Sebelum ada bintang, sebelum Bumi terbentuk, dia sudah ada.
Makhluk abadi tanpa nama, yang telah hidup melewati kelahiran galaksi dan kehancuran peradaban. Setelah miliaran tahun mengembara di jagat raya, ia memilih menetap di satu tempat kecil bernama Bumi — hanya untuk mengamati makhluk fana berkembang… lalu punah… lalu berkembang lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masuk Universitas
BAB 1 —
Fajar menyapu langit Kota Jiangcheng dengan warna emas pucat. Sinar mentari pertama menyentuh puncak tertinggi dari perumahan elite di Pegunungan Qinglong — sebuah kawasan yang hanya bisa dimasuki oleh orang-orang dengan identitas paling rahasia di dunia.
Di titik tertinggi kawasan itu, berdiri sebuah vila megah berarsitektur hitam perak, mencolok tapi tetap sunyi. Bangunan yang menatap seluruh kota dari atas awan. Rumah itu milik seseorang yang tidak pernah terlihat keluar. Tidak ada tamu. Tidak ada nama di gerbang. Tapi para penghuni vila di bawahnya tahu satu hal: tempat itu bukan milik manusia biasa.
---
Di dalam vila, seorang pria berdiri diam di balkon lantai dua.
Tinggi 190 cm, berambut hitam legam, dan bermata biru gelap yang tak memantulkan cahaya. Matanya memandang jauh, menembus langit, menatap tempat yang tak bisa dilihat manusia biasa — tempat asalnya, di luar Bimasakti, di antara gugus bintang yang kini telah hancur.
Alex Chu.
Makhluk abadi yang telah hidup di bumi selama ribuan tahun.
Penguasa ekonomi global.
Orang yang bisa menjatuhkan pasar dunia hanya dengan satu bisikan.
Tapi pagi ini...
Dia hanya akan berangkat kuliah.
---
Ia berjalan turun dari ruang meditasi, melewati koridor kaca yang menghadap ke ruang bawah tanah.
Lift khusus terbuka pelan, dan membawa tubuhnya turun ke basement lantai keempat. Deretan lampu menyala otomatis saat kehadirannya terdeteksi. Di sepanjang dinding parkiran bawah tanah itu, ratusan mobil sport dan hypercar berjejer diam seperti pasukan siap tempur.
Bugatti La Voiture Noire. Koenigsegg Jesko. McLaren Speedtail.
Dan di sudut terpencil, sebuah Lamborghini Miura klasik tahun 1971 — satu-satunya peninggalan yang ia rawat sejak era ketika dunia masih mengenal teknologi analog.
Langkahnya berhenti di depan Ferrari SF90 Stradale berwarna hitam pekat. Tidak mencolok, tapi cukup untuk membuat kepala orang-orang menoleh... jika mereka tahu siapa pengemudinya.
Mesin menderu pelan.
---
Beberapa menit kemudian, sebuah supercar meluncur tenang keluar dari gerbang atas kompleks elite Qinglong.
Mobil itu menuruni jalan pegunungan dengan kecepatan stabil. Tidak ada suara. Tidak ada pengawalan. Tidak ada plat nomor khusus.
Di dalamnya, duduk seorang pemuda tampan bermata biru dingin. Tenang. Diam. Tidak memainkan ponsel, tidak mendengarkan musik. Ia hanya menyetir sambil menatap jalanan kota yang mulai ramai.
“Manusia... masih belum banyak berubah.”
Suaranya pelan, nyaris seperti gumaman yang hilang tertelan waktu.
---
Setengah jam kemudian, mobil itu berhenti beberapa blok sebelum kampus utama Universitas Jiangcheng. Alex Chu turun, mengunci mobilnya, dan berjalan kaki melewati trotoar kecil menuju gerbang kampus.
Ia melewati mahasiswa yang baru turun dari bus, dari taksi, dari ojek online... tidak ada yang menoleh. Tidak ada yang menyadari.
Langkah kaki Alex Chu terdengar ringan di antara derap mahasiswa lain yang bergegas menuju gedung kuliah. Ia mengenakan kemeja hitam sederhana, celana panjang abu gelap, dan sepatu kulit polos. Tidak ada merek mencolok. Tidak ada aksesoris mewah. Hanya kesederhanaan mutlak yang menyembunyikan auranya yang luar biasa.
Namun, siapa pun yang berpapasan dengannya akan merasa aneh—
Seolah tubuh pria itu memancarkan tekanan tak kasat mata.
Dingin. Tenang. Mewah… tapi tak terjangkau.
---
Gedung Fakultas Ekonomi Internasional.
Ruang 402.
Kelas pertama hari ini: “Pengantar Analisis Global.”
Alex Chu masuk ruang kelas yang telah setengah terisi.
Semua mata sempat melirik sekilas, tapi tak ada yang benar-benar memperhatikan — hingga dua detik kemudian, sebagian dari mereka terpaku.
> “Eh… siapa itu?”
“Baru masuk ya? Kok kayak… aktor Hollywood?”
“Tinggi banget… dan matanya biru… asli nggak sih?”
Terdengar bisik-bisik pelan, terutama dari beberapa mahasiswi yang duduk di dekat jendela.
Alex duduk di bangku pojok belakang tanpa mengucapkan sepatah kata.
Ia membuka tablet tipis dari tas kulit kecilnya, lalu mulai membaca dokumen internal ekonomi dunia… meskipun mata kuliah ini hanya membahas hal-hal yang menurutnya “sudah basi sejak lima abad lalu.”
---
Beberapa menit kemudian, langkah sepatu berhak tinggi terdengar mendekat.
DOK DOK DOK…