Dunia pernah mengenalnya sebagai Theo Vkytor—penulis jenius di balik Last Prayer, karya horor yang menembus batas antara keimanan dan kegilaan. Tapi sejak kemunculan Flo Viva Mythology, game yang terinspirasi dari warisan kelam ciptaannya, batas antara fiksi dan kenyataan mulai runtuh satu per satu. Langit kehilangan warna. Kota-kota membusuk dalam piksel. Dan huruf-huruf dari naskah Theo menari bebas, menyusun ulang dunia tanpa izin penciptanya.
Di ambang kehancuran digital itu, Theo berdiri di garis tak kasat mata antara manusia dan karakter, penulis dan ciptaan. Ia menyaksikan bagaimana realitas menulis ulang dirinya—menghapus napasnya, mengganti jantungnya dengan denyut kode yang hidup. Dunia game bukan lagi hiburan; ia telah menjadi kelanjutan dari doa yang tidak pernah berhenti.
Kini, ketika Flo Viva Mythology menelan dunia manusia, hanya satu pertanyaan yang tersisa.
Apakah Theo masih menulis kisahnya sendiri… ataukah ia hanya karakter di bab yang belum selesai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Girenda Dafa Putra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Simfoni Hijau dari Akhir Dunia
...Chapter 1...
Terjadi letupan nan mengguncang permukaan tanah.
Udara di sekitar seakan menelan dirinya sendiri, lalu memuntahkan warna hijau menyala nan menggelegak bagai cairan dari dunia yang belum pernah dijamah manusia.
Api itu bukan sekadar panas, melainkan sesuatu nan menolak untuk dipahami; seolah memiliki kesadarannya sendiri, menari liar sambil melumatkan pandangan mata siapa pun yang berani menatap.
Dalam kehijauan tersebut, dunia berubah menjadi kabut tebal.
Bukan dari asap, melainkan dari cahaya yang terlalu padat, terlalu pekat untuk disebut hanya sekadar sinar.
Segala bentuk kehilangan identitasnya.
Pepohonan, tanah, bahkan langit seakan melebur ke dalam kegelapan yang menyamar menjadi terang.
Dari pusaran api hijau, sesuatu yang tipis dan mematikan muncul.
Ia berkilat seolah dibuat dari sinar logam yang dicelupkan ke dalam darah bintang, melesat begitu cepat hingga udara pun tak sempat bergetar.
Tidak ada bunyi ledakan kedua, hanya desir halus yang datang terlambat setelah bencana sudah terjadi.
Lima sosok nan berdiri di tepian area itu, awalnya tampak seperti bayangan hitam yang terperangkap dalam tirai cahaya, kini mulai terkulai satu per satu.
Benda yang menyerupai tusuk gigi itu menembus tubuh mereka tanpa ampun, meninggalkan lubang-lubang kecil yang nyaris tak terlihat namun berdampak seperti kutukan.
‘Daging membeku, darah berhenti, dan napas mematung di udara.’
Waktu terasa lumpuh.
Daun-daun yang semula melayang di udara berhenti jatuh—dan suara angin yang biasanya berbisik di antara rerantingan lenyap seolah ditelan dimensi lain.
Tak ada saksi yang cukup dekat untuk memahami apa yang baru saja terjadi.
Hanya keheningan paling menggantung seperti kabut dingin nan enggan menguap.
Di tanah, sisa-sisa pijar hijau masih menari pelan, menyerupai makhluk kecil yang mencari korban berikutnya.
Bau ozon bercampur dengan aroma logam terbakar memenuhi udara, dan di balik tirai cahaya itu, dunia seakan menahan napas, takut bahwa satu gerakan kecil saja bisa membangunkan sesuatu yang lebih mengerikan.
“Erietta, bagaimana keadaanmu?”
“Rileks, santai dan tak ada beban.”
Ledakan kembali mengguncang tanah, menghamburkan puing-puing kecil yang berputar di udara seperti hujan kaca.
Cahaya yang lahir dari letupan itu begitu menyilaukan hingga memantul di setiap permukaan, menelanjangi bayangan nan bersembunyi di balik reruntuhan.
Dari kepungan cahaya, sosok seorang gadis muda—Erietta Bathee—muncul dalam gerakan spontan, tubuhnya menegang seperti naluri binatang nan terlatih menghadapi maut.
Usianya belum genap delapan belas, namun refleksnya sudah seperti milik seseorang yang terbiasa menari di antara garis hidup dan mati.
Kaki-kakinya melangkah mundur dengan cepat, seolah bumi di bawahnya bisa meledak kapan saja, dan udara di sekitarnya ikut terbelah oleh gerakannya yang mendadak.
Serangan datang tanpa bentuk, tanpa arah yang pasti, seakan diluncurkan dari ketiadaan.
Tidak ada kilatan logam atau ledakan sihir yang bisa dilihat mata.
Hanya sensasi dingin yang menyelinap seperti racun di udara, mengincar satu titik—Erietta Bathee.
Namun, entah oleh naluri, keberuntungan, atau sesuatu yang lebih misterius, gadis itu berhasil menghindar tepat di momen yang seharusnya menjadi akhir baginya.
Tubuhnya berputar, menghindari hantaman yang tak terlihat, sementara debu dan serpihan cahaya menghujani tanah tempat ia berdiri beberapa detik sebelumnya.
Udara bergetar setelahnya.
