WARNING!!
Kita akan berkelana ke Dunia Fantasi, Karena itu, ada beberapa lagu yang akan di rekomendasikan di awal cerita untuk membawamu ke sana. Putarlah dan dengarkan sembari kamu membaca >>
___
Di sebuah kerajaan, lahirlah dua putri kembar dengan takdir bertolak belakang. Satu berambut putih bercahaya, Putri Alourra Naleamora, lambang darah murni kerajaan, dan satu lagi berambut hitam legam, Putri Althea Neramora, tanda kutukan yang tak pernah disebutkan dalam sejarah mereka. kedua putri itu diurus oleh Grand Duke Aelion Garamosador setelah Sang Raja meninggal.
Saat semua orang mengutuk dan menganggapnya berbeda, Althea mulai mempertanyakan asal-usulnya. hingga di tengah hasrat ingun dicintai dan diterima sang penyihir jahat memanfaatkannya dan membawanya ke hutan kegelapan. Sementara itu, Alourra yang juga berusaha mencari tahu kebenaran, tersesat di tanah terkutuk dan menemukan cinta tak terduga dalam diri Raja Kegelapan, makhluk yang menyimpan rahasia kelam masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lirien, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sang Penyihir Hutan Kegelapan
‧˚♪ 𝄞 : Me and The Devil - Nvly // Yt: Moonch
...⚚...
"Yang Mulia… Yang Mulia!"
Seekor kelelawar hitam melesat masuk menembus jendela kastil yang buram, sayapnya berkibar membawa bau lembap dan tanah makam. Begitu mendarat di langit-langit ruangan, tubuhnya bergetar dan merekah berubah wujud menjadi sesosok makhluk menyerupai manusia, namun dengan wajah bengkok, kulit pucat berurat, dan sayap kelelawar mencuat dari punggungnya. Ia bergelantung di langit-langit Kastil.
Di hadapannya, seorang perempuan berdiri membelakangi cermin tinggi berukir tulang dan obsidian. Rambut merah darah menjuntai di punggungnya yang ramping. Matanya menyipit saat bayangan makhluk itu muncul di permukaan cermin.
"Ah... rupanya kau, Kaylos," ucapnya dengan nada malas namun tajam, "Kabar besar apa yang kau bawa untukku malam ini?" melangkah mendekati mahluk itu.
Kaylos turun perlahan, melayang ke tanah dan menunduk.
"Hamba melihat keramaian di Istana Cahaya, Yang Mulia. Tampaknya... perayaan ulang tahun ketujuh untuk kedua Putri Kerajaan sedang berlangsung." Ujar mahluk aneh itu yang ternyata bernama Kaylos
“Oh...?” Si Penyihir mengangkat satu alisnya. "Bagaimana wajah Sang Putih? Apakah secantik ibunya?"
"Ampun, Yang Mulia. Hamba tak bisa mendekat lebih jauh. Istana tampaknya dilindungi oleh sihir pelindung yang sangat kuat membuat tubuh hamba terpental setiap kali mencoba mendekat”
"Tentu saja... Itu tidak mudah" gumam sang penyihir, nadanya berubah menjadi mengejek sambil tersenyum kecil, lalu berbalik melangkah mendekat ke cermin di hadapannya. Jemarinya yang panjang menyentuh permukaannya. Cermin itu bergetar... berubah, seperti genangan air yang hidup.
"Mari kita lihat sendiri..." bisiknya. “Oh cerminku yang setia, perlihatkan padaku apa yang sedang dilakukan Sang Putri Cahaya.”
Permukaan cermin bergelombang, lalu samar menampakkan taman istana, di mana Putri Althea tampak tertawa di atas ayunan, didorong lembut oleh seorang anak lelaki yang tak lain adalah Pangeran Arzhel.
“Hmm...kaylos," sang Penyihir, matanya menyipit tajam.
“Benarkah dia sang putri yang selalu berada di dalam istana itu?”
Kaylos mencondongkan tubuh, ikut menatap. “hamba belum pernah melihatnya, tetapi ini mungkin Benar, Yang Mulia. Dari rumor yang kudengar, tuan putri terlahir kembar. Satu berambut seputih, satu lagi hitam. Mungkin dia sang putri yang berambut hitam itu, Yang Mulia.”
Sang Penyihir tertawa pelan. “Hoh... Menarik sekali.”
