Meminta Jodoh Di Jabal Rahmah?
Bertemu Jodoh Di Kota Jakarta?
Ahtar Fauzan Atmajaya tidak menyangka jika ia akan jatuh cinta pada seorang wanita yang hanya ia temui di dalam mimpinya saja.
“Saya tidak hanya sekedar memberi alasan, melainkan kenyataan. Hati saya merasa yakin jika Anda tak lain adalah jodoh saya.”
“Atas dasar apa hati Anda merasa yakin, Tuan? Sedangkan kita baru saja bertemu. Bahkan kita pun berbeda... jauh berbeda. Islam Agama Anda dan Kristen agama saya.”
Ahtar tersenyum, lalu...
“Biarkan takdir yang menjalankan perannya. Biarkan do'a yang berperang di langit. Dan jika nama saya bersanding dengan nama Anda di lauhul mahfudz-Nya, lantas kita bisa apa?”
Seketika perempuan itu tak menyangka dengan jawaban Ahtar. Tapi, kira-kira apa yang membuat Ahtar benar-benar merasa yakin? Lalu bagaimana kisah mereka selanjutnya? Akankah mereka bisa bersatu?
#1Dokter
#1goodboy
#hijrah
#Religi
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alfianita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Prolog
Prolog
...*...
...*...
...𝙳𝚒𝚜𝚌𝚕𝚊𝚒𝚖𝚎𝚛....
𝚂𝚎𝚖𝚞𝚊 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚊𝚍𝚊 𝚍𝚊𝚕𝚊𝚖 𝚌𝚎𝚛𝚒𝚝𝚊 𝚒𝚗𝚒, 𝚝𝚘𝚔𝚘𝚑, 𝚊𝚕𝚞𝚛, 𝚕𝚊𝚝𝚊𝚛 𝚍𝚊𝚗 𝚔𝚎𝚓𝚊𝚍𝚒𝚊𝚗 𝚊𝚍𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚏𝚒𝚔𝚜𝚒. 𝙲𝚎𝚛𝚒𝚝𝚊 𝚒𝚗𝚒 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚊𝚗𝚍𝚞𝚗𝚐 𝚞𝚗𝚜𝚞𝚛 𝚔𝚎𝚍𝚘𝚔𝚝𝚎𝚛𝚊𝚗. 𝙽𝚊𝚖𝚞𝚗 𝚙𝚎𝚛𝚕𝚞 𝚍𝚒𝚒𝚗𝚐𝚊𝚝, 𝚌𝚎𝚛𝚒𝚝𝚊 𝚒𝚗𝚒 𝚝𝚒𝚍𝚊𝚔 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚐𝚊𝚖𝚋𝚊𝚛𝚔𝚊𝚗 𝚔𝚎𝚑𝚒𝚍𝚞𝚙𝚊𝚗 𝚍𝚘𝚔𝚝𝚎𝚛 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚜𝚎𝚜𝚞𝚗𝚐𝚐𝚞𝚑𝚗𝚢𝚊.
Apabila ada kesamaan nama, tokoh, 𝚕𝚊𝚝𝚊𝚛 , 𝚍𝚊𝚗 𝚜𝚌𝚎𝚗𝚎 𝚒𝚝𝚞 𝚜𝚎𝚖𝚞𝚊 𝚖𝚞𝚛𝚗𝚒 𝚝𝚒𝚍𝚊𝚔 𝚜𝚎𝚗𝚐𝚊𝚓𝚊. 𝙱𝚞𝚔𝚊𝚗 𝚙𝚕𝚊𝚐𝚒𝚊𝚝 𝚍𝚊𝚗 𝚓𝚊𝚍𝚒𝚕𝚊𝚑 𝚙𝚎𝚖𝚋𝚊𝚌𝚊 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚋𝚒𝚓𝚊𝚔.
...*...
...*...
