Novel roman. Bara cinta terlarang gadis pesindhen.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kidung Darma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 2
Pemuda itu bernama Wiji Santoso. Usianya baru menginjak dua puluh tahun. Nama itu diberikan oleh bapaknya, Mispan, sebagai penanda zaman. Sebagai pengingat bahwa ia lahir di tengah gelapnya kehidupan, di masa-masa sulit yang menghimpit.
Dua dekade yang lalu, keluarga Mispan hidup di bawah garis kemiskinan. Di desa Wonosari—sebuah pelosok kecil di Jawa Timur yang jauh dari jangkauan ibu kota dan segala bentuk kemewahan—Mispan hanya seorang buruh tani. Upahnya tak seberapa. Sehari bekerja, hanya cukup untuk membeli tiga kilogram beras. Sementara di rumah, ia harus menghidupi istrinya, Siti Ruqayah, dan anak pertamanya, Nur Halimah, yang kala itu masih duduk di bangku taman kanak-kanak. Dan di saat yang sama, Ruqayah tengah mengandung anak kedua mereka.
Untuk mencukupi kebutuhan hidup, Mispan tak kenal lelah. Ia banting tulang ke mana-mana. Siang di sawah, malam jadi penggembira. Ia nyambi jadi penabuh gamelan bila ada tanggapan wayang. Saat itu, ia bergabung dalam grup campursari Ngudi Laras, pimpinan Ki Sanusi, seorang dalang tersohor yang disegani. Bersama grup itu, Mispan menekuni dunia kesenian tradisional. Ia belajar mendalang langsung dari Ki Sanusi, yang mengajarkan padanya bukan hanya teknik, tapi juga filsafat pewayangan.
Namun, kisah indah itu tak berlangsung lama. Entah karena apa, ia berselisih dengan Ratmoyo, anak bungsu Ki Sanusi. Permasalahan mereka tak pernah jelas diketahui orang lain. Tapi semenjak itu, Mispan menarik diri dari dunia seni. Ia pergi meninggalkan panggung, dan menaruh luka dalam diam. Sejak itulah ia mulai membenci dunia kesenian, seolah-olah seni hanya meninggalkan pahit dan kecewa.
Hidup di bawah bayang-bayang kemiskinan, keluarga Mispan seringkali hanya bisa makan nasi dicampur parutan singkong atau ganyong yang ia tanam di ladang milik Perhutani. Dapur lebih sering mengepul karena kayu bakar ketimbang karena makanan yang berlimpah.
Dan pada suatu malam yang sunyi, di tengah deras hujan yang mengguyur bumi, Siti Ruqayah harus melahirkan anak keduanya. Di rumah sederhana itu, hanya ada cahaya lampu kuning lima watt dan seorang dukun beranak tua bernama Mbok Supini. Suara petir menyambar seperti gelegar takdir yang akan berubah arah. Mbok Supini, dengan susur terselip di bibir, melantunkan doa-doa dan mantra kuno yang ia warisi dari nenek moyangnya.
Tepat saat suara petir membelah langit, tangis bayi laki-laki itu pecah memecah malam. Lolongan anjing bersahutan dari kejauhan. Tokek bersuara keras dari tembok gedheg rumah. Seakan seluruh alam ikut menyambut kelahirannya. Tak lama, hujan pun reda, angin berhenti. Gemuruh langit perlahan memudar. Seolah semesta turut menyelimuti kebahagiaan kecil yang lahir dari kemelaratan.
Dengan mata berkaca-kaca, Mispan membopong bayi itu ke dada. Ia mengadzankannya, lalu berujar kepada Mbok Supini, suaranya lirih namun penuh tekad:
"Dia kuberi nama Wiji Santoso.
Wiji artinya benih, Santoso artinya kekuatan.
Nama ini adalah doa, Mbok... agar kelak dia tumbuh menjadi kekuatan baru dalam hidup kami.
Meski kami hidup dalam kekurangan, semoga dia membawa harapan.”
Malam itu, Mispan tak tahu apa yang akan terjadi dua puluh tahun kemudian. Tapi ia percaya, dari benih yang kecil akan tumbuh batang yang kuat. Dan dari penderitaan hari ini, mungkin akan tumbuh kekuatan untuk menolak menyerah.
"Nama yang bagus, Ngger. Semoga apa yang menjadi panjangkamu bisa tercapai..." ucap Mbok Supini, sambil memutar-mutar susur di bibirnya. Setelah beberapa putaran, ia meludahkannya ke dalam bokor, cairan merah menyembur dari mulutnya, bercampur dengan aroma sirih dan gambir, lalu mengambang pelan di permukaan air. Itulah penanda selesainya upacara kecil menyambut kelahiran sang bayi.
Waktu terus berjalan. Seiring usia bumi yang berputar, Wiji Santoso tumbuh sebagai balita yang tangguh. Ia dibesarkan di antara hembusan angin dari lereng Gunung Kelud dan gemuruh derasnya arus Kali Brantas. Alam menjadi pendamping pertamanya. Hujan, lumpur, dan suara kokok ayam menjadi lagu pengantar tidur masa kecilnya.
Dan benar saja—dua tahun setelah kelahiran Wiji, Mispan mulai merintis sebuah harapan. Ia mencoba peruntungan dengan beternak ayam petelur. Mula-mula hanya dua puluh ekor, kandangnya hanya berupa bilik bambu reot yang berdiri di tepi kebun. Tapi dari situlah mula usaha itu bertumbuh.
