Alden berjalan sendirian di jalanan kota yang mulai diselimuti dengan senja. Hidupnya tidak pernah beruntung, selalu ada badai yang menghalangi langkahnya.
Dania, adalah cahaya dibalik kegelapan baginya. Tapi, kata-katanya selalu menusuk kalbu, "Alden, pergilah... Aku tidak layak untukmu."
Apa yang menyebabkan Dania menyuruh Alden pergi tanpa alasan? Nantikan jawabannya hanya di “Senja di aksara bintang”, sebuah cerita tentang cinta, pengorbanan dan rahasia yang akan merubah hidup Alden selamanya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NdahDhani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1: Di bawah langit hujan
...“Jangan menyerah pada kenangan yang menyakitkan, tapi jadikan itu pelajaran untuk menjadi lebih baik. Masalalu memang tidak dapat diubah, tapi masa depan bisa dibentuk. Kamu lebih kuat dari yang kamu pikir, kamu lebih mampu dari yang kamu duga, dan kamu lebih berani dari yang kamu rasa.”...
...—Alden—...
Langit mendung mulai menyelimuti kota, dengan petir yang bergemuruh menandakan hujan akan turun. Alden Aksara Wijaya, seorang pemuda yang hidupnya penuh dengan kesedihan dan kekecewaan.
Alden berjalan sendirian di jalanan yang sepi, pikirannya melayang ke bayang-bayang masa lalu yang kelam. Setiap langkah yang ia ambil selalu berakhir dengan kegagalan. Alden mengingat jelas bagaimana semua masa lalu itu menghancurkan dirinya.
Saat umur 8 tahun, ia kehilangan kasih sayang seorang ayah yang tega meninggalkan dirinya dan ibunya tanpa kabar. Bukan hanya itu, ia juga mengalami kehidupan yang tidak menyenangkan di masa sekolahnya. Dirundung dan dikucilkan, bahkan dibenci oleh beberapa orang tanpa sebab. Semua itu mempengaruhi hidupnya hingga sekarang.
"Kenapa hidupku selalu seperti ini?!" ujarnya penuh frustasi sambil mengacak-acak rambutnya. Karena emosi yang memuncak tanpa sadar ia meninju tembok di sampingnya.
"Argh!!" ia melihat tangannya yang merah, tapi tidak mengurungkan niatnya untuk menghantam tembok itu lagi dan lagi. Ia mencoba untuk meluapkan semua bentuk emosi yang terpendam selama ini. Rasa sakit di tangannya tidak seberapa dibandingkan dengan rasa sakit yang selalu ia rasakan.
Alden terduduk di tanah, membenamkan wajahnya di antara kedua lututnya, membiarkan emosinya meluap bersamaan dengan air matanya.
Hujan mulai turun membasahi bumi. Tetes demi tetes air hujan mulai membasahi tubuhnya. Alden tidak peduli dengan hujan yang mengguyur, ia hanya ingin melepaskan beban berat yang dipikulnya.
Hujan turun semakin deras, tapi tidak menggerakkan hati Alden untuk beranjak dari tempat itu. Ia hanya berdiam diri di sana, membiarkan dirinya diterpa oleh hujan yang kian deras.
Tiba-tiba suatu bayangan melindunginya dari guyuran hujan. Alden menoleh, melihat seorang gadis yang masih mengenakan seragam sekolahnya, memayungi Alden dengan payungnya.
Gadis itu tersenyum, kilasan matanya menunjukkan kepedulian dan kekhawatiran. Alden terkejut, ia tidak mengerti mengapa gadis itu melindunginya dari guyuran hujan. Alden tidak mengenali gadis itu, tapi kepeduliannya membuat Alden merasa sedikit lebih baik.
Dia Dania Calista Ayuningtyas, seorang anak dari keluarga terpandang yang dididik baik oleh keluarganya, untuk selalu peduli dan mengutamakan orang lain.
"Apa kamu baik-baik saja? Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya dengan lembut.
"Aku baik-baik saja. Terima kasih." ujar Alden memalingkan wajahnya. Ia berusaha untuk terlihat baik-baik saja meskipun sebenarnya jauh dari kenyataan.
"Di sini hujan dan dingin. Kamu bisa sakit lho," ujarnya penuh perhatian membuat Alden hanya bungkam.
"Tidak apa-apa, aku baik-baik saja." ujar Alden mencoba meyakinkan setelah hening beberapa saat. "Aku Dania, tadi tidak sengaja melihatmu di sini. Apa kamu yakin kamu baik-baik saja?" tanyanya lagi. "Aku Alden. Aku baik-baik saja," ujar Alden berbohong.
Hujan semakin deras diikuti angin yang berhembus kencang, membuat payung Dania sedikit bergoyang.