𝙳𝚊𝚗 𝚖ohon ma'af 𝚢𝚊... nanti anggap saja percakapan 𝚍𝚒𝚌𝚎𝚛𝚒𝚝𝚊 𝚒𝚗𝚒 menggunakan bahasa Inggris ya. 𝙱𝚊𝚑𝚊𝚜𝚊 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚜𝚎𝚛𝚒𝚗𝚐 𝚍𝚒𝚐𝚞𝚗𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚜𝚊𝚊𝚝 𝚋𝚎𝚛𝚔𝚘𝚖𝚞𝚗𝚒𝚔𝚊𝚜𝚒 𝚍𝚒 𝚔𝚘𝚝𝚊 𝚙𝚘𝚛𝚝𝚘𝚋𝚎𝚕𝚕𝚘, 𝚂𝚔𝚘𝚝𝚕𝚊𝚗𝚍𝚒𝚊, 𝙴𝚍𝚒𝚗𝚋𝚞𝚛gh😉
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Portobello, Skotlandia.
"Tolong!"
Teriakan itu begitu menyayat hati bagi gendang telinga yang mendengarnya. Akan tetapi tidak bagi lima lelaki yang terus melangkahkan kaki mendekati gadis remaja itu.
"Tolong kalian semua pergi jauh dari sini!" teriak gadis itu.
"Hiks...hiks,,hiks..." Air mata gadis itu melesat begitu saja, pelupuk matanya tak mampu membendung air mata yang sudah tumpah dengan di iringi napas naik turun karena rasa takut.
"Jangan harap kamu lepas dari kami, cantik. Ha... Ha... Ha..." Tawa itu memekakkan telinga. Layani kami sampai kami merasa puas.
Lima lelaki berbadan tegap itu semakin mendekat tanpa mempedulikan isak tangis dari gadis remaja yang ada di depan mereka. Bahkan tawa ke limanya terdengar memekakkan telinga.
Malam yang gelap seakan mencekam, membuat jantung gadis remaja itu seakan berhenti berdetak. Bibirnya seakan tidak bisa lagi mengucapkan satu kata apapun. Hanya di dalam hatinya ia berharap ada yang akan membantunya pergi dari lima lelaki yang seolah ingin menerkam tubuhnya.
'Ya Allah hamba menginginkan Kun Fa𝚢akun dari-Mu saat ini. Semoga Engkau memberikan pertolongan kepada hamba dari kejahatan mereka.' Gadis remaja itu bermonolog dalam hati.
Ke lima lelaki itu sudah berdiri mengelilingi Hafizha. Tatapan yang tajam dan buas dari ke limanya seakan siap menerkam mangsa yang ada di depan mereka.
"Berhenti!" teriakan seorang lelaki.
Tiba-tiba ke lima lelaki itu mengarah pada Akhtar yang berdiri tak jauh dari mereka.
"Jangan sentuh adik ku sedikitpun!" ucap Akhtar tegas dengan tatapan tajam, setajam silet.
"Siapa kamu memangnya, hah." Salah satu preman itu pun bertanya dengan wajah menantang. "Jangan ganggu kesenangan kami malam ini, jika kamu tidak ingin mati di tangan kami."
"Bang Akhtar, tolong!" teriak Hafizha.
Akhtar seketika merasa hatinya tersayat mendapati Hafizha dalam keadaan tidak baik-baik saja. Tatapan dari bola mata kecoklatan itu nampak memohon, tangan putih mulus Hafizha bergetar karena ketakutan dan bahkan tangis pun tak kunjung reda hingga membuat mata Hafizha sembab.
"Hafizha, kamu yang tenang. Abang akan menyelamatkan kamu, jangan menangis." Sengaja kalimat itu Akhtar ucapkan untuk menenangkan Hafizha, meskipun ia sendiri tahu hatinya sakit.
Hafizha hanya mengangguk sambil mengusap sisa air mata yang membasahi pipinya. Dan tak lupa Hafizha melantunkan dzikir meskipun hanya di dalam hatinya.
Akhtar berjalan maju secara perlahan dengan tatapan tajam. Sesekali Akhtar melirik, ia berusaha untuk tetap siaga saat penjahat itu akan menyerangnya secara tiba-tiba.
Ke lima penjahat itu saling lirik. Dan tak lama kemudian salah satu dari mereka pun memerintah untuk melakukan tindakan selanjutnya.