Ruang di sekeliling Erietta terasa bergeser, seperti dunia mencoba menyesuaikan diri terhadap sesuatu yang baru saja tak masuk akal.
Detak jantungnya berpacu, seirama dengan denyut bumi yang baru saja tersentuh kekuatan asing.
Ada bekas panas nan tertinggal di kulit.
Tak terlihat namun terasa menusuk hingga ke tulang, menandakan bahwa serangan tadi bukanlah hal biasa.
Dalam keheningan yang mulai merambat, kilasan memori tentang sesuatu yang baru saja dikatakannya berkelebat di benaknya—responnya terhadap pertanyaan seorang pria, yang kini menggantung di udara bagai sisa gema dari percakapan yang tak seharusnya terjadi di tengah neraka seperti ini.
Keberuntungan masih berpihak padanya, setidaknya kali ini.
Erietta Bathee, nama yang diucapkan lembut seperti desau dedaunan namun membawa beban keheningan nan panjang.
Rambutnya berwarna hijau rindang.
Bukan hijau biasa, melainkan rona yang tampak seolah bumi sendiri menunduk memohon untuk menirunya.
Setiap helaian tampak hidup, berkilau oleh cahaya alam yang mengalir seperti embun di ujung daun pagi.
Bila ia berjalan di antara rerumputan, warna hijau di sekitarnya kehilangan percaya diri, seolah tunduk pada kesegaran nan terlalu suci untuk disamakan.
Di bawah langit senja atau cahaya lilin malam, rambut itu bergetar lembut, mengingatkan pada rimba nan menyimpan rahasia kehidupan dan kematian dalam diamnya sendiri.
Ia bukan sekadar siswi di Akademi Bintang.
Karena ia adalah bagian dari legenda yang sedang ditulis tanpa tinta.
Memasuki akademi itu pada usia empat belas tahun, Erietta telah menapaki tiga musim pembelajaran penuh ujian dan misteri, menempuhnya tanpa perlu kata—hanya dengan tatapan nan mampu membuat siapapun di sekitarnya tahu bahwa dunia nan ia lihat berbeda dari yang dilihat orang lain.
Akademi itu berdiri megah di dataran tinggi, dengan menara-menara nan menembus kabut dan halaman yang luasnya menyaingi kota kecil.
Namun di antara ratusan murid yang berjalan dengan seragam kebanggaan, hanya Erietta nan langkahnya terasa bergaung, seolah lantai batu itu mengenalinya lebih dulu sebelum kakinya menyentuh.
Suatu ironi, bahwa di tempat yang melatih para calon penjaga cahaya, gadis dengan aura selembut dedaunan itu sering kali menjadi pusat kegelisahan.
Ada sesuatu di balik ketenangannya, sesuatu nan bahkan matahari enggan menyinari terlalu lama.
Tatapannya tenang, namun di dalamnya tersembunyi percikan kekuatan yang belum siap dilepaskan ke dunia.
Ketika ia berjalan melewati taman tengah akademi, bunga-bunga seakan menoleh, mengiringinya dalam kesunyian nan hanya bisa dirasakan.
Bukan didengar.
Namun bagi yang cukup peka, udara di sekelilingnya bergetar—halus, tetapi nyata—menandakan bahwa sesuatu di dalam dirinya sedang menunggu untuk dibangkitkan.
Sejujurnya, ini bukan waktu tepat untuk terus berbicara.
"Masih bisa terus menyerang?"
"Ada sedikit kendala, tapi bukan halangan. Lenganku masih berfungsi, dan pedang ini masih mau menebas."
"Jangan gegabah mengandalkan kekuatan.
Di sini, satu momen lengah bisa langsung menjadi akhir segalanya."
"Kau kira aku tidak tahu?"
"Tahu tidaklah berguna jika tidak diingat.
Lihat semua orang yang mati ini. Mereka tewas bukan karena lemah, tapi karena merasa terlalu aman."
"Baiklah-baiklah, aku akan menjaga diri.
Tapi jangan harap aku akan membiarkanmu bersenang-senang seorang."
"Tak perlu janji kosong.
Tetaplah hidup, itu yang kepala sekolah dan kesadaran ini minta."
Menghiraukan tubuh-tubuh tak bernyawa yang berserakan di tanah, Erietta Bathee berdiri, memantapkan kehadiran di antara kabut kehijauan yang perlahan menipis.
Udara di sekitar masih berbau besi dan tanah hangus, menyerupai sisa doa yang gagal sampai ke langit.
Napasnya terengah.
Bukan karena kelelahan, melainkan karena dunia di sekelilingnya baru saja meledak menjadi kekacauan.
Ia menarik napas dalam, lalu menghembuskannya cepat, ritmenya sedikit lebih berat dari biasanya.
Gaun akademinya nan lusuh oleh debu dan darah bergetar pelan tertiup angin, menandakan bahwa hidup masih terasa di tengah pemandangan yang seolah sudah menyerah pada maut.
Dalam diam nan menindih, pandangannya beralih pada sosok pria di antara reruntuhan.
Ilux Rediona.
Cahaya kehijauan dari sisa api memantul di wajahnya, menyingkap ketegangan nan bersembunyi di balik sorot matanya.
Erietta berjalan perlahan mendekat, langkahnya menimbulkan gema lembut di atas tanah yang retak.
Ketika ia berhenti seraya memunggunginya, dunia terasa kembali menahan napas.
Bersambung….