Axel Rio terjebak bertahun-tahun dalam kesalahan masa lalunya. Ia terlibat dalam penghilangan nyawa sekeluarga. Fatal! Mau-maunya dia diajak bertindak kriminal atas iming-iming uang.
Karena merasa bersalah akhirnya ia membesarkan anak perempuan si korban, yang ia akui sebagai 'adiknya', bernama Hani. Tapi bayangan akan wajah si ibu Hani terus menghantuinya. Sampai beranjak dewasa ia menghindari wanita yang kira-kira mirip dengan ibu Hani. Semakin Hani dewasa, semakin mirip dengan ibunya, semakin besar rasa bersalah Axel.
Axel merasa sakit hati saat Hani dilamar oleh pria mapan yang lebih bertanggung jawab daripada dirinya. Tapi ia harus move on.
Namun sial sekali... Axel bertemu dengan seorang wanita, bernama Himawari. Hima bahkan lebih mirip dengan ibu Hani, yang mana ternyata adalah kakak perempuannya. Hima sengaja datang menemui Axel untuk menuntut balas kematian kakaknya. Di lain pihak, Axel malah merasakan gejolak berbeda saat melihat Hima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septira Wihartanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
The Knight Of King
Sore ini aku menaiki motor bututku ke arah Cafe tempatku bekerja.
Sambil memikirkan Lily.
Entah kenapa aku memikirkannya.
Wanita kesepian yang rela menghabiskan banyak uang untukku, demi kepuasan seksual semalam.
Namun saat aku meminta pertolongan padanya untuk menginap di tempatnya karena aku dikejar-kejar tim eksekusi Prabasampurna grup, dia tidak menyentuhku sedikit pun.
Padahal kalau dia minta, aku mau saja melakukannya. Aku menginap di apartemennya gratis, itu berarti aku memiliki hutang padanya.
Tapi sepertinya saat ini dia tidak merasa butuh kehangatan seksual.
Aku hanya tak ingin dia berpikiran kalau dia tidak bisa memiliki-ku karena dia saat ini tidak mampu membayarku. Aku tahu dia sedang kesulitan keuangan. Dan hubungan kami selama ini profesional.
Yah, aku bertemu dengannya di salah satu platform kencan, aku menjual diriku untuk beberapa juta, yang akan kugunakan untuk macam-macam. Mengurus anak-anak jalanan tidak mudah. Dan penghasilanku tidak sebesar itu. Sementara aku memiliki aset yang tidak bisa ditolak wanita, kumanfaatkan saja.
Dan lagi, aku butuh s eks.
Aku laki-laki normal. Dan berada di usia matang. Li bido ku sedang meledak-ledak. Aku bisa mencapai kenikmatan dan dibayar pula. Cara mudah untuk mendapatkan uang. Aku juga tidak kekurangan suatu apa pun.
Kesulitanku adalah... rata-rata wanita yang menghubungiku berwajah seperti Ibu Hani.
Yah, kalian bisa tebak sendiri dari ras yang mana.
Mereka cantik-cantik dan terawat. Benar-benar menggoda iman.
Tapi saat memandang mereka, yang ada di benakku adalah saat dia diperkosa Irvin dalam keadaan sekarat, dan leher setengah putus.
Jadi, kutolak mereka semua.
Lalu Lily ini menghubungiku.
Dia sosok yang berbeda.
Terang-terangan dia bilang dia memiliki hormon yang berbeda, dia jenis yang mudah terangsang tapi ia sulit org asme. Hal itu sering kali menyiksanya. Dan karena perlakuan mantan pacarnya, ia jadi memiliki kegemaran sendiri terhadap sesuatu yang ‘hard core’.
Aku merasa tertantang saat dia menjelaskan mengenai dirinya lewat email.
Wajah Lily ini sepenuhnya berbeda dengan Ibunya Hani. Mirip wanita latin, seksi dan eksotis. Tingkahnya juga liar.
Aku bisa bercinta dengannya.
Dan kulakukan segala permintaannya.
Walau pun saat dia minta tambah, aku berlagak ogah-ogahan, karena sebenarnya aku sudah kepayahan. Tapi mana mungkin aku bilang ke dia ‘capek’. Bisa-bisa aku dianggap ‘lemah’.
Tenaganya gila, aku sering pulang dalam keadaan letih yang amat sangat setelah melayaninya.
Saat aku sedang dalam posisi menstabilkan staminaku, menaikkan kualitas spe rmaku. Baru istirahat, dia sudah bilang : ‘Tambah 2 ronde lagi ya? Kutambahin deh setorannya 100%’.
Rasanya aku ingin kabur, tapi aku butuh uangnya.
Biasanya untuk ada waktu istirahat, aku minta dia untuk mandi sekali lagi, biar fresh dan baunya nggak aneh. Alasan saja sih, Lily selalu wangi. Tapi dia sering insecure. Mendengar alasanku dia akan ke kamar mandi dalam waktu lama, aku bisa tidur sebentar untuk memulihkan tenagaku.
Namun...
Aku tidak memiliki perasaan itu.