“Kalian serang saja laki-laki sok jagoan ini. Dan aku... Aku akan membawa gadis cantik ini menepi.” Laki-laki itupun tersenyum smirk. “Cepat serang dan jangan sampai gagal. Kita harus bersenang-senang malam ini tanpa ada gangguan dari siapapun, termasuk... Dia.”
Ke empat preman itu mengangguk. Setelah itu mereka maju dan menyerang Akhtar secara tiba-tiba. Beberapa kali ke empat preman itu melayangkan tinjuan secara bergantian pada Akhtar, tapi untungnya Akhtar selalu cekatan dan bisa menepis setiap tinjuan dari mereka.
Akhtar terus melakukan perlawanan, ia sesekali melayangkan tinjuan dan tendangan hingga membuat ke tiga preman itu tumbang. Dan kini masih ada satu preman yang harus Akhtar lawan. Akan tetapi...
"Sial! Bagaimana dia bisa membawa pisau lipat? Sedangkan aku...tak membawa sejata apa-apa."
Preman itu menodongkan pisau lipat yang tajam di depan Akhtar. Dengan senyum seringai preman itu memberi perlawanan.
"Terus hajar laki-laki itu, kalau bisa sampai ...keok. Alias...mati," titah preman yang masih memegangi lengan Hafizha.
"Tolong jangan sakiti Abang saya! Saya mohon hiks... Hiks... Hiks..."
Mendengar tangisan Hafizha membuat Akhtar hilang fokus, hingga akhirnya...
“𝙹𝚕𝚎𝚋!”
“Astaghfirullah.”
Akhtar menatap preman itu dengan mata teduhnya. Kedua matanya terpejam sejenak, ia merasakan perutnya nyeri.
"𝙰𝚛𝚐𝚑!" rintih Akhtar pelan saat pisau itu kembali ditarik oleh preman itu.
Akhtar sempoyongan saat mendapatkan tusukan yang cukup dalam dari preman itu. Seketika darah segar mengucur dari perut kanannya, bahkan darah 𝚜𝚎𝚐𝚊𝚛 menembus kemeja putih yang Akhtar kenakan malam itu.
𝙰𝚔𝚑𝚝𝚊𝚛 𝚜𝚎𝚐𝚎𝚛𝚊 𝚖𝚎𝚗𝚞𝚝𝚞𝚙 𝚕𝚞𝚔𝚊 𝚝𝚞𝚜𝚞𝚔 𝚍𝚒 𝚙𝚎𝚛𝚞𝚝𝚗𝚢𝚊 𝚒𝚝𝚞 𝚍𝚎𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚝𝚎𝚕𝚊𝚙𝚊𝚔 𝚝𝚊𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚔𝚊𝚗𝚊𝚗𝚗𝚢𝚊. 𝚙𝚊𝚗𝚍𝚊𝚗𝚐𝚊𝚗 𝙰𝚔𝚑𝚝𝚊𝚛 𝚙𝚞𝚗 kabur setelah menyadari darah itu terus keluar dari perutnya. Langkahnya terhuyung mundur dan dia nyaris terjatuh. Untung saja ada tembok di belakang Akhtar, hingga tubuhnya pun bersandar sejenak.
“Bang Akhtar hiks…hiks…hiks…”
Hafizha berteriak. Rasanya gadis itu tak sanggup melihat Akhtar terluka, bahkan 𝚖𝚎𝚕𝚒𝚑𝚊𝚝 darah 𝚢𝚊𝚗𝚐 masih merembes dan semakin 𝚖𝚎𝚕𝚎𝚋𝚊𝚛 𝚖𝚎𝚖𝚋𝚞𝚊𝚝 𝚑𝚊𝚝𝚒 𝙷𝚊𝚏𝚒𝚣𝚑𝚊 𝚜𝚎𝚛𝚊𝚜𝚊 𝚍𝚒𝚌𝚊𝚋𝚒𝚔-𝚌𝚊𝚋𝚒𝚔.
‘Ya Allah... Meskipun bang Akhtar bukanlah abang kandungku tapi Dia lelaki baik dan sholeh. Tolong lindungilah Dia ya Allah. Aamiin.’ Hafizha berdo'a dalam hati.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Huh!"
