NovelToon NovelToon
GELAP

GELAP

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Romansa / Bad Boy / Gangster / Office Romance / Chicklit
Popularitas:529
Nilai: 5
Nama Author: @nyamm_113

Masa putih abu-abu mereka bukan tetang pelajaran, tapi tentang luka yang tak pernah sembuh.


Syla tidak pernah meminta untuk menjadi pusat perhatian apa lagi perhatian yang menyakitkan. Di sekolah, ia adalah bayangan. Namun, di mata Anhar, ketua geng yang ditakuti di luar sekolah dan ditakdirkan untuk memimpin, Syla bukan bayangan. Ia adalah pelampiasan, sasaran mainan.


Setiap hari adalah penderitaan. Setiap tatapan Anhar, setiap tawa sahabat-sahabatnya adalah duri yang tertanam dalam. Tapi yang lebih menyakitkan lagi adalah ketika Anhar mulai merasa gelisah saat Syla tak ada. Ada ruang kosong yang tak bisa ia pahami. Dan kebencian itu perlahan berubah bentuk.


Syla ingin bebas. Anhar tak ingin melepaskan.


Ini tentang kisah cinta yang rumit, ini kisah tentang batas antara rasa dan luka, tentang pengakuan yang datang terlambat, tentang persahabatan yang diuji salah satu dari mereka adalah pengkhianat, dan tentang bagaimana gelap bisa tumbuh bahkan dari tempat terang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon @nyamm_113, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

KOTA YANG MENYIMPAN RAHASIA

HAPPY READING

jangan lupa follow akun instagram author rossssss_011

Udara pagi Bandung menyambut dengan kesejukan yang menusuk lembut ke kulit. Embun masih menempel di dedaunan, dan aroma tanah basah sisa hujan semalam memenuhi udara. Jalanan ramai oleh suara deru motor, langkah kaki pekerja, dan pedagang yang menyiapkan dagangan.

Di tengah suasana itu, keluarga kecil berjalan kaki menyusuri lorong-lorong sempit. Raka Bramasta berjalan paling depan, memanggul tas besar di bahunya. Di belakangnya, Syla menggandeng tangan Dion yang masih setengah mengantuk, sesekali menguap kecil, sepatu mereka berdecit pelan setiap kali menginjak genangan tipis sisa hujan.

“Masih jauh, Yah?” tanya Syla, tetap mengikuti langkah ayahnya.

Raka tidak menoleh, dia tetap berjalan. “Sedikit lagi,” jawabnya.

“Ayah, Dion ngantuk,” sahut anak laki-laki yang kesadarannya belum sepenuhnya terkumpul.

Lorong yang mereka lewati dipenuhi tembok tua berlumut, Sebagian catnya mengelupas, menyisakan warna kusam yang pernah cerah. Bau gorengan dari warung di tikungan bercampur dengan aroma kopi hitam yang sedang diseduh.

“Kita sudah sampai,” gumam Raka, menatap rumah ber cat biru langit dengan pagar besi setinggi dada orang dewasa di depannya.

Syla menatap rumah di depannya, rumah yang akan menjadi pelindung dikala hujan, pelindung dikala badai datang.

“Inilah rumah kita mulai hari ini,” ucap Raka, suaranya terdengar lega sekaligus berat.

Syla dan Dion hanya mengangguk, menatap rumah itu seperti sedang membaca cerita yang belum ia mengerti. Dion, masih memegang tangan kakaknya, tersenyum lebar meski matanya belum sepenuhnya terjaga.

&&&

Parkiran belakang SMA Merah Putih Bandung pagi itu dipenuhi aroma bensin bercampur asap rokok tipis yang tertiup angin. Deretan motor bebek dan skuter siswa lain tampak biasa saja, sampai deru garang RX King terdengar memecah riuh.

Kepala-kepala mulai menoleh. Beberapa siswa yang duduk di tembok pembatas otomatis berdiri, Sebagian mundur memberi jalan, seakan dunia tahu siapa yang akan melintas.

“Lo tahu, siapa mereka?” tanya seorang siswa dengan seragam rapi. Mungkin dia siswa baru.

“Tahu, mereka anak-anak geng motor. Kakak gue gabung sama geng mereka,” jawabnya tanpa berani menatap terlalu lama.

