NovelToon NovelToon
CARA YANG SALAH

CARA YANG SALAH

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / CEO / Playboy / Selingkuh / Cinta Terlarang / Romansa
Popularitas:5k
Nilai: 5
Nama Author: syahri musdalipah tarigan

**(anak kecil di larang mampir)**

Di tengah kepedihan yang membungkus hidupnya, Nadra mulai menjalani hari-hari barunya. Tak disangka, di balik luka, ia justru dipertemukan dengan tiga pria yang perlahan mengisi ruang kosong dalam hidupnya.

Arven, teman kerja yang selalu ada dan diam-diam mencintainya. Agra, pria dewasa berusia 40 tahun yang bersikap lembut, dewasa, dan penuh perhatian. Seorang duda yang rupanya menyimpan trauma masa lalu.

Dan Nayaka, adik Agra, pria dewasa dengan kepribadian yang unik dan sulit ditebak. Kadang terlihat seperti anak-anak, tapi menyimpan luka dan rasa yang dalam.

Seiring berjalannya waktu, kedekatan antara Nadra dan ketiga pria itu berubah menjadi lingkaran rumit perasaan. Mereka saling bersaing, saling cemburu, saling menjaga namun, hati Nadra hanya condong pada satu orang: Agra.

Keputusan Nadra mengejutkan semuanya. Terutama bagi Nayaka, yang merasa dikhianati oleh dua orang terdekatnya, kakaknya sendiri dan wanita yang ia cintai diam-diam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syahri musdalipah tarigan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

02. BAU ASAM

Sore itu , langit kota tampak murung meski tak hujan. Di balik jendela kafe kecil yang selalu ramai, Nadra berdiri di balik meja kasir. Baju kausnya menempel di tubuh, basah oleh keringat. Rambut hitam panjangnya lepek, sebagian menempel di leher, sebagian lainnya ia jepit asal-asalan dengan pensil.

Napasnya belum sepenuhnya teratur. Matanya sembab, tapi hanya yang jeli yang bisa melihat jejak tangis yang sudah dikeringkan angin sepanjang perjalanan.

Kafe sedang sepi. Hanya ada dua meja yang terisi. Seorang pelanggan sibuk mengetik di laptop, dan satu lagi tampak asyik menonton video lewat ponsel.

Dari arah dapur, seorang pemuda muncul dengan celemek tergantung di pinggang. Ia mengelap tangannya dengan serbet kecil, lalu berjalan mendekat.

"Dra," sapanya pelan.

Nadra menoleh cepat, seolah terkejut. Senyumnya muncul sekejap, tipis sekali.

"Hai, Arven."

Pemuda itu menatapnya sebentar. Pandangan matanya menyapu dari ujung rambut hingga ke kaus yang lembab.

"Kamu lari maraton tadi?" tanyanya setengah bercanda, meski nada khawatir tak bisa disembunyikan.

Nadra menyeka keningnya, tersenyum kaku. "Enggak, tadi jalannya ngebut aja."

"Kenapa nggak naik sepeda listrik? Biasanya kamu datang bareng dengan sepeda kesayanganmu itu."

Nadra terdiam sepersekian detik. Sorot matanya sempat berubah tajam tapi kosong. Tapi ia cepat-cepat mengangkat bahu, pura-pura santai.

"Rusak. Remnya blong. Jadi ya jalan kaki deh."

Jawabannya cepat, terlalu cepat. Dan Arven menyadarinya.

"Oh," gumamnya singkat. Lalu tak bertanya lebih jauh. Tapi tatapannya masih tertinggal di wajah Nadra. Ada gurat lelah yang tak biasa. Dan mata itu seolah menahan banjir yang hanya menunggu waktu.

"Aku ke kamar mandi dulu, ya. Ganti baju," ucap Nadra cepat, nyaris menghindar.

Tanpa menunggu jawaban, ia melangkah ke arah belakang kafe. Bahunya agak turun, langkahnya berat. Arven hanya memandang punggung itu sampai menghilang di balik pintu kecil menuju ruang ganti.

