NovelToon NovelToon
Dunia Raka

Dunia Raka

Status: sedang berlangsung
Genre:Perperangan / Penyelamat / Action / Spiritual / Epik Petualangan / Fantasi
Popularitas:274
Nilai: 5
Nama Author: Lukman Mubarok

Kisah perjalanan Raka melakukan ujian Prahya sebelum resmi menjadi Rasi seorang guru Spiritual.

Perjalanan terkadang tidaklah mudah tapi bisa melewatinya dengan kesabaran dan kebijaksanaan.

Kisah ini ada di zaman neolitikum atau zaman batu muda dimana orang orang berpindah tempat nomaden kini menetap peralatan dan berburu masih sederhana menggunakan batu di poles halus menjadi pisau batu, tombak batu dan panah batu.

Tapi ada satu Kerajaan besar zaman neolitikum yang sangat maju peradabannya bahkan sangat di takuti suku suku lain dan bahkan di negeri lain.

Kerajaan itu adalah Lakantara berdiri di atas tanah dengan tembok melingkar konsentris lapis ada 5 tembok dgn status yang berbeda.

Sudah mengenal sistem irigasi, pertanian, sosial, ekonomi dan senjata yang terbuat dari perunggu yang lebih keras dari senjata batu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lukman Mubarok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 1 - Tangan Penguasa Suara Takdir

‎8.000 tahun silam, berdiri megah sebuah kerajaan besar bernama Lakantara, dengan dinding melingkar bertingkat yang membentuk lapisan seperti target raksasa.

‎Di pusatnya, menjulang istana kerajaan, simbol kekuasaan Yarun Rahu Ama.

‎Setiap tembok dikelilingi kanal yang mengalirkan air langsung dari laut, memungkinkan kapal-kapal kecil dan perahu dagang menembus hingga halaman istana.

‎Suasana kerajaan sibuk dan hidup; suara dayung berpadu dengan deru air, sementara pedagang membawa logam, arang, dan hasil hutan dari seluruh pelosok negeri.

‎Di balik kemegahan tembok melingkar Lakantara, terselip sisi gelap kerajaan yang jarang terlihat mata para bangsawan.

‎Para pekerja paksa melangkah tergesa-gesa di sepanjang kanal, membawa bijih tambang yang berat untuk tungku pembakaran.

‎Api di tungku menyala membara, mengepulkan asap tebal ke langit, sementara tangan-tangan kasar menuangkan tembaga cair.

‎Logam merah menyala itu menetes dan melapisi dinding istana, memantulkan cahaya panas yang menari-nari di wajah-wajah letih para pekerja.

‎Setiap tetes kilau logam adalah saksi bisu dari jerih payah dan penderitaan yang menyelimuti kemegahan kerajaan.

‎Di sekeliling istana, kontras kehidupan kerajaan tampak jelas.

Para pekerja paksa, hanya mengenakan kain penutup pinggang dari serat kasar dan tanpa alas kaki, berlari-lari membawa bijih tembaga menuju tungku pembakaran yang menyala seperti perut naga.

‎Asap tebal dan percikan api menutupi dinding melingkar, tangan mereka memerah oleh logam cair yang berjatuhan.

‎‎Di sisi, tentara bersambuk berdiri tegap, rambut panjang diikat bulat di atas kepala, matanya tajam mengawasi setiap gerakan.

Tubuhnya dibalut kain hitam dari serat rami yang dililitkan silang di dada, meninggalkan bahu kanan terbuka.

Celana hitam sepinggul menutupi hingga lutut, diikat tali kulit di pinggang.

Di punggungnya tergantung cambuk dari kulit kering, ujungnya diselipkan di sabuk. Wajahnya keras, dihiasi garis arang sebagai tanda kesetiaan pada tuannya.

‎Suara logam beradu, teriakan pengawas, dan deru kanal berpadu menjadi simfoni keras kehidupan Lakantara, menyelimuti kemegahan istana dengan realitas keras yang tak terlihat dari kejauhan.

‎Di pusat Lakantara, Yarun Rahu Ama duduk di singgasana tinggi, sayap hiasan menjulang di belakang sebagai simbol kekuasaan ilahi.