Seorang gadis yang berusia dua puluh tiga tahun itu membanting tubuhnya sembarangan di atas kasur. Dan saat sedang istirahat gadis itu menatap langit-langit dengan tatapan kosong.
"Apa langkah selanjutnya setelah malam ini kita berhasil melakukan misi, Na?"
Terdengar suara laki-laki yang bertanya pada gadis itu setelah duduk di sebelahnya. Walaupun sebenarnya laki-laki itu ingin segera menyudahi pekerjaan kotor yang selalu membuat hidupnya bagaikan 𝚍𝚒 𝚛𝚘𝚕𝚕𝚎𝚛 𝚌𝚘𝚊𝚜𝚝𝚎𝚛.
"Entahlah!" Zuena duduk. "Sebenarnya aku sudah lelah, Adam. Tapi..."
"Sama. Tapi kita tidak bisa hidup bebas seperti manusia lainnya, harus dalam pengawasan dan terus sembunyi. Dan hal itu membuat𝚔𝚞 amat... Risih." 𝚄𝚌𝚊𝚙 𝙰𝚍𝚊𝚖 𝚖𝚎𝚖𝚘𝚝𝚘𝚗𝚐 𝚞𝚌𝚊𝚙𝚊𝚗 𝚉𝚞𝚎𝚗𝚊.
Dan kini giliran Adam yang merebahkan tubuhnya di atas kasur. Sedangkan Zuena berdiri, lalu membuka jaket kulit yang berwarna hitam, setelahnya Zuena mengganti pakaiannya dengan pakaian manusia normal, 𝚙𝚊𝚔𝚊𝚒𝚊𝚗 𝚊𝚕𝚊 𝚔𝚊𝚍𝚊𝚛𝚗𝚢𝚊 𝚜𝚎𝚋𝚊𝚐𝚊𝚒 𝚠𝚊𝚗𝚒𝚝𝚊 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚑𝚒𝚍𝚞𝚙 𝚜𝚎𝚍𝚎𝚛𝚑𝚊𝚗𝚊. Dan tak lupa 𝚛𝚊𝚖𝚋𝚞𝚝 𝚕𝚗𝚢𝚊𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚙𝚊𝚗𝚓𝚊𝚗𝚐 𝚍𝚊𝚗 𝚕𝚞𝚛𝚞𝚜 𝚒𝚊 kucir satu ke atas.
"Mau kemana ka𝚖u? Perasaan tak ada tugas lagi dari paman Aditya." Ditatapnya Zuena dengan intimidasi.
"Hanya ingin mencari udara segar. Dan kau tak perlu ikuti aku, aku ingin menikmati malam di kota Edinburgh ini... Kota kelahiranku." Zuena tersenyum begitu manis, menampakkan sederet gigi yang siap untuk kering.
Zuena mengabaikan Adam yang masih memperhatikan. Berhubung 𝚉𝚞ena ingin segera merasakan udara segar di malam hari saat berada di kota Edinburgh, ia segera meninggalkan perumahan yang dijadikannya tempat tinggal sementara selama masih berada di Edinburgh.
"Semoga aku mendapatkan pencerahan hidup, meski aku tidak tahu bagaimana caranya. Menjalani hidup yang seperti ini membuat kehidupanku tidak sebebas mereka."
Zuena menaiki sepedanya, kendaraan yang membuatnya 𝚖𝚎𝚛𝚊𝚜𝚊 nyaman saat singgah di kota 𝙿𝚘𝚛𝚝𝚘𝚋𝚎𝚕𝚕𝚘, 𝙴𝚍𝚒𝚗𝚋𝚞𝚛𝚐𝚑.