Kini, enam belas tahun kemudian, jumlah ayamnya mencapai ribuan ekor. Ia punya sepuluh kandang besar di atas tanah miliknya sendiri. Kandang-kandang itu berdiri berjajar seperti barak-barak militer. Di dalamnya, ayam-ayam itu bertelur saban hari, dan dari telur-telur itulah kekayaan mengalir.
Mispan yang dulu hanya buruh tani kini menjelma menjadi orang paling kaya di Desa Wonosari. Pundi-pundinya mengembang. Ia membeli sawah, menanam cabai dan padi. Ia membangun rumah megah dengan dua lantai, cat putih mengilat, dan pagar besi yang menjulang. Jalan masuk ke rumahnya diplester rapi. Dan yang paling membanggakan, ia telah menunaikan rukun Islam kelima: Naik Haji ke tanah suci.
Karena itulah kini namanya berubah. Di desa Wonosari, belum dianggap orang “kaya” kalau belum pulang dari tanah suci. Maka dari itu, orang-orang menyapanya dengan panggilan baru:
“Pak Kaji Mispan.”
Namun, tak semua ikut serta dalam euforia gelar tersebut. Seperti tetangganya, Mbah Wagimun, yang suatu sore berkata di warung kopi:
"Kenapa orang yang baru pulang naik haji dipanggil Pak Haji? Lah sementara, wong habis sholat kok gak dipanggil Pak Sholat. Yang sudah zakat kok gak disebut Pak Zakat?"
Ucapan itu membuat orang-orang yang mendengarnya terpingkal-pingkal. Tapi begitulah Mbah Wagimun, suaranya seperti sunyi yang tak pernah digubris. Ia tetap tinggal di rumah kecilnya dengan genteng bocor dan lampu teplok yang redup.
Sementara itu, Kaji Mispan hidup dalam kemapanan. Usaha ternak ayam petelurnya tak hanya mendatangkan uang, tapi juga pengaruh. Ia dijuluki "Bos Ayam Petelur" oleh warga. Bahkan ada yang menyebutnya “Tuan Tanah”, sebab ia memiliki ladang luas dan sawah di berbagai penjuru desa.
Kini, setiap harinya Kaji Mispan mempekerjakan dua puluh orang kuli. Sepuluh mengurusi ayam-ayam di kandang, sepuluh lainnya mengurus sawah dan ladang. Kini boss Mispan tak lagi memegang cangkul atau menabur pakan. Ia cukup memberi komando dari teras rumahnya yang luas, sambil duduk menyeruput kopi.
Hidupnya telah berbalik jauh dari dua puluh tahun lalu. Namun, satu hal yang tak berubah: cara pandangnya terhadap dunia. Ia menganggap bahwa kerja keras dan disiplin sebagai kunci utama. Dan prinsip itulah yang ingin ia wariskan kepada anak-anaknya. Terutama kepada Wiji, si anak kedua yang lahir di tengah hujan, di malam penuh petir, yang dulu ia namai dengan harapan besar: Wiji Santoso (Benih Kekuatan.)
********--
“Dari mana kamu? Jam segini baru pulang. Dasar bocah semprul!” semprot Mispan, yang baru saja selesai menunaikan salat subuh di langgar samping rumah.
“Habis nonton wayang,” jawab Wiji malas, tanpa menatap wajah bapaknya.
“Apa? Nonton wayang? Nonton wayang kok pulangnya pagi begini! Mau jadi apa kamu nanti?” Suara Mispan meninggi, amarahnya mulai memuncak.
Wiji hanya diam. Enggan membalas. Ia tahu betul, berdebat dengan Mispan hanya akan memperpanjang keributan. Bapaknya memang keras kepala, tak mudah diajak bicara dari hati ke hati.
“Kamu itu, kerjaannya cuma kelayapan tiap malam. Berangkat sore, pulang pagi. Siangnya tidur ngorok seperti babon kelelahan. Terus begitu saja! Lama-lama, sepeda motormu itu tak bakar sekalian!” Bentakan Mispan makin lantang menggema di halaman rumah.
“Heee... ada apa to ini? Kok pagi-pagi sudah ribut seperti pasar?” Ruqayah tiba-tiba muncul dari dalam langgar, membawa sajadah dan mukena. Suaranya bergetar antara heran dan cemas.
Mispan menoleh ke arah istrinya. “Lihat anakmu itu! Dikasih hidup enak malah seenaknya sendiri. Pulang pagi, tak tahu diri. Anak macam apa itu!”
“Sabar to, Pak. Istighfar... pelan-pelan. Jangan main bentak begitu,” ucap Ruqayah, mencoba menenangkan sambil mengelus pelan bahu suaminya.
“Anak seperti dia itu gak bisa dikasih sabar. Harus dikasih pelajaran! Kalau perlu, suruh pergi dari rumah sekalian!” Telunjuk Mispan mengarah tajam ke wajah Wiji.
“Wes, Pak, wes... sama anak sendiri jangan keras begitu. Dan kamu, Le... mbok ya jangan keluyuran terus tiap malam. Emak dan Bapakmu ini susah tidur tiap malam, kepikiran kamu terus...” ujar Ruqayah lirih, penuh iba.
Tanpa sepatah kata pun, Wiji berbalik badan dan melangkah masuk. Pintu kamarnya dibanting pelan, lalu ia rebah begitu saja di atas kasur, membenamkan wajah dalam bantal. Lelah, bukan hanya karena malam panjang di panggung wayang, tapi juga karena benturan batin yang tak pernah benar-benar reda di rumahnya.
