"Apa kamu sudah menemukan informasi tentangnya, Jackson?"
"Sudah, Kak. Aku yakin dia adalah dady kita."
Dua bocah laki-laki berusia 7 tahun itu kini menatap ke arah layar komputer mereka bersama-sama. Mereka melihat foto seorang Pria dengan tatapan datar dan dingin. Namun, dia memiliki wajah yang sangat tampan rupawan.
"Jarret, Jackson apa yang kalian lakukan?" Tiba-tiba suara seseorang membuat kedua bocah itu tersentak kaget.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon emmarisma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11. Giani Hilang
Tak terasa waktu berlalu dengan cepat. Kehamilan Giani kini menginjak usia 34 minggu. Dokter menyarankan Giani untuk operasi Sesar karena kedua bayinya tumbuh dengan sangat cepat.
Giani kini lebih banyak membantu Thomas dan Martha di toko rotinya. Awalnya Giani berniat tetap kuliah meskipun sedang mengandung, tapi sepertinya semesta tak merestui karena kondisi Giani yang nyidam parah. Giani akhirnya meminta pihak universitas untuk melempar beasiswa yang didapatnya pada mahasiswa lain. Giani lebih banyak tiduran di pagi hingga siang hari dan ketika sore menjelang dia akan pergi ke toko roti untuk mencari kesibukan.
Thomas dan Martha sangat senang dengan keberadaan Giani. Mereka merawat Giani dengan baik karena merasa Giani sebatang kara tinggal di Sidney.
"Apa kau sudah merasa lebih baik sekarang?" tanya Thomas. Giani mengangguk.
"Ya, begitulah. Rasanya aku ingin segera mengeluarkan mereka berdua dari dalam perutku."
"Apa kau sama sekali tidak ingin memberitahu ayahmu mengenai cucu-cucunya?" tanya Martha, Kini mereka semua sedang duduk di toko sembari menghitung sisa roti, karena toko sudah tutup.
"Aku tidak mau dia kecewa. Aku tidak pernah membuatnya bangga. Jadi aku juga tidak mungkin membuatnya sedih dengan kondisi yang ku alami. Mungkin suatu saat. Ketika anak-anakku sudah cukup besar untuk memahami sesuatu. Aku akan bawa mereka pulang ke Melbourne."
"Kau beruntung masih memiliki orang tua," sahut Albern, pria dingin itu ternyata cukup baik juga. Dia sering membantu mengantar jemput Giani. Sedangkan mobil Giani kini menjadi penghuni garasi di rumah Thomas.
"Ya, kau benar. Aku sangat beruntung, Papaku sangat menyayangiku meskipun aku keras kepala."
"Albern tersenyum tipis, dia menatap Giani dengan tatapan penuh kekaguman. Bagi Albern, selama dia mengenal Giani, tidak pernah sekali pun wanita itu merepotkan dirinya. Meski Albern sering dimintai tolong oleh Thomas dan Martha untuk mengantar jemput Giani, tapi tak pernah sekalipun Giani menginterupsi dirinya untuk mampir ke sana kemari.
"Kapan dokter mengatakan kau harus operasi?" tanya Martha.
"Dokter bilang dalam dua minggu lagi," kata Giani.
"Albern, hari ini Giani biar pulang bersama kami, tolong kamu bagikan roti-roti ini pada gelandangan."
"Apa aku tidak boleh ikut dengan Albern?" tanya Giani.
"Kau pasti lelah karena sejak tadi membantu kami."
"Aku tidak lelah sama sekali. Aku ingin sesekali ikut Albern, aku ingin melihat suasana di luar. Boleh, kan?"
"Tentu saja," jawab Albern seraya mengangkat kotak roti. Giani mengikuti langkah Albern sembari tersenyum. Ibu hamil itu merasa sangat senang.
Saat mobil Albern sudah melaju meninggalkan toko roti, Giani sempat melirik ke arah Albern sekilas dan pria itu menyadari jika Giani sepertinya mau mengatakan sesuatu.
"Ada apa?"
"Ehm, bisakah nanti kita mampir ke pusat perbelanjaan."
"Mamang ada apa?"
"Aku perlu membeli beberapa potong baju untuk mereka," kata Giani sembari mengelus perutnya yang besar. Penampilan Giani saat hamil ini sebenarnya tampak lucu dan menggemaskan, karena bagian tubuhnya yang melar hanya perut dan dada.
Usai membagikan sisa kue, Albern sungguh menuruti permintaan Giani yang terbilang jarang terucap. Mereka akhirnya pergi ke sebuah pusat perbelanjaan. Giani berjalan begitu pelan. Mau tak mau akhirnya Albern juga berjalan perlahan untuk mensejajari langkah Giani.
