NovelToon NovelToon
ASMARALARAS

ASMARALARAS

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Terlarang
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: Kidung Darma

Novel roman. Bara cinta terlarang gadis pesindhen.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kidung Darma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 2

Pemuda itu bernama Wiji Santoso. Usianya baru genap dua puluh tahun. Nama itu diberikan oleh bapaknya, Mispan, sebagai penanda zaman. Sebuah nama sederhana, namun penuh harap. Harapan bahwa anak itu akan tumbuh menjadi benih perubahan, di tengah gelapnya hidup yang menghimpit.

Tahun 1987, ketika Wiji lahir, negeri ini belum sepenuhnya bersih dari kisruh politik. Di desa-desa ekonomi masih sulit, dan di desa Wonosari—sebuah pelosok kecil di Jawa Timur—kemiskinan nyaris menjadi takdir.

Mispan, bapaknya, hanya seorang buruh tani. Sehari bekerja, hasilnya hanya cukup untuk membeli beberapa liter beras dan segenggam garam.

Sementara itu, di rumah, ia harus menghidupi istrinya Siti Ruqayah dan anak pertamanya Nur Halimah, yang kala itu masih belajar mengenal huruf di TK Darma Wanita. Di waktu yang bersamaan Ruqayah juga mengandung anak kedua mereka.

Hidup dalam bayang-bayang kemiskinan, keluarga Mispan sering kali hanya bisa makan nasi dicampur parutan singkong, kadang ganyong yang ia tanam di ladang milik Perhutani. Dapur mereka lebih sering mengepul karena kayu bakar ketimbang karena masakan yang berlimpah.

Dan untuk mencukupi kebutuhan hidup, Mispan tak kenal lelah. Ia banting tulang ke mana-mana. Siang di sawah, malam jadi penabuh gamelan. Ia menyambi sebagai penabuh gamelan bila ada tanggapan wayang. Saat itu, ia bergabung dengan grup campursari Ngudi Laras, pimpinan Ki Sanusi—seorang dalang tersohor, dan disegani, pada masa itu.

Bersama grup Ngudi Laras, Mispan menekuni dunia kesenian. Ia tidak hanya bermain gamelan, tetapi juga belajar mendalang langsung dari Ki Sanusi.

Namun, kisah indah itu tak berlangsung lama. Entah karena apa. Kata orang-orang kampung ia berselisih dengan Ratmoyo, anak bungsu Ki Sanusi. Permasalahan mereka tak pernah benar-benar jelas. Tahu-tahu, Mispan menjauh dari dunia seni. Ia meninggalkan panggung dan gamelan, dan menaruh luka dalam diam. Seolah-olah seni telah membuatnya kecewa.

Sejak itu pula, kebencian terhadap dunia kesenian mulai tumbuh dalam hatinya—pelan, namun mengakar. Ia menganggap panggung tak lebih dari sandiwara, dan dalang hanya pembual berkedok kesenian.

*********

Dan pada suatu malam yang sunyi, di tengah deras hujan yang mengguyur bumi Wonosari. Ruqayah melahirkan anak keduanya. Di rumah sederhana itu, hanya ada cahaya damar teplok yang menggantung redup, dibantu seorang dukun beranak tua bernama Mbok Supini.

Suara petir menyambar-nyambar seperti gelegar takdir yang akan berubah arah. Mbok Supini, dengan susur terselip di bibir, melantunkan doa-doa dan mantra kuno yang diwarisi dari nenek moyangnya. Ucapannya lirih, seolah sedang memanggil mahkluk dari alam lain.

Tepat saat petir membentak, tangis bayi itu pecah, menembus malam. Lolongan anjing bersahutan dari kejauhan. Tokek bersuara nyaring dari tembok gedheg. Seakan seluruh alam ikut menyambut kelahirannya. Tak lama, hujan mereda. Angin berhenti. Gemuruh langit perlahan menghilang. Seolah semesta seperti turut menyambut kelahiran bayi dari rahim kemelaratan itu.

Dengan mata berkaca-kaca, Mispan membopong bayinya ke dada. Ia mengadzankannya pelan, lalu berujar kepada Mbok Supini dengan suara serak namun penuh tekad:

"Dia kuberi nama Wiji Santoso. Wiji artinya benih. Santoso artinya kekuatan. Nama ini adalah doa, Mbok… agar kelak dia tumbuh menjadi kekuatan baru dalam keluarga kami. Semoga dia membawa harapan."

"Nama yang bagus, Ngger... Semoga apa yang menjadi panjangkamu bisa tercapai," ujar Mbok Supini, sambil memutar-mutar susurnya.

Setelah beberapa putaran, ia meludah ke dalam bokor. Cairan merah—campuran sirih, gambir, dan kapur—mengambang di permukaan air.