“Hamba juga mendengar,” lanjut Kaylos hati-Hati, “Putri berambut hitam itu, sering disebut sebagai anak terkutuk, Yang Mulia”
“Ah.. berapa menyakitkannya di sebut seperti itu" ujar sang penyihir dengan wajah di buat-buat sedih. "Cermin... Perlihatkan wajahnya padaku lebih jelas,” perintahnya, tangannya kembali menyentuh cermin itu.
Cermin mematuhi. Wajah mungil Putri Althea perlahan terlihat begitu dekat. Mata kelamnya bersinar lembut, namun mata penyihir kini justru terbelalak.
“Oh... Lihat, Kaylos. Ia sangat mirip dengannya...” bisiknya penuh tekanan. “Sekarang... tunjukkan padaku dimana saudari kembarnya.” perintah penyihir itu.
Cermin tua itu mendadak memancarkan cahaya Magic keemasan yang menyilaukan dan dalam satu hentakan.
Wuusshhh!
Hembusan angin gaib menyergap tanpa peringatan. Tubuh sang Penyihir terpental keras hingga membentur dinding batu kastel, terjerembap beberapa meter dari tempatnya berdiri semula.
“Yang Mulia! Yang Mulia, apakah Anda baik-baik saja?” Kaylos segera menghampiri dengan wajah panik.
Dengan desis amarah, sang Penyihir mengibaskan debu dari jubahnya, lalu berdiri tegak. “Sial,” gerutunya pedas, sorot matanya menyala penuh dendam.
Kaylos menunduk. “Tampaknya... sang putri yang lain masih berada di dalam istana, Yang Mulia.”
Sang Penyihir kembali menatap cermin yang kini telah tenang, "Tak akan ku biarkan darah wanita itu mengalir lebih lama..." gumamnya, suara serak dan padat kebencian.
"Aku akan memusnahkan mereka..." Ia mengepalkan tangannya erat-erat. “Akan ku memusnahkan semua keturunan nya.Ya… Akan ku musnahkan… pasti… pasti… pasti…!”
"Ahahahaha! Ahahaha!"
Tawa mengerikannya meledak memenuhi ruang, membubung keluar menembus jendela-jendela kastel tua di jantung Hutan Kegelapan. Suaranya menggema hingga membuat kawanan gagak yang bertengger di luar kastel beterbangan menjauh ketakutan.
...───✦───...
Di sisi lain istana, taman kerajaan bersinar temaram diterangi lentera-lentera kristal yang menggantung di sepanjang jalan setapak. Udara malam dibalut keharuman bunga musim semi, sementara para bangsawan berlalu-lalang, keluar masuk dari aula utama yang dipenuhi sorak perayaan.
Di antara denting lembut musik pesta, Putri Althea duduk di atas ayunan kayu berukir yang tergantung pada pohon tua nan megah. Gaunnya yang menjuntai bergoyang perlahan seiring ayunan yang didorong lembut dari belakang oleh Pangeran Arzhel.
“Pangeran Arzhel,” panggilnya pelan.
“Panggil aku Arzhel saja,” sahut sang pangeran dengan senyum lembut.
“Memangnya... itu diperbolehkan?” tanya Althea, matanya membulat polos.
“Tentu saja. Bukankah kini kita adalah teman?” Arzhel lalu duduk di ayunan tepat di sampingnya.
“Benarkah?” tanya Althea dengan binar harap di matanya.
“Iya,” jawab Arzhel sambil ikut berayun perlahan bersama sang putri.
Namun seketika, senyum Althea memudar. Ia memeluk rambutnya, membiarkan ayunan berhenti.
“Tapi... apakah kau tidak malu berteman denganku?”
Arzhel menoleh dengan alis terangkat. “Kenapa harus malu?”
“Rambutku... hitam,” bisik Althea lirih, nyaris seperti gumaman,
"apa salahnya? ada banyak bangsawan lain juga berambut hitam?" tanya Arzhel
"Kau tidak mengerti," berhenti berayun.
“Di Kerajaan Eamor, setiap keturunan murni Cahaya... memiliki rambut putih. Hanya aku yang tidak.”
“Oh?” Arzhel tampak terkejut. “Aku baru mengetahuinya.”
Althea menunduk lebih dalam. “Sekarang kau tahu. Mungkin setelah ini... kau tidak ingin menjadi temanku lagi.”
Melihat kesedihannya, Arzhel segera turun dari ayunan dan berdiri di hadapannya. Dengan lembut ia berjongkok, menatap mata Althea yang suram.
“Siapa bilang aku tidak ingin berteman denganmu?”
“Semua orang berpikir begitu...” lirih Althea.