“Oooooo... anak sontoloyo. Diomongi malah minggat. Tak tahu adab,” gerutu Mispan, amarahnya belum juga reda.
“Sudah, Pak. Sudah... daripada tambah tinggi tekanan darahmu. Sekarang siap-siap saja ke kandang. Nanti keburu siang,” bujuk Ruqayah.
“Iya, iya... Bapak siap-siap dulu. Bilangin anak lanangmu itu, siang nanti bantu mbakyu-nya nganter telur ke tokonya Kaji Umar di pasar legi. Jangan cuma tidur melulu!” ujar Mispan sambil masuk ke belakang rumah, tubuhnya sudah dibungkus capek dan geram.
Ruqayah hanya berdiri diam di teras, matanya menerawang jauh ke ujung jalan desa yang masih diselimuti kabut pagi. Hatinya nyeri, terjepit di antara dua lelaki keras kepala yang sama-sama ia cintai.
Entah sudah dengan cara apa lagi Ruqayah menasihati anak laki-lakinya itu. Dengan hati yang selalu berusaha lapang, ia tetap mencoba membenahi perilaku Wiji—meski terkadang, luka kecil tak bisa ia elak dari sudut hatinya. Kesabarannya diuji hampir setiap hari, tak hanya oleh anaknya yang bandel, tapi juga oleh sikap suaminya, Mispan, yang kadang meledak seperti orang kesetanan.
Wiji memang bukan anak yang mudah diarahkan. Sejak remaja, ia tumbuh liar seperti alang-alang di ladang. Ia sering pulang larut malam, keluyuran tanpa arah, mengikuti dentum musik dangdut koplo, alunan tayuban, lengking jaranan, dan derap wayangan. Bukan hanya soal pulang malam—sering pula namanya disebut dalam keributan. Tawuran. Adu jotos. Tak jarang Mispan harus dipanggil ke balai desa, duduk di hadapan pamong, menanggung malu dan membayar denda atas ulah anaknya yang kerap bikin gaduh di tengah hajatan orang.
Berulang kali Ruqayah mencoba meredam amarah suaminya dan menggapai hati anaknya, namun Wiji seakan tetap berlayar dalam arah yang tak pernah bisa ia paham. Dalam diamnya, ia menyimpan lelah yang tak bisa dibagi kepada siapa pun. Namun sebagai seorang ibu, Ruqayah tetap bertahan. Sebab kasih seorang ibu, tak pernah benar-benar habis, meski hatinya terus disayat hari demi hari.
Dan di usianya yang telah menginjak dua puluh tahun, arah hidup Wiji masih tampak buram. Ia berjalan seperti perahu tanpa kompas, hanyut oleh arus zaman yang tak tentu tujuan. Tak seperti kakaknya, Nur Halimah, yang sudah menuntaskan pendidikan tinggi dan kini menyandang gelar sarjana ekonomi, Wiji justru memilih jalur hidup yang jauh berbeda. Ia telah meninggalkan bangku sekolah sejak duduk di kelas dua SMA.
Kepada teman-temannya, Wiji sering berkata dengan nada getir namun yakin, "Ruang kelas itu seperti penjara. Sekolah tak mengajarkanku menjadi manusia yang bebas berpikir, tapi malah menuntutku menjadi robot, dikendalikan oleh remote bernama guru dan orangtua."
Keputusan itu membuat Mispan, bapaknya, murka bukan kepalang. "Mau jadi apa kamu kalau nggak sekolah?!" bentaknya waktu itu, dengan wajah merah padam menahan amarah. Tapi Wiji memang bukan anak yang bisa ditundukkan hanya dengan suara keras. Semakin dimarahi, justru semakin keras pula ia melawan.
Sementara Halimah melangkah mantap dengan map ijazah dan mimpi-mimpi besar dalam genggaman, Wiji justru lebih senang menghabiskan waktu di jalanan. Keluyuran tanpa arah, ngalor-ngidul bersama gerombolannya, menjadi rutinitas yang tak bisa ia lepaskan. Berangkat sore, pulang pagi — seperti burung malam yang tak pernah tahu kapan harus kembali ke sarang.
*******
"Yur!, sayur...." Teriak Jumadi pedagang sayur melewati depan rumah Mispan. Halimah yang mendengarnya langsung menghampirinya.
Semenjak Halimah merampungkan kuliahnya di fakultas ekonomi universitas negeri Halimah memang hanya bantu-bantu urusan pekerjaan bapaknya. Dahulu ia juga sempat ikut tes CPNS tetapi gagal untuk mendapatkan pekerjaan yang di inginkannya. Akhirnya iapun memutuskan untuk menikah saja dengan seorang laki-laki pilihan orangtuanya, terutama pilihan Mispan bapaknya. Mispan menjodohkan putrinya itu dengan Muhammad Arifin seorang pemuda dari keluarga priyayi anaknya Kaji Jahuri.
Kaji Jahuri adalah rekan bisnis Mispan. Dahulu saat Mispan masih melarat-melaratnya Kaji Jahuri-lah yang membantunya membuka bisnis ternak ayam petelur. Sama seperti Mispan, Kaji Jahuri juga seorang peternak ayam petelur dan juga juragan ladang tebu yang di kenal sangat tajir melintir di desanya.