Nadra keluar dari kamar mandi dengan seragam berwarna krem yang kini tampak lebih rapi di tubuhnya. Rambut panjangnya sudah dikuncir tinggi, meski beberapa helai tetap membingkai wajahnya yang sedikit pucat karena kelelahan. Namun senyum tetap ia pasang, walau hanya sekadar menyembunyikan getir.

Ia melangkah menuju meja racikan, tempat Arven tengah menyusun gelas-gelas bersih.

"Ven, Bos udah datang?"

Arven mengangkat wajah, matanya langsung menyapu Nadra dari atas ke bawah. Ia menggeleng pelan. "Belum. Kayaknya baru jalan dari rumah."

Nadra mengangguk. "Kalau gitu ada yang bisa aku bantu?"

Alih-alih langsung menjawab, Arven mengambil satu gelas berisi sisa jus jeruk dari kulkas. Ia menyodorkannya pada Nadra. Embun dingin masih menempel di permukaan gelas.

"Nih, minum dulu. Istirahat sebentar aja. Pelanggan juga masih sepi."

Nadra menatap gelas itu sejenak, lalu menatap Arven. "Aku enggak apa-apa, beneran. Tangan juga uda gatal pengen kerja."

"Tapi wajahmu udah kayak orang mau tumbang," sahut Arven pelan, matanya tetap lembut. "Bentar aja. Lima menit. Habis itu kalau kamu tetap mau bantu, silakan."

Akhirnya Nadra mengangguk. Ia duduk di bangku kecil di bawah meja racikan, tempat biasanya staff mengambil napas sejenak saat tidak banyak pesanan.

Baru dua tegukan jus menyentuh bibirnya, suara sepatu hak menghentak lantai terdengar mendekat. Cynthia, salah satu barista lain di kafe itu, muncul dari balik lorong dapur dengan dandanan rapi. Wajahnya dipoles ringan dengan makeup peach yang membuatnya tampak selalu siap selfie. Rambutnya dicatok lurus, dan parfum manis menguar saat ia lewat.

Ia berhenti tak jauh dari tempat Nadra duduk.

"Hmm," suaranya sengaja dibuat nyaring dan tajam. "Bau asam apa ini ya di dapur?"

Nadra refleks menoleh. Hidungnya mengecap baju sendiri, seolah memastikan.

Arven berdiri tegak. "Mungkin bau bahan makanan yang baru datang, Cyn. Tadi sempat ada kotak yang isinya-"

"Bukan," potong Cynthia cepat. Ia menatap Nadra seolah sedang melihat noda di permukaan kaca. "Ini jelas bau ketiak. Kalian berdua sih, siapa yang belum mandi?"

Nadra meletakkan gelas di atas meja. Ia berdiri perlahan, matanya tidak menantang, tapi tak juga menunduk.

"Mungkin aku," jawabnya pelan tapi jujur. "Tapi aku mandi, kok. Cuma tadi ke sini jalan kaki. Jadi ya, keringatan."

Cynthia melipat tangan di dada, wajahnya mencibir. Tapi sebelum ia sempat menambah sindiran lain, Arven menyela.

"Cyn. Kita kerja di sini buat urus pesanan pelanggan, bukan buat adu wangi-wangian. Kalau ada masalah, simpen buat nanti. Sekarang mending kita urus bagian kita masing-masing."

Nada suara Arven tenang, tapi ada ketegasan yang tak biasa di dalamnya. Sejenak Cynthia terdiam. Ia melirik Arven, entah lebih karena malu, atau kesal karena dibela tidak seperti yang ia harapkan.

Tanpa berkata lagi, Cynthia berbalik, melenggang pergi dengan langkah cepat dan wajah cemberut.

Suasana kembali sunyi. Nadra menatap gelas jus yang tadi belum sempat habis ia minum.

"Maaf ya, gara-gara aku, kamu jadi-"

"Enggak usah minta maaf," potong Arven. "Kamu cuma jujur. Dan jujur itu kadang bikin orang nggak nyaman. Tapi bukan berarti kamu salah."

