Hanasta terpaksa menikah dengan orang yg pantas menjadi ayahnya.
suami yg jahat dan pemaksaan membuatnya menderita dalam sangkar emas.
sanggupkah ia lepas dari suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elara21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hanasta
Wanita berusia 25tahun terdiam menatap punggung seorang lelaki yg berusia sama dengannya.
Namanya Hanasta dan lelaki itu adalah teman masa kecilnya. Namanya James.
" Setelah menikah dengannya apa aku harus memanggilmu ibu?" Bertanya dengan sinis James melewati wanita itu begitu saja.
Hana menunduk malu,tidak tau harus merespon bagaimana.
Hanasta sudah menikah dengan Ayah James selama 2 tahun ini. Dan selama
Itu jg James tidak pulang ke kediaman Ayahnya.
Hari ini ia terpaksa pulang hanya karena peringatan Hari kematian ibunya.
Menggelengkan kepala kecil Hana mengikuti langkah James yg masuk ke dalam Mansion.
Mansion yg mewah dan luas, bahkan di belakangnya tersedia lapangan Golf ada air terjun kecil dan di arah Utara langsung menembus hutan pinus. Dan jg memiliki landasan helikopter.
" Ini adalah semua properti milik Ibu mu." Ucapan Ayah James,yg bernama Soni dengan tegas seraya menyodorkan berkas berkas berharga. Yg di lapisi sampul
Elegan yg khas.
James mengulurkan tangan dan melihatnya secara seksama. Lalu beberapa saat kemudian ia tertawa meremehkan menatap sang ayah.
" Hah,,Sungguh kau memang hidup dari harta Ibuku dan membiayai wanita itu menggunakan uang ibuku."
Suara James menggelegar tiba tiba membuat Hanasta yg di seberang meja mencengkram tangannya erat-erat.
" Dengar James sekarang Hana adalah Ibu mu kau sudah harus terbiasa. Walau pun ibu tiri. " Balas Soni seraya menatap Hana dengan tatapan misterius.membuat punggung Hana mendingin dan jantungnya berpacu dengan cepat.
" Syarat Ibumu sederhana, Kau harus menikah jika menginginkan peninggalan itu.tapi, jika kau tidak mau semua akan di limpahkan pada Hanasta."Soni Tersenyum seraya menyeruput teh yg sudah terhidang di meja.
Ucapan Soni membuat suasana semakin mencekam, James menatap pasangan itu dengan tatapan kebencian.
Ia sangat tidak rela jika peninggalan Ibunya akan jatuh pada wanita itu.sekali pun wanita itu pernah jadi bagian 'masa lalunya'.
Dulunya ia tidak tertarik dengan harta itu bahkan sampai kini. Ia tidak kekurangan uang, Tapi, kenapa Harus
Wanita Ini yg jadi Ibu sambungnya.
Apakah Ayahnya tidak bisa dapat wanita lain.
Kenapa,, wanita yg pernah berlabuh di hatinya harus memilih Ayahnya.
" Kau tenang saja, Aku tidak akan membiarkan peninggalan Ibuku jatuh pada orang asing." Final James lalu melangkah meninggalkan pasangan itu yg terpaku.
Syaartt...
Dentingan gelas terdengar anggun
Bergesekan dengan piring kecil di bawahnya.
Hasilnya..
Tumpahan kopi panas itu mengenai wajah Hanasta.
Wanita itu terdiam menutup mata mendapat perlakuan
Seperti ini. Ia bagaikan patung poselen yg di hias dengan sedemikian
Rupa.
" Kau lihat,, anak Itu bahkan tidak rela harta ibunya jatuh padamu." Hahahahahaha...!!!!. Tawa Soni menggema dengan angkuhnya berdiri hingga Hanasta bagaikan kurcaci yg mengecil.
" Sepatu." Ucap Soni Dingin membuat Hanasta tiba tiba berdiri dan berlari
Ke rak sepatu dan mengambil yg berwarna hitam kulit.
Setelahnya Hana kembali lagi dan menunduk melepas sepatu Soni
Lalu memakaikan kembali dengan sepatu yg baru. Ia bagaikan pelayan yg siap sedia dengan semua suasana
Hati Soni.
Dan yg mirisnya beberapa pelayan menatap remeh pada Hana yg diperlakukan begitu.
Di Depan James ,Soni memperlakukan Hanasta layaknya Isteri yg dicintai.
Tapi, begitu punggung James berbalik
Perlakuan Soni kembali seperti biasanya.
