“Mahkota Samudra bukan sekadar lambang kejayaan, melainkan kutukan yang menyalakan api cinta, ambisi, dan pengkhianatan. Di tengah pesta kemakmuran Samudra Jaya, Aruna, panglima muda, terjebak dalam cinta mustahil pada Putri Dyah, sementara Raden Raksa—darah selir yang penuh dendam—mengincar takhta dengan segala cara. Dari kedalaman laut hingga balik dinding istana, rahasia kelam siap menenggelamkan segalanya.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon penulis_hariku, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 1 Fajar di Atas Samudra Jaya
Langit timur berwarna merah keemasan ketika gong besar istana Samudra Jaya berdentum tiga kali. Dentum itu menandai awal perayaan besar: ulang tahun ke-40 Raja Harjaya, penguasa Samudra Jaya yang terkenal adil dan bijaksana.
Di halaman istana, rakyat berkumpul. Pasar dadakan digelar, musik gamelan bertalu, dan aroma sate serta kue manis memenuhi udara. Dari kejauhan, bendera-bendera kerajaan berkibar, menggambarkan kemakmuran yang dicapai selama masa pemerintahan sang raja.
Namun, di balik keriuhan itu, ada hati yang tidak tenang. Semua rakyat diundang ke halaman istana yang luas merayakan ulang tahun raja. Semua rakyat berpesta dengan gembira karena selama raja Harjaya naik tahta kemakmuran rakyat benar-benar terjamin. Tidak seperti raja yang sebelumnya yang bahkan mempunyai anak perempuan akan dianggap hina dan bahkan tidak jarang juga mereka akan dikubur hidup-hidup sangat kejam memang karena itu Harjaya yang saat itu masih muda memberontak mengalahkan raja tirani itu.
Sejak saat itu Harjaya menjadi pahlawan dan diangkat menjadi raja Samudra Jaya. Raja Harjaya berdiri diatas podium lalu memberikan sambutan untuk rakyatnya. Raja Harjaya berdiri tegak di atas podium berlapis emas. Jubah kebesarannya berwarna merah marun dengan hiasan benang emas, melambangkan keberanian sekaligus wibawa. Suaranya lantang, bergema hingga ke sudut-sudut halaman istana yang dipenuhi rakyat.
“Wahai rakyat Samudra Jaya,” serunya, mengangkat kedua tangan, “hari ini bukan hanya perayaanku, melainkan juga hari kebanggaan kita semua. Empat puluh tahun hidupku kupersembahkan untuk menjaga tanah, laut, dan langit yang menaungi kita. Kalianlah kekuatan sesungguhnya. Tanpa rakyat, tak ada kerajaan yang bisa berdiri.” Sorak-sorai rakyat meledak, tabuhan gamelan berpadu dengan genderang perang, membuat suasana semakin megah.
“Selama aku bernapas,” lanjut Harjaya, matanya berkilat, “tak seorang pun akan merampas kebebasan kalian. Tak ada lagi penindasan, tak ada lagi tirani. Samudra Jaya akan terus berdiri tegak, sekuat samudra yang tak pernah kering.” Rakyat bertepuk tangan, beberapa bahkan menangis terharu. Di antara mereka ada orang tua yang masih ingat betapa kelam masa pemerintahan raja tirani sebelum Harjaya bangkit. Setelah sambutan, gong ditabuh, menandakan hadirnya keluarga kerajaan.
Dari sisi kiri panggung, Permaisuri Dyah Kusumawati melangkah anggun. Ia memakai busana kebesaran berwarna hijau zamrud dengan hiasan emas di kepala. Tatapannya lembut, namun tegas. Seluruh rakyat menghormat karena mereka tahu Dyah Kusumawati adalah sosok bijak yang sering mendampingi Harjaya dalam mengambil keputusan penting.
