NovelToon NovelToon
Kelas Tujuh Untuk Zahrana

Kelas Tujuh Untuk Zahrana

Status: sedang berlangsung
Genre:Sistem
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: DUOELFA

Aku menunggu jawaban dari bu Nirmala dan bu Zahira, namun hingga dua hari ini berikutnya, aku belum mendapatkan jawaban dari masalah tersebut.

"Bu, Andai aku tak cerita tentang masalah bullying ini pada ibu, aku mungkin masih sekolah di sekolah X ya bu," ucap Zahrana padaku saat kami tengah makan bersama.

Aku memandang putri sulungku tersebut.

"Bila kamu tidak bilang pada ibu, ibu yakin, Allah akan menunjukkan jalan lain agar ibu bisa mengetahui masalahmu nduk. Wis nggak usah dipikirkan lagi. Ayo cepat makannya. Nanti keburu dihabiskan mas," ucapku mengalihkan pembicaraan.

Aku berusaha tak terlalu mendengarkan perkataan Zahrana karena aku masih menunggu penjelasan dari bu Zahira dan bu Nirmala dan pengakuan dari Ghania agar semua menjadi jelas. Akankah Zahrana tetap bisa sekolah disana atau tidak pun tidak, akupun tak tahu jawabannya karena aku akan mempertimbangkan semua dari beberapa sisi, dan aku pasti akan memilih sisi yang paling aman untukmu, Zahran

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DUOELFA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

KEADAAN TAK LAGI SAMA

Azan Subuh terdengar berkumandang di mushalla yang tak terlalu jauh dari rumah. Aku segera beranjak dari kasur yang berada di ruang keluarga menuju ke kamar mandi untuk wudhu dan menunaikan salat subuh. Semenjak kepergian mas Anton tempo hari, aku memutuskan kami berempat, aku, Zahrana, Mumtaz, dan Arsenio tidur bersama di ruang keluarga. Entah mengapa aku merasa kurang nyaman saja bila tidur di kamar karena kurang bisa menjaga keadaan rumah pada saat malam hari. Sejak mas Anton tidak dirumah, aku kerapkali terjaga di malam hari untuk sekedar melihat keadaan rumah. Aku juga semakin menyadari satu hal bahwa kondisiku saat ini telah berubah. Keadaanku saat ini adalah tulang rusuk yang sekaligus merangkap sebagai tulang punggung bagi keluarga kecilku. Aku juga masih belajar berproses untuk keadaan yang sedemikian ini karena sekarang dalam kondisi sendirian. Tak ada bantuan dari siapapun, baik dari keluarga besar maupun dari saudara. Ibu yang saat ini menjadi seorang TKW di negeri Jiran, saat ini sedang fokus menabung untuk kebutuhan beliau sendiri yaitu umrah ke tanah suci serta kakak laki-lakiku satu-satunya, mas Rahman sedang fokus mencari uang tambahan karena anak sulungnya sedang memasuki jenjang SMA dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Mengingat dulu, saat mas Anton meninggalkan sering rumah, aku tak terlalu memikirkan masalah keperluan rumah tangga dan mengasuh anak, mengingat saat itu aku masih memiliki tempat bersandar yaitu almarhum bapak.

Segera kugelar sajadah untuk melakukan salat Subuh. Seusai salat, aku hanya terdiam di depan sajadah. Tak meminta do'a berderet apapun yang seperti biasa kulantunkan, do'a untuk keluarga, ketiga anak shalihah shalih, orang tua. Hari ini aku hanya ingin diam saja, bersimpuh di atas sajadah dan berusaha menenangkan hati untuk menyelaraskan antara pikiran tentang apa saja yang harus kulakukan saat ini dan hati yang terasa berkecamuk antara benci dan cinta pada mas Anton.

Seusai hati merasa tenang, sajadah dan mukena kembali kugantung dikayu yang berada di musholla mini, tepat berada di samping kamar mandi. Dengan hati masih kalut, aku memulai aktivitas seperti biasanya. Masak, mencuci baju, membersihkan rumah dan pekerjaan rumah lainnya.

"Bila bukan, aku, siapa lagi yang menyediakan kebutuhan ketiga anakku." Kata itu terdengar bergema di kepalaku saat ini. Tak lupa Zahrana juga membantu sesuai dengan kemampuannya. Menyapu, menjaga kedua adiknya saat aku melakukan aktifitas dan lain sebagainya.

Aku juga sudah berusaha mencari pekerjaan sampingan yang bisa dikerjakan di rumah, karena tak memungkinkan bagiku mencari pekerjaan yang penuh waktu di luar. Masih ada dua balitaku, Mumtaz dan Arsenio yang harus aku jaga selama dua puluh empat jam serta aku tak memiliki kendaraan apapun sama sekali. Hatiku juga merasa sungkan karena sudah dua minggu Zahrana berangkat dan pulang dari sekolah dibarengi tetangga. Tapi menemukan pekerjaan yang bisa dikerjakan dirumah itu, ternyata susah juga. Aku saat ini masih pengangguran, sementara pengeluaran untuk dapur tidak bisa berhenti. Yang bisa dilakukan hanya melakukan penghematan saja.