Sementara itu Muhammad Arifin sendiri, meskipun kini masih tinggal dalam satu rumah bersama mertuanya Kaji Mispan. Tapi ia juga mulai merintis usaha sendiri sebagai boss sound horeg yang paling digemari masyarakat di Jawa Timur. Sedangkan kalau soal pendidikan Muhammad Arifin adalah lulusan pondok pesantren Bahrul hayat yang terletak tidak jauh dari kampungnya. Maka dari itu ia juga mendirikan yayasan rumah anak-anak yatim piatu di Wonosari.
"Sawi hijaunya ada Pak Jum?" Sambil berjalan pelan Halimah menghampiri Jumadi yang mangkal di pertigaan jalan dekat rumahnya. Terlihat tetangganya Yu Kastun dan Bu Hartini sudah disana.
"Oh ada Nduk!" Kata Jumadi sambil mengolak-alik dagangannya. "Kamu kerja dirumah saja ya, Nduk?" lanjut Jumadi.
"Oh, nggih Pak. Saya di rumah saja bantu-bantu usahanya bapak dan mas Arifin.
"Kok ndak sambil nyambi kerja yang lain. Eman-emam lo Nduk. Sekolah tinggi-tinggi kok ndak jadi apa-apa. Minimal jadi guru atau pegawai di kecamatan?" Yu Kastun menyela.
Halimah pun dibuat tidak nyaman dengan kata-kata Yu Kastun itu. Orang-orang desa Wonosari memang menganggap kalau lulusan kuliah minimal iya jadi PNS, atau kariawan perusahaan, syukur-syukur jadi pejabat. Tapi bagi Halimah sepertinya lain.
"Saya sekolah tidak untuk mencari kerja Yu. Melainkan untuk menjadi manusia yang berkemampuan mengembangkan potensi diri saya." Ucap Halimah. "Bagi Saya untuk apa sekolah bahkan sampai ke jenjang perguruan tinggi jika pada akhirnya hanya bermental budak. Mengharapkan belas kasihan dari orang lain. Keluar masuk pintu kantor-kantor perusahaan sambil nyangking ijazah hanya untuk ngemis-ngemis pekerjaan. Begitu kena PHK keliling lagi kesana-kemari ngemis lagi. Tanpa pernah mau berpikir untuk berdikari (berdiri di atas kaki sendiri)." Lanjut Halimah sedikit emosi.
"Eeeee, begitu to!" Balas yu Kastun pendek.
Dan Halimah melanjutkan kata-katanya. "Saya lebih suka bergaul dengan telek ayam di kandang milik bapak saya serta membantu urusan pekerjaan suami saya. Saya tak pernah merasa malu meskipun setiap hari badan saya harus gimbal telek. Daripada harus duduk di kursi sebagai sekertaris misalnya. Tapi harus ngemis-ngemis dulu."
Yu Kastun pun menanggapinya agak serius. "Iya juga sih Nduk. Tapi beruntungnya kamu anaknya orang kaya. Yang kuliahnya bisa di tanggung sama orangtuamu, tanpa harus mengorbankan harta benda yang berharga. Sementara teman-temanmu yang lain demi bisa kuliah harus menjual sawah milik bapaknya, menghabiskan harta apapun yang ada." Kata Yu Kastun dengan batin yang agak jengkel. "Yang berhasil menjadi orang mapan terus hidupnya pindah ke kota karena alasannya lebih dekat dengan tempat kerjanya atau karena ikut pasangannya masing-masing. Sementara yang gagal hanya bisa meratapi nasibnya sambil gigit jari." Sambung yu Kastun.
"Sesungguhnya baik yang mapan maupun yang gagal sama saja, Yu. Sama-sama tidak mampu mengembalikan sawah bapaknya. Anaknya lulusan sarjana bapaknya tetap saja menderita, bahkan kian bertambah penderitaannya. Karena bapaknya sudah tidak bisa lagi menanam padi. Itu saya mengalami sendiri, Yu. Anak saya si Jatmiko dulu minta kuliah saya jual-kan lima petak sawah. Dan kini ia sudah lulus. Setelah lulus dia langsung menikah. Sekarang dia ikut mertuanya dan berkerja sebagai guru honorer di kota." Tambah Kang Jumadi si pedagang sayur.
Kemudian Yu Kastun menyambungnya "Ya bener, Kang. Yang rumahnya jauh paling-paling mereka akan datang menjenguk orangtuanya setahun sekali ketika hari lebaran saja. Datang membawakan beberapa oleh-oleh dari kota. Ibunya diberi sejumlah uang untuk belanja. Walaupun tak seberapa yang penting memberi. Terus bapaknya di belikan setelan busana, sarung baju batik dan peci. Tetapi ketika pamit pulang mereka bawa pisang satu tundun, singkong satu karung, kelapa satu janjang, di tambah sayur-sayuran di tumpuk di bagasi mobilnya, bahkan anak marmut pun tak luput mereka bawa. Belum lagi nanti ibunya masih nyangoni cucu-cucunya. Uang yang tadinya diberikan kepada ibunya buat belanja, pada akhirnya harus kembali lagi ke kantong anak-anaknya."
"Memang sungguh beda ya sama nasib keluarga Pak Kaji Mispan yang serba berkecukupan." Sahut Bu Hartini sambil milih-milih sayuran.
"Tetapi serba berkecukupan juga belum tentu hidupnya penuh senyuman." Pungkas Halimah. Lalu ia membayar sayur-sayurannya dan langsung pulang meninggalkan mulut-mulut yang telah merajam dirinya itu.