"Disini hujan, mendingan kita berteduh dulu," ujar Dania sambil menyentuh pundak Alden, membuat Alden terkejut dan menarik diri sedikit.
"Kamu tau disini hujan, mengapa kamu masih berdiri di sana?" tanya Alden datar. "Dan, mengapa kamu masih duduk di situ sementara hujan semakin deras?" tanya Dania balik membuat Alden terdiam. Pertanyaan yang ia lontarkan kepada Dania malah menjadi boomerang untuk dirinya sendiri.
"Huft..." terdengar suara helaan nafas panjang dari Alden. Akhirnya Alden berdiri dan mengajak Dania menepi. Ia tidak ingin egois terlebih gadis itu sudah melindunginya dari guyuran hujan.
"Ya udah. Kita menepi dulu." ujar Alden diangguki oleh Dania.
Mereka berdua berjalan mencari tempat untuk berteduh. Mereka berhenti di sebuah toko yang sudah tutup.
"Kita berteduh di sini dulu," ujar Alden sambil memandang ke arah hujan. "Iya, dingin ya?" ujar Dania sambil menggosok kedua telapak tangannya.
Alden mengangguk tidak berkata apa-apa dan suasana menjadi hening untuk sejenak. Lampu-lampu di jalanan mulai menyala dan langit semakin gelap karena sore mulai berganti malam.
"Kamu baru pulang sekolah?" tanya Alden memecah keheningan. "Iya, aku baru pulang. Kebetulan ada ekskul tadi, jadi pulangnya agak telat." balas Dania dengan senyuman. Alden mengangguk pemahaman, mencerna perkataan Dania. "Oh... Ekskul apa?"
"Aku ikut ekskul klub karya sastra," balas Dania yang hanya diangguki oleh Alden.
"Karya sastra ya?" tanya Alden kemudian. "Kamu suka nulis cerita atau puisi?"
"Keduanya juga suka, tergantung mood dan suasana hati." balasnya dengan senyum yang lebih lebar.
Alden menganggukkan kepalanya, dan seutas senyum kecil muncul di bibirnya. "Iya, terkadang inspirasi itu datangnya dari hal-hal kecil yang tidak terduga."
"Iya, benar sekali. Aku memilih klub karya sastra karena aku rasa cocok untukku." ujar Dania diangguki oleh Alden.
"Jadi, kamu memang hobi menulis ya?" tanya Alden semakin penasaran. "Iya, aku ingin menjadi penulis suatu hari nanti." jawabnya sambil memandang ke arah langit yang hujan.
"Aku yakin kamu bisa menggapai impian itu," ujar Alden sambil menoleh masih dengan nada datarnya. "Oh iya, kamu pulang jalan kaki?"
"Iya, jalan kaki. Lagipula rumahku gak jauh dari sekolah." balas Dania kembali tersenyum. "Rumah kamu di sekitar sini?" tanya Alden kembali.
"Iya, gak jauh dari sini. Mau mampir?" tanyanya tiba-tiba membuat Alden gugup. Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Tidak apa, terima kasih. Bertemu denganmu di sini saja sudah membuatku merasa sedikit lebih baik," ujarnya menolak dengan halus yang hanya diangguki oleh Dania.
"Kamu sendiri, bagaimana?" tanya Dania tiba-tiba, membuat Alden bingung. "Bagaimana apanya?"
Dania terkekeh pelan, ia menyadari bahwa ia langsung bertanya tanpa berbasa-basi. "Oh, maaf. Maksud aku, kamu tinggal di mana?"
"Aku tinggal di sebuah kontrakan, tidak jauh dari sini." jawab Alden. "Oh... Senang bertemu denganmu, Alden." balas Dania dengan senyuman ceria. "Senang bertemu denganmu juga, Dania."
Hujan deras perlahan mulai mereda, suara tetesan air hujan semakin melembut. Dania membuka payungnya dan bersiap pergi. "Aku harus pulang sekarang, maaf enggak bisa menemanimu terlalu lama. Mungkin kita bisa bertemu lagi di lain waktu?"
"Iya, gak apa. Aku mengerti, terima kasih juga sudah meluangkan sedikit waktu untukku," balas Alden. "Tidak masalah, Alden. Aku pulang duluan ya? Sampai jumpa lagi!" kata Dania sambil berjalan pergi.
"Iya, sampai jumpa, Dania." Alden juga melambaikan tangannya, dan melihat Dania sampai hilang dari pandangan. Alden memutuskan untuk pulang ke kontrakan nya.
Tiba di kontrakannya, Alden langsung menuju kamarnya. Ia duduk di tepi tempat tidur, memandangi langit malam yang dengan tetesan air hujan yang masih menetes.
"Dania... Siapa ya dia?" batin Alden, masih penasaran dengan gadis yang berbincang dengan nya tadi.
^^^Bersambung...^^^