Menyusul di belakangnya, Putri Dyah Anindya Kudumawardhani, satu-satunya putri kandung Dyah Kusumawati. Ia mengenakan kebaya putih gading dengan selendang biru laut. Kecantikannya memukau, namun lebih dari itu, rakyat menghormati Dyah karena kepandaiannya dalam berdiplomasi dan strategi. Banyak yang berbisik, “Andai kelak ia yang memimpin, Samudra Jaya tetap aman.” Kemudian tampil para selir raja selir Pertama, Dyah Ratnaningrum, yang terkenal berjiwa lembut dan sangat disayangi rakyat kecil karena sering memberi derma. Selir Kedua, Ken Suryawati, berparas cantik namun tatapannya licin, seolah menyimpan rahasia. Ia ibunda Raden Raksa. Selir Ketiga Ken Ratriayudya yang tidak terlalu suka mencampuri urusan orang lain tapi selalu mengamati diam-diam pergerakan orang lain, selir keempat Dyah Candrakirana wanita anggun yang lebih banyak diam, namun diam-diam mendukung Putri Dyah dengan setia.
Di belakang mereka, para pangeran berjalan satu per satu. Sorotan mata rakyat paling banyak tertuju pada dua sosok. Raden Raksa, putra selir kedua. Gagah, berwibawa, namun tatapannya penuh ambisi yang sulit disembunyikan. Banyak bangsawan berbisik bahwa dialah pewaris sejati tahta, meski darah ibunya bukan permaisuri. Raden Arya, kakak tiri Raksa dari selir kedua anak dari selir pertama Lebih pendiam dan tidak terlalu menonjol, tetapi berhati tulus.
Dan berdiri tegak di sisi barisan prajurit, Aruna, panglima muda yang diangkat langsung oleh Raja Harjaya karena keberaniannya di medan perang. Ia mengenakan baju zirah sederhana, namun sorot matanya penuh keteguhan. Tak sedikit gadis rakyat jelata yang berbisik-bisik melihat sosoknya.
Raja Harjaya kemudian menutup sambutannya dengan mengangkat kendi emas berisi air suci.
“Dengan restu leluhur dan doa seluruh rakyat, semoga Samudra Jaya terus jaya!”
Rakyat serentak menjawab, “Hidup Raja Harjaya! Hidup Samudra Jaya!”
Namun, di balik gegap gempita itu, beberapa pasang mata saling berpandangan. Raksa menatap Dyah dengan sinis Ken Suryawati menahan senyum tipis. Aruna menatap Dyah dengan ketulusan yang sulit disembunyikan.
Hari itu, Samudra Jaya tampak damai, tapi benih intrik sudah mulai tumbuh di balik tembok istana.
Dalam Balairung Agung, Raja Harjaya duduk di singgasananya, berwibawa dengan jubah emas berhias ukiran naga laut. Di sampingnya, permaisuri Sri Batari tersenyum anggun, sementara para selir duduk berbaris sesuai tingkatan. Putri Dyah, putri tunggal dari Dyah Kusumawati, tampil dengan kebaya putih gading. Ia dikenal bukan hanya karena kecantikannya, tetapi juga kecerdasannya dalam seni strategi dan kepemimpinan. Banyak rakyat diam-diam berharap, kelak Dyah yang akan memimpin mereka. Di sisi lain balairung, tampak dua sosok berbeda. Raden Raksa, putra raja dari selir kedua. Sorot matanya tajam, penuh ambisi yang disembunyikan di balik senyum formal.
Aruna, panglima muda yang gagah, berdiri tegak di barisan depan pasukan kerajaan. Tatapannya selalu tertuju pada Putri Dyah, meski ia tahu hatinya tak berhak berharap. Sementara itu, di dalam istana, Raja Harjaya berjalan perlahan menuju balairung agung. Lantai batu mengkilap, dinding berhias ukiran emas, dan langit-langit menjulang dengan lukisan kisah para leluhur. Begitu beliau masuk, para patih dan punggawa yang sudah menunggu langsung memberi sembah hormat.