𝚉𝚞𝚎𝚗𝚊 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚊𝚢𝚞𝚑 𝚜𝚎𝚙𝚎𝚍𝚊𝚗𝚢𝚊 𝚍𝚎𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚐𝚘𝚗𝚝𝚊𝚒. 𝚂𝚎𝚜𝚎𝚔𝚊𝚕𝚒 𝚒𝚊 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚑𝚒𝚛𝚞𝚙 𝚞𝚍𝚊𝚛𝚊 𝚖𝚊𝚕𝚊𝚖 𝚍𝚒 𝚜𝚎𝚔𝚒𝚝𝚊𝚛 𝚙𝚊𝚗𝚝𝚊𝚒 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚜𝚎𝚛𝚊𝚜𝚊 𝚖𝚎𝚗𝚢𝚎𝚐𝚊𝚛𝚔𝚊𝚗. 𝙳𝚊𝚗 𝚝𝚊𝚔 𝚕𝚊𝚖𝚊 𝚔𝚎𝚖𝚞𝚍𝚒𝚊𝚗 𝚉𝚞𝚎𝚗𝚊 𝚖𝚎𝚖𝚊𝚜𝚞𝚔𝚒 𝚓𝚊𝚕𝚊𝚗 𝚛𝚊𝚢𝚊 𝚝𝚊𝚔 𝚓𝚊𝚞𝚑 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚙𝚊𝚗𝚝𝚊𝚒 𝚝𝚎𝚛𝚜𝚎𝚋𝚞𝚝.
“𝚃𝚘𝚕𝚘𝚗𝚐!”
𝚉𝚞𝚎𝚗𝚊 𝚜𝚎𝚔𝚎𝚝𝚒𝚔𝚊 𝚖𝚎𝚗𝚎𝚔𝚊𝚗 𝚛𝚎𝚖 𝚜𝚎𝚙𝚎𝚍𝚊𝚗𝚢𝚊, 𝚜𝚎𝚝𝚎𝚕𝚊𝚑 𝚜𝚎𝚙𝚎𝚍𝚊𝚗𝚢𝚊 𝚋𝚎𝚛𝚑𝚎𝚗𝚝𝚒 𝚉𝚞𝚎𝚗𝚊 𝚖𝚎𝚖𝚊𝚜𝚝𝚒𝚔𝚊𝚗 𝚜𝚞𝚊𝚛𝚊 𝚝𝚎𝚛𝚒𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚒𝚝𝚞 𝚋𝚎𝚛𝚊𝚜𝚊𝚕 𝚍𝚊𝚛𝚒𝚖𝚊𝚗𝚊.
“𝙾𝚑 𝙶𝚘𝚍! 𝙳𝚊𝚛𝚊𝚑𝚗𝚢𝚊 𝚋𝚊𝚗𝚢𝚊𝚔 𝚜𝚎𝚔𝚊𝚕𝚒, 𝚊𝚔𝚞 𝚝𝚊𝚔 𝚋𝚒𝚜𝚊 𝚋𝚒𝚊𝚛𝚔𝚊𝚗 𝚒𝚝𝚞.”
𝚉𝚞𝚎𝚗𝚊 𝚝𝚎𝚛𝚑𝚎𝚗𝚢𝚊𝚔 𝚖𝚎𝚕𝚒𝚑𝚊𝚝 𝚙𝚎𝚛𝚞𝚝 𝙰𝚔𝚑𝚝𝚊𝚛 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚜𝚞𝚍𝚊𝚑 𝚋𝚎𝚛𝚕𝚞𝚖𝚞𝚛𝚊𝚗 𝚍𝚊𝚛𝚊𝚑.
“𝙻𝚎𝚙𝚊𝚜𝚔𝚊𝚗 𝙳𝚒𝚊! 𝚆𝚘𝚒 𝚙𝚎𝚗𝚐𝚎𝚌𝚞𝚝.”
𝚉𝚞𝚎𝚗𝚊 𝚍𝚎𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚋𝚎𝚛𝚊𝚗𝚒 𝚖𝚎𝚗𝚊𝚛𝚒𝚔 𝚙𝚎𝚛𝚑𝚊𝚝𝚒𝚊𝚗 𝚍𝚞𝚊 𝚙𝚛𝚎𝚖𝚊𝚗 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚋𝚎𝚕𝚞𝚖 𝚝𝚞𝚖𝚋𝚊𝚗𝚐 𝚒𝚝𝚞. 𝚉𝚞𝚎𝚗𝚊 𝚖𝚎𝚗𝚍𝚎𝚔𝚊𝚝 𝚝𝚊𝚗𝚙𝚊 𝚊𝚍𝚊 𝚛𝚊𝚜𝚊 𝚝𝚊𝚔𝚞𝚝 𝚜𝚎𝚍𝚒𝚔𝚒𝚝𝚙𝚞𝚗.