Nadra tersenyum tipis, kali ini benar-benar tulus meski lelah masih tersimpan di balik matanya. "Makasih, Ven."

√√√

 

Waktu berjalan, jam dinding di atas pintu menunjukkan pukul delapan malam. Suasana kafe berubah menjadi lebih hidup. Tawa pelanggan, dering bel pintu yang terus berbunyi setiap kali seseorang masuk, serta suara blender dan mesin espresso bergantian memenuhi udara.

Aroma kopi dan keju dari oven memenuhi ruangan, mengaduk perut siapa pun yang lewat. Nadra nyaris tak berhenti bergerak sejak pukul lima sore. Langkahnya cepat namun teratur. Baki di tangannya selalu penuh: kopi latte, es cokelat, sandwich tuna, kentang goreng, sampai waffle dengan saus maple.

Dari balik ruang kaca di sudut kafe, sang pemilik, Pak Dion, duduk dengan dagu bertumpu pada tangan. Matanya mengamati seluruh sudut ruangan, namun lebih lama berhenti pada satu titik, Nadra. Gadis itu tak banyak bicara, tapi tangannya cekatan, senyumnya tulus, dan tak sekali pun mengeluh meski wajahnya basah oleh keringat.

"Anak ini kerja kerasnya asli, bukan pura-pura," gumam Pak Dion pelan.

Sementara itu, di dapur belakang, Nadra bersandar di dinding. Napasnya masih naik-turun. Ia membuka likat rambutnya, membiarkan udara menyentuh tengkuknya yang basah. Satu tangan sibuk menyeka keringat dengan tisu, satu lagi menyangga pinggang.

Tak lama, Arven muncul. Tangannya memegang botol minuman dingin yang sedikit berkeringat, dan sepiring kentang goreng hangat.

"Nih," katanya sambil menyodorkan. "Belum makan, kan?"

Nadra menoleh, sempat ragu. Tapi lapar memang sudah menguasai.

"Makasih banget," katanya pelan, lalu menerima. Ia duduk di bangku kecil dekat rak bumbu, mengunyah perlahan, meski wajahnya menunjukkan rasa puas yang jujur.

"Enak?"

"Enak banget. Aku bahkan lupa terakhir makan nasi jam berapa."

Arven hanya tersenyum kecil, lalu duduk di dekatnya, mengambil satu kentang dan ikut mengunyah. Tidak banyak kata keluar. Tapi di antara mereka, diam bukan berarti canggung, melainkan nyaman.

Namun di meja barista, seseorang memperhatikan mereka. Cynthia. Dari balik mesin kopi yang mulai lengang, matanya mengawasi keduanya dengan sorot tak suka. Lipstik merah mudanya sedikit tergigit karena giginya menekan bibir bawah.

"Oh, sekarang udah bagi-bagi makanan ya? Padahal katanya istirahat cuma lima menit," gumamnya sinis, nyaris tak terdengar.

Ia menyak meja dengan lap kering, lebih keras dari seharusnya. Seolah meja itu adalah Nadra. Dari tempatnya, Cynthia bisa melihat cara Arven memandang Nadra. Lembut. Peduli. Pandangan yang selama ini ia harapkan ditujukan padanya.

"Dasar gadis miskin... Cuma karena tampang polos, langsung dikasih perhatian," desisnya pelan.

Salah satu pegawai lain sempat lewat dan mendengar sepenggal gumamannya.

"Ngomong sama siapa, Cyn?"

"Enggak. Cuma ngomong sendiri. Kebiasaan kalau lagi muak lihat orang sok akrab."

Pegawai itu hanya mengangkat bahu dan berlalu.

Cynthia masih berdiri di situ, menatap dua sosok yang kini duduk berdampingan, membagi sisa kentang dalam diam. Matanya menyipit. Hatinya panas. Cemburu, meski ia tahu ia tak punya hak untuk marah.

"Arven milikku, harusnya milikku," bisiknya dalam hati.

