Hanya cerita fiktif belaka, jangan dijadikan keyakinan atau kepercayaan. Yang pasti ini adalah cerita horor komedi.
Awalnya dia hanyalah seorang ibu biasa tetapi saat dia kehilangan putrinya saat mengikuti masa orientasi penerimaan mahasiswi baru, dia tak tinggal diam. Kematian putrinya yang mencurigakan, membuatnya tak terima dan mencari tahu penyebab kematiannya serta siapa yang paling bertanggung jawab.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HARJUANTO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1 : Keluarga Adalah Yang Terpenting
Sinopsis : Awalnya dia hanyalah seorang ibu biasa tetapi saat dia kehilangan putrinya saat mengikuti masa orientasi penerimaan mahasiswi baru, dia tak tinggal diam. Kematian putrinya yang mencurigakan, membuatnya tak terima dan mencari tahu penyebab kematiannya serta siapa yang paling bertanggung jawab.
Bab : 1 Keluarga Adalah Yang Terpenting
“Hey bangun! Bangun! Bangun semuaaa!!!”
Teriakan di tengah malam itu membangunkan semua yang sedang terlelap. “Ayo bangun pemalas!!” teriak salah seorang gadis bertubuh tinggi berjaket kuning biru pada seorang gadis yang sedang mengucek-ngucek matanya.
“Bangun! Bangun! Cepat pakai sepatu kalian, pakai papan nama kalian dan berkumpul di lapangan!! Cepat!” teriak gadis lainnya yang bertubuh besar dengan jaket kuning biru juga. Gadis-gadis yang baru bangun tidur itu segera keluar dari tenda-tenda mereka dengan terhuyung-huyung masih mengantuk.
Salah satu dari mereka mengambil jaket tetapi gadis yang berjaket kuning biru dengan tahi lalat di pipi segera merebut jaket itu dan berteriak di depan wajahnya, “Ga pake jaket!!” Gadis yang mengambil jaket memprotes, “Tapi diluar tenda dingin Kak, ini tengah malam juga!” Gadis berjaket kuning biru dengan tahi lalat itu melotot, “Apa?! Lo berani melawan perintah gue hah??” Beberapa gadis berjaket kuning biru datang menghampiri mereka. “Ada apa ini?” seru salah satu gadis yang bertubuh tinggi.
Mereka mengepung gadis yang tadi mengambil jaket.
Melihat situasi tidak menguntungkan buat dirinya, gadis yang tadi akan mengambil jaket itu menunduk, berkata, “Ga ada apa-apa Kak ….” Gadis bertahi lalat itu mendekat dan bicara di depan wajahnya, “Kalau ga ada apa-apa, sekarang lo baris sama temen-temen lo di lapangan.” Gadis itu mengangguk dan akan berjalan tetapi lengannya ditarik oleh gadis bertahi lalat itu lagi yang melirik papan nama gadis tersebut di dada dan berbisik di telinganya, “Nama lo, Anggi … ok, Anggi, gue akan awasi lo, jangan macam-macam sama gue.” Gadis itu, Anggi, hanya diam mendengarnya. “Sudah pergi sana!” sentaknya, Anggi pun bergabung dengan gadis-gadis lainnya yang telah berkumpul di lapangan. Ia berdiri di sebelah gadis dengan rambut berponi yang melipat tangannya di dada gemetar kedinginan.
“Gila lo Nggi, jangan ngelawan sama senior kali, kita mah nurut aja,” bisik si gadis berponi setelah melihat kejadian tadi. “Ga gitu Din, kalau mereka keterlaluan ya lawanlah,” balas bisik Anggi pada temannya yang berponi itu, Dina namanya. “Hey! Semua berbaris yang rapih, jangan pada ngobrol! Cepat! Cepat!” teriak gadis bertubuh tinggi. Maka mereka yang berjaket kuning biru segera menarik lengan para gadis di lapangan untuk merapikan kumpulan gadis-gadis yang berhimpitan kedinginan itu. Setelah mereka berbaris maka berdirilah para gadis dengan jaket berwarna kuning biru itu di hadapan mereka.
