Bayinya tak selamat, suaminya berkhianat, dan ia bahkan diusir serta dikirim ke rumah sakit jiwa oleh Ibu mertuanya.
Namun, takdir membawa Sahira ke jalan yang tak terduga. Ia menjadi ibu susu untuk bayi seorang Mafia berhati dingin. Di sana, ia bertemu Zandereo, bos Mafia beristri, yang mulai tertarik kepadanya.
Di tengah dendam yang membara, mampukah Sahira bangkit dan membalas rasa sakitnya? Atau akankah ia terjebak dalam pesona pria yang seharusnya tak ia cintai?
Ikuti kisahnya...
update tiap hari...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mom Ilaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 2 #Bayi Tabung
Rames memacu mobilnya dengan kencang, meninggalkan kebisingan kota di belakangnya. Di sudut lain kota yang sama, Julian melangkah pelan menuju sebuah mobil yang dijaga ketat oleh dua pria bertubuh besar. Malam yang pekat membuat langkah kakinya terdengar jelas, memecah keheningan. Di gendongannya, sesosok bayi tersembunyi di balik selimut tebal.
"Nona Julian?" sapa salah satu pria itu, suaranya serak.
Julian mengangguk singkat. "Silakan masuk," perintahnya. Pintu mobil terbuka, menampakkan seorang wanita yang sudah menunggunya dengan sabar.
"Julian, akhirnya kau datang. Aku sudah menunggumu sejak kemarin," kata wanita itu, Balchia, tersenyum tipis.
Julian menghela napas lega, lantas membuka tudung selimut sang bayi. "Aku baik-baik saja, Chia. Tapi sekarang aku dalam pelarian dari Rames. Aku butuh bantuanmu," pintanya, suaranya bergetar.
Balchia mengamati bayi di tangan Julian, matanya berbinar licik. "Tenang saja, Julian. Aku sudah menghancurkan perusahaannya. Rames tidak akan mencarimu dalam waktu dekat. Dia pasti sedang sibuk mengurus kebangkrutan perusahaannya sekarang," jelasnya, nada suaranya penuh kepuasan.
"Terima kasih, Chia. Kau sudah banyak membantuku membalas dendam pada keluarga Rames," ucap Julian, suaranya terdengar tulus.
"Sama-sama," jawab Balchia, senyumnya makin lebar. "Omong-omong, apa bayi ini anakmu dengan Rames?" tanyanya, menunjuk bayi itu.
Julian menggeleng cepat. "Bukan. Aku tidak punya bayi."
"Lho, bukannya kau hamil?" Balchia terkejut, ekspresinya dipenuhi kebingungan.
"Tidak. Aku tidak pernah hamil dan tidak pernah melahirkan. Kehamilanku hanya sandiwara," gerutu Julian, nada suaranya dipenuhi kebencian. "Aku tidak sudi mengandung anak bajingan itu yang dulu pernah membuangku!"
Julian melanjutkan ceritanya, menjelaskan bahwa malam itu darah yang keluar adalah darah palsu dari kantong yang sudah ia siapkan. Perutnya yang membesar selama ini hanyalah kain yang dibentuk sedemikian rupa.
"Hahahaha!" tawa Balchia meledak. "Kau sungguh jenius! Atau jangan-jangan Rames yang terlalu bodoh?" sambungnya, seraya memegang perutnya yang kini terlihat besar.
"Omong-omong, apa kau juga serius hamil?" tanya Julian, menatap Balchia lekat.
Balchia menyeka sisa air matanya karena terlalu lelah tertawa. Ia membuka isi bajunya, dan perutnya langsung rata seketika. "Pfft… lihat, aku juga melakukan cara sepertimu, Julian."
"Kenapa kau tidak hamil sungguhan?" tanya Julian, bingung. Suami Balchia, Zander, jauh lebih kaya dan berkuasa daripada Rames. Seharusnya tidak ada masalah jika ia mengandung pewaris.