“Daulat, Prabu Harjaya!” seru mereka serempak. Patih Agung Nirmala Wisesa, lelaki berusia separuh baya dengan janggut rapi, maju selangkah. Ia menunduk dalam-dalam.
“Paduka, rakyat telah bersuka cita. Perayaan ini menjadi tanda betapa rakyat mencintai raja mereka. Semoga umur paduka panjang, dan Samudra Jaya tetap makmur.” Harjaya tersenyum tipis, matanya menatap penuh kebijaksanaan. “Bukan aku yang membuat mereka makmur, Patih. Rakyat Samudra Jaya kuat karena mereka mau bekerja keras. Tugasku hanyalah menjaga agar tak ada tirani kembali berkuasa.” Di sisi lain, Rakryan Tumenggung Wiranata—kepala pasukan istana—menyembah dengan sikap penuh wibawa. Namun dalam hatinya, ia menaruh iri pada Aruna yang begitu dipercaya mengawal Putri Dyah.
“Paduka, keamanan istana terjaga. Pasukan Bhayangkara siap sedia, tak seorang pun berani mengganggu ketenteraman perayaan ini.” Tak jauh dari situ, Demung Cendhala, pengatur logistik dan perjamuan, menunduk dengan senyum licin. Ia berbisik pada seorang abdi, memastikan hidangan untuk pesta malam nanti berjalan sesuai rencana. Meski tampak setia, banyak yang tahu ia kerap mencari keuntungan pribadi.
Permaisuri Dyah Kusumawati memasuki balairung, disusul oleh Putri Dyah. Sang permaisuri berjalan anggun, sementara Dyah menunduk hormat kepada ayahandanya. Semua mata seketika menoleh, mengagumi keanggunan sang putri.
Namun, dari sudut ruangan, Selir Ken Suryawati menatap pemandangan itu dengan senyum samar. Tangannya meremas halus ujung selendangnya, matanya menyipit penuh perhitungan. Di sampingnya, Raden Raksa berdiri gagah, sorot matanya tajam dan penuh api ambisi. Raja Harjaya mengangkat tangan, menenangkan seluruh yang hadir.
“Hari ini kita bersyukur atas usia yang dianugerahkan Sang Hyang kepada hamba. Tapi ingatlah, masa depan Samudra Jaya bukan di tanganku semata. Ia ada pada kalian semua—para patih, punggawa, dan penerus darah kerajaan.” Ucapan itu membuat balairung hening. Sebagian menunduk dengan hormat, sebagian lain menatap penuh tanda tanya. Tak seorang pun tahu, sambutan itu akan menjadi salah satu yang terakhir dari Raja Harjaya sebelum badai intrik mengguncang istana.
Ketika pesta berlangsung, di sebuah paviliun tersembunyi, para pejabat dan bangsawan berbisik-bisik.
Ada yang memuji kejayaan Raja Harjaya, namun ada pula yang bersekongkol, membicarakan masa depan setelah sang raja wafat.
“Samudra Jaya terlalu besar untuk dipimpin seorang putri,” bisik salah satu bangsawan.
“Raden Raksa lebih pantas… darah prajurit mengalir di nadinya.” Kalimat itu sampai ke telinga Raksa. Ia menunduk, menahan senyum licik. Benih ambisi mulai tumbuh semakin kuat, Ken Suryawati tersenyum menyeringai. Dalam pikirannya berbagai rencana kudeta sudah tersusun dengan rapi.
Di tengah pesta, seekor burung gagak hitam terbang masuk melalui jendela balairung dan hinggap di atas tiang emas. Burung itu menatap tajam ke arah singgasana. Raja Harjaya terdiam sejenak. Ia tahu, dalam kepercayaan kuno, gagak adalah pertanda akan datangnya malapetaka. Permaisuri Dyah Kusumawati menggenggam tangan Raja. Putri Dyah menunduk, mencoba menepis kegelisahan. Sementara Raden Raksa menatap gagak itu… seolah melihat pertanda kemenangan yang kelak menjadi miliknya.