Soni mengulurkan Tangannya pada Hana membuat Wanita itu dengan
Sigap menggulung lengan baju Soni.
Karena gemetar tidak sengaja Hana salah di gulungan ketiga.
Tuk
Soni mengetuk kepala Hana seperti mengetuk pintu.
" Kau tau kesalahanmu.?" Soni bertanya mengancam.
Hana menganggukan kepala.
" Ya,,Tuan saya Tau.." ucap Hanasta mencicit.
" Pergi." Tegas Soni.
Hana menunduk dalam-dalam, tubuhnya sedikit membungkuk sebagai tanda hormat sebelum melangkah mundur. Setiap gerakannya hati-hati, seolah satu suara napas saja bisa memicu amarah lelaki itu.
Hingga akhirnya ia menoleh sekilas menuju pintu…
dan berhenti.
James berdiri di ambang sana.
Sorot matanya gelap—bukan lagi hanya marah pada ayahnya, tapi sesuatu dalam tatapan itu menangkap kejadian barusan. Tangannya mengepal di samping tubuh, rahangnya mengeras.
Namun Hana segera menunduk, tidak ingin mengundang masalah lain. Ia berjalan melewati James, berusaha tampak tenang, padahal wajahnya masih perih oleh sisa panas kopi yang kini menempel seperti luka bakar halus.
Sebelum benar-benar lewat, James berbisik rendah, suaranya dingin:
“Jadi… ini yang terjadi kalau aku tidak pulang?”
Hana tidak menjawab. Tidak boleh menjawab.
Ia hanya terus berjalan, menjaga langkah tetap stabil, walau jantungnya terasa seperti hendak runtuh.
James menutup pintu ruang kerja begitu Hana pergi.
“Hentikan permainanmu,” ucap James datar. “Atau aku benar-benar akan pergi tanpa melihat wajahmu lagi.”
Soni hanya tertawa kecil, santai seperti tidak terjadi apa-apa.
“Permainan? Aku hanya mendidik istriku Dia bukan gadis kecil manja lagi. Lagipula… dia harus tau tempatnya.”
James mendekat, menyambar berkas warisan itu dari meja dan menggebrak balik ke permukaan kayu di depan ayahnya.
“Apa kau lupa?” suara James dalam, terkendali, namun penuh ancaman.
“Dulu aku yang menemukannya. Aku yang menolongnya. Bukan kau.”
Tatapan Soni berubah tajam.
“Dan sekarang dia milikku,” jawabnya. “Kau terlambat, James.”
James menatap ayahnya lama. Sangat lama.
Seolah sedang menahan sesuatu yang sejak dua tahun lalu ia kubur dalam-dalam—amarah, rasa bersalah, dan sesuatu yang lebih rumit dari semuanya: luka lama yang belum sembuh.
“Kalau begitu,” James berkata akhirnya, suaranya serak, “jangan salahkan aku kalau aku masuk dalam permainanmu… tapi dengan caraku.”
Sementara itu, di lorong gelap menuju kamar tamu, Hana berhenti. Tangannya gemetar saat menyentuh pipinya—panasnya masih menusuk.
Ia menarik napas dalam, mencoba menahan tangis.
Tapi sebelum ia sempat kembali mengatur dirinya, suara langkah kaki mendekat.
Tap. Tap. Tap.
James muncul dari balik sudut lorong, bayangannya besar dan tegas diterangi lampu dinding.
Hana tersentak.
James berhenti tepat di depannya.
“Lihat aku,” katanya.
Hana menggeleng cepat. “Ma-maaf… saya harus"
“Hanasta,” James menahan pergelangan tangannya.
Nada suaranya berbeda. Lebih lembut. Lebih… mengenalinya.
“Siapa yang melakukan itu padamu?”
Hana menutup mata.
Tak ada jawaban. Hanya air mata kecil yang akhirnya jatuh.
James menarik napas panjang, rahangnya kembali mengeras.
“Mulai malam ini,” katanya perlahan, “aku tidak akan berdiri diam lagi.”
Hana terkejut, memandangnya dengan mata melebar.
James menunduk sedikit, menatap langsung ke luka merah di pipinya.
“Aku janji.”
Dan di detik itu, Hana tahu keputusan James untuk menikah demi syarat warisan…
bukan sekadar soal harta.
Tapi tentang sesuatu yang jauh lebih berbahaya.
Sore itu langit mulai meredup. Lampu-lampu kristal di seluruh mansion mulai dinyalakan, menyinari ruang utama yang mewah ruangan yang hanya dipakai ketika keluarga besar Soni berkumpul.