Tiga motor masuk beriringan. Di depan, Anhar dengan jaket hitam setengah terbuka, wajah datarnya tak banyak bicara tapi memancarkan sinyal, jangan cari masalah kalau tak mau masalah datang padamu. Di kanan, Vino tatapannya tajam seperti sudah siap menghajar siapa saja yang berani menatap terlalu lama. Di belakang, Keylo, sedikit menyeringai seperti biasa, seakan kehadirannya di sekolah bukan untuk belajar, tapi untuk mengawasi wilayahnya.

Ban-ban motor mereka berhenti di sudut parkiran yang seakan otomatis menjadi ‘wilayah terlarang’ bagi siswa biasa. Suara mesin mati satu per satu, tapi suasananya tetap menegang.

“Pagi ini kok sepi, ya?” ucap Vino sambil menurunkan kakinya dari motor.

“Sepi atau diem karena mereka udah tahu kita datang,” jawab Keylo santai, menatap beberapa siswa yang buru-buru memalingkan muka.

Anhar tidak menjawab. Ia hanya menyalakan rokok, menatap ke arah gedung sekolah seperti sedang menghitung detik sebelum masuk ke medan yang sama sekali bukan pelajaran.

Bel berbunyi dari arah depan, tapi di parkiran belakang, waktu seolah berjalan lebih lambat.

“Yoyo nggak masuk, masih sakit,” celetuk Vino, memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku seragamnya.

“Lemah,” lirih Keylo.

“Wakil lo tuh, demam doang langsung tumbang, hahah,” kekeh Vino menatap Anhar. Yang ditatap hanya diam dengan wajah datarnya.

“Jaguar sama Haikal masih di jalan, mau duluan masuk kelas atau kita tunggu di sini?” tanya Keylo.

“Bos?” Vino ikut menatap Anhar yang duduk di atas jok motornya, menunggu jawaban dari ketua mereka.

“Tunggu,” singkat, padat, dan jelas.

Anhar membuang puntung rokoknya, menginjaknya pelan. Ia mengangkat wajah, menatap langit yang mulai memutih disapu cahaya pagi. Tatapannya kosong, tapi entah kenapa, ada kesan seperti sedang menghitung sesuatu.

&&&

Syla menghela napas panjang sambil menatap daftar belanja yang digenggamannya. “Kita cuma beli yang penting aja, ya. Uang ayah belum turun,” katanya pada Dion yang berjalan di sebelahnya sambil memainkan resleting jaket.

“Tenang aja, Kak. Aku nggak akan minta jajan, kalau nggak sengaja lewat rak permen,” jawab Dion dengan senyum jail.

Udara pagi Bandung masih terasa sejuk meski matahari mulai naik. Jalanan dekat kontrakan mereka cukup ramai, deru motor bercampur dengan suara pedagang sayur yang menata dagangannya. Syla dan Dion menyeberang menuju supermarket kecil di sudut jalan.

Begitu masuk, aroma roti panggang dari bagian bakery langsung menyambut. Dion berhenti sejenak, matanya terpaku pada rak roti isi cokelat.

Syla melirik adiknya. “Dion…,” ucapnya, nada memperingatkan.

Dion pura-pura batuk, lalu melanjutkan langkahnya ke rak mie instan. “Kan cuma liat.”

Mereka mulai memasukkan kebutuhan pokok ke keranjang: beras, minyak, telur, gula. Syla sesekali memeriksa harga, menghitung-hitung dalam kepalanya.

“Kalau belanja kayak gini terus, kita harus pintar nyisihin uang buat akhir bulan,” gumamnya.

Saat mereka sedang memilih sayuran, Syla merasa ada yang memperhatikan. Ia menoleh sekilas dan melihat dua anak SMA berseragam berdiri di dekat rak minuman, salah satunya tersenyum samar ke arahnya sebelum buru-buru pergi.

“Kenapa, Kak?” tanya Dion.

“Nggak papa,” jawab Syla sambil menggeleng, mencoba mengabaikan perasaan aneh yang tiba-tiba muncul.

Setelah membayar di kasir, mereka berjalan pulang dengan kantong belanja di tangan. Kantong belanja bergoyang di tangan Syla, beratnya membuat jari terasa pegal. Dion berjalan sedikit di depan meloncat-loncat menghindari genangan air hujan semalam.

“Kak, besok aku juga mulai masuk sekolah, kan?” tanyanya membalikkan badannya ke arah Syla.