"Ayolah, Julian. Aku ini model papan atas. Kalau aku sungguh hamil, bentuk tubuhku akan berubah. Aku tidak mau itu. Lagipula, Zander itu mandul dan dia tidak pernah menyentuhku sama sekali," celetuk Balchia.
"Lalu, apa tanggapan suamimu?" tanya Julian, mulai merasa khawatir.
"Aku cuma bilang aku hamil dengan cara menggunakan bayi tabung."
"Dia percaya?" Julian meragukan hal itu.
"Tentu saja tidak. Tapi aku bilang kalau aku mencuri spermanya lalu menanamnya ke rahimku. Tapi dia tetap tidak percaya. Justru kakeknya yang malah percaya," jawab Balchia sinis. Tawanya kembali pecah, kali ini terdengar lebih kejam.
Julian terdiam. Ia ingat betul sperma yang ia dapat dari Balchia setahun lalu. Sperma itu yang ia tanam di rahim Sahira, yang kebetulan saat itu datang untuk berkonsultasi tentang program bayi tabung.
"Oh ya, kalau bayi ini bukan milikmu, apa mungkin bayi ini bayi suamiku, Julian?" tanya Balchia serius.
Julian tersentak, wajahnya pucat. "Bu-bukan!" jawab Julian ragu. Dalam hati, rencana lain mulai berkelebat. Ia melihat ini sebagai kesempatan emas untuk menjadi menantu Raymond, kakek Zander, yang punya kekuasaan absolut di dunia gelap. Jika ia mengaku bayi itu adalah anaknya dengan Zander, ia bisa hidup enak dan menyingkirkan Balchia.
"Cih, jika bayi ini bukan milikmu dan bukan bayi suamiku, lalu kenapa kau membawanya kemari?" tanya Balchia penuh selidik. Ia mulai curiga Julian merencanakan sesuatu.
"Maaf, Chia. Bayi... bayi ini milikku dengan Zander!" Julian mendorong Balchia, membuka pintu mobil, dan berlari secepatnya.
"Julian!" teriak Balchia, marah. Seketika itu juga, suara tembakan memecah keheningan malam.
Julian yang belum sempat berlari jauh, ambruk bersama bayi di tangannya. Dua tembakan dari pistol Balchia bersarang di punggungnya.
"Oeeekkk.... oeeekk..."
Bayi itu menangis kencang. Julian berusaha mendekapnya agar Balchia, yang kini berdiri di sampingnya, tidak bisa mengambil bayi itu. "Chia, tolong biarkan aku pergi," mohon Julian, sebelum darah menyembur dari mulutnya dan mengotori tubuh bayi Sahira.
DOR! DOR! DOR!
Tiga tembakan lagi menghantam Julian. Ia langsung mati di tempat, terbunuh secara tragis oleh tangan Balchia sendiri.
"Kau, bawa bayi itu!" perintah Balchia kepada salah satu anak buahnya.
"Nyonya, bagaimana dengan mayat wanita ini?" tanya anak buah yang lain.
"Buang ke laut atau kubur di gunung sana!" jawab Balchia kesal, menunjuk gunung di kejauhan. Ketiga anak buahnya segera membawa pergi mayat Julian.
Lima menit kemudian, sebuah mobil hitam datang. Balchia mendekati mobil itu dan terkejut hanya melihat dua anak buahnya di dalam.
"Kenapa cuma kalian berdua saja? Mana wanita itu?!" bentak Balchia dengan suara menggelegar.
"Maaf, Nyonya. Wanita itu berhasil kabur," jawab mereka ketakutan.
"APA?!" Balchia murka. Ia menampar kedua anak buahnya. "Segera cari dia! Jangan pernah kembali sebelum kalian menemukannya!" perintahnya, penuh amarah.
Teriakan Balchia membuat bayi Sahira menangis semakin kencang karena lapar.