Itulah penanda selesainya upacara kecil menyambut sang bayi. Di luar, malam mulai tenang. Tapi di dada Mispan, gelombang harapan baru saja menyala.

Seiring waktu yang berjalan. Wiji Santoso tumbuh sebagai bocah kampung yang tangguh. Ia dibesarkan di antara hembusan angin dari lereng Gunung Kelud dan derasnya arus Kali Brantas.

Alam menjadi pendamping pertamanya. Hujan, angin, dan suara kokok ayam, dan lumpur sawah menjadi teman bermainnya.

Pada tahun 1990, ketika usianya belum genap tiga tahun, Hari Sabtu Wage Gunung Kelud meletus dengan hebat. Siang yang cerah langit mendadak hitam, suara dentuman terdengar sampai ke desa. Hari itu Wiji meringkuk di pelukan ibunya, gemetar dan menangis, sementara abu vulkanik turun perlahan-lahan seperti hujan kematian.

Desa Wonosari tak terkena langsung lahar, tapi pekatnya debu dan aroma belerang mengubah hari-hari menjadi kelabu. Banyak warga yang mengungsi, termasuk keluarga Wiji, walau hanya beberapa malam.

Dua tahun setelah letusan itu, Mispan, ayah Wiji, mulai merintis usaha kecil-kecilan: beternak ayam petelur. Mula-mula hanya dua puluh ekor, dengan kandang bambu seadanya di ujung kebun. Tapi dari situlah harapan itu tumbuh.

Kini, tahun 2007, jumlah ayamnya mencapai ribuan ekor. Ia memiliki sepuluh kandang besar yang berdiri berjajar seperti barak militer. Dari telur-telur itulah kekayaan perlahan mengalir.

Mispan yang dulu hanya buruh tani kini menjadi orang terkaya di Desa Wonosari. Ia membeli sawah, menanam cabai dan padi. Rumahnya bertingkat dua, cat putih mengilat, dengan pagar besi menjulang. Jalan masuk rumahnya sudah diplester rapi, dan yang paling membanggakan: ia telah menunaikan ibadah haji.

Di mata warga desa Wonosari, belum sah menjadi "wong sugeh" kalau belum mengenakan kain ihram di Mekkah. Belum konglomerat kalau belum di panggil Pak Kaji. Kini semua orang desa Wonosari memanggilnya Pak Kaji Mispan.

Namun, tak semua orang sepakat dengan gelar itu. Salah satunya Mbah Wagimun. Suatu sore Mbah Wagimun nyeletuk: "Opo'o wong habis haji dipanggil Pak Haji, sementara yang habis sholat gak dipanggil Pak Sholat? Sing wis zakat ora dipanggil Pak Zakat?”

Kalimat itu membuat yang lain tertawa. Tapi itulah Mbah Wagimun—penjaga suara nalar yang sering diabaikan. Seorang miskin yang suaranya selalu terpinggirkan.

Sementara itu, Kaji Mispan hidup dalam kemapanan. Usaha ternak ayam petelurnya tak hanya telah menghasilkan banyak harta kekayaan, berupa sawah, ladang, mobil, dan tentunya rumah mewah.

Dua puluh orang bekerja padanya: sepuluh mengurusi ayam, sepuluh mengelola sawah dan ladang.

Tapi ia tak lagi ikut memegang cangkul. Cukup duduk di teras rumahnya, menyeruput kopi sambil memberi perintah lewat HP Nokia miliknya. Ia bahkan baru belajar kirim SMS dua tahun lalu, dan kini merasa bangga bisa mengetik huruf satu per satu dengan jempol kiri.

********--

“Dari mana kamu? Jam segini baru pulang. Dasar bocah semprul!” semprot Mispan, yang baru saja selesai menunaikan salat subuh di langgar samping rumah.

“Habis nonton wayang,” jawab Wiji malas, tanpa menatap wajah bapaknya.

“Apa? Nonton wayang? Nonton wayang kok pulangnya pagi begini! Mau jadi apa kamu nanti?” Suara Mispan meninggi, amarahnya mulai memuncak.

Wiji hanya diam. Enggan membalas. Ia tahu betul, berdebat dengan Mispan hanya akan memperpanjang keributan. Bapaknya memang keras kepala, tak mudah diajak bicara dari hati ke hati.

“Kamu itu, kerjaannya cuma kelayapan tiap malam. Berangkat sore, pulang pagi. Siangnya tidur ngorok seperti kelelawar." Bentakan Mispan makin lantang menggema di halaman rumah. "Terus saja begitu! Lama-lama, sepeda motormu itu bapak bakar sekalian!”

“Heee... ada apa to ini? Kok pagi-pagi sudah ribut seperti pasar?” Ruqayah tiba-tiba muncul dari dalam langgar, membawa sajadah dan mukena. Suaranya bergetar antara heran dan cemas.