Syla mengangguk. “Iya, besok aku antar,” jawab Syla. “Liat ke depan, nanti kamu jatuh.”

“Kira-kira, besok aku langsung dapat teman nggak, ya? Apa ada yang mau temanan besok sama aku? Kalau nggak ada, gimana?” cecar Dion. Masih dengan posisi yang sama.

“Dion, lihat ke depan,” peringat Syla, namun Dion masih saja berjalan mundur.

Dari ujung gang, tiga motor muncul perlahan. Bukan motor biasa, knalpotnya berderum kasar, catnya dipenuhi stiker, dan pengendaranya mengenakan jaket hitam dengan simbol tengkorak di punggung.

Syla refleks menarik Dion ke pinggir. Pandangannya bertemu dengan salah satu dari mereka, anak SMA dengan mata tajam dan tatapan yang membuat dada Syla berdebar aneh. Dia mengangkat dagu sedikit, seolah memberi salam tanpa senyum.

Motor-motor itu melintas begitu dekat, aroma bensin dan parfum murah bercampur di udara. Syla menoleh, melihat salah satu dari mereka menengok ke belakang sebelum hilang di tikungan.

“Kak, itu siapa?” tanya Dion, nada suaranya bercampur kagum dan waspada.

“Nggak tahu dan sebaiknya kita nggak usah tahu,” jawab Syla cepat. Tapi di dalam hati merasa pertemuan singkat itu bukan kebetulan.

Mereka melanjutkan langkah. Namun, Syla tak menyadari bahwa tatapan tajam tadi berasal dari seseorang yang akan menguji batas keberaniannya di masa depan.

&&&

Jalanan di pinggir kota Bandung sore itu seperti memihak mereka. Matahri condong ke barat, meninggalkan bayangan panjang di aspal. Suara bising kendaraan kota mulai memudar, digantikan deru berat RX King full hitam yang memecah keheningan.

Anhar memimpin di depan, helm hitam polos menutupi Sebagian besar wajahnya. Di belakang, Vino dan dua anggota lain membentuk formasi rapat, masin mereka meraung seperti sekumpulan serigala yang kembali ke sarang.

Mereka berbelok ke gang kecil di ujung jalan, melewati tembok-tembok yang penuh coretan. Suara motor langsung menggema, dan di ujung gang itu, sebuah pintu besi tinggi dengan cat hitam kusam menunggu… markas mereka.

Tanpa banyak bicara, Anhar mematikan mesin, tatapannya dingin ke arah pintu. Sore itu bukan sekedar pulang sekolah. Ini adalah perjalanan kembali ke wilayah mereka, tempat semua rahasia disimpan, dan rencana-rencana baru dihadirkan.

“Lama banget lo pada, sampai kaki gue kesemutan nunggu,” kesal Haikal pada sahabatnya yang baru saja tiba.

Vino menggeleng dengan senyum nakal. “Gue kan udah ngomong, kunci markas tinggal aja di sini, biar lo pada nggak nunggu orang yang bawa kuncinya,” jawabnya sembari membuka pintu.

“Masuk,” lanjutnya.

“Penting banget ya, sampai anak-anak yang lain nggak gabung?” tanya Jaguar masih duduk di kursi kayu.

“Lo kayak nggak tahu aja bos lo,” timpal Keylo.

Mereka akhirnya masuk ke dalam, sebelum Jaguar masuk dia kembali menatap sekelilingnya, memastikan memang tidak ada yang mencurigakan di sekitar markas. Setelah di rasa aman, kemudian dia menyusul masuk.

Bangunan tua yang jika dilihat dari depan seperti sebuah bangunan kosong yang tak berpenghuni, gerbang yang ditumbuhi banyak tanaman liar semakin menambah kesan menyeramkan. Tapi, jika sudah masuk ke dalam bangunan itu, ada kehidupan di dalamnya.

“Yang nyerang Ahes, siapa?” Anhar bertanya dengan wajah datar dan dingin.

BARU BAB PERTAMA NIH, KOMENNYA JANGAN KETINGGALAN YA, LIKENYA JUGA JANGAN LUPA😁😁😆

TINGGALKAN JEJAK 👣 KALIAN DAN TERIMA KASIH BANYAK KARENA TELAH MAMPIR ☺☺😌

SEE YOU DI PART SELANJUTNYA👇👇

PAPPAYYYYY👋👋👋👋👋

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!