 

√√√

Malam semakin larut. Suara tawa pelanggan telah berganti menjadi keheningan. Hanya dentingan sendok dari dapur dan gesekan kursi yang disusun kembali terdengar di antara lampu temaram kafe.

Udara mulai dingin, embun tipis menempel di jendela kaca. Di luar, lampu jalanan memantulkan cahaya kekuningan ke aspal basah sisa gerimis sore tadi.

Nadra menyeka meja-meja terakhir yang tadi sempat dipakai pelanggan. Gerakannya cepat namun rapi. Di sisi lain, dua pelayan sibuk membereskan kursi dan mematikan kipas langit-langit.

Di dapur, Arven tengah menyemprot cairan pembersih ke atas meja stainless, lalu menyekanya dengan gerakan melingkar. Tangannya lincah. Bajunya sudah sedikit kusut karena seharian bekerja.

Sementara Cynthia, setelah merapikan area barista, melirik sekeliling lalu melangkah santai ke dapur. Ia menyandarkan tubuhnya di ambang pintu, lalu memanggil Arven dengan suara yang sengaja dibuat lembut.

"Ven," panggilnya, senyum manis menghias wajah. "Habis ini kamu mau ke mana?"

Arven menoleh, sekilas, lalu kembali melanjutkan pekerjaannya. "Nggak tahu. Belum kepikiran," jawabnya singkat.

Cynthia masih berdiri, mencoba mempertahankan senyumannya. "Kalau nggak ada acara, temenin aku duduk bentar di alun-alun, yuk? Anginnya lagi enak, kayaknya asik buat ngobrol."

Arven berhenti mengelap. Tapi bukan untuk Cynthia yang dia pandang. Pandangannya melewati bahunya, menatap seseorang yang baru saja masuk ke dapur. Nadra.

Gadis itu sudah melepas celemek dan menggulung lengan kausnya. Wajahnya lelah, tapi sorot matanya tetap jernih.

"Nadra," panggil Arven tiba-tiba. "Mau aku antar pulang?"

Langkahnya terhenti. Matanya menatap Arven sekilas, lalu berpindah ke arah Cynthia. Wajah Cynthia yang sebelumnya cerah, kini mengeras. Pandangannya menusuk, meski tetap tersenyum kaku.

Suasana di dapur mendadak berbeda. Udara dingin berubah jadi tegang. Nadra menghela napas pelan, lalu tersenyum sopan.

"Enggak usah, Ven. Aku jalan kaki aja. Rumahku juga enggak jauh," ucapnya, tenang.

Tanpa menunggu reaksi, Nadra membalik badan dan keluar dari dapur. Suara langkahnya terdengar samar di lantai keramik.

Cynthia diam. Matanya masih menatap ke arah pintu dapur, seolah menunggu sesuatu yang tak pernah datang. Sementara Arven kembali menyeka meja, kali ini dengan lebih pelan.

√√√

 

Di ruang depan, Nadra menghampiri meja kerja Pak Dion. Lelaki berusia empat puluh tujuh tahun itu tengah menuliskan sesuatu di buku besar.

"Pak, Aku pulang dulu, ya?"

Pak Dion menoleh. "Sudah beres semua?"

"Sudah. Meja juga udah diseka. Sampah udah dibuang."

"Baik. Hati-hati di jalan, ya, Nadra. Udara malam dingin. Jangan lupa pakai jaket."

Nadra tersenyum kecil. "Iya, Pak. Terima kasih."

Ia melangkah keluar dari kafe. Pintu kaca menutup pelan di belakangnya. Angin malam menyapa wajahnya yang lembap. Jalanan mulai sepi. Langkah-langkah Nadra pelan, seperti mengikuti ritme pikirannya yang lelah. Trotoar panjang yang memisahkan jalan kota dan toko-toko sepi itu kini menjadi saksi bisu kerinduan seorang gadis akan tempat yang benar-benar bisa disebut rumah.

Sesekali Nadra menoleh ke sekeliling. Lampu jalan menyala sayu. Bayangannya sendiri tercetak di aspal. Tak ada kendaraan yang melintas. Kota ini seolah sedang tidur, menyisakan hanya suara angin malam yang menyusup di sela-sela rambutnya.