Mispan menoleh ke arah istrinya. “Lihat anakmu itu! Tiap malam kelayapan. Dikasih hidup enak malah seenaknya sendiri. Anak macam apa itu!”

“Sabar to, Pak. Istighfar... pelan-pelan. Jangan main bentak begitu,” ucap Ruqayah, mencoba menenangkan sambil mengelus pelan bahu suaminya.

“Anak seperti dia itu gak bisa dikasih sabar. Harus dikasih pelajaran! Kalau perlu, suruh minggat dari rumah sekalian!” Telunjuk Mispan mengarah tajam ke wajah Wiji.

“Wes, Pak, wes... sama anak sendiri jangan keras begitu."

"Dan kamu, Le... mbok ya jangan keluyuran terus tiap malam. Emak dan Bapakmu ini susah tidur tiap malam, kepikiran kamu terus...” ujar Ruqayah lirih, penuh iba.

Tanpa sepatah kata pun, Wiji berbalik badan dan melangkah masuk. Pintu kamarnya dibanting pelan, lalu ia rebah begitu saja di atas kasur, membenamkan wajah dalam bantal. Lelah, bukan hanya karena malam panjang, tapi juga karena benturan batin yang tak pernah benar-benar reda di rumahnya.

“Oooooo... anak sontoloyo. Diomongi malah minggat. Tak tahu adab,” gerutu Mispan, amarahnya belum juga reda.

“Sudah, Pak. Sudah... daripada tambah tinggi tekanan darahmu. Sekarang siap-siap saja ke kandang. Nanti keburu siang,” bujuk Ruqayah.

“Iya, iya... Bapak siap-siap dulu. Bilangin anak lanangmu itu, siang nanti suruh bantu mbakyu-nya nganter telur ke tokonya Kaji Umar di pasar legi. Jangan cuma tidur melulu!” ujar Mispan sambil melangkah ke belakang rumah, tubuhnya sudah dibungkus capek dan geram.

Ruqayah hanya berdiri diam di teras, matanya menerawang jauh ke ujung jalan desa yang masih diselimuti kabut pagi. Hatinya nyeri, terjepit di antara dua lelaki keras kepala yang sama-sama ia cintai.

Entah, dengan cara apa lagi Ruqayah harus menasihati anak laki-lakinya itu agar mau berubah. Dengan hati yang selalu berusaha lapang, berbagai cara sudah ia coba untuk membenahi perilaku Wiji—meski terkadang, terasa nyeri hatinya.

Kesabarannya diuji hampir setiap hari, tak hanya oleh anaknya yang bandel, tapi juga oleh sikap suaminya, Mispan, yang kadang meledak seperti orang kesetanan.

Wiji memang bukan anak yang mudah diarahkan. Sejak remaja, ia tumbuh liar seperti alang-alang di ladang. Ia sering pulang larut malam, keluyuran tanpa arah, mengikuti dentum musik dangdut koplo, alunan tayuban, jaranan, dan wayangan.

Bukan hanya soal pulang malam—sering pula namanya disebut dalam keributan. Tawuran. Adu jotos. Tak jarang Mispan harus dipanggil ke balai desa, duduk di hadapan pamong, menanggung malu dan membayar denda atas ulah anaknya yang kerap bikin gaduh di tengah hajatan orang.

Berulang kali Ruqayah mencoba meredam amarah suaminya dan menggapai hati anaknya, namun Wiji seakan tetap berlayar ke arah yang tak pernah ia pahami.

Dalam diamnya, ia menyimpan lelah yang tak bisa dibagi kepada siapa pun. Namun sebagai seorang ibu, Ruqayah tetap bertahan. Sebab kasih seorang ibu, tak pernah benar-benar habis, meski hatinya terus disayat hari demi hari.

Dan di usianya yang telah menginjak dua puluh tahun, arah hidup Wiji masih tampak buram. Ia berjalan seperti perahu tanpa kompas, hanyut oleh arus zaman yang tak tentu tujuan.

Tak seperti kakaknya, Nur Halimah, yang sudah menuntaskan pendidikan tinggi dan kini menyandang gelar sarjana ekonomi, Wiji justru memilih jalur hidup yang jauh berbeda. Ia telah meninggalkan bangku sekolah sejak duduk di kelas dua SMA.

Kepada teman-temannya, Wiji sering berkata dengan nada getir namun yakin, "Ruang kelas itu seperti penjara. Sekolah tak mengajarkanku menjadi manusia yang bebas berpikir, tapi malah menuntutku menjadi robot, dikendalikan oleh remote bernama guru dan orangtua."

Keputusan itu membuat Mispan, bapaknya, murka bukan kepalang. "Mau jadi apa kamu kalau nggak sekolah?!" bentaknya waktu itu, dengan wajah merah padam menahan amarah.