******
Matahari sudah merangkak naik ke sepertiga langit. Waktu di dinding menunjukkan pukul sembilan lewat dua puluh dua. Di balik ranjang yang masih awut-awutan, Wiji akhirnya bangkit—dengan wajah kusut, rambut awut-awutan, dan mata yang masih berat seperti habis digantungi satu ton kekecewaan hidup.
Ia masih mengenakan pakaian yang sama seperti semalam: celana jins robek di bagian lutut dan kaus hitam bergambar tengkorak dengan tulisan "Death Before Dishonor". Aroma malam sebelumnya masih melekat di tubuhnya. Seperti tak peduli dunia, ia berjalan malas menuju kamar mandi.
Wajahnya... yah, tidak bisa dibilang tampan-tampan amat. Kulitnya sawo matang khas anak kampung tropis, rambut ikal seperti tak pernah disentuh sisir, bibir tebal, dan mata lebar yang kadang terlihat seperti selalu curiga pada kehidupan. Satu-satunya yang bisa dibanggakan hanyalah hidungnya yang mancung, serta postur tubuhnya yang jangkung semampai—mirip artis-artis Bollywood yang digilai para emak-emak rempong.
Sampai di kamar mandi, ia membasuh wajahnya seadanya. Lalu, tanpa banyak pikir, ia mengeluarkan ilep-nya (senjata alami pria sejagat raya), lalu mengarahkannya ke kloset. Disemprotkanlah air kehidupan itu ke segala penjuru, seperti pemadam kebakaran yang kehabisan pelatihan. Selesai, tanpa dibilas, tanpa rasa bersalah, ilep itu langsung dikembalikan ke posisi semula.
Keluar dari kamar mandi, Wiji berjalan ke dapur. Ia melirik ke meja makan, dan—oh, rezeki anak salih!—telah tersedia nasi hangat, lengkap dengan sayur bobor bayam, tempe goreng, dan sambal terasi. Perutnya pun langsung bernyanyi riang.
Tanpa ba-bi-bu, ia ambil piring dan sendok. Lalu duduk. Dan makan. Dengan lahap.
“Eh, cah bagus sudah bangun.”
Suara lembut itu muncul dari balik punggung Wiji, tepat ketika ia meluncurkan suapan terakhir ke dalam mulutnya. Ia menoleh.
Iya. Itu ibunya, Ruqayah.
“Jangan lupa, nanti habis makan bantu mbakyumu nganterin telur ke tokonya Kaji Umar di Pasar Legi,” sambung Ruqayah, pelan tapi tegas, sambil membereskan sisa-sisa lauk di atas meja.
“Iya, Mak,” jawab Wiji sopan. Suaranya pelan, tapi cukup terdengar tulus.
Wiji sebenarnya anak yang cerdas. Otaknya encer. Tapi sayangnya, kecerdasannya lebih sering tenggelam di bawah bayang-bayang sosok bapaknya yang arogan dan keras kepala. Di rumah itu, suaranya kecil, bahkan cenderung padam. Ia lebih sering diam, pura-pura bodo amat, padahal hatinya sering menyimpan banyak hal.
Sebelum berangkat menunaikan tugas dari sang ibu, ia sempat mengganti pakaiannya. Celana jins cingkrang dan kaus kerah putih menjadi pilihannya kali ini—setelan khas anak muda desa yang masih ingin terlihat style meski hanya nganter telur.
“Jiiiiii... ayo cepetan! Keburu hujan tuh!”
Suara teriakan mbakyunya, Nur Halimah, menggema dari teras depan. Tapi Wiji tak langsung menjawab. Ia berjalan saja pelan, santai, seperti biasa.
Baru ketika pintu depan dibuka, tiba-tiba sosok wanita berhijab ungu menyembul di hadapannya. Spontan, ia terlonjak kaget.
“Woi, diancuk! Ngagetin aja, lho!” serunya refleks.
“Astagfirullah, mulutmu itu loh... ndak sopan!” tegur Nur Halimah, menatapnya dengan sorot sedikit marah. “Kamu tadi ganti baju apa ganti KTP, kok lama banget?”
“Haaaah... cerewet,” sahut Wiji, sebal. “Iya, sudah... ayo berangkat sekarang.”
Tanpa mau memperpanjang debat, ia segera menuju ke samping rumah, ke arah mobil pick-up L300 warna hitam yang biasa dipakai untuk usaha keluarga. Setelah memastikan mesin hidup, ia membuka pintu dan memanggil mbakyunya.
“Ayo, Mbak! Kok malah sampean yang loading sekarang?” serunya sambil menunggu.
“Iya, iya, iya…” sahut Halimah dengan nada setengah sinis. Tapi wajahnya tetap kalem, seperti biasa.
Mereka pun berangkat, menuju kandang ayam di tengah kebun untuk mengambil beberapa peti telur. Setelah itu, mereka akan mengantarkannya ke toko milik Kaji Umar di Pasar Legi.
Dalam urusan usaha keluarga, Wiji hanya ditugasi jadi sopir sekaligus tukang bongkar muat barang bersama para kuli. Bapaknya lebih mempercayakan urusan keuangan dan transaksi kepada Halimah—putri sulung yang jadi kebanggaannya.
