Ziyanada Umaira, biasa dipanggil Nada jatuh cinta untuk pertama kalinya saat dirinya berada di kelas dua belas SMA pada Abyan Elfathan, seorang mahasiswa dari Jakarta yang tengah menjalani KKN di Garut, tepatnya di kecamatan tempat Nada.
Biasanya Nada menolak dengan halus dan ramah setiap ada teman atau kakak kelas yang menyatakan cinta padanya, namun ketika Abyan datang menyatakan rasa sukanya, Nada tak mampu menolak.
Kisah mereka pun dimulai, namun saat KKN berakhir semua seolah dipaksa usai.
Dapatkan Nada dan Biyan mempertahankan cinta mereka?
Kisahnya ada di novel ''Kukira Cinta Tak Butuh Kasta"
Selamat membaca!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lailatus Sakinah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertama Kali Jatuh Cinta
Hujan baru saja reda saat lonceng sekolah berdentang tiga kali, menandakan waktu pulang. Udara sore di SMA Negeri 23 Garut terasa dingin dan lembap. Aroma tanah basah bercampur semilir angin gunung yang membawa kabut tipis menyelimuti perbukitan kecil di kejauhan.
Ziyanada Umaira siswa kelas XII yang baru usai mengikuti pelajaran tambahan berjalan pelan di koridor sekolah, mengapit buku Biologi di dada.
Seragam putih abu-abu masih rapi, kerudungnya sedikit basah di ujung. Ia baru saja menolak pengakuan cinta dari teman seangkatannya yang kesekian kalinya minggu ini.
“Nada, kamu kok tega sih? Padahal dia tuh baik banget,” ujar Rosa, sahabatnya sejak kelas sepuluh, yang kini menyusul dari belakang.
Nada menoleh sambil tersenyum tipis. “Aku bukannya tega, Ros. Tapi aku memang nggak bisa kasih harapan ke siapa pun. Aku belum pernah jatuh cinta, itu aja.”
Rosa melenguh. “Tapi masa sih dari dulu nggak pernah kepikiran buat pacaran, Nad?”
Nada menatap jauh ke arah bukit yang sebagian tertutup kabut.
"Pernah mikir sih, tapi belum pernah ngerasa klik. Semua yang datang baik, sopan, perhatian... tapi rasanya biasa aja.”
“Berarti kamu nunggu yang luar biasa dong?” Rosa tertawa pelan.
Nada ikut tersenyum.
“Bukan. Aku cuma nunggu yang bisa bikin aku ngerasa ‘iya, ini dia’... tanpa harus mikir panjang.” Rosa mengangguk-angguk.
“Semoga kamu nemu orang itu sebelum lulus.”
Nada tak menjawab. Dalam hatinya, ia juga bertanya-tanya, apakah cinta memang seharusnya datang seperti itu? Tanpa alasan? Tanpa rencana?
Ia belum tahu. Sampai hari itu datang.
Satu minggu kemudian, aula kecamatan ramai oleh barisan mahasiswa dari Jakarta yang datang untuk program KKN. Mereka akan tinggal selama enam bulan di desa Bayongbong tempat tinggal Nada dan Rosa, salah satu desa binaan yang juga menjadi lokasi SMA Nada.
Nada berdiri di barisan depan bersama guru-guru dan kepala sekolah. Ia, sebagai ketua OSIS, mendapat tugas untuk memberi sambutan mewakili siswa.
“Selamat datang kepada kakak-kakak mahasiswa KKN dari Universitas Negeri Jakarta,” suara Nada terdengar lembut di balik mikrofon.
“Kami senang dan bangga bisa belajar bersama kakak-kakak di sini.”
Tepuk tangan mengiringi akhir pidatonya.
Lalu satu per satu mahasiswa diperkenalkan. Mereka berdiri bergiliran sesuai kelompok. Semuanya tampak antusias dan penuh semangat. Namun di tengah keramaian itu, mata Nada terpaku pada satu sosok.
Pemuda itu mengenakan kemeja biru tua dan celana jeans rapi. Wajahnya teduh, dengan sorot mata tajam namun tenang. Dia berdiri tak banyak bicara, hanya sesekali tersenyum kecil.
“Abyan Elfathan,” ucap camat saat memperkenalkannya,
"Ketua kelompok KKN dari Jakarta.”
Nama itu seperti menancap di kepala Nada.
Abyan.
Nada tak tahu mengapa matanya terus ingin memandang sosok itu. Bukan karena dia paling tampan. Tapi ada sesuatu dalam dirinya yang... berbeda.
Cara ia berdiri, cara ia tersenyum, bahkan ketika dia tidak bicara pun, kehadirannya terasa kuat.
Dan sejak saat itu, perasaan dalam diri Nada mulai berubah.
Hari-hari berikutnya, Abyan dan timnya mulai aktif di sekolah. Mereka membuat program pelatihan komputer, perpustakaan digital, dan penyuluhan kesehatan remaja. Nada sebagai ketua OSIS tentu saja sering terlibat, membuat interaksinya dengan Abyan semakin intens.
