Hidup Shavira hanyalah rangkaian luka yatim piatu, ditindas bibi dan pamannya, lalu divonis hanya punya beberapa bulan karena penyakit mematikan. Namun semua berubah ketika ia bertemu sosok misterius yang selalu muncul bersama seekor kucing hitam. Lelaki itu menyebut dirinya malaikat maut—Cat Man. Sejak saat itu, batas antara hidup dan mati, cinta dan kehilangan, mulai kabur di hadapan Shavira.
haii,, selamat datang di cerita pertamaku.. semoga suka ya~♡
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juyuya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kematian youtuber
Anton menyorot ke arah yang ditunjuk Mahendra. Mereka berjalan perlahan.
“Nah, seperti yang kalian semua lihat, di sini nggak ada orang sama sekali. Hanya gue dan Anton. Tapi kenapa hantunya nggak nongol-nongol ya? Apa dia takut sama gue?” tanya Mahendra dengan sombong.
“Oke, baiklah. Karena hantunya nggak mau muncul, gue bakal tantang dia! Jangan lupa like dan subscribe video gue sebanyak-banyaknya, karena malam ini gue lagi mempertaruhkan nyawa gue, oke!”
“WOI HANTU SIALAN! KELUAR LO! GUE GAK TAKUT SAMA LO! SINI MAJU! MUNCUL DI DEPAN MUKA GUE!” teriak Mahendra hingga suaranya bergema di tempat itu.
Prang!!
Youtuber dan kameramennya sontak terlonjak kaget. Wajah Mahendra was-was, matanya mengitari area sekitar.
“Suara apa tadi tuh?” tanya Mahendra bingung.
“Kayaknya dari sana deh, guys.” Ia menunjuk arah kolam tua yang sudah tidak terurus.
Mereka berjalan ke arah itu dengan Mahendra yang tetap stay di depan kamera. Jantung mereka sama-sama berdegup kencang, meski harus terlihat berani demi penonton. Bulu kuduknya meremang, sesekali lelaki itu memegangi leher belakang karena merasa ada sesuatu yang aneh.
Srrtt…
“Aaahh!!” Mahendra kaget setengah mati. Jantungnya hampir copot saat melihat seekor kucing hitam tiba-tiba melintas di depannya.
“Anjir! Gue kira apa. Rupanya kucing! Syuhhh, sana!” usirnya kesal.
Namun kucing itu tetap diam di tempat. Mahendra kesal, lalu mengambil besi sekitar 50 cm dan memukulkannya ke tubuh si kucing hingga hewan itu kabur entah ke mana.
“Kucing sialan! Ganggu orang aja!” umpatnya.
Mahendra kembali ke kamera. Kini ia berdiri tepat di belakang sumur tua.
“Oke guys, sekarang gue lagi ada di area sumur tua, dan ini katanya tempat paling horor di rumah sakit ini!”
Kamera menyorot area sumur yang kumuh dan menyeramkan.
“Nah, seperti yang kalian lihat, TIDAK ADA HANTU DI SINI!” tekan Mahendra sambil menyeringai puas, merasa berhasil melewati tantangan netizen.
“Oke, karena gue nggak nemu apa-apa, berarti tempat ini nggak seangker yang kalian bilang!”
Drap. Drap. Drap!!
Tiba-tiba terdengar suara langkah sepatu yang mendekat. Kedua lelaki itu terdiam, menajamkan pendengaran.
“Ton, lo denger sesuatu?” bisik Mahendra.
Anton mengangguk.
Langkah itu semakin jelas. Anton membelalakkan mata, tubuhnya gemetar seperti orang kejang.
“Anton! Lo kenapa?” Mahendra panik.
“Di-di b-be-be…belakang lo!” Anton menunjuk dengan tangan gemetar.
Mahendra menoleh. Seketika ekspresi mereka sama terkejutnya.
“Aaaa!!”
Byurrr! Mahendra terjatuh ke dalam sumur.
“Hendra!!” teriak Anton histeris.
Kamera terlepas dari tangan Mahendra, tergeletak di tanah.
“Ah, sial!” umpat Mahendra, berusaha berenang. “An…ton! Tolongin gue!!”
Anton merangkak mendekat, tapi langkahnya terhenti. Matanya menatap sepatu hitam mengilap yang berdiri tepat di hadapannya.
Ia mendongak. Seorang lelaki tinggi, berpakaian serba hitam, berdiri dengan tubuh sempurna. Tatapannya tajam, penuh kebencian, aura kematian begitu kuat mengelilinginya.
“Ha… ha… hantu!!” teriak Anton ketakutan, lalu kabur terbirit-birit meninggalkan temannya.
Cpak… cpakk…!! Suara dari sumur menarik perhatian lelaki misterius itu. Ia mendekat dengan langkah tenang. Senyum tipis menyeringai di wajahnya.
“To…lo…ong… gu…ee!” suara Mahendra terdengar lemah.
Lelaki itu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku.
“Nikmati malam terakhir kamu di sini.”
Air sumur kembali tenang. Tak ada lagi suara, hanya hembusan angin yang mengisi wilayah belakang rumah sakit itu.
[“Apa dia mati?”]
[“Dia dibunuh hantu!”]
[“Gila, ngeri banget!”]