Sebenarnya, aku ingin menulis di platform penulisan. Tapi entah mengapa, aku merasa masih kurang percaya diri karena tak memiliki ilmu dasar tentang kepenulisan yang baik dan sesuai dengan ejaan yang benar. Saat aku melihat para penulis yang sudah terkenal di platform penulisan, acapkali membuatku minder sekali. Aku selalu bertanya pada diri dan hatiku, apakah aku mampu membuat cerita sebaik karangan mereka? Ah ... Belum berusaha saja, aku sudah rendah diri duluan. Alasanku yang lain, bukankah tulisan adalah cerminan dari diri kita sendiri sebagai penulisnya? Aku takut bila tulisanku secara tidak langsung membuka aib yang ada dalam diriku, maupun yang ada didalam rumah tangga yang tengah aku jalani bersama mas Anton yang tengah pasang surut seperti ini. Aku juga paling takut bila ceritaku dibaca oleh orang yang tak suka padaku, terutama dibaca oleh Mbak iparku? Apakah ia juga memiliki platform ini? Entahlah aku juga tak tahu. Tapi, aku butuh uang agar dapurku tetap bisa mengepul? Sungguh dilema sekali bukan?

Ini masih liburan kenaikan kelas, jadi Zahrana masih ada dirumah. Setelah semua makanan untuk sarapan pagi telah siap, aku meminta Zahra untuk menemani makan kedua adiknya. Hari ini aku hanya memasak nasi, sawi yang kubumbui sop. Sawi itu kubeli seharga dua ribu rupiah per ikat, lalu kubagi menjadi dua, untuk sayur pagi dan sore hari, serta menggoreng tiga papan tempe sebagai lauk. Sederhana saja, yang penting memenuhi kebutuhan tubuh, seperti karbohidrat, protein, dan mineral.

"Mbak Zahra, minta tolong ambilkan nasi untuk mas dan adik. Setelah makan, mas dan adik ditemani. Jangan dibuat menangis ya. Ibu mau ke gudang sebentar," pesanku pada putri sulung.

Aku membiasakan dari kecil, sebutan mbak, untuk Zahrana, sebutan mas untuk si tengah Mumtaz dan sebutan adik untuk si kecil Arsenio agar mereka terbiasa memanggil dengan sebutan saja. Menurutku, tak sopan rasanya bila adik memanggil kakaknya hanya dengan sebutan nama.

Zahra menatapku keheranan.

"Kenapa ke gudang bu?" Tanyanya penasaran

"Mau melihat sepeda pancal milik ibu. Mau ngecek apakah masih bisa digunakan atau tidak? Kalau masih bisa, nanti bisa mbak gunakan untuk ke sekolah," terangku sambil berjalan ke arah gudang yang berada di belakang rumah sembari membawa kemoceng ditangan sebelah kiri.

Kubuka pintu gudang yang terbuat dari seng dan kulihat sepeda mini berwarna biru masih ada di sana. Kukeluarkan sepeda tersebut dan membersihkan dengan kemoceng yang kubawa dari rumah. Kulihat ragangan sepeda masih terlihat bagus, tapi terlihat berkarat di bagian roda, karet ban roda juga terlihat mengumpul, baik untuk bagian depan maupun belakang serta bagian dudukan yang sudah mulai mengelupas bagian penutupnya.

Kubawa sepeda mini berwarna biru yang catnya sudah mengelupas di sana sini ke depan rumah dan menuntunnya ke tukang servis sepeda yang berada tak jauh dari rumah.

"Mbak Siti, mau servis sepeda?" Tanya pak Samain, tukang servis tersebut.

"Iya pak."

Pak Samain menatap sepeda miniku lekat-lekat.

"Mbak, ini nanti habis banyak lho. Ban bagian depan dan belakang, baik ban dalam maupun luar sadel, rem," jelas pak Samain padaku.

Aku terdiam sesaat.

"Maaf pak Samain. Saya mau tanya. Kira-kira nanti habis berapa ya?" Tanyaku agar aku bisa memastikan servis sepeda mini berwarna biru habis berapa agar aku tetap memiliki uang untuk mengepulkan asap dapurku.

Kening pak Samain berkernyit tanda berpikir.

"Mungkin kira-kira habis seratus ribuan mbak soale nanti tambah rem juga," jelas pak Samain.

Aku masih punya sisa uang bila ternyata biaya servis seratus ribu.

"Ya pak. Mau tanya, kalau tambah keranjang di depan sepeda, berapa ya?" Selidikku lagi.

"Tergantung mbak. Kalau keranjang biasa, empat puluh ribuan mungkin sudah dapat," jelas pak Samain.

"Tambah keranjang ya pak. Biar bisa buat menaruh tas Zahrana."

"Iya mbak."

"Ini mohon jenengan belanjakan ya pak. Saya izin pamit. Terima kasih njeh pak," ucapku sambil mengulurkan tiga uang pecahan lima puluhan berwarna biru pada pak Samain.

"Ya mbak. Nanti kalau sudah selesai, sekalian saya antar. Besok sudah selesai insyaallah."

"Terima kasih pak. Saya pamit dulu," ucapku pada pak Samain.

Sesampainya di rumah, Zahrana menghampiriku.

"Sepedanya mana bu?" Tanya Zahrana.

"Masih diservis sama pak Samain," balasku.

Si tengah, Mumtaz tampak ikut menghampiri.

"Bu, ayah kapan pulang?" 

Aku masih bisa menjawab pertanyaan yang lain, tapi untuk satu pertanyaan itu, bagaimana aku menjawabnya. Sungguh, aku masih bisa menahan semua beban yang ada dalam hati, tapi saat anakku mencari sosok ayahnya, hatiku seakan luruh. Tapi meminta mas Anton untuk kembali ke rumah, sementara ia masih belum merubah sikapnya, masih asik pulang malam dan game online, itu seakan menambah garam pada luka yang tengah menganga. Sakit sekali.

1
ibuke DuoElfa
semangat
ibuke DuoElfa
selamat membaca
kozumei
Wow, luar biasa!
ibuke DuoElfa: Terima kasih kak
semoga suka dengan cerita saya
total 1 replies
Eira
Ingin baca lagi!
ibuke DuoElfa: sudah update 2 bab kak
masih proses review
semoga suka dengan cerita saya ya

selamat membaca
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!