Aura, seorang penulis amatir dari keluarga miskin, terjebak dalam novel ciptaannya sendiri. Ia bangun di tubuh Aurora, selingkuhan jahat dari cerita Penderitaan Seorang Wanita. Padahal, dalam draf aslinya Aurora direncanakan mati tragis karena HIV, sementara sang istri sah, Siti, hidup bahagia bersama second male lead. Kini, Aura harus memutar otak untuk melawan alur yang sudah ia tulis sendiri, atau ikut binasa di ending yang ia ciptakan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aulia Z.N, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di Antara Doa dan Perceraian
Matahari pagi menembus sela-sela tirai tipis kamar Aurora, menyiramkan cahaya keemasan yang membuat ruangan tampak berkilau. Perlahan, kedua mata itu terbuka—mata hitam legam dengan bulu mata lentik yang bergetar seiring helaan napasnya. Aurora bangkit dari tempat tidur megahnya, gaun tidurnya bergesekan lembut dengan sprei satin. Namun alih-alih meraih cermin atau menyapa pagi, tangannya langsung mencari benda kecil yang selalu ia prioritaskan lebih dari segalanya: ponselnya.
Begitu layar menyala, Aurora menajamkan mata. Sebuah pesan tak terduga muncul dari Siti.
> Aurora, sepertinya saya setuju untuk bercerai dengan suami saya. Bisa kita bertemu di tempat kemarin?
Aurora membulatkan mata, lalu sebuah senyum perlahan mengembang di wajahnya. Senyum yang bukan sekadar lega, melainkan juga penuh rasa puas. "Akhirnya ibu rumah tangga itu menjadi sedikit lebih pintar," ucapnya lirih. Ia menggigit bibir, sorot matanya berkilau penuh antisipasi. "Aku jadi penasaran. Apa yang dilakukan second male lead pada ibu Siti hingga bisa berubah pikiran seperti itu."
---
Sementara itu, setelah Aurora dan Aditya meninggalkan meja pertemuan semalam, suasana di sudut ruangan kafe itu berubah sunyi. Tinggal dua orang saja—Siti dan Santoso. Gelas minuman yang hampir kosong dibiarkan tergeletak, uapnya sudah lenyap, seakan ikut menelan semua percakapan sebelumnya.
Siti duduk menunduk, jemarinya saling menggenggam erat di pangkuan. Napasnya tersengal pelan, seperti orang yang menahan sesak di dada. 'Semuanya pergi. Apa karena mereka marah padaku? Apa aku membuat mereka semua kesal? Bagaimana ini? Apa bertahan adalah hal yang salah di mata mereka semua? Tapi mereka hanyalah anak-anak muda yang masih menggebu-gebu. Mungkin mereka hanya—'
"Ibu Siti," suara Santoso memotong lamunannya, pelan tapi tegas, seperti seseorang yang tahu kapan harus menyusup masuk ke dalam celah kelemahan orang lain.
Siti tersentak, buru-buru mengangkat kepala. "Ya- ya, pak?" suaranya bergetar, hampir seperti bisikan yang takut pecah.
"Sebentar lagi malam. Mau saya antar pulang ke rumah?" tanya Santoso, lembut, tapi ada nada yang samar-samar mengandung desakan.
"Ti- tidak perlu, saya akan menaiki angkutan umum saja," jawab Siti cepat, seolah menolak sesuatu yang bisa menyeretnya ke dalam masalah lain.
Santoso memiringkan kepala, menatap penuh selidik. "Suamimu tidak mengantarmu pulang?"
Siti menelan ludah. Ia menggeleng pelan, hampir tak bersuara. "Dia sibuk bekerja. Saya tidak mau mengganggunya."
Kening Santoso berkerut samar, kemudian ia menghela napas yang terdengar berat. "Maaf jika tidak sopan. Tapi... Bagaimana bisa seseorang yang sibuk bekerja bisa selingkuh? Anda yakin beliau sibuk bekerja, bukannya sibuk selingkuh?"
Kata-kata itu jatuh seperti hantaman palu ke dada Siti. Ia terdiam, tubuhnya kaku. Matanya menunduk lagi, menatap meja seakan mencari jawaban di sana.
"Menurut bapak," suaranya lirih, "jika suami selingkuh, memang sepantasnya diceraikan saja, ya?"
Santoso menatapnya tanpa berkedip, nada suaranya berubah lebih dalam. "Ibu Siti, saya tahu anda hanya ingin mempertahankan pernikahan anda. Tapi pikirkanlah juga anda sendiri. Perselingkuhan bukanlah hal yang sepele. Selingkuh artinya penghianatan. Dan ini tidak hanya merugikan untuk istri, tapi juga untuk anak."