Ia menunduk, menatap sepatu kanvas tuanya yang mulai mengelupas di bagian ujung. Solnya sudah tipis. Tali sepatunya sudah pernah diganti dengan warna berbeda.

"Kayak aku, ya," gumamnya lirih. "Masih berfungsi, tapi udah nggak layak."

Ingin rasanya ia mempercepat langkah. Tapi tubuhnya menolak. Mungkin bukan tubuhnya, tapi jiwanya. Rumah tempat ia seharusnya pulang justru membuatnya enggan untuk sampai.

Akhirnya, Nadra memilih duduk. Di sudut trotoar dekat tiang lampu jalan. Ia meluruskan kedua kakinya yang pegal, menyandarkan punggungnya ke tembok rendah. Langit malam terbentang luas di atas kepalanya. Kosong. Tak satu pun bintang tampak. Tapi Nadra tetap menatapnya.

"Semoga ada satu bintang jatuh malam ini," gumamnya. "Biar aku bisa minta satu hal. Tempat pulang yang tenang. Yang nggak ribut tiap hari. Yang nggak bikin aku pengen kabur tiap buka pintu."

Ia menutup mata sejenak, lalu membuka kembali. Senyum tipis mengembang, bukan karena bahagia, tapi karena sedang berdamai dengan rasa sedih yang selalu berkunjung.

Tiba-tiba, suara deru mesin mobil terdengar pelan. Mobil hitam berhenti tak jauh dari tempatnya duduk. Seorang pria keluar. Tubuhnya tegap, berpakaian rapi. Rambutnya disisir ke belakang, namun masih tampak muda meski jelas ia tak lagi berusia dua puluhan.

Ia mendekat, menurunkan kaca mata yang sebelumnya bertengger di batang hidungnya. Sorot matanya tajam, tapi tidak menakutkan. Lebih seperti penasaran.

"Maaf," katanya sopan. "Kamu habis kecopetan, ya?"

Nadra menoleh, kaget sesaat, tapi kemudian malah tertawa kecil.

"Kenapa?" tanya pria itu, ikut tersenyum. "Lucu, ya?"

"Enggak," jawab Nadra, masih dengan sisa tawa di bibir. "Cuma aku lagi mikir, kayaknya kalau habis dicopet, aku udah nangis atau marah. Tapi aku malah duduk santai di sini. Lucu aja."

Pria itu mengangguk pelan, ikut tersenyum, meski bingung apa yang harus ditertawakan. "Mungkin kamu bukan kehilangan dompet," katanya tiba-tiba, "Tapi kehilangan arah pulang."

Nadra menoleh, tertegun. Ia tidak menjawab. Tapi tatapannya berubah. Ada sesuatu di mata pria itu yang tak menuntut. Tak menilai. Hanya sekadar hadir.

"Maaf kalau lancang," lanjut pria itu. "Tapi kalau butuh tumpangan atau sekadar ngobrol, aku bisa temani sebentar. Aku bukan orang jahat."

Nadra mengangguk pelan, lalu berkata, "Aku Nadra."

Pria itu tersenyum. "Nama yang cantik." Ia mengulurkan tangan. "Kenalkan. Aku Agra."

Setelah memperkenalkan nama, Nadra memandangi pria itu sejenak. Bukan dengan tatapan penasaran atau kekaguman, tapi lebih kepada insting yang secara otomatis menyaring niat setiap orang asing yang datang mendekat.

Kemeja putih pria itu licin, terlipat rapi. Sepatunya mengilap. Jam tangan yang melingkar di pergelangan kirinya tampak mahal, dan aroma parfumnya bahkan bisa menyingkirkan bau jalanan kota yang pengap. Terlalu rapi. Terlalu bersih. Terlalu asing. Dan seperti alarm otomatis, kepala Nadra mulai dipenuhi skenario-skenario buruk.

'Kota ini terlalu besar untuk percaya pada senyuman,' bisiknya dalam hati.