Tapi Wiji memang bukan anak yang bisa ditundukkan hanya dengan suara keras. Semakin dimarahi, justru semakin keras pula ia melawan.

Hari-hari Wiji menghabiskan waktunya di jalanan. Keluyuran tanpa arah, ngalor-ngidul bersama gerombolannya, menjadi rutinitasnya tiap malam.

Berangkat sore, pulang pagi — seperti burung malam yang tak pernah tahu kapan harus kembali ke sarang. Ia liar, garang, dan suka melawan aturan.

Sementara itu kakaknya Halimah, semenjak merampungkan kuliahnya di fakultas ekonomi universitas negeri Halimah memang hanya bantu-bantu urusan pekerjaan bapaknya.

Dahulu ia juga sempat ikut tes CPNS tetapi gagal untuk mendapatkan pekerjaan yang di inginkannya. Akhirnya iapun memutuskan untuk menikah saja dengan seorang laki-laki pilihan orangtuanya, terutama pilihan Mispan bapaknya.

Mispan menjodohkan putrinya itu dengan Muhammad Arifin seorang pemuda dari keluarga priyayi anaknya Kaji Jahuri.

Kaji Jahuri adalah rekan bisnis Mispan. Dahulu saat Mispan masih melarat-melaratnya Kaji Jahuri-lah yang membantunya membuka bisnis ternak ayam petelur. Sama seperti Mispan, Kaji Jahuri juga seorang peternak ayam petelur dan juga juragan ladang tebu yang di kenal sangat tajir melintir di Wonosari.

Sementara itu, Muhammad Arifin, meskipun kini masih tinggal serumah dengan mertuanya, Kaji Mispan, perlahan ia mulai menapaki jalan hidupnya sendiri. Ia dikenal sebagai pengajar tetap di pesantren Bahrul Hayat. Tempat dimana dulu dia mondok.

Ia adalah lulusan Pondok Pesantren itu, pesantren salaf yang terletak tak jauh dari Wonosari. Didikan pesantren membentuknya menjadi pribadi yang tenang, bersahaja, namun tegas dalam prinsip.

Sebab itu, atas dorongan istrinya dan dukungan masyarakat sekitar, Arifin juga mendirikan sebuah yayasan untuk anak-anak yatim piatu, yang ia beri nama Darul Wafa.

"Yur!, sayur...." Teriak Jumadi pedagang sayur melewati depan rumah Mispan.

Halimah yang mendengarnya langsung menghampirinya.

"Sawi hijaunya ada Pak Jum?" Sambil berjalan pelan Halimah menghampiri Jumadi yang mangkal di pertigaan jalan dekat rumahnya. Terlihat tetangganya Yu Kastun dan Bu Hartini sudah disana.

"Oh ada Nduk!" Kata Jumadi sambil mengolak-alik dagangannya. "Kamu kerja dirumah saja ya, Nduk?" lanjut Jumadi.

"Oh, nggih Pak. Saya di rumah saja bantu-bantu usahanya bapak dan mas Arifin.

"Kok ndak sambil nyambi kerja yang lain. Eman-eman lo Nduk. Sekolah tinggi-tinggi kok ndak jadi apa-apa. Minimal jadi guru atau pegawai di kecamatan?" Yu Kastun menyela.

Halimah pun dibuat tidak nyaman dengan kata-kata Yu Kastun itu.

Orang-orang desa Wonosari memang menganggap kalau lulusan kuliah minimal iya jadi PNS, atau kariawan perusahaan, syukur-syukur jadi pejabat. Tapi bagi Halimah sepertinya lain.

"Saya sekolah tidak untuk mencari kerja Yu. Melainkan untuk menjadi manusia yang berkemampuan untuk mengembangkan potensi diri saya." Ucap Halimah.

"Bagi Saya untuk apa sekolah bahkan sampai perguruan tinggi jika pada akhirnya hanya bermental budak. Mengharapkan belas kasihan dari orang lain. Keluar masuk pintu kantor-kantor perusahaan sambil nyangking ijazah hanya untuk ngemis-ngemis pekerjaan. Begitu kena PHK keliling lagi kesana-kemari ngemis lagi. Tanpa pernah mau berpikir untuk berdikari (berdiri di atas kaki sendiri)." Lanjut Halimah sedikit emosi.

"Eeeee, begitu to!" Balas yu Kastun pendek.

Dan Halimah melanjutkan kata-katanya. "Saya lebih suka bergaul dengan telek ayam di kandang milik bapak saya serta membantu urusan pekerjaan suami saya. Saya tak pernah merasa malu meskipun setiap hari badan saya harus gimbal telek. Daripada harus duduk di kursi sebagai sekertaris misalnya. Tapi harus ngemis-ngemis dulu."