‎Kilauan perhiasan perunggu bertatahkan batu gelap memantulkan cahaya tungku, membuat penguasa tampak megah sekaligus menakutkan.

‎Di sekelilingnya, para bangsawan dan bawahan duduk rapih di kursi kecil, mengenakan jubah panjang dari serat murbei dengan sayap hiasan lebih sederhana.

‎Rambut panjang mereka diikat bulat di atas kepala, dihiasi perhiasan tembaga, dan lengan mereka bertabur gelang perunggu yang berkilau, menambah kesan elegan dan mewah.

‎Langit Maruyung merah ungu pertanda gelap datang, langit Lakantara terguncang oleh cahaya hijau yang membelah awan. Dari menara observasi, tiga murid Rasi P'rana seorang spiritual menatap meteor dengan napas tercekat, tubuh gemetar.

‎Tapi mereka bukan satu-satunya yang menyaksikan.

‎Tentara yang berjaga di kanal menahan langkah, mata terpaku pada kilatan cahaya, sementara pekerja paksa dan rakyat biasa di halaman serta di sepanjang kanal bersujud, tak tahu harus berbuat apa, seolah menyembah kekuatan tak dikenal itu.

‎Cahaya meteor memantul di dinding tembok, di permukaan air kanal, dan di wajah-wajah mereka yang pucat ketakutan.

‎Suara langkah tergesa-gesa, teriakan heran, dan desir angin bercampur dengan gemuruh air menjadi simfoni ketegangan yang menaklukkan seluruh Lakantara.

‎Tanpa menunggu, tiga murid berlari menuruni menara, membawa kabar mengerikan itu kepada Rasi P'rana, sementara seluruh kerajaan tetap terdiam dalam takut dan kagum pada fenomena langit yang luar biasa itu.

‎Rasi P'rana, bijak dan waspada, dengan rambut dan janggut yang memutih menambah wibawa pada wajahnya, menatap langit dari celah-celah menara batu yang kokoh.

‎Meteor itu jatuh ramalan yang dulu ia sampaikan kini menjadi kenyataan.

‎Saat para murid menatapnya dengan tegang, Rasi mencondongkan tubuh dan berbisik pelan, kata-katanya nyaris hilang di tengah gemuruh kepanikan di luar menara.

‎Murid-murid mendengarnya, dan diam-diam menyelinap keluar, memanfaatkan perhatian tentara dan rakyat yang terguncang oleh cahaya hijau meteor untuk kabur tanpa diketahui.

‎Tanpa menunda, Rasi P'rana sendiri berlari menuju pusat istana, melewati dua gerbang besar dengan langkah cepat yang bergema di lorong-lorong batu, setiap gerakan penuh urgensi.

‎Sebelum Rasi P'rana mendekati pintu, di ruang rapat, Yarun dan para Sura dan Rana bersenda gurau dengan tawa yang nyaring.

‎Mereka memakan hidangan yang tersaji dengan lahap daging kijang panggang di atas batu panas, umbi hutan yang baru diangkat dari bara, dan biji jewawut rebus yang mengepulkan uap asin.

Mereka minum madhu hasil fermentasi madu, air kelapa dan rempah dari cawan perunggu, meneguknya dengan rakus sambil saling membanggakan hasil perburuan dan kemenangan di medan latihan.

‎Setiap cerita kemenangan dan strategi perang mereka terdengar menggelegar, membuat suasana hangat dan penuh kebanggaan.

‎Yarun, dengan senyum lebar, sesekali menepuk bahu para Sura dan Rana, seolah menegaskan bahwa Lakantara memang tak terkalahkan.

‎Di saat yang sama, Rasi P'rana tiba di pintu ruang rapat. Para penjaga, melihatnya, langsung menghadang.

‎"Rapat sedang berlangsung, tidak boleh masuk!" teriak mereka.

‎Namun Rasi, dengan mata tajam dan sikap tegas, menampar para penjaga itu.

‎Sebuah aura hormat dan kewibawaan menyelimuti dirinya, lebih tinggi daripada kesopanan biasa, sehingga penjaga-penjaga itu terpaksa mundur.