Hal itu wajar. Halimah lulusan sarjana ekonomi. Cantik, cekatan, dan punya perhitungan yang rapi. Ia juga dikenal rajin dan disiplin. Dialah yang selama ini menjadi otak distribusi telur ayam hasil ternak bapaknya ke beberapa wilayah di sekitar kabupaten. Usahanya makin hari makin berkembang, berkat campur tangan Halimah yang telaten dan piawai menata jalur niaga.
*********
Langit mendung masih menggantung rendah, menggiring hawa dingin tanpa menurunkan hujan. Seperti menahan tangis yang belum sempat pecah. Di kandang ayam milik Mispan yang terletak di tengah kebun jeruk, suasana pagi itu memanas—bukan karena matahari, tapi karena suara bentakan sang pemilik yang sedang membakar amarah.
“Kalau kerja itu ya yang benar! Tau waktu! Kapan waktunya kasih pakan, kapan waktunya ngambil telur, kapan waktunya istirahat!”
Suara Mispan meledak-ledak, matanya melotot pada para kuli. “Jadi orang itu kudu disiplin. Kalau sudah begini, siapa yang rugi? Saya!”
Di depannya, beberapa kuli tertunduk. Ada yang hanya diam, ada pula yang mencoba memberi penjelasan.
“Maaf, Pak... tadi kami bangunnya agak kesiangan,” ucap Ngateno, kuli paling tua di antara mereka. Suaranya pelan, seperti menahan malu.
Mispan mengibaskan tangan. “Iya sudah. Sekarang ringkus tuh bangkai ayam yang mati! Bungkus, buang ke kali Brantas. Jangan sampai kejadian ini terulang lagi. Bisa bangkrut saya!”
Wajahnya masih memerah, napasnya berat, dan tanpa menunggu lebih lama ia melenggang pergi sambil men-starter motor bebeknya yang sudah tua tapi masih galak suara knalpotnya. Tangan kirinya menyentil gas, dan tubuhnya langsung melesat keluar kebun, membelah gerimis yang belum jadi.
Tak lama berselang, suara mobil pickup terdengar memasuki pekarangan. L300 hitam itu datang melaju pelan, membawa Wiji di balik kemudi, dengan Nur Halimah duduk di sebelahnya. Mispan yang belum jauh langsung memutar balik sebentar.
“Hob... parkir di situ saja,” katanya cepat. “Telurnya ada di gudang. Nanti biar dibantu Pak Ngateno dan anak-anak buat angkat ke bak.”
Tanpa banyak komentar, tanpa senyum, Mispan kembali tancap gas.
Wiji dan Halimah hanya bisa saling melirik, plonga-plongo, menatap bayangan motor bapaknya yang makin mengecil di ujung jalan.
“Ya udah,” gumam Wiji sambil menghembuskan napas. Ia segera turun dari mobil, menghampiri beberapa kuli untuk mulai menimbang peti-peti berisi telur yang telah disortir.
Satu per satu, peti diangkat ke bak mobil. Keringat mulai mengalir meski matahari tak menampakkan wajahnya.
Sementara itu Halimah sudah sibuk dengan nota-nota dan kalkulator kecil di tangannya. Jemarinya menari menghitung jumlah telur. Wiji, dengan kaus kerah putih dan celana jins cingkrangnya, sibuk memuat.
Selesai semuanya, Wiji mengajak Pak Ngateno naik ke bak belakang untuk berjaga selama perjalanan. L300 itu pun meluncur pelan menyusuri jalan kecil yang membelah hamparan sawah hijau. Jalannya tidak terlalu lebar, tapi cukup untuk satu mobil lewat dengan hati-hati. Sisi kiri dan kanan dikepung padi yang masih muda.
Wiji menyetir santai. Tak terlalu cepat, tapi juga tak lamban. Di sebelahnya, Halimah masih asyik membolak-balik nota. Di belakang, Pak Ngateno duduk bersila sambil sesekali mengintip peti telur, memastikan semuanya aman.
Dan tepat saat mereka sampai di depan toko kelontong milik Kaji Umar, hujan turun deras—tanpa aba-aba, tanpa angin, tanpa gemuruh. Seolah-olah langit menunggu mereka sampai dulu sebelum menumpahkan segala isinya.
Beruntung, toko Kaji Umar memiliki kanopi lebar yang menjulur ke depan, cukup untuk melindungi mobil dan muatannya dari hujan. Telur-telur pun selamat dari kebasahan. Tidak ada yang pecah, tidak ada yang kebanjiran.
Wiji tersenyum miring, menatap langit yang tiba-tiba jadi penuh air.
“Mendung ini ngerti aja, aku tadi lupa bawa terpal,” gumamnya.
Dan hari itu, hujan seolah turun hanya untuk menguji kesiapan—dan keberuntungan.
“Eeaaa, hujannya turun!” seru Kaji Umar dengan wajah sumringah, menyambut kedatangan mobil pick-up yang baru saja berhenti di bawah kanopi tokonya. “Untung kamu sudah nyampe sini, Nak!”
“Nggih, alhamdulillah, Pak Kaji,” jawab Halimah sopan sambil tersenyum. Rambutnya yang sebagian tertutup kerudung tampak sedikit lembap terkena rintik hujan.
“Ngomong-ngomong, ini telurnya mau ditaruh di mana ya?” tanyanya kemudian.
“Oh iya, iya,” jawab Kaji Umar cepat, sambil menunjuk ke arah dalam toko. “Taruh saja di sudut sana, di sebelah tumpukan karung beras itu.”