Yu Kastun pun menanggapinya agak serius. "Iya juga sih Nduk. Tapi beruntungnya kamu anaknya orang kaya. Yang kuliahnya bisa di tanggung sama orangtuamu, tanpa harus mengorbankan harta benda yang berharga. Sementara teman-temanmu yang lain demi bisa kuliah harus menjual sawah milik bapaknya, menghabiskan harta apapun yang ada."

"Yang berhasil menjadi orang mapan terus hidupnya pindah ke kota karena alasannya lebih dekat dengan tempat kerjanya atau karena ikut pasangannya masing-masing. Sementara yang gagal hanya bisa meratapi nasibnya sambil gigit jari." Sambung yu Kastun.

"Sesungguhnya baik yang mapan maupun yang gagal sama saja, Yu. Sama-sama tidak mampu mengembalikan sawah bapaknya. Anaknya lulusan sarjana bapaknya tetap saja menderita, bahkan kian bertambah penderitaannya. Karena bapaknya sudah tidak bisa lagi menanam padi. Itu saya mengalami sendiri, Yu." Sela Jumadi

"E,e,e, mosok to pak Jum?" Sahut Jumadi.

"Anak saya si Jatmiko dulu minta kuliah saya jual-kan lima petak sawah. Dan kini ia sudah lulus. Setelah lulus dia langsung menikah. Sekarang dia ikut mertuanya dan berkerja sebagai guru honorer di kota." Tambah Jumadi.

Yu Kastun menambahi "Ya bener, Kang. Yang rumahnya jauh paling-paling mereka akan datang menjenguk orangtuanya setahun sekali ketika hari lebaran saja. Datang membawakan beberapa oleh-oleh dari kota. Ibunya diberi sejumlah uang untuk belanja. Walaupun tak seberapa yang penting memberi."

Bu Hartini tak mau ketinggalan "Terus bapaknya di belikan setelan busana, sarung baju batik dan peci. Tetapi ketika pamit pulang mereka bawa pisang satu tundun, singkong satu karung, kelapa satu janjang, di tambah sayur-sayuran di tumpuk di bagasi mobilnya, bahkan anak marmut pun tak luput mereka bawa.

"Eeemmm... Betul itu Bu Har... belum lagi nanti ibunya masih nyangoni cucu-cucunya. Uang yang tadinya diberikan kepada ibunya buat belanja, pada akhirnya harus kembali lagi ke kantong anak-anaknya." kata Yu Kastun.

"Memang sungguh beda ya sama nasib keluarga Pak Kaji Mispan yang serba berkecukupan." Sahut Bu Hartini sambil milih-milih sayuran.

"Tetapi serba berkecukupan juga belum tentu hidupnya penuh senyuman." Pungkas Halimah. Lalu ia membayar sayur-sayurannya dan langsung pulang meninggalkan mulut-mulut yang telah merajam dirinya itu.

******

Matahari sudah merangkak naik ke sepertiga langit. Waktu di dinding menunjukkan pukul sembilan lewat dua puluh dua. Dengan wajah kusut, rambut awut-awutan, dan mata yang masih berat, Wiji pun bangkit dari ranjangnya.

Ia masih mengenakan pakaian yang sama seperti semalam: celana jins robek di bagian lutut dan kaus hitam bergambar tengkorak dengan tulisan "Death Before Dishonor".

Aroma malam masih melekat di tubuhnya. Seperti tak peduli dengan kejaran dunia, ia berjalan malas menuju kamar mandi.

Ia membasuh wajahnya yang .....yah, tidak bisa dibilang tampan-tampan amat. Kulitnya sawo matang khas anak kampung tropis, rambut ikal seperti tak pernah disentuh sisir, bibir tebal, dan matanya lebar.

Satu-satunya yang bisa dibanggakan hanyalah hidungnya yang mancung, serta postur tubuhnya yang jangkung —mirip artis-artis Bollywood yang digilai para emak-emak rempong.

Ia membasuh wajahnya seadanya. Lalu, tanpa banyak pikir, ia mengeluarkan ilep-nya (senjata alami pria sejagat raya), lalu mengarahkannya ke kloset. Disemprotkanlah uyuh-nya itu ke dinding sebelah kloset, layaknya seperti petugas pemadam kebakaran. Selesai, tanpa dibilas, tanpa rasa bersalah, ilep itu langsung dikembalikan ke posisi semula.

Keluar dari kamar mandi, Wiji berjalan ke dapur. Ia melirik ke meja makan— disana telah tersedia nasi hangat, lengkap dengan sayur bobor bayam, tempe goreng, dan sambal terasi. Perutnya pun langsung bernyanyi riang. Tanpa ba-bi-bu, ia ambil piring dan sendok. Lalu duduk. Dan makan. Dengan lahap.

“Eh, cah bagus sudah bangun.”

Suara lembut itu muncul dari balik punggung Wiji, tepat ketika ia meluncurkan suapan terakhir ke dalam mulutnya. Ia menoleh. Iya. Itu ibunya, Ruqayah.

