Bagi Luna, Senja hanyalah adik tiri yang pantas disakiti.
Tapi di mata Samudra, Senja adalah cahaya yang tak bisa ia abaikan.
Lalu, siapa yang akan memenangkan hati sang suami? istri sahnya, atau adik tiri yang seharusnya ia benci.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda SB, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1 – Rumah untuk Senja
Udara sore itu terasa lebih berat dari biasanya. Awan kelabu menggantung rendah di atas atap rumah tua bercat putih gading yang sudah mulai memudar. Rumah itu berdiri di tengah-tengah pedesaan yang tenang, seolah menyimpan cerita pahit yang enggan diungkap.
Dari kejauhan, sebuah mobil hitam mengkilat memasuki halaman. Mobil mewah dengan plat nomor kota besar, tampak begitu asing di jalanan tanah berbatu yang biasa dilalui sepeda motor tua dan pedati.
Pintu mobil terbuka. Seorang perempuan muda turun dengan anggun. Wajahnya cantik, terawat, berhias make up tipis yang menegaskan karisma sekaligus kesombongan yang melekat pada dirinya. Gaun mahal berwarna krem membalut tubuh rampingnya, dan sepatu hak tinggi beradu dengan kerikil tanah, menghasilkan bunyi “tak, tak, tak” yang tegas.
Itu adalah Luna. Putri sulung keluarga itu.
Sudah dua tahun ia menikah dengan Samudra, seorang pengusaha konglomerat yang memiliki segalanya, perusahaan besar, rumah mewah di pusat kota, dan kekayaan yang tak habis tujuh turunan. Kehidupan Luna berubah drastis, dari gadis desa sederhana menjadi nyonya besar yang dielu-elukan. Namun sore itu, untuk pertama kalinya sejak pernikahannya, ia pulang. Dan pulangnya pun bukan dengan suaminya, melainkan seorang diri.
Dari balik jendela, seorang gadis muda berlari tergesa. Rambut hitam panjangnya dikepang sederhana, kulitnya putih bersih, wajahnya lembut tanpa polesan make up. Mata bening itu langsung membesar ketika melihat siapa yang datang.
“Kak Luna...?” suara lirih itu keluar dari bibir Senja, adik tirinya.
Senja berdiri di teras, mengenakan daster biru polos. Tangannya masih memegang kain basah karena baru saja mencuci pakaian ayahnya. Ada ketidakpercayaan yang jelas terpancar dari matanya. Luna? Pulang? Setelah sekian lama?
Namun alih-alih terharu, hati Senja justru dicekam rasa was-was. Ia tahu benar, kakak tirinya tidak pernah menyukainya.
Luna menegakkan dagunya, menatap Senja dari ujung rambut hingga ujung kaki dengan senyum miring. “Masih sama... penampilanmu tetap kampungan,” ucapnya sinis.
Senja menunduk, menahan perih. “Ada perlu apa, Kak?” tanyanya hati-hati.
Luna melangkah naik ke teras tanpa diminta. Ia menatap sekeliling rumah dengan pandangan meremehkan, seolah-olah tempat itu hanyalah kandang ayam. “Aku datang bukan untuk bernostalgia. Aku datang untuk menjemputmu.”
Senja tersentak. “Menjemputku?”
“Ya.” Luna tersenyum tipis, penuh maksud. “Kamu ikut aku ke kota. Tinggal di rumahku.”
Senja langsung menggeleng cepat. “Tidak, Kak. Aku... aku tidak mau. Aku lebih baik di sini saja.”
Senyum Luna menghilang. Tatapannya berubah dingin. “Kamu menolak?”
Senja menunduk dalam. “Kakak tidak pernah suka padaku. Untuk apa aku ikut? Di sini... setidaknya aku bisa merawat Ayah.”
Suasana hening sejenak. Dari dalam rumah terdengar batuk berat. Senja segera berlari masuk, meninggalkan Luna di teras.
Di kamar yang pengap, seorang lelaki tua terbaring lemah. Tubuhnya kurus, wajahnya pucat, dan tangan kirinya kaku. Sejak tiga bulan lalu, ia menderita stroke. Dialah Ayah Senja dan Luna.
Senja duduk di tepi ranjang, menepuk pelan dada ayahnya, mencoba menenangkan batuknya. “Ayah... tenang, ya. Aku di sini.”
Saat itu, suara langkah mendekat. Rengganis, ibu tiri Luna, muncul dari dapur. Wajahnya penuh kerut, namun matanya masih tajam. Ia membawa segelas air putih dan menyerahkannya pada Senja.
