Demi menghindari bui, Haira memilih menikah dengan Mirza Asil Glora, pria yang sangat kejam.
Haira pikir itu jalan yang bisa memulihkan keadaan. Namun ia salah, bahkan menjadi istri dan tinggal di rumah Mirza bak neraka dan lebih menyakitkan daripada penjara yang ditakuti.
Haira harus menerima siksaan yang bertubi-tubi. Tak hanya fisik, jiwanya ikut terguncang dengan perlakuan Mirza.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadziroh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Membuat surat perjanjian
Bibir Haira tak henti-hentinya memohon pada beberapa polisi yang melintas di depan sel. Memasang wajah melas dan meminta ampunan. Sepuluh jemarinya terus menggenggam rakitan besi yang mengurung dirinya saat ini. Matanya sembab dan memerah. Wajahnya layu dengan rambut yang berantakan.
"Obati luka kamu!" Seorang petugas datang membawa salep dan juga kapas. Menyodorkan ke arah Haira tanpa membuka pintu.
Haira mengambilnya tanpa bertanya. Percuma saja, mereka tidak akan menganggapnya, apalagi mendengarkan kata-katanya.
Bagi orang lain, dirinya bukan apa-apa. Hanya kelinci kecil yang tidak berhak untuk membela diri. Semua hanya berpihak pada mereka yang memiliki harta dan kekuasaan.
Ia duduk lalu membersihkan setiap luka di tubuhnya. Membersihkan darah yang mulai mengering. Ternyata luka itu tak seberapa sakitnya dibandingkan dengan hatinya yang kini tersayat.
Bagaimana nasib nenek Jubaida dan Nada sang adik, pasti mereka akan bertanya-tanya tentang kabar dirinya yang kini mendekam di penjara. Apa yang akan terjadi jika dirinya dihukum seumur hidup seperti ucapan Mirza.
"Aku harus melakukan sesuatu supaya nenek dan Nada tidak mendengar kabar ini."
Mata sembab Haira mulai menyipit. Seharusnya ini waktu nya ia beristirahat setelah seharian penuh bekerja. Namun, ia harus bergelut dengan otaknya mencari cara untuk bisa keluar dari tempatnya saat ini.
"Pak, tolong saya!" ucap Haira untuk yang kesekian kali.
Polisi yang berjaga hanya menatap tanpa ingin mendekat. Itu sudah biasa dilakukan semua tahanan, memohon untuk dilepaskan dengan berbagai alasan.
"Saya tidak bersalah," lanjut Haira dengan suaranya yang semakin serak dan hampir habis. Setelah tak mendapat respon, terpaksa ia pasrah menerima nasibnya.
Mendaratkan tubuhnya di lantai yang sangat dingin. Tidak ada alas sedikitpun untuk menghangatkan tubuhnya, bahkan Haira memakai kedua tangannya sebagai bantal.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Acara pemakaman sudah usai, kini semua itu tinggal kenangan. Hari yang seharusnya bahagia berubah menjadi duka. Karangan bunga kini berbalik menjadi ucapan bela sungkawa atas musibah yang menimpa.
Mirza memakai lagi kaca mata hitamnya lalu turun dari mobil. Mencoba sekuat hati untuk tidak meneteskan air mata. Meskipun luka itu sangat mendalam, ia harus bangkit dari keterpurukan.
"Maaf, aku baru datang." Suara berat menyapa di depan gerbang. Seorang pria tampan dan bertubuh kekar itu berhamburan memeluk Mirza yang tampak lesu.
"Nggak papa." Mirza menepuk bahu lebar Aslan sang sahabat sambil tersenyum paksa. Keduanya berjalan bersejajar lalu masuk, diikuti beberapa ajudan yang bertugas.
"Aku dengar orang yang menabrak Lunara sudah tertangkap," ucap Aslan memastikan.
Mirza menggebrak meja. Jika teringat wajah Haira, amarahnya kembali memuncak di ubun-ubun dan ingin segera menghabisi wanita itu.
Tatapannya kembali tajam saat mengamati foto Luna yang masih terpajang di dinding ruang tamu. Senyum manis gadis itu seakan tak akan hilang dalam ingatan.
"Aku akan menghabisinya secara perlahan, dia harus merasakan apa yang aku rasakan saat ini." Mengepalkan kedua tangannya dengan mata yang tak berkedip.
Aslan merinding mendengar perkataan itu, tubuh Mirza seperti dirasuki setan yang terkutuk hingga tak punya belas kasihan.
"Permisi, Tuan," sapa Erkan yang baru saja tiba.
Hemmm
Hanya itu jawaban Mirza saat membuka kacamatanya.
"Nama gadis itu Haira, asalnya dari pinggiran kota dan bekerja di pabrik garmen milik, Tuan. Dia tinggal dengan nenek dan juga adiknya, saat ini ia menjadi tulang punggung keluarga. Mereka hanya keluarga miskin dan tidak punya apa-apa."