“Jangan lupa, nanti habis makan bantu mbakyumu nganterin telur ke tokonya Kaji Umar di Pasar Legi,” sambung Ruqayah, pelan tapi tegas, sambil membereskan sisa-sisa lauk di atas meja.

“Iya, Mak,” jawab Wiji sopan. Suaranya pelan, tapi cukup terdengar tulus.

Wiji sebenarnya anak yang cerdas. Otaknya encer. Tapi sayangnya, kecerdasannya lebih sering tenggelam di bawah bayang-bayang sosok bapaknya yang arogan.

Di rumah itu, suaranya kecil, bahkan cenderung padam. Ia lebih sering diam, pura-pura bodo amat, padahal hatinya sering menyimpan banyak hal.

Sebelum berangkat menunaikan tugas dari sang ibu, ia sempat mengganti pakaiannya. Celana jins cingkrang dan kaus kerah putih menjadi pilihannya kali ini—setelan khas anak muda desa yang masih ingin terlihat style meski hanya nganter telur.

“Jiiiiii... ayo cepetan! Keburu hujan tuh!”

Suara teriakan mbakyunya, Nur Halimah, menggema dari teras depan.

Tapi Wiji tak langsung menjawab. Ia berjalan saja pelan, santai, seperti biasa. Baru ketika pintu depan dibuka, tiba-tiba sosok wanita berhijab ungu menyembul di hadapannya. Spontan, ia terlonjak kaget.

“Woi, diancuk! Ngagetin aja!” serunya refleks.

“Astagfirullah, mulutmu itu loh... ndak sopan!” tegur Nur Halimah, menatapnya dengan sorot sedikit marah. “Kamu tadi ganti baju apa ganti KTP, kok lama banget?”

“Haaaah... cerewet,” sahut Wiji, sebal. “Iya, sudah... ayo berangkat sekarang.”

Tanpa mau berdebat, ia segera menuju ke samping rumah, ke arah mobil pick-up L300 warna hitam yang biasa dipakai untuk usaha keluarga. Setelah memastikan mesin hidup, ia membuka pintu dan memanggil mbakyunya.

“Ayo, Mbak! Kok malah sampean yang loading sekarang?” serunya sambil menunggu.

“Iya, iya, iya…” sahut Halimah dengan nada setengah sinis. Tapi wajahnya tetap kalem, seperti biasa.

Mereka pun berangkat, menuju kandang ayam di tengah kebun untuk mengambil beberapa peti telur. Setelah itu, mereka akan mengantarkannya ke toko milik Kaji Umar di Pasar Legi.

Dalam urusan usaha keluarga, Wiji hanya ditugasi jadi sopir sekaligus tukang bongkar muat barang bersama para kuli. Bapaknya lebih mempercayakan urusan keuangan dan transaksi kepada Halimah—putri sulung yang jadi kebanggaannya.

Hal itu wajar. Halimah lulusan sarjana ekonomi. Cantik, cekatan, dan punya perhitungan yang rapi. Ia juga dikenal rajin dan disiplin.

Dialah yang selama ini menjadi otak bisnis telur ayam hasil ternak bapaknya, mendistribusikannya ke beberapa wilayah di sekitar kabupaten. Usahanya makin hari makin berkembang, berkat campur tangan Halimah yang telaten dan piawai menata jalur niaga.

*********

Langit mendung masih menggantung rendah, menggiring hawa dingin tanpa menurunkan hujan. Seperti menahan tangis yang belum sempat pecah. Di kandang ayam milik Mispan yang terletak di tengah kebun jeruk, suasana pagi itu memanas—bukan karena matahari, tapi karena suara bentakan sang pemilik yang sedang membakar amarah.

“Kalau kerja itu ya yang benar! Tau waktu! Kapan waktunya kasih pakan, kapan waktunya ngambil telur, kapan waktunya istirahat!”

Suara Mispan meledak-ledak, matanya melotot pada para kuli. “Jadi orang itu kudu disiplin. Kalau sudah begini, siapa yang rugi? Saya!”

Di depannya, beberapa kuli tertunduk. Ada yang hanya diam, ada pula yang mencoba memberi penjelasan.

“Maaf, Pak... tadi kami bangunnya agak kesiangan,” ucap Ngateno, kuli paling tua di antara mereka. Suaranya pelan, seperti menahan malu.

Mispan mengibaskan tangan. “Iya sudah. Sekarang ringkus bangkai-bangkai ayam yang mati itu! Bungkus karung, buang ke kali Brantas. Dan jangan sampai kejadian seperti ini terulang lagi. Bisa bangkrut saya!”

Wajahnya masih memerah, napasnya berat, dan tanpa menunggu lebih lama ia melenggang pergi dengan motor bebeknya yang sudah tua tapi masih galak suara knalpotnya. Tangan kirinya menyentil gas, dan tubuhnya langsung melesat keluar kebun.

