Hati Nadia pecah berkeping-keping mendengar Asri, sang ibu mertua menyuruh Arkan untuk menikah lagi didepan matanya.
"Kamu kan, juga butuh penerus untuk usahamu. Kalau Bilqis kan, beda. tetap saja bukan darah dagingmu, keponakanmu ya selamanya begitu."
Percakapan di meja makan tiga minggu lalu itu masih jelas terpatri di benak Nadia.
Meski sang suami selalu membela dengan berkata bahwa pernikahan itu bukan tentang ada dan tidaknya keturunan didalamnya, melainkan tentang komitmen dua orang untuk selalu bersama dalam suka dan duka.
Hingga suatu malam Nadia menemukan sesuatu di dalam telepon genggam Arkan. Sesuatu yang membuat dunia Nadia runtuh seketika.
Apa yang Nadia temukan? Lalu bagaimana Nadia menyikapinya?
Lalu bagaimana dengan Dio, yang muncul tiba-tiba dengan segudang rahasia gelap dari masa lalu nya? Mungkinkah mereka saling menabur racun diatas hama? Atau justru saling jatuh cinta?
Ikuti kisah mereka, dalam Kau Berikan Madu, Maka Ku Berikan Racun. 🔥🔥🔥
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jee Ulya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pengantin Baru
"Saya sudah bilang, Pak. Laras urusan saya. Saya yang akan menangani sendiri." Ucapan pria berpotongan rapi itu tampak emosi pada saat memegang handphone di telinganya.
Sedangkan seseorang di seberang sana sepertinya hanya menanggapi dengan diam.
"Kenapa, Laras malah jadinya nikah sama pengecut itu, Pak. Anak saya, itu darah daging saya," lanjut Juan tak peduli pada atasannya lagi, amarahnya sudah memuncak sejak siang itu.
"Juan, ini juga di luar rencana saya." Orang itu membela diri.
"Saya tidak mau tahu. Apa pun yang terjadi anak saya harus kembali." Kepala desa itu mematikan sambungan setelah menekan orang di seberang.
...****************...
Sementara di kediaman keluarga Wicaksana,
"Ah, hahaha..." Nadia bertepuk tangan keras, menyaksikan pasangan baru itu sudah duduk di mengelilingi meja makan.
Semua orang yang ada di sana, menatap aneh ke arahnya. Termasuk Bilqis, putrinya itu hampir menangis.
Asap lembut dari nasi goreng di atas meja itu seolah ikut berhenti mengepul.
"Selamat datang, pengantin baru." Sapanya datar.
Tidak seorangpun tahu, kecuali Arkan dan Ayu.
"Sayang, makan di kamar aja, ya? Sama Mbak." Nadia memeluk lembut putrinya itu, sebelum membimbing nya menuju ART di dapur.
"Malam-malam, jangan gila, Nadia." Asri menanggapi tingkah aneh menantunya.
"Selamat! Ya, Ma. Akhirnya Mama bakalan punya cucu," bibirnya menipis.
Tanpa menatap sekitar Nadia mengambil nasi ke piringnya. Suasana menjadi hening. Hanya sendoknya yang berdenting pelan, seolah menari menghibur kekosongan.
"Apa, maksudmu?" mata Asri memicing tepat pada perempuan berhijab kaos itu.
Arkan menarik napas berat, mencoba hendak menjelaskan.
"Kami sudah menikah," potong Ayu cepat, seakan takut tidak mendapatkan peran.
"Apa?!" Asri hampir membanting teko yang ia pegang.
Hening kembali menyelimuti ruang makan itu, ruangan yang hampir selalu penuh tragedi daripada kehangatan.
"Mama sudah kasih kamu banyak pilihan!" napas Asri tercekat, matanya melotot hampir keluar,
"mulai dari keluarga dokter, polisi hingga pengusaha. Tapi, kamu malah milih perempuan ini?!"
Hati Ayu mencelos, ia sudah tau konsekuensi dari pernikahan ini, menikahi Arkan berarti menerima direndahkan oleh Asri. Ibu mertuanya.
"Ma..." suara Arkan merendah.
"Saya hamil, anak pak Arkan." Tukas Ayu cepat.
Nadia hanya mengamati ketiganya dalam diam, menikmati setiap kunyahan yang entah mengapa terasa lebih nikmat malam itu.
"Jadi–" Arkan menatap Nadia penuh sesal,
"Kami kecelakaan."
"Ada gitu, burung orang kecelakaan salah masuk sarang dengan sendirinya," sinis Nadia, masih dengan nasi gorengnya.
"Nad," Arkan memelas. Meminta belas kasihan.
"Jadi, maksudnya, Arkan akan punya anak, sendiri? Darah dagingnya sendiri?" wajah Asri yang semula penuh amarah, kini melunak.
Matanya menatap penuh antusias.
"Iya, Nyonya," senyuman canggung muncul di wajah Ayu.
"Jangan panggil seperti itu, ya. Sekarang kamu juga anak Mama," raut Asri berubah drastis. Seperti bunglon yang berubah warna saat beralih suasana.