Siti meremas tangannya sendiri, hampir sampai pucat. Napasnya terasa berat. 'Memangnya anak-anakku juga ingin aku cerai? Mereka hanya anak-anak kecil yang masih membutuhkan kasih sayang kedua orang tuanya. Justru jika aku bercerai dengan suamiku, itu akan menjadi hal terburuk di hidup mereka. Mereka akan kehilangan sosok seorang ayah.'
"Baiklah, Ibu Siti. Sekarang saya tanya, hal apa yang membuat Ibu Siti tetap bertahan?" tanya Santoso dengan nada penasaran, matanya menatap tajam namun penuh rasa ingin tahu.
Pertanyaan itu membuat dada Siti serasa diremas. Ia menunduk dalam, pundaknya bergetar pelan. Air mata mulai menetes, membasahi pipinya yang pucat. 'Jika aku bilang bahwa aku bertahan demi anak-anakku agar tidak kehilangan sosok ayah, apa aku akan dicap sebagai orang tua yang egois?' pikirnya dengan gemetar.
Santoso memperhatikan setiap tetes air mata itu tanpa berkomentar. Ada tatapan serius di matanya, seakan sedang membaca isi hati Siti. Lalu, tanpa banyak bicara, ia bangkit dari kursinya. Suara langkah kakinya terdengar jelas di tengah keheningan yang menekan, membuat Siti semakin merasa sendiri.
Beberapa menit kemudian, Santoso kembali. Di tangannya, ia membawa secangkir teh hangat yang masih mengepulkan uap tipis. Dengan gerakan hati-hati, ia meletakkannya di depan Siti. "Minumlah dulu! Tidak masalah jika masih belum bisa menjawabnya sekarang, saya akan menunggu di sini."
Siti menoleh perlahan, matanya yang sembab menatap gelas teh itu. Uap hangat yang naik ke udara memantulkan bayangan dirinya di permukaan cairan cokelat keemasan itu—wajah yang lelah, penuh keraguan, dan ketakutan. Ia meraih gelas itu dengan tangan bergetar, lalu menyesapnya pelan. Kehangatan teh mengalir melalui tenggorokannya, sedikit meredakan hawa dingin yang kian menusuk karena malam semakin dekat.
Setelah beberapa teguk, ia meletakkan kembali gelas itu ke meja. Siti menarik napas panjang, seolah berusaha menenangkan badai yang berkecamuk dalam dadanya. Lalu, dengan perlahan, ia mengangkat wajahnya menatap Santoso. Mata itu masih berkaca-kaca, tapi kini lebih berani bersuara.
"Saya sebenarnya hanya ingin memiliki keluarga yang saling menyayangi," suaranya parau, namun penuh ketulusan. "Karena itu saya terus bertahan di dalam rumah tangga ini. Saya selalu berdoa setiap malam, meminta Tuhan agar bisa mengubah suami saya menjadi lebih baik. Tapi entah kenapa, doa itu seperti sia-sia. Tapi saya yakin Tuhan akan mendengarkan doa saya. Tapi saya lelah... Saya—"
Kalimatnya terputus karena isak. Santoso spontan meraih tisu di atas meja, lalu dengan lembut mengusap air mata yang mengalir di pipi Siti. Gerakannya tenang, tapi tatapannya begitu tegas, seakan ingin menancapkan kebenaran yang sulit untuk dihindari.
"Saya mengerti perasaan Ibu Siti," ucapnya pelan. "Tuhan memang bisa membolak-balikkan hati manusia. Tapi jika manusia itu tidak mau berubah, maka selamanya akan seperti itu. Jika suami Ibu Siti memang mencintai Ibu Siti dan anak-anaknya, beliau tidak akan menghianati keluarganya dengan cara selingkuh."
Siti menelan ludah, matanya bergetar hebat. "Jadi, apa tidak ada jalan lain lagi selain perceraian?" tanyanya dengan lirih, suaranya hampir pecah.
Santoso menatapnya tajam, namun tetap dengan kelembutan yang penuh perhitungan. "Ibu Siti, sebaiknya malam ini Ibu Siti pulang dulu ke rumah, bertanya pada anak-anak Ibu Siti tentang ayah mereka. Lihat apakah suami Anda ada tanda-tanda akan berubah atau tidak, baru hubungi saya lagi."
Ucapan itu menggantung di udara, membuat Siti terdiam membeku. Pertanyaan itu kini berpindah ke dalam hatinya, menjadi pisau yang menunggu untuk menentukan arah masa depannya.