Tak lama, Luna masuk ke kamar, menutup hidungnya pelan karena aroma obat-obatan yang menyengat. Ia berdiri tegak, menatap ayah tirinya dengan ekspresi yang sulit dibaca.
“Ayahmu... semakin buruk keadaannya,” ucap Luna dingin. “Pengobatan desa ini tidak akan pernah cukup. Tapi aku bisa membantu. Aku bisa membiayai semuanya, sampai dia sembuh.”
Senja mendongak, matanya membelalak penuh harap sekaligus curiga. “Benarkah... Kak?”
“Ya,” Luna tersenyum, kali ini lebih manis tapi penuh racun. “Tapi dengan satu syarat. Kamu harus ikut aku ke kota. Mulai malam ini.”
Senja tercekat. Ia tahu ada yang tidak beres. Luna tidak pernah baik padanya. Tidak mungkin semua ini dilakukan tanpa maksud tersembunyi.
“Aku... aku tidak bisa meninggalkan Ayah,” suara Senja bergetar.
“Justru demi Ayahmu, kamu harus ikut,” potong Rengganis tiba-tiba. Wanita itu menatap Senja dengan sorot memaksa. “Kalau kamu menolak, jangan salahkan aku kalau Ayahmu tidak mendapatkan obat-obatan yang layak. Ingat, biaya rumah sakit itu mahal. Kamu sanggup?”
Senja menoleh cepat, tak percaya mendengar ancaman itu keluar dari mulut ibunya sendiri. “Ibu... bagaimana bisa...?”
“Pilih sekarang,” suara Rengganis tajam. “Ikut Kakakmu ke kota, atau biarkan ayahmu menderita.”
Air mata Senja tumpah. Ia menatap ayahnya yang terbaring lemah. Tangan tua itu bergetar, berusaha menggenggam jemari putrinya. Dalam tatapan samar sang ayah, Senja tahu... lelaki itu ingin ia bahagia, tapi kesehatannya jauh lebih penting.
“Ayah... maafkan Senja...” bisiknya, sambil mengecup punggung tangan sang ayah.
Senja pun menoleh pada Luna, meski bibirnya bergetar hebat. “Baiklah. Aku ikut.”
Senyum kemenangan terbit di wajah Luna. “Bagus. Persiapkan dirimu. Kita berangkat sekarang juga.”
Malam itu, langit desa sudah gelap ketika mobil hitam itu melaju meninggalkan halaman rumah. Senja duduk di kursi belakang, menatap jendela dengan mata berkaca-kaca. Rumah, ayah, dan kehidupannya yang sederhana perlahan menghilang dari pandangan.
Di sampingnya, Luna duduk tenang, memainkan ponselnya. Sesekali ia menatap Senja dengan senyum tipis penuh arti.
“Jangan kira aku membawamu untuk jadi tamu istimewa,” katanya tanpa menoleh. “Ingat, kamu ikut aku bukan karena aku menginginkanmu, tapi karena aku membutuhkannya.”
Senja mengernyit. “Maksud Kakak...?”
Luna hanya terkekeh pelan, enggan menjawab.
Sesampainya di rumah besar Luna. Rumah itu berdiri megah bagaikan istana. Pilar-pilar tinggi, halaman luas dengan lampu taman yang berkilau. Senja terbelalak. Ia belum pernah melihat rumah sebesar itu seumur hidupnya.
Namun rasa kagum itu segera runtuh ketika ia dibawa masuk dan diarahkan ke sebuah kamar sempit di belakang, tepat di dekat dapur. Dindingnya polos, lantainya keramik kusam, dan hanya ada ranjang kecil dengan kasur tipis.
“Mulai hari ini, ini kamarmu,” ucap Luna dingin.
Senja menoleh kaget. “Tapi... Kak... ini kan kamar pembantu...”
“Ya,” Luna tersenyum sinis. “Karena mulai hari ini, kau memang akan jadi pembantu di rumahku. Gratis. Anggap saja ini balasan atas kebaikan hatiku membiayai pengobatan ayahmu.”
Wajah Senja pucat. Air matanya kembali menetes. Tapi ia tak bisa berkata apa-apa. Semua jalan sudah tertutup.
Luna mendekat, berbisik di telinganya. “Kamu pikir aku tidak tahu? Aku benci padamu sejak dulu. Jadi jangan pernah bermimpi hidupmu akan mudah di sini. Selamat datang di neraka milikku, Senja.”
Pintu kamar ditutup keras. Senja terduduk lemas di tepi ranjang tipis, menutup wajahnya dengan kedua tangan. Malam itu, ia benar-benar merasa terjebak.