“Selamat malam gadis-gadis lemah para mahasiswi baru!” teriak gadis bertubuh besar tadi, “selamat datang di malam pertama kalian di orientasi jurusan teknik lingkungan khusus perempuan! Malam ini kita akan berkenalan … kalian lihat yang berdiri di depan kalian ini dengan jaket berwarna kuning biru? Kita adalah kating kalian! Kita adalah kakak tingkat kalian! Kalian harus hormat sama kita! Kenapa? Karena kita adalah binatang buas, pemangsa … dan kalian adalah buruan, yang dimangsa!”
“Kalian masuk ke dalam fakultas ini maka wajib mengikuti masa orientasi selama tiga hari ke depan! Jadi, selama tiga hari ke depan kalian adalah milik kami!” lanjut gadis bertubuh besar itu dengan suaranya yang keras. Anggi memperhatikan satu persatu kating yang berdiri di depan mereka itu. “Gue adalah ketua acara orientasi ini, panggil gue, Boba … itu wakil gue (Boba menunjuk pada gadis bertahi lalat di pipi) namanya Kak Evelyn … kalian jangan main-main sama beliau … ga cuma gigit, beliau juga bisa mengoyak kalian! … kalau yang tinggi itu, namanya Kak Ovi, hati-hati sama beliau, beliau ga kenal sama kata-kata ‘ga tega’ beliaulah yang akan mendisiplinkan kalian para gadis lemah dan mager!”
“Ok cukup segitu dulu perkenalannya! Untuk kating lain nanti kalian bisa berkenalan sendiri … sekarang semuanya bersiap! Kak Ovi akan memberikan instruksi!” seru Boba kemudian digantikan dengan Ovi. “Halo Ladies! Nama gue Ovi, tadi Kak Boba sudah kasih tau kalian … denger! Gue di sini untuk membuat kalian ga manja, ga menye-menye … sebagai anak teknik, kalian harus tangguh! Jadi malam ini untuk membuat kalian tangguh, maka gue kasih tantangan. Apa itu? Sekarang saatnya lari malam!” teriak Ovi.
Tampak semua mahasiswi baru itu terkejut.
“Kenapa pada kaget? Dasar pemalas … sekarang siap ga siap, cepat ikuti Kak Boba! Cepat! Cepat!!” teriak Ovi lagi. Serentak semua kating berjaket kuning biru itu serempak meneriakki para mahasiswi baru yang masih terkejut itu untuk berlari bahkan mendorong tubuh mereka juga.
“Cepat lari! Hey Lari!” teriak mereka dengan sesekali menendang mereka yang berlari lambat. “Ikuti Kak Boba! Ikuti Kak Boba!” teriak Ovi. Semua mahasiswi baru itu pun akhirnya berlarian panik mengejar Boba yang telah lari lebih dulu di depan mereka.
Mereka berlari keluar dari lapangan meninggalkan tenda-tenda mereka. Menembus malam, melewati semak dan menapaki jalan setapak di tengah hutan. “Kita mau kemana ini?” bisik Dina. Anggi menggeleng, “Ga tau Din, kita ikuti aja dulu.” Mereka terus berlari, beberapa sudah terlihat gemetar kedinginan. Tak lama, akhirnya mereka sampai di tepi sungai yang airnya cukup deras.
“Berhenti semua!!” teriak Ovi.
Terdengar suara terengah-engah dari para mahasiswi baru tersebut di antara suara deru aliran sungai. “Buka sepatu kalian!” teriak Ovi lagi. Mereka semua serempak membuka sepatu. “Sekarang … masuk ke sungai semuanya!!” perintah Ovi. Para mahasiswi baru itu saling pandang, mereka tidak menyangka akan mendapatkan instruksi seperti itu di tengah malam yang dingin.
“Kenapa diam? Kalian melawan ya?” lontar Boba bertolak pinggang. “Cepat masuk sungai! Atau mau kita paksa?!” tantang Ovi. Sebagian mahasiswi menuruti mereka dan berjalan memasuki air sungai dengan takut-takut. Sesampainya di sungai, arus air menyambut tubuh mereka yang hanya memakai pakaian tipis, mereka pun menjerit karena airnya begitu dingin.
Seorang mahasiswi masih berdiri di tepi sungai terlihat bingung. “Hey! Lo mau masuk sendiri apa gue paksa?” cetus Evelyn mendekati mahasiswi tersebut.