Nada selalu berusaha tampak biasa, tapi diam-diam ia memperhatikan segala hal kecil tentang Abyan: cara ia menatap saat mendengarkan orang bicara, cara ia menulis catatan dengan rapi, atau kebiasaannya duduk menyendiri membaca buku di taman belakang sekolah.
Suatu hari, mereka berdua diminta mengecek kondisi gudang sekolah yang akan digunakan sebagai ruang baca. Nada membawa kunci, Abyan membawa catatan dan senter.
“Gudangnya gelap banget ya,” ujar Abyan sambil menyorot senter ke langit-langit.
“Emang belum ada listrik di ruang ini, Kak,” jawab Nada.
“Tapi kalau Kakak mau, kita bisa bantu urus kabelnya biar nyambung dari ruang UKS.”Abyan tersenyum.
"Kamu selalu tahu solusi ya, Nad.” Nada menunduk malu.
“Biasa aja, Kak.”
Hening beberapa saat. Hanya suara tikus kecil yang lari di antara kardus-kardus tua.
"Boleh nanya nggak?” tanya Abyan tiba-tiba. Nada mengangguk.
“Kenapa kamu bisa jadi ketua OSIS? Maksudku, kamu kelihatan kalem banget.” Nada tersenyum.
"Karena waktu pemilihan dulu, aku diminta sama guru. Katanya aku bisa jadi penengah kalau ada masalah.”
“Pantas. Kamu memang punya aura tenang,” kata Abyan sambil menatapnya.
Untuk pertama kalinya, Nada merasa jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.
Hari-hari berlalu. Interaksi mereka semakin akrab. Terkadang, Abyan mengirimkan pesan-pesan ringan ke ponsel Nada. Menanyakan kabar. Mengirimkan puisi singkat. Atau sekadar menyelipkan kalimat seperti:
“Hari ini langitnya mendung, kayaknya kamu harus lebih sering senyum biar cerah.”
Nada menyimpan pesan-pesan itu dengan hati-hati. Ia tak pernah merasa seperti ini sebelumnya. Dan ia tahu, perasaannya sedang berkembang... dengan sangat cepat.
Suatu sore, mereka berdua kembali ditugaskan untuk membantu mengecat ulang posyandu desa. Nada memegang kuas, sementara Abyan mencampurkan cat.
“Warna ini bagus ya,” kata Nada sambil mengoleskan kuas ke dinding.
“Seperti warna pipimu kalau malu,” celetuk Abyan tiba-tiba. Nada terkejut, lalu tertawa pelan.
“Bang By bisa juga gombalnya.”
Abyan ikut tertawa.
"Aku suka panggilan itu, jangan diubah ya." Pinta Abyan, padahal awalnya Nada hanya bercanda membalas Abyan yang menggombal.
Beberapa detik kemudian, tawa itu menghilang. Digantikan tatapan serius.
“Nada...” ucapnya pelan.
Nada menoleh.
“Aku tahu ini cepat. Tapi... aku suka kamu.”
Dunia seakan berhenti berputar. Nada membeku di tempatnya. Jantungnya berdetak keras. Pipinya panas.
“Aku serius,” lanjut Abyan.
"Aku nggak tahu ini cinta atau bukan. Tapi aku pengin kenal kamu lebih dalam. Aku pengin ada di hidup kamu.”
Nada menarik napas panjang. Ia tak tahu harus menjawab apa. Tapi saat ia menatap mata Abyan, ia tahu hatinya juga sudah bicara.
“Aku juga suka, Kakak,” jawabnya jujur.
"Bisa diulang?"
"Hah?"
"Yang tadi."
"Aku juga suka Kakak," ulang Nada dengan malu-malu.
"Bukan itu, panggilannya."
"Aku juga suka Abang By." Abyan tersenyum puas, panggilan Nada membuat hatinya menghangat.
Dan itulah awal semuanya. Awal dari cinta pertama yang membuat hari-hari Nada berubah warna. Ia menyimpan semua kebahagiaan itu dalam diam, hanya dibagi pada Rosa.
“Jadi kalian... pacaran?” tanya Rosa saat mereka duduk di kantin sekolah.
Nada tersenyum malu.
“Nggak pacaran. Tapi ya... kita saling suka. Dan saling jaga.”
Rosa menggoda, “Akhirnya cewek batu ini lumer juga.”
Nada tertawa, bahagia. Untuk pertama kalinya dalam hidup, ia merasakan debar yang tidak bisa dijelaskan. Semua yang ia tolak dulu, semua yang ia pikir bukan cinta, ternyata bukan karena ia tak bisa jatuh cinta, tapi karena ia belum bertemu orang yang tepat.
Dan Abyan... terasa seperti orang itu.
Malam itu, Nada menulis di buku hariannya:
“Aku tidak pernah tahu bahwa cinta bisa sesederhana ini. Tidak dengan bunga. Tidak dengan hadiah. Hanya dengan hadir... dan membuat segalanya terasa benar.”
“Namanya Abyan El-Fathan”
"Mungkin... dia adalah awal dari segalanya.”
terimakasih double up nya kak🥰
kira kira apa lagi rencana indira
lanjut kak