Tanpa menunda, Halimah segera memberi aba-aba. “Ji, Pak Ngateno, bantu angkat petinya ya, ditaruh ke belakang sana.”
Dengan cekatan, Wiji dan Pak Ngateno turun dari bak mobil. Satu per satu peti berisi telur diangkat dan dipanggul masuk, melintasi lorong toko yang penuh dengan rak-rak berisi sabun, minyak goreng, mi instan, dan barang kelontong lainnya. Lantai yang lembap akibat hujan membuat mereka harus ekstra hati-hati. Telur-telur itu dipindahkan ke sudut ruangan yang sedikit gelap, dekat tumpukan karung beras dan kardus-kardus deterjen.
Sudah bertahun-tahun Kaji Umar menjadi pelanggan setia Mispan. Telur dari kandang di kebun jeruk itu selalu menjadi andalannya untuk mengisi stok di toko kelontongnya. Biasanya, sebulan sekali ia minta diantarkan sepuluh peti. Tapi jika mendekati musim ramai—seperti menjelang hari raya atau musim hajatan—jumlahnya bisa melonjak dua kali lipat.
Hubungan antara keluarga Kaji Umar dan Mispan bukan hanya sebatas mitra dagang. Mereka bersahabat, bahkan seperti saudara. Sesama bergelar Haji, keduanya saling menghormati. Kaji Umar, meskipun lebih muda, menganggap Mispan seperti kangmas-nya sendiri. Sebaliknya, Mispan merasa nyaman bertransaksi dengan seseorang yang satu frekuensi, baik dalam dagang maupun dalam sikap.
Toko kelontong milik Kaji Umar menempati salah satu ruko tua di deretan barat Pasar Legi. Ia menjalankannya bersama sang istri, Hajah Raminten, yang selalu tampil dengan daster batik dan suara yang lantang kalau menawar harga ke distributor. Sudah lebih dari dua puluh tahun mereka menggeluti usaha ini. Pelanggannya bukan hanya warga pasar, tapi juga para pemilik warung dan toko kecil di desa-desa sekitar Pasar Legi.
Pasar Legi sendiri dikenal luas di kalangan warga sebagai pusat niaga yang ramai. Anak-anak muda kekinian kadang menyebutnya Pasar Manis—mengikuti arti harfiah kata legi dalam bahasa Jawa. Tapi sebenarnya, nama itu bukan soal rasa, melainkan waktu. Dalam sistem penanggalan Jawa, ada lima hari pasaran: Pahing, Pon, Wage, Kliwon, dan Legi. Dahulu, pasar ini hanya buka pada hari pasaran legi.
Namun, karena zaman sudah bergeser menjadi zamannya masyarakat pasar dan manusia-manusia pasaran, maka sebagaimana pasar-pasar tradisional lainnya, Pasar Legi—atau yang lebih akrab disebut Pasar Manis—kini tak lagi hanya buka saat pasaran legi, melainkan buka setiap hari.
Pasar Manis adalah satu-satunya pasar tradisional yang masih tersisa di Kecamatan Wonotirto. Dahulu, ada empat pasar tersebar di berbagai penjuru kecamatan. Namun, tiga di antaranya telah lama gulung tikar—mati perlahan karena sepi pembeli, kalah oleh zaman, dan ditinggal oleh generasi baru yang lebih suka belanja online sambil rebahan.
Pasar Legi sendiri berada di dekat desa Wonosari, tidak jauh dari pusat kecamatan. Pasar ini dulu menjadi denyut nadi kehidupan ekonomi warga. Setiap pagi selalu ramai: pedagang teriak-teriak menawarkan dagangan, ibu-ibu menawar sambil menggendong anak, aroma rempah dan sayur mayur menyatu dengan bau keringat dan tanah basah. Tapi itu dulu. Sebelum dunia berubah.
Pernah ada wacana untuk merehabilitasi Pasar Legi agar menjadi pasar modern layaknya pasar-pasar kota. Dilengkapi ruko-ruko yang mengkilap dan lapak-lapak steril nan mahal. Namun, gagasan itu langsung menuai penolakan dari para pedagang. Alasannya sederhana: biaya sewa yang terlalu tinggi, dan kekhawatiran mereka tak lagi bisa bertahan jika pasar berubah wajah. Sebab, pasar modern bagi mereka adalah panggung yang terlalu megah, yang lebih cocok untuk pedagang besar, bukan untuk mereka yang menjajakan sayur dengan selisih untung seribu-dua ribu rupiah.
Lalu datanglah pageblug.
Pandemi covid-19 mengubah segalanya.
Kehidupan masyarakat Wonosari tak lagi sama. Dari yang semula suka pergi ke pasar, menyusuri lorong-lorong becek, bercengkrama dengan pedagang langganan—kini berubah menjadi masyarakat digital. Mereka lebih memilih memesan kebutuhan lewat gawai. Belanja dari layar, bayar pakai e-wallet, lalu tinggal rebahan menunggu kurir datang mengetuk pagar.
Pasar online menjelma menjadi pasar utama. Sedangkan pasar tradisional seperti Pasar Legi... hanya menjadi kenangan yang perlahan terkikis.
Situasi itu kadang membuat para pedagang mengeluh. Termasuk Kaji Umar. Apalagi ia tergolong generasi gaptek—gagap teknologi. Urusan internet baginya sama rumitnya dengan baca kontrak asuransi. Ia bahkan masih menggunakan ponsel jadul yang hanya bisa nelpon dan SMS. Baginya, dunia digital itu seperti dunia alien. Ia sering gerutu sendiri, “Lha wong beli mie instan saja kok ya online. Di warung depan rumah itu lho, juga jual!”