“Bentar Kak, aku---“ Mahasiswi baru itu tak bisa melanjutkan kalimatnya karena ia sudah didorong oleh Evelyn hingga tercebur masuk sungai. Evelyn dan kating lainnya tertawa melihat mahasiswi itu megap-megap dan ditolong oleh rekan-rekan lainnya yang sudah lebih dulu berada di sungai. “Dibilang masuk sungai ya masuk sungai hahaha,” ledek Evelyn. Sedang Ovi mendatangi sisa mahasiswi lainnya yang masih berkumpul di pinggir sungai.
“Heh ini kenapa kalian belum masuk sungai hah?” seru Ovi, “kalian nantang kita ya?” Mereka semua menggeleng. “Trus kenapa kalian ga mau masuk sungai seperti yang lainnya?!” sambung Ovi marah.
“Kak, hal seperti ini bertentangan dengan aturan orientasi!”
Suara teriakan itu membuat Ovi terdiam begitu juga Boba, Evelyn dan kating lainnya. Mereka semua menatap pada asal suara itu dan suara itu berasal dari, Anggi. “Apa lo bilang?” tanya Ovi dengan nada suara gelisah sembari mendekati Anggi. “Maaf Kak … tapi ini ga diperbolehkan di aturan acara orientasi, juga ga nyambung dengan jurusan yang kita ambil,” ulang Anggi dengan lebih jelas seraya mendongak menatap Ovi yang lebih tinggi darinya.
“Mmm … nama lo Anggi ya … lo yang tadi mau pake jaket bukan?” tanya Ovi. Anggi mengangguk. “Si Sok Pintar … denger Nggi … gue ga butuh lo kasih tau soal aturan … di sini, kita adalah aturan, apa yang keluar dari mulut kita itu aturan, apa yang kita perintahkan itu aturan, apa yang kita suruh itu aturan, jadi lo jangan ngajarin gue soal aturan atau lo mau kita hukum berendem sampai pagi di sungai itu karena melanggar aturan kita hah??” teriak Ovi.
Anggi menggeleng, “Ga Kak.”
“Bagus … sekarang lo mau masuk ke sungai atau harus gue seret pantat lo ke sungai?” tanya Ovi. Anggi bergeming begitu pun dengan yang lainnya. “Hey lihat nih! Temen satu angkatan kalian ga kompak, mereka ga mau nyemplung ke sungai, tandain mereka nih! Ga pantas jadi teman kalian!” teriak Boba pada mahasiswi yang telah berada di sungai. Anggi menatap teman-teman seangkatannya itu yang tampak gemetar dengan bibir mulai membiru di tengah arus sungai. “Lihat aja … kalau lo ga mau masuk ke sungai, maka temen-temen lo yang lain bakal nerima akibatnya!!” bisik Evelyn mengancam di telinga Anggi.
Mendengar itu Anggi akhirnya mengalah. Ia melangkah dan menceburkan dirinya ke dalam sungai diikuti Dina juga mahasiswi lainnya yang tersisa tadi. Rasa dingin dengan seketika menusuk-nusuk sekujur tubuh mereka.
Mereka menjerit kedinginan, sedang kating mereka tertawa dan bertepuk tangan senang melihat semua mahasiswi baru itu gemetar di tengah arus sungai. “Hey buat lo yang sok pintar … lo lihat … apa yang kita suruh ini masih nyambung sama jurusan yang kalian ambil … lihat kalau sungai bersih, ga ada sampah, dipake berendem enak ‘kan?” ledek Ovi disusul tawa kating lainnya.
Anggi hanya bisa terdiam menahan rasa dingin yang membekukan tubuhnya.
...***...
Perempuan paruh baya itu membuka matanya.
Perempuan itu bernama Agni dan ia melihat jam di dindingnya. Pukul 2.30 WIB. Hatinya merasa gelisah lalu mengambil telepon genggamnya, membukanya. Dengan perlahan Agni mengecek-ngecek pesan atau telepon masuk tetapi tidak ada pesan baru atau pun telepon masuk yang baru. Ia menyimpan telepon genggam itu di dalam kantung jaket cardigan-nya dan keluar kamar. Di luar kamar suasana temaram menyambutnya, semua lampu besar telah dimatikan sejak jam sembilan malam tadi, hanya lampu-lampu sudut yang dibiarkan menyala.