Apa yang bisa dihancurkan selain tubuh dan harga dirinya.
Mirza tersenyum licik mendengar penjelasan dari Erkan.
Mirza menyungutkan kepalanya ke arah ruang kerja. Setelah Erkan pergi, Mirza pun beranjak dari duduknya meninggalkan Aslan. Mengikuti langkah sang sekretaris.
"Apa yang ingin Anda lakukan, Tuan?" tanya Erkan setelah menutup pintu.
Mirza berdiri di depan jendela dengan kedua tangan dimasukkan ke kantong celana. Memunggungi Erkan yang ada di belakang pintu.
Tidak ada yang sulit bagi Mirza, apapun bisa ia kendalikan, termasuk hidup Haira. Namun, ia akan mencari cara yang tepat untuk semua itu.
"Aku akan menikahinya."
Seketika Erkan membulatkan mata. Dadanya bergemuruh dengan detak jantung tak karuan. Entah apa yang akan dilakukan Mirza, Erkan mempunyai firasat yang buruk.
"Ap… apa maksud, Tuan?" tanya Erkan terputus, bahkan ia meraih tisu yang ada di meja untuk mengusap peluh yang kian deras menembus pori-porinya.
"Buatkan surat perjanjian, dan tulis secara terperinci. Setelah dia menikah denganku, maka dia adalah milikku. Jika dia setuju, aku akan membebaskannya dari penjara. Tapi jika tidak, dia akan menghabiskan hidup di bui untuk selama-lamanya."
Ada senyum mengerikan yang mengembang di sudut bibir Mirza, Erkan tahu maksud dari semua itu, namun ia tak bisa mencegah ataupun menghindar.
Surat perjanjian hitam di atas putih sudah di buat. Erkan menulis sesuai keinginan Mirza. Ia membaca dengan lantang tulisan acara pernikahan yang berkedok hukuman itu.
"Poin terakhir, dengan ini aku menyerahkan seluruh hidupku untuk Tuan Mirza." Suara Erkan terdengar begitu lantang hingga menggema di seluruh ruangan.
Mirza tertawa keras. Peraturan itu membuatnya puas, bahkan belum apa-apa pun dirinya sudah yakin jika Haira akan memilih nya.
Suara ketukan pintu menghentikan perbincangan Mirza dan Erkan. Sang sekretaris membuka pintu menatap gerangan yang datang.
"Ngapain kamu ke sini? Tuan Mirza tidak mau diganggu," sapa Erkan ketus.
"Aku hanya mengantarkan ini." Menunjukkan secangkir kopi hitam di tangannya.
Erkan melebarkan pintunya membiarkan wanita itu masuk.
"Maaf, Kak. Bukan maksudku mengganggu, aku hanya tidak ingin kamu larut dalam kesedihan."
Mirza mengangkat tangannya. "Keluar dari sini, aku tidak ingin bertemu siapapun, termasuk kamu," usir Mirza dengan nada sinis.
Mau sampai kapan kamu membenciku, Za. Tapi aku tidak akan tinggal diam, sekarang aku memang belum mendapatkan kamu, tapi nanti, aku yakin kamu akan bertekuk lutut padaku.
Wanita itu meninggalkan ruangan dengan hati kesal.
"Arini," sapa seseorang yang ada di balik tangga.
Ya, wanita tadi adalah Arini. Dia adalah sepupu Mirza, namun juga sangat mencintai sang kakak. Bahkan cintanya tak surut meskipun Mirza sudah hampir menikah. Bagi Arini, Mirza bukan milik siapa-siapa, termasuk Lunara.
"Ayla, ngapain kamu ke sini?" tanya Arini menghampiri Ayla yang ada di ambang pintu.
Aslan yang belum pergi pun hanya menatap kedua wanita itu.
"Aku mau bertemu dengan Mirza. Aku mau memberikan ini." Menggenggam sebuah kotak putih di tangannya.
Arini hanya menatap tanpa ingin menyentuhnya.
"Apa itu?" tanya Arini menyelidik. Menatap benci pada setiap wanita yang mendekati kakaknya.
"Hanya ucapan bela sungkawa, dengan ini aku yakin Mirza akan cepat melupakan Lunara."
"Berikan padaku, biar aku saja yang memberikan pada kak Mirza, sekarang dia sedang istirahat."
Terpaksa Ayla memberikan kotak itu dengan berat hati.
𝚑𝚎𝚕𝚕𝚘 𝚐𝚊𝚗𝚝𝚎𝚗𝚐 𝚜𝚊𝚕𝚊𝚖 𝚔𝚗𝚕 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚊𝚞𝚗𝚝𝚢 𝚊𝚗𝚐𝚎𝚕𝚊 🤣🤣