Gaya hidup online membuat hidup Kaji Umar terasa makin sepi. Ia merasa ditinggal oleh zaman, dan lebih miris lagi—oleh tetangganya sendiri. Tapi ia tetap bertahan. Dengan tokonya, dengan dagangannya, dan dengan ingatan masa lalu yang manis—seperti nama pasar tempat ia mengais rejeki.
"Gimana, Pak Kaji? Pasar hari ini ramai?" tanya Halimah sambil menutup buku nota dan menatap wajah tua Kaji Umar yang sedang duduk di bangku kasir toko kelontongnya.
“Iyaaaa… Alhamdulillah, Nduk,” jawab Kaji Umar, suaranya pelan namun terdengar tenang. “Dibilang ramai, ya ndak ramai. Dibilang sepi, ya ndak juga. Tapi cukuplah... buat menghidupi pasar ini, buat makan seadanya."
Ia menarik napas panjang, lalu melanjutkan, “Memang seperti inilah hidup di pasar, Nduk. Pasar itu selalu menawarkan harapan-harapan yang manis... meskipun kadang kenyataannya pahit. Pasar Manis sekarang ya... sudah tak semanis namanya. Tapi ya di sinilah satu-satunya harapan kami, yang masih tersisa dari hiruk-pikuk zaman.”
Tangan tuanya sibuk menghitung uang pembayaran telur dengan ketelitian yang terlatih. Jemarinya sudah agak bergetar, namun masih cekatan menata lembaran-lembaran uang ke dalam laci.
Halimah hanya bisa mengangguk pelan. Ia paham benar betapa beratnya hidup di zaman serba digital bagi mereka yang sudah sepuh. Dunia yang kini berjalan terlalu cepat bagi para pedagang tradisional seperti Kaji Umar—yang masih percaya pada tatap muka, pada senyum pelanggan, dan pada janji lisan.
Setelah semua peti telur selesai dipindahkan dan pembayaran beres diterima, Halimah mengucapkan terima kasih sambil sedikit membungkuk, “Matur nuwun, Pak Kaji. Mugi-mugi lancar terus rejekine.”
“Aamiin, Nduk. Sampeyan juga. Salam buat Kaji Mispan,” balas Kaji Umar sambil tersenyum tipis.
Langit masih gerimis tipis saat mereka pamit pulang. Wiji kembali mengambil alih kemudi mobil pick-up. Jalanan lengang dan basah, diiringi rintik hujan yang belum sepenuhnya reda. Ia menyetir perlahan, melewati jalan yang sama seperti tadi—jalan desa yang penuh lubang, dipenuhi genangan air hujan.
Lubang-lubang itu sudah menganga sejak lebih dari setahun, menanti uluran tangan dari dewa kahyangan yang entah sibuk di mana. Barangkali tengah rapat koordinasi di awang-awang, membahas skema perbaikan jalan rakyat jelata yang selalu jadi janji manis saat musim kampanye saja.
Wiji hanya menghela napas, memelankan laju mobilnya, menerjang genangan. Sementara Halimah di sebelahnya diam, sibuk menatap keluar jendela, memikirkan masa depan pasar yang kini tak lagi manis.
Ketika mereka mulai memasuki wilayah desa, mobil melintasi gang sempit yang hanya cukup dilewati satu kendaraan. Tiba-tiba, dari arah berlawanan muncul sebuah motor matic, dikendarai oleh seorang siswi berseragam SMA. Tubuhnya basah kuyup diguyur hujan, rambutnya menempel di wajah, dan tangan kecilnya sedikit gemetar menggenggam setang motor.
Ia menghentikan motornya tepat di tengah jalan, seolah berharap diberi jalan. Wiji yang berada di balik kemudi menatapnya lekat-lekat. Dan benar saja — itu gadis sinden yang semalam ia lihat di panggung, bersuara merdu di antara gemuruh gamelan dan gending.
Tanpa banyak bicara, Wiji sedikit menepikan mobilnya ke kiri, membuat ban sebelah kiri naik ke atas cor pembatas jalan setinggi sepuluh sentimeter. Mobil itu sedikit miring, namun cukup memberi ruang bagi motor untuk lewat.
Dengan perlahan dan hati-hati, gadis remaja itu melintasi sisa jalan, menoleh ke kanan dan kiri dengan penuh waspada. Dari bak belakang, Pak Ngateno memberikan aba-aba tangan, memandu agar ia bisa lewat dengan aman. Sementara itu, Wiji hanya diam memperhatikannya dari dalam mobil. Wajah gadis itu tampak pucat dan dingin, tapi senyum tipis masih menggantung di bibirnya, seolah menyembunyikan rasa tak nyaman di balik basah dan dingin yang menggigit.
Begitu gadis itu berhasil melewati mobil, Wiji masih mengikutinya dengan pandangan dari kaca spion sebelah kanan. Ia melihat gadis itu membelok, menyempal ke arah gang kecil menuju rumahnya — lalu menghilang.
“Hei, kok malah bengong? Ayo jalan!” semprot Halimah dari jok penumpang.
Wiji tersentak, lalu buru-buru menginjak pedal gas. Mobil pun kembali bergerak, meski pikirannya masih tertinggal di tikungan tadi — bersama tatapan mata dan senyum nyaris beku gadis sinden itu.