Agni berjalan melintasi ruang keluarga yang tampak rapih dan bersih dengan poster besar di sebuah bingkai kaca menempel di tengah dinding bertuliskan, Keluarga Adalah yang Terpenting. Ia berjalan menuju sebuah kamar, mendorong pintunya, lalu melongok melihat kedua anaknya sedang tertidur pulas di dua tempat tidur yang terpisah.
Ia menuju tempat tidur anak prianya, tersenyum melihat selimut yang tertendang, ia menarik selimut itu untuk kembali menyelimuti putranya … kemudian menuju tempat tidur anak perempuannya yang berada di seberang tempat tidur anak prianya tadi, mengambil buku-buku yang berserak di sekitar kepala anak perempuannya yang senang membaca dan sedang terlelap itu. Buku-buku itu dibariskan dengan rapi di atas meja belajarnya. Lalu ia mengecup dahi kedua anaknya itu dan keluar kamar.
Langkahnya berlanjut hingga ke sebuah kamar yang berseberangan dengan ruang tamu. Ia mendorong pintu kamar yang awalnya merupakan kamar tamu ini tetapi kini telah menjadi kamar untuk putri sulungnya. Ia melangkah masuk melihat-lihat kamar yang selalu dirapikannya itu.
Duduk di pinggir tempat tidurnya, memeluk selimut berbahan fleece berwarna biru muda sembari memandangi foto-foto si pemilik kamar yang menempel di dinding. Foto-foto gadis muda ceria yang sedang mengejar mimpi-mimpinya. Ia tersenyum melihat berbagai pose putrinya itu seraya mengeluarkan telepon genggam dari kantong jaketnya.
Ia mencoba menelepon lagi tetapi tetap tidak ada jawaban, akhirnya ia memutuskan untuk mengetik pesan dan mengirimkannya. Setelah itu Agni keluar dari kamar menutup pintunya dan tidur di sofa di ruang keluarga.
...***...
Alarm dari telepon genggamnya berbunyi.
Agni terkesiap dan melihat, sudah pukul 5.30 WIB. Ia segera melompat bangun dari sofa, ke kamar mandi lalu membangunkan anak-anaknya. “Aditya! Anindya! Bangun cepat bangun Nak, sudah siang, ayo bangun, kalian harus ke sekolah!” teriaknya menuju garasi dan mengeluarkan mobilnya. Sekembalinya dari mengeluarkan mobil terlihat kedua anaknya masih bermalasan di atas ranjang masing-masing. “Haduh! Ayo, ayo cepat mandi! Dit, Nin! Nanti kesiangan!” teriaknya lagi lalu menyiapkan sarapan pagi di dapur. Tak lama kemudian anak laki-lakinya, Aditya telah muncul di dapur dengan pakaian seragam sekolahnya.
“Maaa, Adit ga mandi tuuuh!!” teriak Anindya.
Perempuan itu bertolak pinggang di depan Aditya yang telah menggigit roti isi daging panggangnya itu. “Hehehe … sekali ini doang Ma,” cengir Aditya. “Tapi sudah sikat gigi?” tanya Agni, Aditya mengangguk. “Sudah pake minyak wangi?” tanya Agni lagi, Aditya mengangguk lagi sembari mengangkat tangannya untuk membuktikkan ketiaknya tidak bau. “Ok sekali ini saja … tapi besok-besok kamu harus mandi! Awas ya Dit,” ujar Agni kembali sibuk menyiapkan sarapan untuk putrinya juga untuk dirinya. “Siap Mamaku tercintah!” seru Aditya.
Anindya masuk ke dapur dan duduk di kursi makan seberang Aditya. Agni meletakkan piring yang berisikan nasi goreng dengan telur ceplok di hadapannya. “Jorok ih! Ga mandi, ntar cewek-cewek di sekolah pada ga mau sama elu!” tukas Anindya sambil mengaduk nasi gorengnya lalu menyuapnya. “Biarin … daripada elu sudah mandi tapi tetep ga ada yang mau,“ ejek Aditya lalu meminum susunya. Anindya mengambil potongan kecil telur ceploknya lalu menimpukkannya pada Aditya. Aditya terkejut lalu membalasnya dengan melemparkan remahan rotinya.