Tak lama berselang, suara mobil pickup terdengar memasuki area kandang. L300 hitam itu datang melaju pelan, membawa Wiji di balik kemudi, dengan Nur Halimah duduk di sebelahnya. Mispan yang belum jauh langsung memutar balik sebentar.

“Hob... parkir di situ saja,” katanya cepat. “Telurnya ada di gudang. Nanti biar dibantu Pak Ngateno dan anak-anak, mengangkutnya ke bak.”

Tanpa banyak komentar, tanpa senyum, Mispan kembali tancap gas.

Wiji dan Halimah hanya bisa saling melirik, plonga-plongo, menatap motor bapaknya yang makin jauh di ujung jalan.

“Ya udah,” gumam Wiji sambil menghembuskan napas. Ia segera turun dari mobil, menghampiri beberapa kuli untuk mulai menimbang peti-peti berisi telur yang telah disortir.

Satu per satu, peti diangkat ke bak mobil. Keringat mulai mengalir meski matahari tak menampakkan wajahnya.

Sementara itu Halimah sudah sibuk dengan nota-nota dan kalkulator kecil di tangannya. Jemarinya menari menghitung jumlah telur. Wiji, dengan kaus kerah putih dan celana jins cingkrangnya, sibuk memuat.

Selesai semuanya, Wiji mengajak Pak Ngateno naik ke bak belakang untuk berjaga selama perjalanan. L300 itu pun meluncur pelan menyusuri jalan kecil yang membelah hamparan sawah hijau. Jalannya tidak terlalu lebar, tapi cukup untuk satu mobil lewat dengan hati-hati. Sisi kiri dan kanan dikepung padi yang masih muda.

Wiji menyetir santai. Tak terlalu cepat, tapi juga tak lamban. Di sebelahnya, Halimah masih asyik membolak-balik nota. Di belakang, Pak Ngateno duduk bersila sambil sesekali mengintip peti telur, memastikan semuanya aman.

Dan tepat saat mereka sampai di depan toko kelontong milik Kaji Umar, hujan turun deras—tanpa aba-aba, tanpa angin, tanpa gemuruh. Seolah-olah langit menunggu mereka sampai dulu sebelum menumpahkan segala isinya.

Beruntung, toko Kaji Umar memiliki kanopi lebar yang menjulur ke depan, cukup untuk melindungi mobil dan muatannya dari hujan. Telur-telur pun selamat dari kebasahan.

Wiji tersenyum miring, menatap langit yang tiba-tiba jadi penuh air.

“Mendung ini ngerti aja, aku tadi lupa bawa terpal,” gumamnya.

Dan hari itu, hujan seolah turun hanya untuk menguji kesiapan—dan keberuntungan.

“Eeaaa, hujannya turun!” seru Kaji Umar dengan wajah sumringah, menyambut kedatangan mobil pick-up yang baru saja berhenti di bawah kanopi tokonya. “Untung kamu sudah nyampe sini, Nak!”

“Nggih, alhamdulillah, Pak Kaji,” jawab Halimah sopan sambil tersenyum. Rambutnya yang sebagian tertutup kerudung tampak sedikit lembap terkena rintik hujan.

“Ngomong-ngomong, ini telurnya mau ditaruh di mana ya?” tanyanya kemudian.

“Oh iya, iya,” jawab Kaji Umar cepat, sambil menunjuk ke arah dalam toko. “Taruh saja di sudut sana, di sebelah tumpukan karung beras itu.”

Tanpa menunda, Halimah segera memberi aba-aba. “Ji, Pak Ngateno, bantu angkat petinya ya, ditaruh ke belakang sana.”

Dengan cekatan, Wiji dan Pak Ngateno turun dari bak mobil. Satu per satu peti berisi telur diangkat dan dipanggul masuk, melintasi lorong toko yang penuh dengan rak-rak berisi sabun, minyak goreng, mi instan, dan barang kelontong lainnya.

Lantai yang lembap akibat hujan membuat mereka harus ekstra hati-hati. Telur-telur itu dipindahkan ke sudut ruangan yang sedikit gelap, dekat tumpukan karung beras dan kardus-kardus deterjen.

Hari itu, seperti biasa, Halimah mengantar pesanan telur dari kandang Mispan ke toko Kaji Umar.

“Gimana, Pak Kaji? Pasar hari ini ramai?” tanya Halimah sambil menutup buku nota dan menatap wajah Kaji Umar yang duduk di kursi kasir, ditemani kipas angin tua yang menderu pelan.

“Alhamdulillah, Nduk. Dibilang ramai, ya ndak ramai. Dibilang sepi, ya ndak juga. Tapi cukuplah... buat ngisi toko, buat makan seadanya,” jawabnya dengan senyum tipis.

