wilton berdiri angkuh di tengah lahan yang sangat luas, bagai istana di negeri dongeng yang diselimuti aura gelap. Pilar-pilar marmer putih menopang atap tinggi yang dihiasi ukiran rumit. Jendela-jendela besar dengan tirai berat menutupi bagian dalam bangunan, seakan menyembunyikan rahasia-rahasia kelam yang tersimpan di balik dindingnya.
Mobil berhenti tepat di depan tangga utama. Jack langsung membukakan pintu belakang, dan dari dalam mobil keluar sosok pria bertubuh tinggi dengan jas hitam yang membingkai tubuhnya secara sempurna. Andreas Wilton. Langkahnya mantap, wajahnya dingin, dan sorot matanya menusuk siapa pun yang berani menatapnya. Meski hari mulai gelap, aura yang terpancar dari dirinya seolah menyalakan ketegangan di udara.
Begitu ia masuk, para pelayan yang telah bersiap berdiri di dua sisi pintu depan serentak menundukkan kepala mereka. Wajah mereka tampak menegang, tubuh mereka tegak namun bergetar. Tidak seorang pun dari mereka berani berbicara, apalagi menatap langsung ke arah Andreas. Ketakutan mereka bukan tanpa alasan. Sang Tuan Rumah bukan hanya dikenal karena kekayaan dan pengaruhnya, namun juga karena sikap dingin dan kerasnya yang nyaris tidak menyisakan ruang bagi belas kasih. Mereka dibayar untuk tutup mulut, meski begitu ketika mereka melanggar peraturan atau melakukan kesalahan fatal, nyawa mereka sendirilah yang akan jadi taruhan.
Langkah kaki Andreas menggema di antara keheningan. Ia berhenti sejenak di tengah-tengah barisan pelayan.
“Bagaimana keadaan wanita itu?” tanyanya dengan suara datar namun mengandung tekanan kuat.
Seorang pelayan perempuan yang berdiri di barisan depan, berusia sekitar empat puluh tahun, memberanikan diri menjawab. Ia menunduk dalam-dalam, suaranya lirih dan hati-hati.
“Keadaan Nona Mistiza sudah jauh lebih baik, Tuan. Ia mulai bisa duduk dengan stabil dan tidak lagi bergantung pada infus. Dokter telah mencabut cairan pagi tadi atas permintaan Anda. Namun…”
Andreas mengangkat satu alis. “Namun?”
Pelayan itu menelan ludah sebelum melanjutkan. “Namun… dia makan sangat sedikit, Tuan. Hanya beberapa suap saja dari makanan yang kami sajikan.”
Tidak ada kata yang keluar dari mulut Andreas. Ia hanya menatap lurus ke depan, wajahnya tidak menunjukkan reaksi apa pun. Lalu, dengan gerakan cepat dan penuh otoritas, ia melangkah pergi, menyusuri lorong panjang menuju bagian belakang mansion—tempat di mana kamar tamu yang digunakan untuk mengurung Mistiza.
Andreas tiba di depan sebuah pintu kayu tua yang terlihat biasa saja, namun sebenarnya dilapisi logam dari dalam dan dikunci dengan sistem pengamanan khusus. Tanpa mengetuk, Andreas langsung memutar kenop pintu dan membukanya lebar. Suara engsel yang berdecit membuat orang yang berada di dalamnya sontak terlonjak kaget.
Mistiza yang tengah duduk di tepi tempat tidur dengan selimut membalut tubuhnya, memutar kepala dengan cepat. Matanya melebar, napasnya tercekat saat menyadari siapa yang baru saja masuk. Rambut panjangnya yang sedikit kusut menutupi sebagian wajahnya yang pucat. Ia tampak lebih baik dibandingkan hari-hari sebelumnya, namun bayangan trauma masih sangat jelas terlihat di wajahnya.
Andreas tidak mengucapkan sepatah kata pun. Pandangannya menyapu seluruh ruangan. Matanya yang mengedar tertuju pada meja kecil di samping tempat tidur, di mana sebuah piring porselen berisi makanan masih tersisa penuh. Hanya setengah isi piring itu yang disentuh. Sisanya masih utuh, tidak tersentuh.
Wajah Andreas mengeras. Tanpa berpikir panjang, ia melangkah cepat ke arah meja itu, meraih piring tersebut dan melemparkannya ke lantai dengan sekuat tenaga.
BRAK!
Piring itu pecah berkeping-keping, suara pecahannya menggema ke seluruh ruangan, makanannya pun berserakan kemana-mana. Mistiza menjerit kecil, dia berdiri dan mundur beberapa langkah.