"Sial, jangan menangis, bodoh!" bentak Balchia, hampir saja tangannya melayang ke arah bayi itu. Namun ia menahan diri, sadar rencananya akan hancur jika ia bertindak gegabah. Ia lelah dengan sandiwara ini. Sekarang ia harus mengurus bayi suaminya dari wanita lain, sementara ibu dari bayi itu berhasil kabur.
Mobil Balchia tiba di sebuah rumah megah bak istana. Ia keluar, terpaksa menggendong bayi itu agar ibu, ayah mertua, serta kakek suaminya tidak curiga.
Pintu rumah terbuka. Mauren, ibu mertua Balchia, terkejut melihat Balchia pulang sambil menggendong bayi.
"Balchia? Dari mana saja kau, Nak? Lalu, bayi siapa ini?" tanya Mauren, menunjuk bayi itu.
"Ibu, ini cucu Ibu, anakku dengan Zander," kata Balchia, dengan senyum palsu yang paling manis.
Mendengar itu, mata Mauren berkaca-kaca. "Sungguh? Cucu Ibu? Bayi ini cucu Ibu? Kapan kau melahirkan?" Mauren melirik perut Balchia yang sudah rata. Padahal ia yakin menantunya masih punya dua bulan lagi. Namun, wajah bayi mungil itu mirip sekali dengan putranya saat kecil, membuatnya yakin.
"Maafkan aku, Bu. Aku tadi pagi ingin memberitahu Ibu kalau aku mengalami pendarahan, tapi karena Ibu dan Ayah sedang keluar, aku tidak tega menelepon," tutur Balchia, berpura-pura sedih.
Mauren memeluk Balchia sejenak sebelum menggendong cucunya. Tiba-tiba, suara menggelegar terdengar, membuat bayi itu kembali menangis.
"Bohong! Bayi itu bukan cucu kita, Ma!" ujar Daren, ayah mertua Balchia. Daren memang membenci Balchia karena ia tidak sesuai dengan kriteria menantu di keluarga itu.
"Papa ini bicara apa? Jelas-jelas mukanya mirip anakmu waktu kecil, coba lihat sendiri," ujar Mauren tidak terima.
Daren berdiri di samping Mauren, lalu melirik bayi itu yang kini sudah tenang. "Cih, mirip sih mirip, tapi Papa masih tidak yakin. Mama tahu sendiri, Zander itu mandul. Dia pernah bilang ke Papa kalau dia tidak bisa punya anak," decak Daren, menunjuk Balchia. "Dia pasti hamil dengan laki-laki lain di luar sana!"
Dalam hati, Balchia geram dituduh berselingkuh.
"Atau bisa saja dia selingkuh dengan pak tua di sana!" Daren menunjuk Raymond, ayah mertuanya yang menuruni tangga karena mendengar pertengkaran.
Raymond terkejut dituduh demikian. "Apa maksudmu, Daren?!" murka Raymond, mantan bos mafia.
"Papa! Sudah, jangan bicara ngawur! Kasihan cucu kita menangis terus," tegur Mauren, mencoba menenangkan cucunya dan memisahkan keduanya.
"Ma, Balchia masuk ke rumah ini karena Ayahmu yang bodoh itu! Dan dari awal Mama juga tidak setuju kan Balchia menikah dengan Zander? Tapi kenapa sekarang Mama membela ular ini?" cerocos Daren, menunjuk Balchia lagi.
"DAREN!" teriak Raymond kesal. Namun, sebelum situasi memanas, sebuah tembakan ke udara menghentikan mereka. Mereka terdiam dan menoleh ke luar, di mana seorang pria menatap tajam ke arah mereka.
"Zander?"
Balchia segera berlari ke arah pria itu, memeluknya dengan pura-pura ketakutan. "Zander, akhirnya kau pulang juga. Aku sangat merindukanmu," ucap Balchia.
Namun, Zander malah mendorongnya dengan dingin.
"Menjauhlah dariku, jal'ang sinting."
percays sama jalang, yg akhir hiduo ny tragis, itu karma. ngejahati sahira, tapi di jahati teman sendiri. 😀😀😀