Aku tidak mencintainya.
Aku suka padanya, tapi bukan rasa cinta.
Aku hanya nyaman saja berada di dekatnya.
Silakan saja kalau kalian bilang aku memanfaatkannya, karena memang itu yang sedang kulakukan.
Aku sedang memanfaatkannya.
Dia karyawan Prabasampurna Grup.
Dan ada peraturan kekeluargaan yang sangat erat di antara para karyawan, bahwa sesama karyawan tidak boleh saling menyerang.
Jadi jika aku menjadi pacar Lily, Artemis tak akan memburuku, Devon tak akan membunuhku.
Karena aku ‘pacar’ Lily.
Wajar saja kalau Devon membenciku, aku dianggap telah merusak hidup kekasihnya. Tapi aku juga membenci Devon, karena dia mengambil sesuatu yang sudah kurawat bertahun-tahun.
Walau pun mungkin hidup Hani lebih terjamin saat bersama Devon, tapi aku tetap cemburu. Aku bagai ayah yang dibuang anaknya sendiri sementara dia bahagia dengan suaminya.
Tidak semua orang tua dianggap baik oleh anaknya, anak kadang merasa tersiksa hidup bersama orang tuanya yang serba kekurangan.
Itulah yang kurasakan sekarang, walau pun aku belum menikah.
Sedih juga rasanya, ternyata.
Tapi kalau dengan ini dosaku bisa diputihkan... kurasa aku akan coba mengikhlaskan.
Aku sudah mendapatkan cara untuk mendekati Artemis dan teman-temannya dari infomasi yang kucari di laptop Lily. Hanya satu kalimat. Mereka akan bersedia bicara baik-baik denganku tanpa ada sentuhan fisik.
Mudah-mudahan caraku ini benar.
Karena... sungguh, aku tak kuat kalau disuruh berkelahi lagi.
**
“Jackson? Baru jam segini kok udah dateng?” sapa Bossku, Elica, si anak kakek Prancis.
Aku hanya membalas sapaannya dengan senyum tipis.
Kenapa sih banyak sekali yang mirip dengan wajah ibunya Hani?! Si Eli ini juga termasuk Chindo Blasteran Prancis yang manis. Susah rasanya untuk membencinya, tapi kalau dia mendekat hatiku terasa sesak.
“Ntar kalo telat ada yang kangen...” gumamku, sengaja dengan suara rendah agar yang lain tidak mendengar.
“Iya lah, itu tante-tante di sana ribuuut melulu nanyain kamu dimana, kapan shift kamu mulai. Sampai bosan aku jawabnya...” gerutu Eli
“Oh.” Aku melirik ke arah kerumunan wanita-wanita sosialita yang sedang mengobrol heboh di sudut seberang. “Tante-tante, atau kamu?”pancingku.
“Aku juga sih, hihihi.” Eli mengecup bibirku sekilas.
Aku nggak rugi sih dengan perlakuan ini, tapi aku juga butuh pekerjaan. Dan jelas aku tak memiliki perasaan apa pun terhadap Eli.
“Main api melulu.” Kekehku. “Repot kamu nanti.” Aku mengenakan apron kulit coklatku dan menata rambutku dengan gel khusus. Tak lupa beberapa semprotan parfum yang kucuri dari tas salah satu karyawan kantoran daerah sini. Wanginya enak sudah pasti parfum mahal sih.
“Kamu bisa mulai dengan menerima perasaan cintaku.” Kata Eli. Nadanya bercanda, tapi aku tahu dia serius berharap.
“Kamu bisa mulai dengan tak cemburu ke wanita mana pun.” Tantangku.
“Yah, aku tak sanggup. Sainganku kelas berat semua.” Gumamnya. Ada nada kekecewaan, lagi-lagi.
Kurasa, sebaiknya hubungan kami begini-gini saja. Toh dia bebas mencium bibirku kapan pun dia mau. Dia juga bebas menjalin cinta dengan pria lain yang hidupnya lebih lurus dan no drama-drama.
Aku hanya terkekeh sambil berjalan menuju pantry.
Sambil menunggu waktu shiftku, aku akan membantu temanku yang masih berkutat dengan tepung-tepungan.
Hari itu kami jalani dengan tenang, aku sempat ditraktir wine oleh salah satu Tante.
Kuteguk segelas, dan kuberikan dia kecupan di pipi. Kubiarkan dia meraba-rabaku sebentar. Dia tanya nomorku, aku bilang tak punya hape karena sudah kujual.
Bukannya nggak mampu beli, tapi hape terakhirku kubuang di Kali Ciliwung karena aku takut dilacak Artemis.
Tapi kini, justru aku akan berusaha mendekati Artemis. Karena orang itu lebih berguna untuk mencapai tujuanku dibandingkan Devon.
Jadi aku akan menjauhi Hani untuk sementara, biarkan dua sejoli itu dengan dunia mereka sendiri.
Aku akan fokus ke tujuanku saja.
Tetap, aku malas punya handphone lagi.
Buat apa ya? Aku tidak ingin ada yang mencari-cariku.
Rasanya seperti punya beban.