Agni yang sedang menyeruput kopinya menghela nafas melihat kelakuan kedua anaknya itu. “Terus … terus aja timpuk-timpukkannya … kalau masih kurang, tuh ada sendok, garpu, piring … sekalian timpukin---“ Agni terdiam tidak melanjutkan kalimatnya karena potongan telur ceplok itu nyasar dan menempel di hidungnya. “Ups … maaf Ma … ini si Adit-nya nih!” kilah Anindya terkejut tak menyangka potongan telur yang dilemparkannya malah mengenai mamanya. “Rasain, rasain … marahin Ma … marahin,” sahut Aditya mengompori lalu tertawa.
Agni mengambil telur itu dari hidungnya, “Jadi … kalian mau maen lempar-lemparan nih? Baiklah rasakan ini!” Agni mengambil potongan roti tawar dan melemparkannya pada Anindya juga Aditya yang terkejut lalu menjerit-jerit berlari sambil tertawa. Agni terus mengejar mereka yang lari berkeliling di dalam rumah.
“Udah Ma, udah … capek nih,” ucap Anindya terengah-engah. “Iya Ma … udah, nyerah … nanti kita telat masuk sekolah,” sahut Aditya juga. Agni bertolak pinggang di hadapan kedua anaknya itu, “Mau macem-macem sama Mama hah, baru segitu aja udah ngos-ngosan … Mama ini dulu jago lari tau ga, semua anak di sekolah kalah sama Mama … dulu Mama itu langsing, sekarang aja jadi gemuk … jadi dulu ceritanya begini ….”
Anindya melengos meninggalkan mamanya diikuti Aditya, sembari berkata, “Hhhhh, mulai lagi deh, ini sudah cerita yang ke dua ratus lima puluh kali Ma … kita udah tau ….” Agni nyengir, “Oh gitu ya, emang Mama udah cerita sebanyak itu? Ah masa sih Nin? Kok Mama lupa? Hehehe.”
“Itu sarkas Ma,” sahut Anindya.
“Oooh … ok deh kalau gitu, gimana kalau kita berangkat sekolah aja?”
Kedua anaknya pun segera mengangguk menyetujui dibanding harus mendengar cerita nostalgia lagi. Mereka pun keluar rumah bersama dan naik ke dalam mobil. Agni menyalakan mesin mobilnya.
“Selamat pagi Bu Agni!” sapa ramah tetangga sebelah rumah. Agni membuka kaca mobilnya membalas sapanya, “Pagi juga Bu Erna, maaf kemarin saya ga bisa datang ke arisan RT, ada kerja tambahan di kantor.” Bu Erna tersenyum, “Ga apa-apa Bu … tapi nanti acara kumpul warga datang ‘kan?” Agni mengangguk, “InsyaAllah Bu, kalau ndak sibuk, maklum harus jadi ibu sekaligus bapak nih … kalau gitu saya pamit dulu ya Bu … takut terlambat ke sekolah.” Bu Erna mengangguk. Mobil pun mulai berjalan. Bu Erna melambaikan tangan pada Aditya dan Anindya yang malas-malasan membalas lambaiannya.
“Pffffhhh, kenapa sih kita harus berbasa-basi sama tetangga, tiap pagi pula,” sebal Anindya. “Ya ga apa-apa Nin … hanya berbasa-basi apa susahnya sih … lagi pula kalau ada apa-apa sama kita yang menolong pertama itu tetangga dekat loh … jadi kita harus ramah,” jelas Agni. “Tapi kalau tetangganya tukang gibahin kita gimana? Bilang mama itu janda, simpenan pejabat, soalnya mama ga punya suami tapi bisa punya mobil, nguliahin anak,” sela Aditya.
Agni tertawa, “Oya? Ada yang ngomong gitu? Hahaha … ga semua orang suka sama kita Dit, ya biarin aja, itu urusan hati mereka yang jelek, kita ‘kan engga … tapi sama orang seperti itu, kadang kita ga perlu basa-basi Dit … kita juga harus punya sikap … kalau orang itu ngomong langsung di depan Mama sih bakal Mama sumpel mulutnya pake kanebo ….” Aditya tertawa.