Tanpa berkata apa-apa, Nadra segera bangkit dari duduknya. Debu dari ujung celananya ditepuk cepat. Senyumnya tipis, tapi bukan karena nyaman, lebih ke bentuk sopan santun terakhir sebelum ia benar-benar pergi.

"Terima kasih, Mas Agra. Tapi aku harus pulang. Udah malam."

Agra sempat membuka mulut, hendak bicara, tapi Nadra sudah lebih dulu melangkah cepat. Tak memberi ruang untuk diskusi atau basa-basi tambahan.

Agra hanya bisa berdiri di tempat, pandangannya mengikuti punggung gadis itu yang perlahan menghilang di tikungan. Wajahnya diliputi heran. Ia tak bermaksud macam-macam, namun ia paham, di dunia ini, niat baik pun harus menunggu waktu yang tepat.

Sementara itu, Nadra berjalan cepat di trotoar yang mulai dingin. Lampu jalan berpendar kekuningan di atas kepalanya. Bayangannya tampak panjang di aspal. Bibirnya mulai bergumam, entah kepada dirinya sendiri atau mungkin kepada udara malam.

"Syukur aku belum diculik," bisiknya pelan. "Aku baru ingat, malam-malam begini banyak musang pandan keluyuran cari anak ayam."

...Bersambung.......

...Terima kasih atas dukungannya....

...Terima kasih juga sudah mampir....

...Untuk menambah semangatku menulis, berikan iklan, atau bunga mawar, ya 😁😃...

...Kalau kalian ingin aku juga mampir untuk saling mendukung, jangan lupa komen, ya ☺️😊...

1
Elisabeth Ratna Susanti
top banget seruuu Thor 👍🥰
Elisabeth Ratna Susanti
maaf flu berat jadi telat mampir
Pengagum Rahasia
/Sob//Sob//Sob/
Pengagum Rahasia
Agra begitu sayang sama adeknya, ya
Syhr Syhr: Sangat sayang. Tapi kadang adeknya nyerandu
total 1 replies
Pengagum Rahasia
Oh, jadi asisten ingin genit genit biar lirik Agra. Eh, rupanya Agra gak suka.
Syhr Syhr: Iya, mana level Agra sama wanita seperti itu 😁
total 1 replies
Pengagum Rahasia
Apakah ada skandal?
Syhr Syhr: Tidak
total 1 replies
Pengagum Rahasia
Agra sedetail itu menyiapkan semua untuk Nadra. /Scream/
Pengagum Rahasia
hahah, karyawannya kepo
Syhr Syhr: Iya, hebring
total 1 replies
Pengagum Rahasia
Kapoklah, Nadra merajok
Syhr Syhr: Ayo, sih Om jadi bingung 😂
total 1 replies
Pengagum Rahasia
Yakin khawatir, nanti ada hal lain.
Pengagum Rahasia
Ayo, nanti marah Pak dion
Syhr Syhr: Udah kembut Nadra, pusing dia
total 1 replies
Pengagum Rahasia
Abang sama adek benar benar sudah memiliki perusahaan sendiri.
Pengagum Rahasia
Kalau orang kaya memang gitu Nad, biar harta turun temurun
Syhr Syhr: Biar gak miskin kata orang².
Syhr Syhr: Biar gak miskin kata orang².
total 2 replies
Pengagum Rahasia
Haha, jelas marah. Orang baru jadian di suruh menjauh/Facepalm/
Pengagum Rahasia
Udah Om, pakek Duda lagi/Facepalm/
Syhr Syhr: Paket lengkap
total 1 replies
Pengagum Rahasia
Kekeh/Curse//Curse//Curse/
Pengagum Rahasia
Mantab, jujur, polos, dan tegas
Syhr Syhr: Terlalu semuanya Nadra
total 1 replies
Pengagum Rahasia
Cepat kali.
Pengagum Rahasia
Agra memang bijak
Pengagum Rahasia
Agra type pria yang peka. Keren
Syhr Syhr: Jarang ada, kan
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!