‎Tanpa ragu, Rasi P'rana melangkah masuk, menyusuri deretan Sura dan Rana Yarun yang masih asyik dalam tawa dan cerita mereka.

‎Di dalam ruangan, Yarun Rahu Ama tengah duduk di singgasana, rapat dengan para Sura dan Rana.

‎Suasana sedikit terganggu oleh masuknya Rasi yang terburu-buru. Dengan salam khas tangan disatukan di depan dada dan menunduk hormat Rasi tetap tenang namun berani.

‎"Para Sura, keluar dari ruangan!" perintah Yarun Rahu Ama. Para Sura dan Rana menatap keheranan, lalu meninggalkan ruangan dengan langkah berat, meninggalkan hanya Yarun dan Rasi.

‎Kini suasana menjadi hening, hanya dua mata yang saling bertatapan: Rasi yang berani melaporkan takdir, dan Yarun Rahu Ama yang menatap Rasi, jantungnya berdegup kencang.

‎Kilauan perhiasan perunggu dan jubah panjang tak mampu menutupi gelisah yang menyelimutinya.

‎Rasi P'rana menunduk sejenak, lalu mengangkat kepala, menatap Yarun Rahu Ama dengan mata penuh tekad. "Yang Mulia, ada ancaman yang tidak bisa dianggap remeh. Lakantara sedang berada di persimpangan yang berbahaya," ucapnya, suaranya tenang namun sarat kewibawaan.

‎Yarun Rahu Ama menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri.

‎Tangannya yang memegang sandaran singgasana sedikit mengepal, namun ia tetap menahan diri untuk tidak menunjukkan ketakutan.

‎"Ucapkanlah dengan jelas, Rasi P'rana. Jangan ada kata yang terselip," katanya, suaranya sedikit bergetar karena campuran rasa gelisah dan kewaspadaan.

‎Hening sejenak memenuhi ruangan. Hanya suara langkah ringan Rasi saat ia melangkah mendekat, menambah intensitas ketegangan.

‎Setiap kata yang keluar dari mulut Rasi akan menentukan arah keputusan Yarun dan nasib Lakantara selanjutnya.

‎Rasi P'rana menunduk, mata penuh kekhawatiran. Ia tahu ramalan Ranu Lahu bisa menjadi kenyataan, dan tindakan Yarun Rahu Ama yang serakah memonopoli agama demi kepentingan pribadi akan membawa bencana bagi seluruh kerajaan.

‎"Yarun Rahu Ama... wahyu dari Sang Ranu Lahu, yang telah hidup 14 generasi, kini harus kusampaikan secara rahasia."

‎Yarun mengangguk pelan, menahan napas, menyadari betapa gentingnya momen ini.

‎"Meteor jatuh di barat, di wilayah Suralah.

‎Bahaya yang diperingatkan... kini nyata," lanjut Rasi, suaranya tenang namun menembus ruang hening.

‎"Dengarkan baik-baik... Api hijau turun ke bumi, peringatan untuk memperbaiki amal dan kebaikan, akan meluluhlantakkan istana yang tamak, dan terlahirnya anak," katanya, matanya menatap langsung Yarun, seakan menancapkan setiap kata ke dalam jiwanya.

‎Yarun Rahu Ama menatap diam, menyerap setiap kata.

‎Kilau perhiasan dan jubah panjangnya tak mampu menutupi rasa gelisah yang merayap di hatinya.

‎Ia tahu pesan ini terlalu sensitif untuk didengar siapa pun selain dirinya sendiri. Setiap keputusan yang akan diambil kini memikul beban nasib seluruh Lakantara, dan satu langkah salah bisa menghancurkan segalanya.

‎Suasana di ruangan itu begitu hening, hanya terdengar napas dan detak jantung mereka, seolah dunia di luar istana pun menahan diri menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.

‎Rasi P'rana menunduk, mata penuh kekhawatiran.

‎Ia tahu ramalan Ranu Lahu bisa menjadi kenyataan, dan tindakan Yarun Rahu Ama yang serakah akan membawa bencana.

‎Namun, ia juga sadar bahwa wahyu harus tetap eksklusif, tidak boleh didengar siapa pun selain penguasa.

‎Beberapa tentara penjaga istana memasuki ruangan dengan langkah tergesa, bertekuk lutut dan salam khas: tangan disatukan di depan kepala.