“𝙺𝚊𝚕𝚊𝚞 𝚋𝚎𝚛𝚊𝚗𝚒 𝚖𝚊𝚒𝚗𝚗𝚢𝚊 𝚓𝚊𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚔𝚎𝚛𝚘𝚢𝚘𝚔𝚊𝚗 𝚍𝚘𝚗𝚐. 𝚂𝚊𝚝𝚞 𝚋𝚊𝚗𝚍𝚒𝚗𝚐 𝚜𝚊𝚝𝚞." 𝚉𝚞𝚎𝚗𝚊 𝚖𝚎𝚗𝚊𝚝𝚊𝚙 𝚝𝚊𝚓𝚊𝚖 𝚙𝚛𝚎𝚖𝚊𝚗 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚖𝚊𝚜𝚒𝚑 𝚖𝚎𝚖𝚎𝚐𝚊𝚗𝚐 𝚙𝚒𝚜𝚊𝚞. “𝙺𝚊𝚞, 𝚖𝚊𝚓𝚞.”
“𝙷𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚋𝚊𝚗𝚢𝚊𝚔 𝚗𝚐𝚘𝚖𝚘𝚗𝚐. 𝙺𝚊𝚕𝚊𝚞 𝚔𝚊𝚖𝚞 𝚙𝚎𝚗𝚐𝚎𝚗 𝚖𝚊𝚝𝚒 𝚊𝚔𝚞 𝚙𝚞𝚗 𝚜𝚒𝚊𝚙 𝚖𝚎𝚕𝚊𝚍𝚎𝚗𝚒."
𝙿𝚛𝚎𝚖𝚊𝚗 𝚒𝚝𝚞 𝚖𝚎𝚖𝚊𝚒𝚗𝚔𝚊𝚗 𝚙𝚒𝚜𝚊𝚞𝚗𝚢𝚊 𝚞𝚗𝚝𝚞𝚔 𝚖𝚎𝚖𝚋𝚎𝚛𝚒 𝚕𝚞𝚔𝚊 𝚍𝚒 𝚝𝚞𝚋𝚞𝚑 𝚉𝚞𝚎𝚗𝚊. 𝙽𝚊𝚖𝚞𝚗, 𝚉𝚞𝚎𝚗𝚊 𝚍𝚎𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚋𝚎𝚐𝚒𝚝𝚞 𝚕𝚒𝚑𝚊𝚒 𝚖𝚎𝚗𝚊𝚗𝚐𝚔𝚒𝚜 𝚜𝚎𝚝𝚒𝚊𝚙 𝚜𝚎𝚛𝚊𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚍𝚒𝚕𝚊𝚔𝚞𝚔𝚊𝚗 𝚙𝚛𝚎𝚖𝚊𝚗 𝚒𝚝𝚞.
“𝚄𝚔𝚑!” 𝚜𝚞𝚊𝚛𝚊 𝚙𝚛𝚎𝚖𝚊𝚗 𝚒𝚝𝚞 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚖𝚎𝚗𝚍𝚊𝚙𝚊𝚝𝚔𝚊𝚗 𝚙𝚞𝚔𝚞𝚕𝚊𝚗 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚉𝚞𝚎𝚗𝚊.