Ia menarik napas panjang, lalu melanjutkan kata-katanya:

“Pasar itu selalu menawarkan harapan yang manis... meskipun kadang kenyataannya pahit. Tapi ya di sinilah hidup kami. Tempat kami menggantungkan rejeki, dan menjaga mimpi.”

Tangannya yang mulai berkeriput sibuk menghitung uang pembayaran telur. Jemarinya lambat tapi tetap teliti, menata lembar demi lembar.

Halimah mengangguk, memahami betapa pasar ini lebih dari sekadar tempat berdagang. Ia adalah kenangan hidup dan ruang perjuangan. Di tahun 2007, dunia memang sudah mulai berubah, tapi di desa seperti Wonosari—pasar masih jadi jantung kehidupan.

Sudah bertahun-tahun Kaji Umar menjadi pelanggan setia Mispan. Telur dari kandang di kebun jeruk itu selalu menjadi andalannya untuk mengisi stok di toko kelontongnya.

Biasanya, sebulan sekali ia minta diantarkan sepuluh peti. Tapi jika mendekati musim ramai—seperti menjelang hari raya atau musim hajatan—jumlahnya bisa melonjak dua kali lipat.

Hubungan antara keluarga Kaji Umar dan Mispan bukan hanya sebatas mitra dagang. Mereka bersahabat, bahkan seperti saudara. Sesama bergelar Haji, keduanya saling menghormati. Kaji Umar, yang lebih muda, menganggap Mispan seperti kangmas-nya sendiri. Sebaliknya, Mispan merasa nyaman bertransaksi dengan seseorang yang satu frekuensi, baik dalam dagang maupun dalam sikap.

Toko kelontong milik Kaji Umar menempati salah satu ruko tua di deretan barat Pasar Legi. Ia menjalankannya bersama sang istri, Hajah Raminten, yang selalu tampil dengan daster batik dan suara lantang saat menawarkan harga ke pelanggan tokonya.

Sudah lebih dari dua puluh tahun mereka menggeluti usaha ini. Pelanggannya bukan hanya warga pasar, tapi juga para pemilik warung dan toko kecil di desa-desa sekitar Kecamatan Wonotirto.

Pasar Legi sendiri dikenal luas sebagai pusat niaga yang ramai. Anak-anak muda kadang menyebutnya Pasar Manis—bukan karena tempat itu banyak penjual gulanya, melainkan karena arti harfiah kata legi dalam bahasa Jawa.

Nama itu berasal dari sistem penanggalan Jawa: Pahing, Pon, Wage, Kliwon, dan Legi. Dahulu, pasar ini hanya buka pada hari pasaran legi. Tapi kini, zaman berubah. Seperti halnya televisi yang dulu hanya dua saluran, tapi kini sudah berwarna dan bisa menyimpan siaran lewat VCD—demikian pula pasar legi: juga buka setiap hari.

Tahun 2007, Pasar Legi masih menjadi satu-satunya pasar tradisional yang hidup di Kecamatan Wonotirto. Tiga pasar lainnya—di wilayah selatan, timur, dan barat kecamatan—sudah lama tutup. Gulung tikar perlahan-lahan karena sepi, karena generasi baru lebih suka ke swalayan di kota-kota sekitar.

Zaman dulu setiap pagi, Pasar Legi riuh. Pedagang teriak menawarkan dagangan. Ibu-ibu menawar sambil menggendong anak. Aroma rempah, ikan asin, pisang goreng, dan tanah basah berpadu jadi bau khas yang hanya bisa ditemukan di tempat seperti ini.

Kadang ada wacana dari kecamatan untuk membangun ulang Pasar Legi jadi pasar modern. Dengan ruko-ruko baru, lapak steril. Tapi para pedagang menolak halus. Mereka tahu, pasar modern itu bukan tempat bagi mereka yang hanya menjual beras eceran, minyak curah, dan sabun batang.

Langit masih gerimis tipis saat Wiji dan Halimah pamit pulang. Wiji kembali mengambil alih kemudi mobil pick-up. Jalanan lengang dan basah, diiringi rintik hujan yang belum sepenuhnya reda. Ia menyetir perlahan, melewati jalan yang sama seperti tadi—jalan desa yang penuh lubang, dipenuhi genangan air hujan.

Lubang-lubang itu sudah menganga sejak lebih dari setahun, menanti uluran tangan dari dewa kahyangan yang entah sibuk di mana. Barangkali tengah rapat koordinasi di awang-awang, membahas skema perbaikan jalan rakyat jelata yang selalu jadi janji manis saat musim kampanye saja.

Wiji hanya menghela napas, memelankan laju mobilnya, menerjang genangan. Sementara Halimah di sebelahnya diam, sibuk menatap keluar jendela, memikirkan masa depan pasar manis yang kini tak lagi semanis namanya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!