💔 Dikhianati & Dibangkitkan: Balas Dendam Sang Ibu
Natalie Ainsworth selalu percaya pada cinta. Keyakinan itu membuatnya buta, sampai suaminya, Aaron Whitmore, menusuknya dari belakang.
Bukan hanya selingkuh. Aaron dan seluruh keluarganya bersekongkol menghancurkannya, merampas rumah, nama baik, dan harga dirinya. Dalam semalam, Natalie kehilangan segalanya.
Dan tak seorang pun tahu... ia sedang mengandung.
Hancur, sendirian, dan nyaris mati — Natalie membawa rahasia terbesar itu pergi. Luka yang mereka torehkan menjadi bara api yang menumbuhkan kekuatan.
Bertahun-tahun kemudian, ia kembali.
Bukan sebagai perempuan lemah yang mereka kenal, melainkan sebagai sosok yang kuat, berani, dan siap menuntut keadilan.
Mampukah ia melindungi buah hatinya dari bayangan masa lalu?
Apakah cinta yang baru bisa menyembuhkan hati yang remuk?
Atau... akankah Natalie memilih untuk menghancurkan mereka, satu per satu, seperti mereka menghancurkannya dulu?
Ini kisah tentang kebangkitan wanit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adrina salsabila Alkhadafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 2: Di Bawah Tanah
Bau apek bercampur asap rokok usang di kamar motel itu terasa seperti bau kemiskinan yang mencekik. Natalie bangun dengan tubuh kaku, dan rasa sakit di hati yang lebih parah dari sakit punggungnya. Ia meraba perutnya, tempat dua garis merah itu menjanjikan kehidupan di tengah kehancuran total.
"Kita akan baik-baik saja," bisik Natalie, suaranya parau, meyakinkan dirinya sendiri lebih dari janinnya.
Pagi itu, Natalie harus mengakui satu kebenaran pahit: ia benar-benar sendirian.
Ia meraih ponselnya yang layarnya retak. Semua nomor yang ia hafal dari lubuk hatinya—sahabat, kolega, bahkan bibi jauh—semuanya harus dihubungi. Ia harus mencari setitik bantuan, demi anak ini.
Panggilan pertama ke nomor Clara, sahabat shopping-nya. Ia dan Clara baru bulan lalu berlibur mewah bersama.
"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif." Bukan tidak aktif, tapi diblokir. Natalie tahu itu.
Panggilan kedua, ke Jessica, teman yang pernah ia bantu saat suaminya hampir bangkrut.
"Halo, Natalie," suara Jessica terdengar dingin, penuh kehati-hatian. "Maaf, aku sedang sibuk sekali. Aku harus menghadiri pertemuan penting dengan keluarga Whitmore. Kita bicara lain kali, ya. Jaga diri."
Keluarga Whitmore. Nama itu seolah mantra sihir yang membuat semua orang melarikan diri darinya.
Lalu, ia menelepon Maya, sahabat karibnya sejak kuliah, yang kini menjadi sosialita kelas dua. Natalie berharap Maya, yang paling tahu rahasia cintanya, akan mengerti.
"Natalie, demi Tuhan, jangan hubungi aku!" Suara Maya bergetar, namun penuh ketakutan. "Aku tidak mau berurusan dengan masalahmu! Mereka bilang kau menggelapkan uang perusahaan. Aku tidak bisa mengambil risiko karier suamiku. Mereka... mereka terlalu berkuasa."
Klik. Sambungan diputus.
Ponsel itu jatuh dari tangan Natalie ke lantai berdebu. Air mata yang tadi tertahan kini mengalir deras, membasahi pipi. Itu bukan hanya pengkhianatan Aaron. Ini adalah pengkhianatan seluruh dunianya. Lima tahun ia hidup dalam kemewahan palsu, dikelilingi oleh ular yang menunggunya jatuh.
Ia ditinggalkan seutuhnya.
Natalie tidak membuang waktu untuk berduka lebih lama. Duka adalah kemewahan yang tidak bisa ia beli.
Dengan sisa uang tunai yang bahkan tidak cukup untuk membayar taksi, Natalie berjalan kaki ke stasiun bus antar kota. Ia memilih kota industri kecil di pinggiran yang jarang dilirik media: tempat sempurna untuk menghilang dan mengubur identitas Natalie Whitmore.
Ia tiba di sana dalam keadaan nyaris pingsan. Dengan uang yang tersisa, ia menyewa kamar kos yang sempit, jauh di belakang pasar. Dindingnya retak, kasurnya tipis, dan bau apek menyambutnya. Kamar yang bahkan tak layak menjadi gudang di rumah mewahnya.
"Ini adalah rumah kita sekarang," bisik Natalie pada perutnya, sambil mengunci pintu ganda.
Perjuangan yang sesungguhnya dimulai. Kehamilannya baru memasuki minggu-minggu awal, dan ia sudah dihantam mual, pusing, dan lapar yang menyiksa. Ia harus segera mencari pekerjaan.
Penampilannya yang masih terlalu 'bersih' membuatnya ditolak mentah-mentah dari puluhan tempat—toko, kafe, hingga pabrik.
"Maaf, Nona. Kau tidak terlihat seperti orang yang serius bekerja keras," ujar seorang manajer minimarket sinis.
Akhirnya, dengan rasa putus asa yang memuncak, Natalie menerima tawaran dari sebuah warung makan sederhana di dekat stasiun.
"Kerjaannya berat, Nona. Cuci piring, lap meja, dan angkat ember," kata pemilik warung, seorang wanita paruh baya bermata lelah.
"Saya ambil," jawab Natalie. Ia tidak berani menatap mata pemilik warung itu, takut rasa putus asa di matanya terbaca.
Tangannya, yang selama ini hanya disentuh oleh sutra, kini berendam dalam air sabun kotor dan sisa makanan berminyak. Piring-piring menumpuk setinggi gunung. Ia menggosok, mencuci, dan melawan dorongan muntah yang datang setiap mencium bau amis.
Setiap gesekan spons di piring kotor itu adalah terapi. Setiap rasa perih di telapak tangannya mengingatkannya akan sumpah dendamnya.
Natalie Whitmore mati malam itu.
Yang hidup sekarang adalah seorang pejuang yang tahu bagaimana rasanya jatuh hingga ke titik nol. Natalie Ainsworth yang baru. Dan dia akan membesarkan anaknya di bawah tanah, sambil mengumpulkan kekuatan, untuk suatu hari nanti, kembali dan mengambil segalanya dari tangan Aaron.