Lagu Yung Kai yang berjudul ‘Blue’ terdengar sayup-sayup dari speaker. Aku sedang membuat Latte Art berbentuk angsa di atas cappuccino seorang pelanggan, saat dua orang tamu masuk ke dalam Cafe kami.
Aku sedikit tersentak tanpa menoleh ke arah mereka.
Aku kenal bunyi langkah itu.
Anggun namun menghentak lantai Vinyl di cafe kami.
Artemis...
Dan seorang lagi, kurasa itulah yang dinamakan Baron.
Lily cerita tadi pagi, ada satu orang yang bertindak sebagai Ketua para eksekutor di Praba Grup, bernama Baron. Jadi kutangkap posisinya lebih tinggi dari Artemis.
Aku melirik ke samping kanan dan kiriku, semua orang menaruh perhatian ke kedua orang itu.
Mereka berpostur tinggi, tegap, Tatto di sekujur tubuh, pakaian hitam-hitam, tatapan mata tajam seakan hal yang mereka incar hanya aku.
Artemis mendekati konter dan menatapku dengan seringai lebar. Dia tidak berbicara apa pun, tapi matanya nyalang.
Ia mungkin gemas ingin menghabisiku.
Setelah aku berhasil kabur darinya tempo hari.
Mungkin selama ini tidak ada yang bisa kabur darinya, tapi aku bisa.
Aku meletakkan cangkir cappucino milik customer ke atas nampan untuk diantarkan oleh waitress ke meja yang sudah ditentukan. Lalu aku melap tanganku dan menarik nafas panjang.
Aku sudah mempersiapkan keadaan ini sambil bengong dan menceritakan asal-usulku kepada pembaca.
Apa pun yang terjadi aku harus menghadapi kesalahanku dengan gentle.
Karena kini... aku tidak memiliki tanggungan apa pun.
Lagu di speaker sampai pada lirik :
'll imagine we fell in love (Aku akan membayangkan kita jatuh cinta)
I'll nap under moonlight skies with you (Aku akan tidur siang di bawah langit rembulan bersamamu)
I think I'll picture us, you with the waves (Kurasa aku akan membayangkan kita, dirimu dengan ombak)
The oceans colors on your face (warna lautan di wajahmu)
Lagu romantis dalam kondisi yang menegangkan.
Nada lagu cinta, tapi mimik Artemis serasa ingin memakanku bulat-bulat.
Aku memutuskan untuk bersikap biasa saja.
Kunikmati saja suasana ‘penuh cinta’ ini.
“Selamat Sore Pak Ari Temmy Ismawan,” sapaku, “Dan Kanjeng Gusti Raden Arya Ranggasadono.”
Baron langsung tertawa terbahak-bahak.
Artemis kehilangan senyumnya dan langsung bengong melihatku.
Ruangan cafe dipenuhi tawa Baron yang membahana.
Raden Arya Ranggasadono, aku tahu nama ini. Walau baru kali ini aku melihat sosok yang sesungguhnya.
Keluarga Ranggasadono adalah trah bangsawan yang berbahaya, kebanyakan keturunannya bergerak di bisnis. Mereka menjaga pihak asing menguasai negara ini. Berkali-kali mereka berusaha digulingkan pemerintah, karena BUMN ingin menguasai aset mereka, namun hal itu selalu digagalkan. Karena menekan mereka akan berdampak besar ke rakyat kecil. Berbeda dengan Prabasampurna, Ranggasadono ini memiliki visi yang berlawanan. Mereka perusahaan swasta yang cinta tanah air, namun tidak mau bekerja sama dengan perusahaan negara. Mereka mengangkat perekonomian bangsa dengan caranya sendiri.
Namun keberadaan Raden Arya yang merupakan kepala keluarga Ranggasadono di dalam Prabasampurna justru mematahkan anggapan itu. Bahwa sebenarnya Prabasampurna juga tidak terlalu memihak perusahaan negara.
Makanya... Raden Arya menyamar, menjadi preman. Agar tidak terendus, dan nama samarannya adalah Baron.
“Hebat sekali kamu Le...” Baron menghadapiku di sela-sela tawanya. Wajahnya merah karena geli.
“Kita harus diskusi dengan lebih hangat, gue perlu tahu dari mana lo tahu identitas gue.” Kata Baron sambil bersandar ke konter dan menatapku lewat mata hijaunya yang tajam
Aku tersenyum, kuusahakan semanis mungkin, senetral mungkin, tanpa ada mimik mengejek. Aku sudah bosan lari.
Mereka ini bisa membantuku hidup tenang tanpa takut apa pun.
Karena mereka adalah pihak netral yang tidak bisa ditekan siapa pun.
“Baik, saya siap.” Desisku sambil mengambil 3 kaleng bir dari kulkas.
Gimn kabar Hani thor?
Selamat hari rays idul fitri madaaammm 😍😍😍🙏🏼🙏🏼🙏🏼
kau kan liat Hana Sasaki pas ada luka g0r0k di lehernya... himawari keadaan baik baik saja...
jelas beda lah Jakson