****
Malam telah larut, pesta pun telah usai semua anggota kerajaan dan para abdi dalem membereskan semua bekas pesta ulang tahun Raja mereka.
Raden Raksa kembali ke paviliunnya diikutin beberapa pengawalnya, Lampu-lampu minyak menyala redup, memantulkan cahaya kuning temaram di jalan setapak menuju paviliun milik Raden Raksa. Tempat itu berdiri agak terpisah dari bangunan utama, sebuah bangunan indah berukir naga laut, tetapi suasananya lebih sunyi dan tertutup dibandingkan istana permaisuri atau balairung agung.
Raden Raksa melangkah masuk dengan jubah kebesarannya yang setengah terlepas. Tatapannya murung, meski di bibirnya tersungging senyum tipis yang sulit dibaca. Dua pengikut setianya sudah menunggu di dalam—Sangkara, seorang prajurit yang dulu diselamatkan Raksa dari hukuman mati, serta Jaya Rudra, seorang bangsawan muda yang selalu mendekat pada siapa pun yang ia anggap berpeluang besar naik ke puncak kuasa.
“Baginda tampak letih,” ucap Jaya Rudra sambil menunduk hormat.
“Letih?” Raksa terkekeh pelan, nada suaranya terdengar getir. “Aku bukan letih, Rudra. Aku hanya bosan melihat sandiwara panjang yang dimainkan di balairung tadi.” Sangkara, dengan tubuh tegap dan wajah keras, mendekat selangkah. “Apakah maksud paduka tentang sambutan sang raja?” Raksa duduk di kursi ukiran gading, mengangkat piala perak berisi arak, lalu meneguknya. “Ayahanda bicara seolah masa depan Samudra Jaya ada pada semua orang. Padahal semua tahu… seorang putri tidak pantas memegang kendali negeri sebesar ini. Namun lihatlah, semua mata menatapnya, seakan-akan Dyah Anindya lah cahaya masa depan kerajaan.” Nada suaranya menegang di akhir kalimat. Dari sorot matanya jelas terlihat bara iri dan amarah yang selama ini disembunyikan di balik senyum formal.
Jaya Rudra melirik Sangkara, lalu menunduk dalam-dalam. “Tuan putri memang cerdas, itu diakui semua orang. Tapi hukum alam tak bisa diputarbalikkan. Lelaki yang seharusnya berdiri di singgasana, bukan?” Raksa mengangguk perlahan, menaruh piala perak di meja kayu jati di sampingnya. “Benar. Lelaki… lelaki yang punya keberanian, kekuatan, dan darah raja. Lihatlah aku, darah Harjaya mengalir di nadiku sama derasnya. Hanya karena ibuku bukan permaisuri, kedudukanku dianggap kurang. Padahal, bila aku diberi kesempatan, aku bisa membawa Samudra Jaya jauh melampaui kejayaan hari ini.” Sangkara menunduk hormat, nada suaranya dalam. “Paduka memang yang paling layak. Para prajurit banyak yang diam-diam membicarakan hal itu. Mereka menghormati Aruna, tetapi Aruna hanyalah panglima. Ia bukan darah kerajaan. Sementara Putri Dyah, bagaimanapun pintar dan baiknya, tetap saja seorang wanita. Prajurit hanya mau mengikuti raja yang mereka anggap gagah di medan laga.”