𝚉𝚞𝚗𝚊 𝚝𝚊𝚔 𝚖𝚊𝚞 𝚔𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚋𝚎𝚐𝚒𝚝𝚞 𝚜𝚊𝚓𝚊 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚙𝚛𝚎𝚖𝚊𝚗 𝚒𝚝𝚞. 𝚉𝚞𝚎𝚗𝚊 𝚝𝚎𝚛𝚕𝚒𝚑𝚊𝚝 𝚋𝚎𝚐𝚒𝚝𝚞 𝚝𝚎𝚛𝚕𝚊𝚝𝚒𝚑 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚑𝚊𝚍𝚊𝚙𝚒 𝚙𝚛𝚎𝚖𝚊𝚗 𝚒𝚝𝚞, 𝚋𝚊𝚑𝚔𝚊𝚗 𝚉𝚞𝚎𝚗𝚊 𝚖𝚎𝚖𝚋𝚎𝚛𝚒𝚔𝚊𝚗 𝚓𝚎𝚍𝚊 𝚊𝚝𝚊𝚜 𝚙𝚎𝚛𝚝𝚊𝚛𝚞𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚜𝚎𝚗𝚐𝚒𝚝𝚗𝚢𝚊 𝚍𝚊𝚗 𝚖𝚎𝚗𝚊𝚠𝚊𝚛𝚔𝚊𝚗 𝚙𝚎𝚛𝚍𝚊𝚖𝚊𝚒𝚊𝚗 𝚊𝚐𝚊𝚛 𝚔𝚎𝚍𝚞𝚊 𝚙𝚛𝚎𝚖𝚊𝚗 𝚒𝚝𝚞 𝚙𝚎𝚛𝚐𝚒 𝚍𝚊𝚗 𝚖𝚎𝚕𝚎𝚙𝚊𝚜𝚔𝚊𝚗 𝚐𝚊𝚍𝚒𝚜 𝚒𝚝𝚞.
“𝚃𝚊𝚔 𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚔𝚊𝚖𝚒 𝚕𝚎𝚙𝚊𝚜𝚔𝚊𝚗. 𝙹𝚞𝚜𝚝𝚛𝚞 𝚔𝚊𝚖𝚞 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚑𝚊𝚛𝚞𝚜 𝚖𝚞𝚗𝚍𝚞𝚛 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚙𝚊𝚍𝚊 𝚔𝚊𝚖𝚞 𝚝𝚎𝚛𝚕𝚞𝚔𝚊 𝚜𝚎𝚙𝚎𝚛𝚝𝚒 𝚕𝚊𝚔𝚒-𝚕𝚊𝚔𝚒 𝚋𝚘𝚍𝚘𝚑 𝚒𝚝𝚞.” 𝙿𝚛𝚎𝚖𝚊𝚗 𝚒𝚝𝚞 𝚖𝚎𝚗𝚞𝚗𝚓𝚞𝚔 𝚔𝚎 𝚊𝚛𝚊𝚑 𝙰𝚔𝚑𝚝𝚊𝚛 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚖𝚊𝚜𝚒𝚑 𝚋𝚎𝚛𝚞𝚜𝚊𝚑𝚊 𝚔𝚞𝚊𝚝 𝚞𝚗𝚝𝚞𝚔 𝚋𝚎𝚛𝚍𝚒𝚛𝚒.
“𝙹𝚊𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚋𝚎𝚛𝚖𝚒𝚖𝚙𝚒! 𝙺𝚒𝚝𝚊 𝚜𝚎𝚕𝚎𝚜𝚊𝚒𝚔𝚊𝚗 𝚜𝚎𝚔𝚊𝚛𝚊𝚗𝚐 𝚓𝚞𝚐𝚊 𝚔𝚊𝚕𝚊𝚞 𝚒𝚝𝚞 𝚔𝚎𝚙𝚞𝚝𝚞𝚜𝚊𝚗 𝚔𝚊𝚕𝚒𝚊𝚗 𝚋𝚎𝚛𝚍𝚞𝚊.”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
𝚂𝚎𝚝𝚎𝚕𝚊𝚑 𝚋𝚎𝚋𝚎𝚛𝚊𝚙𝚊 𝚓𝚊𝚖 𝚝𝚒𝚍𝚊𝚔 𝚜𝚊𝚍𝚊𝚛𝚔𝚊𝚗 𝚍𝚒𝚛𝚒 𝙰𝚔𝚑𝚒𝚛𝚗𝚢𝚊 𝚔𝚎𝚍𝚞𝚊 𝚖𝚊𝚝𝚊 𝙰𝚔𝚑𝚝𝚊𝚛 𝚔𝚎𝚖𝚋𝚊𝚕𝚒 𝚝𝚎𝚛𝚋𝚞𝚔𝚊 𝚜𝚎𝚌𝚊𝚛𝚊 𝚙𝚎𝚛𝚕𝚊𝚑𝚊𝚗.