‎"Yang Mulia... tiga murid hilang karena kelalaian kami," lapor mereka dengan suara gemetar, takut akan kemarahan Yarun Rahu Ama.

‎Yarun menatap tajam, wajahnya memerah.

‎Tanpa berkata sepatah kata, ia menampar wajah salah satu tentara dengan keras.

‎"Kecerobohan seperti ini tidak akan dibiarkan!" geramnya, suaranya menggema di seluruh ruangan.

‎"Tangkap dan bunuh mereka!" perintahnya tegas, membuat seluruh tentara bergidik ketakutan.

‎Kemudian Yarun memandang Rasi P'rana. Dua tentara segera menahan kedua tangan Rasi, memastikan ia tak bisa bergerak.

‎Yarun berdiri, menghampiri Rasi, tangannya meraih pisau perunggu di pinggangnya.

‎Detik itu, ketegangan begitu mencekam pisau itu siap menebas nyawa.

‎Namun, Yarun menghentikan langkahnya. Ia menatap Rasi dalam-dalam dan berkata, "Kau tetap dibutuhkan... wahyu ini tetap harus sampai padaku. ‎Tapi kepercayaan itu tidak membuatmu bebas."

‎Dengan gerakan cepat, Rasi P'rana dipenjara dan dipasung, tubuhnya dibatasi agar tak bisa melarikan diri. Pandangannya tetap tajam, penuh keberanian, meski kini berada di bawah kendali Yarun yang kejam.

‎Yarun lalu memanggil seorang Rana Karu panglima besar kerajaan untuk memimpin pasukan istana. "Pergilah ke arah barat," perintah Yarun dengan dingin, matanya bersinar kejam.

‎"Setiap bayi yang baru lahir di sana harus dibunuh. Jangan biarkan ramalan Ranu Lahu menjadi kenyataan."

‎Rana Karu membungkuk hormat, menyadari beratnya tugas yang diberikan.

‎Pasukan mulai bersiap, sementara Yarun Rahu Ama kembali duduk di singgasana, wajahnya tetap tenang namun hatinya dipenuhi keserakahan dan ketakutan terselubung ketakutan terhadap wahyu yang kini menjadi kunci kekuasaannya.

‎Setelah berhasil menembus tembok istana, ketiga murid segera menuju kandang kuda.

‎Di bawah cahaya maruyung, mereka menunggang kuda yang telah dipersiapkan, napas terengah dan jantung berdegup cepat.

‎Udara malam membawa aroma tanah basah dan api unggun yang jauh dari istana.

‎Di sela perjalanan, muncul sedikit perdebatan di antara mereka. "Kita harus segera menemui Ranu Lahu," kata salah satu murid dengan panik.

‎"Bagaimana mungkin kita meminta wahyu dari sosok yang telah hidup 14 generasi lalu? Dia pasti sudah lama meninggal... tak mungkin ada umur panjang seperti itu."

‎Murid lainnya menatapnya tajam, tangan tetap memegang kendali kuda.

‎"Jangan ragukan arahan guru Rasi P'rana," jawabnya tegas.

‎"Jika ia percaya, maka wahyu itu pasti masih bisa kita temui dengan cara yang kita tidak mengerti. Percayalah pada insting dan pelajaran yang diberikan."

‎Akhirnya, ketiga murid itu setuju, walau hati masing-masing masih digelayuti rasa cemas.

‎Mereka menyebar: dua murid menunggang kuda ke arah barat, membawa peringatan tentang serangan tentara dan bencana yang mungkin datang, sementara satunya menoleh ke arah lain, tanpa tujuan pasti, hanya mengikuti insting yang membawanya ke arah selatan, mencari jejak wahyu yang mungkin masih tersisa di dunia.

1
Adrian Koto
gaya penulisannya asik jg. mengalir 👍
Lukman Mubarok: 🙏Terimakasih kak
total 1 replies
Nixney.ie
Mesti dibaca ulang!
Lukman Mubarok: 🙏 Terimakasih
total 1 replies
Tít láo
Gak bisa move on! 😍
Lukman Mubarok: 🙏 Terimakasih
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!