“Tapi Mama bukan simpenan ‘kan?” sahut Anindya. Agni tersenyum menggeleng, “Sudah tidak usah dibahas omongan tetangga … Nin coba ambilin hape Mama di dalam tas.” Anindya mengambilkan telepon genggam itu dan menyerahkannya pada Agni. Agni membuka telepon genggamnya sembari menyetir mobil. Beberapa kali ia nyaris menubruk mobil di depannya karena fokusnya terbagi.
“Duh Ma … nyetir sambil maen hape bahaya loh … kenapa ga beli handsfree aja sih jadi tangan Mama bisa tetep fokus ke setir mobil?” cetus Anindya cemas melihat mobil yang dikemudikan mamanya menjadi tak stabil. “Handsfree? Apaan tu?” sahut Agni yang masih sibuk memijit-mijit nomer. Suara klakson mobil dari luar mengagetkan mereka karena mobil mereka nyaris menyenggol mobil tersebut.
“Ma … sudah sini sama Anin aja nelponnya, ‘kan bisa pake perintah suara, ga usah dipijit-pijit lagi nomernya Ma,” sahut Anindya. Agni menyerahkan telepon genggamnya, “Nah dari tadi kek Nin … kamu ‘kan tau Mama gaptek.”
Anindya menyebut sebuah nama lalu telepon itu menyambung otomatis. Ia pun memijit pengeras suara di telepon genggam tersebut sehingga tidak perlu menempelkan telepon itu ke telinga lagi. Nada dering terdengar. Cukup lama hingga telepon tersebut dijawab.
“Halo Ma …” terdengar suara dari ujung telepon sana. Agni segera memerintahkan pada Aditya dan Anindya, “Ayo kalian sapa dulu Kakak kalian itu.” Anindya dan Aditya berteriak serempak, “Pagi Kak Anggiiiii ….” Terdengar suara serak dan tawa dari sana, membalas sapaan, “Hehehe … pagi juga adik-adik kembar kesayanganku.”
“Nggi … ini Mama … kenapa suaramu serak gitu? Semalam Mama kirim sms dan telpon kamu tapi kamu ga balas, kamu baik-baik ‘kan Nggi?” tanya Agni cemas. “Ya gimana mau balas, Mama kirim sms dan nelpon menjelang subuh gitu, aku masih tidur lah uhuk!” jawab Anggi lalu terbatuk.
“Tuh kenapa batuk? Kayaknya kamu flu tuh … kamu harus minum obat Nggi … itu orientasinya ga berat ‘kan? Ga macem-macem ‘kan?” cerocos Agni cemas.
“Ga Ma … aku fine kok … iya nanti aku minta obat flu sama kating di sini, udah Mama tenang aja,” ujar Anggi.
“Nggi … setelah masa orientasi kamu selesai, rencananya, kalau cuti Mama disetujui kantor, Mama mau kesana sama adik-adik … sekalian jemput kamu, kamu habis orientasi libur ‘kan? Kamu mau dibawain apa?” tanya Agni.
“Bawain aku selimut yang di kamar aja Mah … yang biru muda itu … Ma, udah ya, aku ga bisa lama … kating sudah manggil-manggil tuh … love you Ma,” sahut Anggi lalu menutup teleponnya.
“Nggi! Jangan lupa minum obat … love you too---“
“Teleponnya sudah ditutup sama Kak Anggi Ma,” potong Anindya menutup telepon genggam dan menyimpannya kembali di dalam tas mamanya. Agni berdecak karena ia belum puas untuk bicara dengan putri sulungnya tersebut.
“Nin, coba sms Kak Anggi … bilang nanti malam hape dibawa jangan ditinggal-tinggal, Mama mau nelpon,” cetus Agni. “Ma tinggal nelpon aja via WA, kenapa harus di-sms dulu sih,” sahut Anindya. “Ya udah kirimin pesan WA aja kalau gitu deh, kamu bawel,” balas Agni. Anindya mengambil kembali telepon gengam itu, mengetik pesan sembari menggerutu.