“Jangan mendekat…!” serunya lirih dengan napas terengah.
Andreas melangkah maju dengan penuh amarah. Ia tidak berteriak, namun nada suaranya cukup untuk menimbulkan ketakutan yang luar biasa.
Mistiza terus mundur sampai punggungnya menempel pada dinding. Tangannya terangkat seolah hendak melindungi dirinya dari serangan Andreas.
“Kau pikir aku memberikan makanan itu untuk kau buang begitu saja?!” bentaknya sambil mencengkeram rahang Mistiza dengan keras, memaksa wanita itu menatapnya langsung. “Itu makanan terbaik dari dapurku! Makanan yang bahkan pelayan-pelayanku tidak akan pernah mencicipinya! Tapi kau... kau menolaknya?!”
“Kau harusnya sadar diri, kau hanya wanita miskin yang cuma makan makanan murahan setiap harinya!”
Mistiza menatap Andreas dengan mata berkaca-kaca. Tubuhnya gemetar, bukan hanya karena ketakutan, tapi juga karena marah pada nasib yang menimpanya. Namun ia tidak mengatakan apa-apa. Ia tahu, kata-kata hanya akan menjadi api pemantik bagi amarah Andreas yang sudah menggelegak.
“Apa aku perlu memberimu makan seperti anak kecil? Menyuapimu satu per satu dengan tangan ini?” Andreas menarik napas tajam. “Jangan mengujiku, Mistiza. Aku sudah cukup bersabar. Jangan membuatku berubah pikiran tentang bagaimana aku memperlakukanmu di sini.”
Mistiza mencoba berbicara, suaranya gemetar namun tulus. “Aku… aku tidak bisa menelan semuanya. Perutku masih mual. Aku tidak bermaksud menolak makananmu…”
“Alasan,” potong Andreas tajam. “Setiap perkataanmu hanyalah alasan untuk melawan. Padahal aku bisa saja membiarkanmu mati di hari itu. Tapi aku tidak melakukan itu. Aku membawamu ke sini. Memberimu tempat yang aman, pakaian, perawatan, dan makanan.”
“Tempat yang aman?” Mistiza nyaris tertawa dalam tangisnya. “Kau mengurungku. Kau menjauhkan aku dari semua orang yang kucintai. Ini bukan tempat aman, ini penjara…”
Andreas mencengkeram rahangnya lebih keras, matanya menyala oleh amarah.
“Apa menurutmu aku peduli? Di hari kau datang kesini, hak mu sudah tidak ada, semua ada di tanganku! Kau sudah tidak punya hak untuk melawan, tapi kau punya hak untuk bermimpi bisa keluar dari sini dan menikah dengan Ryan suatu saat nanti, tapi itu semua akan terjadi jika aku sudah memiliki apa yang aku mau!”
Mistiza mengerang pelan, menahan sakit di wajahnya. Air mata mulai mengalir di pipinya, namun Andreas tidak tersentuh oleh tangisan itu. Ia melepaskan cengkeramannya secara kasar, membuat kepala Mistiza sedikit terlempar ke samping.
Ia mundur satu langkah, menatap wanita itu dengan jijik dan rasa frustasi yang bercampur. “Melihatmu membuat aku terus teringat wajah Ryan, si anak pelacur itu. Jika kau ingin ku perlakukan seperti apa yang ingin aku lakukan pada Ryan, itu jauh lebih baik, namun ingat! Kau tak kan ku biarkan mati dengan cepat”
Ia berbalik dan berjalan menuju pintu, namun sebelum keluar, ia menoleh sekali lagi.
“Mulai besok, aku tak ingin melihat ada satu butir nasi yang tersisa di bekas piringmu. Jangan coba-coba untuk membuangnya, perlakuan mu berada di bawah pengawasanku”
Lalu tanpa menunggu tanggapan, Andreas keluar dan membanting pintu itu hingga tertutup rapat.
Mistiza terisak perlahan, tubuhnya bersandar pada dinding dingin, bahunya bergetar menahan tangis. Dunia yang ia kenal telah menghilang, digantikan oleh jeruji tak kasat mata dan raja tiran yang berdiri di atasnya.
Dan di luar kamar, di ujung lorong gelap, Andreas berdiri dengan tangan terkepal.
“Kau akan mematuhiku, atau kau akan hancur. Tidak ada pilihan lain, Mistiza!”
come cari tau masa sekelas anda yg power full ga bisa kan ga lucu