cerita tentang seorang serigala penyendiri yang hanya memiliki ketenangan tapi musik menuntun nya pada hal-hal yang terduga... apakah itu musim semi...
aku hanya bermain musik untuk mencari ketenangan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Violetta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 - Dunia Maya
Kriiinggg...
Alarm pagi berbunyi lagi. Kali ini, aku mengangkat kepala dengan berat.
“Umm...” Aku mematikan alarm, lalu duduk perlahan.
Biasanya Kak Hilda yang membangunkanku. Tapi kali ini... sepi.
“Dia belum bangun?” gumamku.
Aku turun ke dapur dan melihat meja makan yang masih kosong belum ada sarapan, tidak ada suara langkah kaki. Aneh.
Kupandangi tangga, lalu memutuskan naik ke lantai atas dan mengetuk pintu kamarnya.
“Kak?” Aku mengetuk lagi, lebih keras.
Tak ada jawaban. Perasaanku mulai tak enak. Dengan sedikit panik, aku menendang pintu.
Brakk!
Tepat saat pintu terbuka, suara pintu depan juga terdengar. Kak Hilda muncul sambil membawa dua kantong belanjaan.
“Eh?! Vio, apa yang kamu lakukan?!” serunya kaget.
Aku terdiam, merasa bersalah. “Aku pikir... Kakak kenapa-kenapa. Tadi waktu aku bangun, Kakak nggak bangunin aku dan nggak ada di dapur...”
Hilda menatapku sejenak, lalu mendesah sambil meletakkan belanjaannya.
“Kamu ini... bikin kaget saja.” Wajahnya setengah kesal, setengah lega.
Aku hanya tertawa kecil, canggung. “Maaf...”
Dan ya, seperti biasa... aku dimarahi beberapa menit
---
Aku berangkat sekolah lebih siang dari biasanya. Nyaris ketinggalan bus.
“Uh~ lain kali aku harus pakai alarm dua kali,” gumamku sambil berlari kecil ke halte.
Hari ini adalah hari kedua. Suasana sekolah mulai terasa lebih ramai dan bising. Aku masih belum terbiasa.
“Vio! Selamat pagi!” suara itu lagi. Reina.
“Ah... e—ya, selamat pagi,” jawabku sambil memaksakan senyum.
Dia menatapku tajam. “Wah! Kamu nggak ingat nama aku, ya?! Padahal duduk sebelahmu, loh!”
Aku menggaruk kepala, malu. “Maaf...”
Dia mendekat dengan wajah serius. “Namaku Reina. Tolong ingat sekarang. Mengerti?”
Aku mengangguk cepat. “Ya... Reina.”
“Bagus.” Ia tersenyum puas.
Tak lama kemudian, guru masuk dan pelajaran dimulai. Tapi kepalaku sedikit berat. Semalam aku tidur terlalu larut.
“Vio, kamu ngantuk, ya?” Guru memukul pelan mejaku dengan buku.
“Eh? Maaf, Bu! Tapi saya dengar kok...”
“Sebaiknya begitu. Kalau tidak, aku akan suruh kamu berdiri di luar.”
“Maaf Bu... Saya izin ke kamar kecil sebentar, Bu”
“Baiklah, cepat dan cuci mukamu.”
Aku berjalan cepat ke kamar kecil, membasuh muka sambil menatap cermin.
‘Sepertinya aku harus atur ulang jadwal siaran. Kalau begini terus, aku bisa tumbang.’
---
Saat aku kembali ke kelas, pelajaran berlanjut. Tapi suasana sedikit aneh. Pandangan teman-teman tertuju padaku karena insiden barusan.
‘Ah... aku benci jadi pusat perhatian.’
Tiba-tiba, selembar kertas mendarat di mejaku. Aku membukanya.
"Apa kamu mau aku bangunkan kalau kamu ngantuk?"
Aku menoleh ke samping. Reina tersenyum dan melambaikan tangan kecil dengan gaya lucu.
Aku balas dengan tulisan: “Tidak perlu.”
Karena, jujur saja... Reina terlalu populer. Cantik, ramah, ceria dia seperti bintang kelas. Sedangkan aku...
Kami terlalu berbeda.
Bel istirahat berbunyi. Aku bangkit cepat sebelum Reina sempat bicara.
“Vio, soal tadi—”
“Tidak apa. Lain kali aku akan hati-hati.” Aku segera keluar kelas.
Kupilih tempat paling sepi di sekolah. Di bawah tangga darurat, aku membuka bekal dan mulai makan sendiri.
‘Sepertinya aku terdengar terlalu dingin tadi...’ pikirku.
Tapi aku terlalu takut untuk dekat dengan orang lain. Semua selalu berakhir sama ditinggalkan dan dilupakan.
Aku mengeluarkan buku kecil dari tas, mencatat beberapa ide lagu dan lirik. Musik selalu menenangkan.
Bel masuk berbunyi. Aku kembali ke kelas.
Sepanjang pelajaran, aku ingin meminta maaf pada Reina. Tapi setiap kali aku ingin bicara, kata-kataku menghilang. Dia terlalu cerah untuk dunia abu-abuku.
Akhirnya, aku hanya menatapnya dari jauh.
Sore hari.
“Aku pulang.”
“Eh? Ada tamu?” Aku menatap ke arah ruang tamu dan ya, seperti biasa itu adalah Kak Mei.
“Kak Mei kesini lagi?”
“Yap. Kakakmu ke minimarket. Sini cerita, Vio! Gimana hari pertamamu sekolah?”
Aku menggeleng cepat. “Aku capek. Mau istirahat.”
“Hei, adik kecil ini pemalu banget ya,” kata Kak Mei menggoda. “Tenang aja, nanti malam kita ngobrol, terutama soal cewek!”
“tidak perlu!” seruku kesal sebelum kabur ke kamar.
Kak Mei selalu seperti itu—menggoda, usil, tapi juga perhatian. Tapi entah kenapa, hari ini... aku merasa lebih lelah dari biasanya.
Aku berbaring, menatap langit-langit.
‘Besok... aku harus bicara dengan Reina. Aku harus minta maaf.’
Aku pejamkan mata.