Hari ini, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, semua kerabat datang.
Para saudara Soni, paman-tante James, dan beberapa rekan bisnis penting duduk rapi di kursi panjang. Mereka berbicara pelan, penuh sopan santun… sampai pintu besar di ujung ruangan terbuka.
Semua mata beralih ke sana.
Yang muncul adalah Hana.
Hana berjalan pelan, mengenakan gaun krem sederhana. Wajahnya rapi, namun bekas kemerahan di pipinya belum hilang sepenuhnya. Walau sudah ia tutupi, tetap saja beberapa orang menatap dengan kening berkerut.
Bisik-bisik kecil mulai terdengar.
“Itu istri muda Soni?”
“Cantik… tapi terlihat ketakutan.”
“Apa dia baik-baik saja?”
Hana menelan rasa malu itu dan menunduk. Ia sudah terbiasa menjadi bahan pandangan, tapi tidak pernah semenyakitkan hari ini.
Tak lama kemudian, Soni masuk—senyum lebar, penuh wibawa—mengulurkan tangan menyapa para tamu seolah ia suami yang penuh kasih.
“Aku minta maaf, istriku agak lelah,” katanya kepada seorang tante tua.
“Dia masih pemalu.”
Hana hanya bisa mengangguk kecil.
Dan setelah itu, sosok yang paling ditunggu memasuki ruangan.
James.
Begitu James melangkah masuk, suasana seketika berubah.
Para kerabat berdiri menyambut, memuji, memanggil namanya. James terkenal sebagai pewaris cerdas, sopan, dan sukses. Mereka menyayanginya.
James berjalan melewati mereka dengan senyum tipis… tapi senyumnya hilang ketika matanya menangkap Hana di ujung ruangan.
Sorot itu berubah gelap.
Satu detik. Dua detik.
Dan seluruh keluarga melihat momen itu.
Soni buru-buru berdiri dekat Hana, memegang bahu Hana seolah penuh kasih sayang.
“Hana,” suara Soni terdengar manis, terlalu manis,
“kemarilah, duduk di sebelahku.”
James melihat tangan ayahnya menekan bahu Hana.
Tangannya mengepal.
Tante besar dari pihak ibu James, Tante Mariana, sempat bersuara pelan:
“James… wajahnya Hana kok merah begitu?”
Soni langsung tersenyum palsu.
“Dia tersiram air panas sedikit tadi. Kecelakaan kecil.”
Hana menunduk, menggigit bibir menahan diri.
Air panas? Itu jelas bukan kecelakaan dan James mengetahuinya.
“Air panas?” Mariana mengerutkan kening. “Dari mana? Tidak hati-hati ya, Nak?”
Hana membuka mulut ingin menjawab, namun
“Biar aku yang jawab.”
James memotongnya.
Semua mata menoleh ke arah James.
Ia berjalan perlahan ke tengah ruangan.
Tatapannya menancap pada ayahnya dan tangan yang masih bertengger di bahu Hana.
Dengan satu gerakan, James menarik kursi di sebelah Hana dan duduk tepat di sana—sangat dekat—hingga Soni harus melepaskan bahunya.
Soni terdiam.
James membenarkan posisi duduknya, lalu berkata dengan suara yang sangat tenang, tapi dingin:
“Yang menyiram air bukan kecelakaan.”
Senyumnya miring.
“Bukan juga kesalahan Hana.”
Ruangan mendadak hening.
Beberapa kerabat saling pandang.
Hana terpaku.
Soni menajamkan mata, memperingatkan diam-diam.
James lalu menatap tepat ke arah ayahnya.
“Dan aku harap,” ia berkata pelan, jelas,
“tidak ada kejadian seperti itu lagi. Tidak di depan keluarga kami. Tidak ketika aku sudah kembali.”
Semua orang terdiam, udara menegang.
Tante Mariana menutup mulut, kaget.
Paman Adrian memandang tajam ke arah Soni.
Rumor pun mulai berputar diam-diam.
Hana menunduk, tangan di pangkuannya bergetar.
Soni tersenyum. sangat tipis, sangat berbahaya.
“James,” katanya sambil tertawa kecil,
“kau mulai lancang.”
James hanya menatapnya lurus.
“Aku baru memulai.”
Pertemuan keluarga yang seharusnya tenang, berubah menjadi panggung perang dingin.
Dan semua itu karena satu hal:
James tidak lagi mengabaikan apa yang terjadi pada Hana.
By : Elara21
: sen, 10 nov 2025.