"Apa rencanamu setelah melahirkan?"
"Mungkin aku akan mencari beasiswa lagi dan melanjutkan sekolahku. Aku tidak mungkin pulang tanpa gelar."
"Bagaimana dengan anak-anakmu?"
"Entahlah, yang jelas aku akan berusaha menjadi ibu yang baik untuk mereka."
"Aku bisa membantumu menjaga mereka saat kau kuliah." Giani sesaat menoleh menatap Albern. Langkah kakinya terhenti.
"Albern, sebenarnya sudah lama aku sangat penasaran. Sebenarnya apa pekerjaanmu?" tanya Giani dengan raut wajah yang benar-benar penasaran.
"Rahasia. Yang jelas bukan bisnis ilegal," jawab Albern. Giani mengerucutkan bibirnya. Namun, dia terkejut saat Albern tiba-tiba menarik tubuhnya hingga hidung Giani membentur dada bidang Albern.
"Aah!" pekik Giani. Dia reflek mendekap perutnya. Posisi Giani kini berada dalam dekapan Albern. Pria itu berjalan perlahan mendorong tubuh Giani.
"Albern, ada apa?" tanya Giani panik.
"Diamlah, kau jangan bergerak."
"Giani menuruti apa kata Albern meskipun dia bingung apa yang terjadi. Dia memang mendengar kegaduhan. Namun, belum sempat dia menengok, Albern sudah menarik dirinya.
Setelah suasana dirasa tenang, Albern sedikit mendorong tubuh Giani dengan lembut. " Maaf."
"Ada apa sebenarnya, Albern?"
"Entahlah, sepertinya suami istri sedang bertengkar, tapi ku rasa mereka bukan orang sini," kata Albern sembari menatap kerumunan yang tadi sempat melintasi mereka. Albern menarik Giani karena tadi hampir saja tubuh Giani terdorong.
Giani tiba-tiba merunduk, tangannya mencengkeram erat lengan Albern.
"Auch, ada apa denganmu?" Albern sekilas menoleh menatap Giani. Namun, matanya terkejut mendapati Giani terus mendekap perutnya dan meringis kesakitan.
"Al-bern, pe-perutku sakit sekali," ujar Giani terengah-engah. Bulir keringat mulai memenuhi keningnya.
"Hei, jangan bercanda," kata Albern panik. Dia menoleh ke kiri dan kanan. Albern bingung. Namun, tiba-tiba seorang pria mendekati Albern.
"Dia sepertinya akan melahirkan, aku akan membantumu menggendongnya. Kau ambil mobilmu. Cepat!"
Karena panik, Albern meninggalkan Giani begitu saja. Giani yang merasakan perutnya seperti diremas tak bisa mencegah kepergian Albern. Tubuh Giani perlahan melorot dia sudah tidak tahan dengan rasa sakit yang tiba-tiba menderanya.
"Tenanglah, tarik nafas dari hidung dan buang lewat mulut. Aku akan membawamu ke rumah sakit dan memastikan kondisimu dan bayimu baik-baik saja."
Giani melakukan apa yang pria asing itu katakan, tak lama dia merasakan tubuhnya melayang. Pria itu telah mengangkat Giani dan membawanya dari area pusat perbelanjaan itu.
Meski dalam keadaan sadar, Giani tak memiliki daya hanya untuk sekedar mengalungkan tangannya di leher pria asing itu. Wajah Giani menghadap ke dada pria asing itu. Aroma body scent pria itu begitu menenangkan. Giani berulangkali menarik napasnya panjang. Dia tak tahu, jika pria itu rupanya tidak membawanya ke depan pelataran mall, melainkan melewati pintu lain.
Pria itu memasuki mobilnya dan membawa Giani pergi dari pusat perbelanjaan, sementara Albern tampak mulai menyadari ada yang salah dengan yang dia lakukan.
"Ah, sial," Albern memukul stir mobilnya. Dia segera keluar dan mencari Giani. Dia harap Giani masih ada di sana. Namun saat tiba di tempat terakhirnya bersama Giani, tidak ada siapapun di sana. Albern mengedarkan pandangannya. Ia berharap masih bisa menemukan Giani.
"Ya Tuhan, apa yang harus aku katakan pada Martha dan Thomas?"
Baru kali ini Albern merasa bodoh. Dia lantas kembali turun dan masuk ke mobil dengan satu tekad.
"Aku pasti akan menemukanmu, Giani."
...**ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Note : Guys, karena cerita ini nanti berfokus pada dua bocah geniusnya. Alurnya aku percepat, tapi tenang saja, karena seperti biasa, pasti ada kisah roman Picisan emak sama bapaknya dan sedikit flashback.
enjoy 🥰🥰**