[“Astaghfirullah!!”]
[“Mahendra udah meninggal! Cepat lapor polisi!”]
Komentar penonton memenuhi live streaming yang masih berjalan. Kamera tetap tergeletak, menyoroti sumur tua. Lalu, perlahan… kamera itu mati sendiri.
---
"Pemirsa, telah ditemukan mayat seorang lelaki yang diduga seorang YouTuber berinisial M di belakang Rumah Sakit Mawar Merah."
“Anjir, gila! Ngeri banget!” seru Nadia yang tengah duduk di sofa sambil menggenggam remote TV.
“Vir! Lo tau kan si Mahendra? YouTuber yang suka live streaming di tempat horor itu? Dia meninggal!!” teriak Nadia ke arah Shavira yang sedang mencuci piring di wastafel.
Shavira menoleh kaget. “Apa?! Yang bener lo?”
“Bener! Nih, liat beritanya!” Nadia langsung membesarkan volume TV.
Shavira buru-buru mengelap tangannya dengan handuk kecil, lalu berlari dan duduk di sebelah Nadia.
"Mayat korban ditemukan di dalam kolam tua dalam kondisi tubuh yang sudah membengkak. Sejauh ini belum diketahui pasti penyebab kematian korban. Diketahui kor—"
“Lo tau nggak dia mati gara-gara apa?” tanya Nadia serius.
Shavira mengangkat bahu.
“Gara-gara hantu yang ngehuni taman belakang rumah sakit itu!”
Plak! Shavira langsung memukul lengan sahabatnya.
“Astaghfirullah, Nad! Zaman sekarang nggak ada hantu-hantuan.”
“Walaupun gue sering nonton channel YouTube dia, tapi gue nggak percaya. Selama ini kan belum pernah tuh dia beneran ketemu hantu,” bantah Shavira.
Nadia manyun. “Ih, gue nggak bohong. Malam tadi dia live streaming, banyak netizen yang liat kok!”
Dia melanjutkan dengan suara lebih pelan, seolah menambahkan efek dramatis.
“Dan lo tau? Kameramennya sekarang hilang ingatan. Amnesia, Vir. Bahkan nama sendiri aja dia lupa.”
Shavira menghela napas panjang. “Terserah lo deh, Nad. Yang jelas gue nggak percaya sama hal begituan. Mereka begitu ya memang udah takdirnya.”
Shavira bangkit, mengambil tasnya di atas meja.
“Gue kerja dulu ya. Bay!”
“Ih! Dasar nggak percaya banget lo. Awas aja, kalau nanti lo beneran ketemu sama tuh hantu,” sungut Nadia sambil melipat tangan.
Shavira hanya melambaikan tangan sambil tersenyum tipis. Setelah pintu tertutup, Nadia bergidik ngeri.
“Kok gue jadi merinding gini sih!” gumamnya, lalu buru-buru masuk kamar dan menguncinya rapat-rapat.
---
Shavira berhenti di depan gerbang Rumah Sakit Mawar Merah. Ada sesuatu yang ingin ia tanyakan kepada Dokter Hendri—dokter yang kemarin menawarkan perawatan agar kondisinya bisa lebih baik.
“Astaghfirullah!” Shavira menepuk dadanya. Ia terlonjak kaget karena seekor kucing hitam tiba-tiba melintas di depannya.
“Huft, bikin kaget aja…”
Ia menoleh. Kucing itu kini duduk di atas tong sampah, matanya menatap tajam seolah lapar.
Shavira mendekat, lalu merogoh tasnya dan mengeluarkan sebungkus roti yang tadi ia beli di minimarket. Dibukanya perlahan, lalu diletakkan di atas potongan kardus kecil.
Kucing itu segera turun dan mulai melahap roti. Senyum tipis merekah di wajah Shavira saat melihatnya makan dengan lahap. Sesekali ia mengelus bulu hitam legam kucing itu.
“Ternyata kamu lapar, ya. Habiskan, jangan disisain. Tapi jangan dikasih kalau ada yang minta, ya,” ujarnya sambil terkekeh kecil.
Melirik jam tangannya, Shavira pun berdiri.
“Aku pergi dulu, nanti aku kasih kamu makanan lagi,” ucapnya sebelum berjalan masuk ke area rumah sakit.
---
“Jadi, Dok… bagaimana kalau saya nggak mau dirawat?” tanya Shavira lirih.
Dokter Hendri terperanjat. “Apa? Kenapa? Bukannya kemarin kamu masih mempertimbangkan untuk dirawat?”
Shavira menunduk, suaranya bergetar.
“Saya… merasa kalau kematian saya sudah dekat. Mau sekuat apapun saya berusaha, saya yakin hasilnya akan tetap sama. Jadi, mau saya dirawat atau tidak, saya tetap akan meninggal dalam beberapa bulan ke depan.”
Bibirnya bergetar menahan tangis. Ia memaksakan sebuah senyum, walau hatinya remuk tak berbentuk.
“Mbak Shavira, tolong jangan menyerah seperti ini. Saya ingin kamu bisa bertahan lebih lama,” pinta dokter itu tulus.
Namun Shavira hanya bisa diam. Di dalam hatinya, ia ingin sekali berteriak, meluapkan semua kesedihan yang selama ini dipendam.
---