“Hayo … ngegerundel apa itu?” cetus Agni, Anindya seketika terdiam. “Dia ngegerundel ‘bawel, bawel, Mama tuh yang bawel’ gitu Ma,” celetuk Aditya. “Dasar tukang ngadu!” cetus Anindya menyabetkan bantal pada wajah Aditya yang tertawa.
“Sudah, sudah … kita sudah sampai di sekolah … ayo turun, nanti sore Mama jemput seperti biasa ya,” sahut Agni pada kedua anaknya yang sedang turun dari mobil. “Love you Ma,” ucap Aditya, lalu bergegas menuju gerbang sekolah.
“Love you too Dit,’ balas Agni. Anindya menutup pintu mobil dan berjalan.
“Hey Nin …” panggil Agni seraya menempelkan jemari di belakang telinganya seakan ingin mendengar suara dari putrinya itu. Anindya menghela nafas, berkata dengan malas, “Hhhhh … love you Ma.”
Agni tersenyum, “Love you too Anindya.”
Setelah Agni memastikan kedua anak kembarnya itu masuk sekolah, ia pun segera menjalankan mobil menujut tempatnya bekerja.
...***...
Awan mendung menggantung tepat di atas tenda-tenda. Angin bertiup dingin dan kencang. Para mahasiswi baru itu sedang berlari mengitari lapangan dengan membawa beban batu di punggung mereka. “Apa … maksudnya coba … kita disuruh lari … bawa beban kek gini?” gerutu Dina terengah-engah. “Emang kita mau jadi tentara apa?” timpal seorang mahasiswi mendengar gerutuan Dina. Anggi hanya diam saja mendengar keluhan teman-teman seangkatannya itu.
“Kita harus aduin ke dosen wali nih,” sahut salah satu mahasiswi diikuti anggukan kepala yang lainnya. “Gue sebel banget sama trio kating yang sok galak itu huh,” sambung mahasiswi itu lagi. “Mereka paling rese, mana jelek dan menyebalkan pula, paket komplit!” tambah mahasiswi lain yang nimbrung dengan nafas terengah, mereka senyam-senyum menahan tawa mendengar komentar mahasiswi itu. “Tapi kenapa ya, kalau senior yang jelek biasanya paling bertingkah? Galak dan minta dihormatin gitu?” tanya salah satu dari mereka. “Soalnya caper, kalau ga caper ga ada yang lirik mereka hihihi,” sahut yang lain, mereka pun cekikikan.
“Nggi … lo … kenapa … diam aja?” tanya Dina berbisik terengah pada Anggi yang berlari di sampingnya. “Gue diam karena ga mau gegabah … di sini ga ada dosen … mereka bisa seenaknya … kita harus nurut dulu … nanti kalau ada kesempatan … baru kita lawan,” bisik Anggi terengah-engah juga.
“Hooooy gue suruh lari bukan pada ngobrol!” teriak Ovi seraya melayangkan tangannya pada kepala Dina dan kepala mahasiswi lainnya yang melewati dirinya. Plak! “Aduh! Iya Kak … maaf,” seru Dina mengusap-ngusap kepalanya yang dikeplak itu. “Brengsek!” umpat Anggi melihat temannya dipukul begitu.
Boba mendatangi Evelyn yang sedang duduk memperhatikan mereka. “Sudah berapa kali puteran?” tanya Boba. “Baru lima kali,” jawabnya lalu melihat pada langit. “Pas nih, bentar lagi turun hujan gede, biarkan mereka di lapangan terus, setelah itu kita bawa lagi ke hutan,” sambung Evelyn, “tapi kali ini kita bikin mereka nginep di hutan … kita lihat sampai besok pagi, apa malam ini mereka bisa survive atau ga.” Boba menatap Evelyn, “Apa ga terlalu berlebihan Eve? Kalau ada hewan buas gimana?”
“Mana ada … wilayah ini sudah menjadi tempat perkemahan Ba … sudah aman dari hewan buas .… gue lagi ngincer si Sok Pintar itu.”
“Anggi?”
Evelyn menggangguk dengan senyum culas, bertepatan dengan bunyi gemuruh dari balik awan yang mendung.