“Aku tidak seperti mereka,” jawab Arzhel tegas. “Bagiku, hitam ataupun putih, rambutmu tak akan pernah mengubah kenyataan bahwa kau adalah bagian dari Kerajaan Cahaya. Lagi pula kau... Althea, tidak akan pernah berniat menyakiti siapa pun, bukan?”
“Tentu tidak!” jawab Althea panik. “Aku tidak pernah ingin menyakiti siapa pun!”
“Aku tahu, aku percaya padamu,” Arzhel mengangguk mantap. Ia mengulurkan tangan, penuh harap dan ketulusan. “Jadi, apakah kau mau berteman denganku, Putri Althea?”
“Tentu saja aku mau!” Althea menyambar tangannya cepat, wajahnya berseri. Untuk pertama kalinya, ia memiliki seorang teman.
“Ayo kita kembali ke istana. Sebentar lagi, pesta kembang api akan dimulai,” ujar Arzhel seraya menengadah ke langit malam.
“Kembang api?” tanya Althea polos. “Apa itu?”
Arzhel terkekeh. “Kau belum pernah melihatnya? Itu seperti bintang yang meledak di langit, berkilau dan menari dalam warna-warna ajaib. Biasanya dinyalakan saat perayaan ulang tahun keluarga bangsawan.”
“Benarkah! Aku ingin melihatnya!” seru Althea penuh semangat.
Mereka pun berlari menuruni taman, lalu naik ke teras tinggi istana yang menghadap langit luas.
“Arzhel, kenapa belum ada juga?” tanya Althea tak sabar, matanya menatap langit penuh harap.
“Tunggu saja...” jawab Arzhel, dan tepat saat itu...
Wuusshh! Zetttarrrr!!!
Sebuah cahaya meluncur ke langit, meledak menjadi percikan-percikan warna keemasan, ungu, dan biru lembut.
“Waaah...” Althea menatap takjub, matanya memantulkan gemerlap cahaya seperti cermin.
“Indah, bukan?” ucap Arzhel.
“Indah sekali...” balas Althea penuh kekaguman.
Tiba-tiba, suara berat dan hangat terdengar dari belakang. “Disini rupanya kalian.”
Keduanya menoleh cepat. Seorang pria berpakaian kebesaran berdiri dengan senyum bijak di wajahnya yang tak lain adalah Duke Aelion Garamosador di sebelahnya ada Marquess Tahsan.
“Duke!” seru Althea, lalu berlari memeluk pria itu. Dengan spontan, sang Duke mengangkatnya dalam pelukan. “Lihat itu Duke, cahayanya indah sekali!” ucapnya penuh semangat sembari menunjuk langit.
"Iya, sangat cantik," balas Duke lembut.
“Ayah,” Arzhel menghampiri sosok bangsawan disebelahnya.
“Ayo kita pulang, Arzhel,” ucap Tahsan lembut. “Kami mohon diri, Duke.”
“Silakan. Hati-hati di jalan,” sahut Duke.
Marquess menunduk sopan. “Sampai jumpa, Tuan Putri.”
“Sampai jumpa! Dadaa... Arzhel! Hati-hati ya!” seru Althea sambil melambaikan tangan kecilnya.
Marquess Tahsan dan Arzhel membalas lambaian itu, lalu berjalan perlahan meninggalkan istana.
“Apakah hari ini kau senang, Althea?” tanya Duke lembut.
“Iya, senang sekali...” jawab Althea kecil sambil memeluk leher Duke. “Ah! Kakak!” serunya tiba-tiba, melihat sosok kakaknya mendekat.
Alourra berjalan dengan langkah anggun, wajahnya tampak letih namun tetap tersenyum.
“Maaf, Althea... Kakak tak sempat menemanimu melihat kembang api,” ucapnya lembut.
“Tidak apa-apa! Tadi aku bertemu teman!” seru Althea senang.
“Benarkah?” tanya Alourra, agak terkejut namun bahagia.
“Dia baik sekali.”
Alourra menoleh ke arah Duke yang tersenyum penuh arti, membuatnya ikut tersenyum. “Senang mendengarnya,” katanya sambil mengusap rambut Althea dengan sayang. “Sekarang, ayo kita tidur. Ini sudah larut malam.”
“Ayo... aku juga sudah mengantuk,” gumam Althea kecil, mulai menguap pelan.
“Tidak apa-apa kan, Duke?” tanya Alourra sopan.
Duke mengangguk. “Penjaga, antar Tuan Putri ke kamarnya,” perintahnya lembut.
...· · ─ ·𖥸· ─ · ·...