Raden Raksa tersenyum samar, tapi sorot matanya tajam. “Aku tahu. Prajurit haus pemimpin yang bisa mengangkat pedang, bukan sekadar mengangkat pena diplomasi. Dan aku… akan memberi mereka itu.” Jaya Rudra maju selangkah, bersuara lebih pelan, seolah takut dinding paviliun ikut mendengarkan. “Namun jalan menuju singgasana tak akan mudah. Raja Harjaya masih kuat, dan selama permaisuri berdiri di sisinya, Putri Dyah akan selalu mendapat dukungan.” Raksa memejamkan mata sejenak, lalu berkata lirih, “Setiap malam aku mendengar bisikan di telingaku. Bisikan itu berkata, ‘Singgasana itu milikmu, Raksa. Ambil, sebelum terlambat.’ Aku tahu jalannya bukan lewat doa, melainkan lewat darah.”
Sangkara menunduk lebih dalam. “Paduka… bila memang itu kehendak Hyang Agung, hamba bersumpah akan menjadi pedang di tangan paduka. Satu kata saja, hamba akan menggerakkan pasukan yang masih setia.” Raksa membuka matanya, menatap Sangkara lekat-lekat. “Sabar, Sangkara. Semua ada waktunya. Seekor elang tak akan menyerang sebelum sayapnya mengembang penuh. Aku harus menunggu momen ketika ayahanda lengah… atau ketika para bangsawan sendiri mulai ragu.”
Jaya Rudra tersenyum tipis, penuh kelicikan. “Dan momen itu akan segera datang. Banyak bangsawan merasa tak nyaman bila seorang putri memimpin kelak. Mereka tak berani mengucapkannya lantang, tapi mereka berbisik di belakang layar. Bila paduka bergerak, mereka akan memilih sisi yang lebih menjanjikan.” Raksa menghela napas panjang, kemudian berdiri. Ia berjalan menuju jendela paviliunnya. Dari sana ia bisa melihat samar bendera-bendera kerajaan yang masih berkibar di halaman istana, diterangi cahaya bulan. “Lihatlah itu. Samudra Jaya berkilau indah malam ini. Semua orang percaya kejayaan ini akan abadi. Namun mereka lupa… di balik setiap kejayaan ada celah yang bisa runtuh kapan saja.”
Ia terdiam sejenak, lalu melanjutkan dengan nada penuh tekad, “Aku akan menjadi badai yang meruntuhkan keangkuhan itu. Dan dari reruntuhannya, aku akan bangkit sebagai raja sejati.” Sangkara dan Jaya Rudra serempak menunduk dalam-dalam. “Daulat, Paduka.”
Raksa tersenyum dingin. “Simpan sumpah kalian. Malam ini, biarlah dunia tetap percaya bahwa Samudra Jaya aman dalam genggaman Raja Harjaya. Tapi ingatlah, besok, lusa, atau entah kapan, dentang gong akan berbunyi bukan untuk perayaan… melainkan untuk perang.” Di kejauhan, suara angin malam menderu pelan, seakan mengamini kata-kata itu.
Sementara itu, jauh di balairung yang kini sepi, Putri Dyah berdoa dalam diam, memohon perlindungan leluhur atas negeri dan rakyatnya. Ia tak tahu, dalam kegelapan paviliun, seseorang yang seharusnya menjadi saudara seibu sebapak sedang menyiapkan badai yang akan mengguncang takhta ayahandanya.
Malam tiba. Istana Samudra Jaya tertidur dalam damai. Tapi di lorong-lorong gelap, kaki-kaki bersembunyi, bisikan pengkhianatan mulai dirangkai.
Di kamarnya, Putri Dyah berdiri menatap bulan purnama.
“Jika benar takdir menantangku, aku akan berdiri melawan,” bisiknya lirih.
Di sudut lain, Raksa menajamkan pedangnya.
“Samudra Jaya… mahkota itu akan jadi milikku.”
Dan di kejauhan, Aruna menggenggam tombaknya erat.
“Apapun yang terjadi, aku akan melindungimu, Putri.”
Fajar telah menyingsing, tetapi bayangan kelam mulai menyelimuti Samudra Jaya.