"Yakin, itu anak Mas Arkan?" Sindir Nadia seolah ingin mengungkap perbuatan terlarang madunya.
Arkan tercekat, bagaimana bisa ia tidak terpikirkan itu sebelum memutuskan menikahi Ayu. Matanya ia alihkan kesana kemari mencari pembenaran.
"Apa maksudmu, Nadia?" Asri menatap tidak suka pada menantu pertamanya.
"Bu Nadia, saya tahu. Mungkin, Bu Nadia terpukul dengan keadaan saya. Saya paham betul keadaan Bu Nadia yang sampai saat ini belum bisa hamil," balas Ayu, sok bijaknya sangat kentara sekali dibuat-buat.
Bulu mata tebalnya berkedip genit, seperti sedang bermain peran.
"Nadia, aku tahu. Kamu memang sangat ingin hamil juga, tapi curiga tak berdasar mu itu jangan kau umbar sembarangan," Arkan menegaskan, seolah itu kata yang paling benar.
"Betul. Jangan jadikan rasa iri mu itu merusak kebahagiaan kami," Asri menatap tidak suka pada menantu pertamanya itu.
"Hah? Tak berdasar? Iri?" Nadia berdiri, "silakan percayai apa yang ingin kalian percaya! Ingat, kebenaran akan menemukan jalannya sendiri."
"Nadia!" Bentak Arkan untuk pertama kalinya dalam sebelas tahun pernikahan.
Hening. Bahkan sendok yang tadi menari pun terdiam. Bagi Nadia, cinta itu akhirnya mati malam itu.
Sementara di mata Ayu, kilatan penuh kemenangan tengah dirasakannya. Ia membayangkan betapa enaknya hidup berkecukupan, menikmati kemewahan yang sedari dulu tak pernah ia rasakan.
Di dalam kamar, Nadia menelusuri sudut ranjang. Saksi bisu perjuangannya selama sebelas tahun, yang kini sudah kehilangan hangatnya.
Drrrt... Drrrt...
Sebuah panggilan dari Umi.
Nadia membiarkannya hingga ponsel retaknya itu mati sendiri.
Bulir-bulir bening itu terjatuh di pipinya. Ia bukanlah perempuan kuat–ia tahu itu, tetapi ia juga bukan perempuan bodoh yang memilih tetap berdiri di bawah hujan batu.
Malam itu, ia tidak menangis karena kehilangan. Ia menangis karena akhirnya sadar, sudah terlalu lama ia bertahan di tempat yang tak mencintainya lagi.
"Katanya pengantin baru, kok istri barunya ditinggal?" sindir Nadia halus tetapi menusuk, "terima kasih oleh-olehnya," ia melempar paperbag pemberian Ayu yang belum sempat ia buang pada Arkan yang masuk tiba-tiba.
Pecahan gelas dari lilin aroma terapi itu menghambur berantakan. Wangi mawar yang menjadi kesukaanya itu kini berubah mengenaskan, layaknya perasaan keduanya.
Arkan menatap pecahan kaca di lantai itu, bias cahaya di antaranya menyorot kepedihan.
Arkan melangkah ke arah istrinya itu berada. Mulutnya terkunci, pada matanya sebuah kekosongan tak terukur.
"Bagaimana, sudah tidak hangat kah ranjang ini?" Nadia menepuk halus ujung bagian kosong di sebelahnya.
"Nad, maaf." Kilauan bening mulai berjatuhan dari kelopak mata kelamnya.
Nadia hanya tersenyum tenang, sorot matanya tertuju pada gorden yang bergerak pelan.
"Nad, Nadia." Arkan menghambur merengkuh istrinya itu, menangis tersedu-sedu.
Nadia tak bergeming dalam dekap suaminya. Hatinya terlalu hancur untuk sekedar kembali memeluknya.
"Nad, Nadia... Aku tahu aku salah, maafkan aku."
Nadia pelan melepas rangkulan suaminya. "Aku tahu," ia menatap mata yang dulu selalu hangat padanya, "tapi, tahu saja tidak cukup, kan?"
Arkan hanya menunduk, mulutnya tak mampu mengeluarkan sepatah kata apapun lagi.
"Ayu baru sembilan belas. Bawa dia ke Serenity, pastikan kehamilannya itu tidak berbahaya untuk keduanya." Mata Nadia kosong. Pedih, namun ia tetap peduli.
Arkan tetap bergeming.
Di luar hujan turun pelan-pelan, sepertinya langit pun ikut menunduk bersama perempuan yang akhirnya memilih untuk pulang.
"Besok, aku pulang ke rumah Umi." Suara Nadia sedikit bergetar.
jangnlah dulu di matiin itu si ayunya Thor..Lom terkuak Lo itu kebusukan dia ..biar tmbh kejang2 itu si asri sama Arkan kalo tau belang ayu..
dengan itu sudah membuktikan..kalo ternyata ayu bukan hamil anak arkah..hahahahahahahaha..sakno Kowe..