“𝙰𝚜𝚜𝚊𝚕𝚊𝚖𝚞'𝚊𝚕𝚊𝚒𝚔𝚞𝚖, 𝚓𝚊𝚐𝚘𝚊𝚗 𝙰𝚋𝚒.” 𝚈𝚞𝚕𝚒𝚊𝚗 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚞𝚕𝚊𝚜 𝚜𝚎𝚗𝚢𝚞𝚖 𝚜𝚎𝚝𝚎𝚕𝚊𝚑 𝚖𝚎𝚕𝚒𝚑𝚊𝚝 𝙰𝚔𝚑𝚝𝚊𝚛 𝚖𝚎𝚖𝚋𝚞𝚔𝚊 𝚖𝚊𝚝𝚊𝚗𝚢𝚊.
“𝚆𝚊'𝚊𝚕𝚊𝚒𝚔𝚞𝚖𝚞𝚜𝚜𝚊𝚕𝚊𝚖, 𝙰𝚋𝚒,” 𝚋𝚊𝚕𝚊𝚜 𝙰𝚔𝚑𝚝𝚊𝚛 𝚍𝚎𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚜𝚞𝚊𝚛𝚊 𝚙𝚎𝚕𝚊𝚗, 𝚗𝚢𝚊𝚛𝚒𝚜 𝚝𝚊𝚔 𝚝𝚎𝚛𝚍𝚎𝚗𝚐𝚊𝚛.
“𝙾𝚑 𝚒𝚢𝚊, 𝚊𝚍𝚊 𝚝𝚒𝚝𝚒𝚙𝚊𝚗 𝚍𝚊𝚛i—.” 𝚈𝚞𝚕𝚒𝚊𝚗 𝚖𝚎𝚕𝚎𝚝𝚊𝚔𝚔𝚊𝚗 𝚙𝚊𝚙𝚎𝚛 𝚋𝚊𝚐 𝚌𝚘𝚔𝚕𝚊𝚝 𝚍𝚒 𝚊𝚝𝚊𝚜 𝚗𝚊𝚔𝚊𝚜.
“𝙿𝚊𝚜𝚝𝚒 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝙷𝚞𝚖𝚊𝚒𝚛𝚊, 𝚔𝚊𝚗?” 𝚝𝚎𝚋𝚊𝚔 𝙰𝚔𝚑𝚝𝚊𝚛 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚍𝚒𝚊𝚗𝚐𝚐𝚞𝚔𝚒 𝚙𝚎𝚕𝚊𝚗 𝚘𝚕𝚎𝚑 𝚈𝚞𝚕𝚒𝚊𝚗.
“𝙰𝚔𝚑𝚝𝚊𝚛 𝚝𝚊𝚔 𝚜𝚞𝚔𝚊 𝚙𝚊𝚍𝚊𝚗𝚢𝚊, 𝙰𝚋𝚒. 𝙰𝚔𝚑𝚝𝚊𝚛 𝚝𝚒𝚍𝚊𝚔 𝚒𝚗𝚐𝚒𝚗 𝚖𝚎𝚖𝚒𝚕𝚒𝚔𝚒 𝚙𝚎𝚛𝚊𝚜𝚊𝚊𝚗 𝚕𝚎𝚋𝚒𝚑 𝚍𝚎𝚗𝚐𝚊𝚗 𝙷𝚞𝚖𝚊𝚒𝚛𝚊. 𝙺𝚊𝚛𝚎𝚗𝚊 𝙰𝚔𝚑𝚝𝚊𝚛 𝚜𝚞𝚍𝚊𝚑 𝚓𝚊𝚝𝚞𝚑 𝚌𝚒𝚗𝚝𝚊 𝚍𝚎𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚉𝚞𝚎𝚗𝚊.”
𝙳𝚎𝚐!
“𝙿𝚎𝚛𝚊𝚜𝚊𝚊𝚗 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚜𝚎𝚋𝚞𝚝𝚔𝚊𝚗 𝚒𝚝𝚞 𝚝𝚒𝚍𝚊𝚔 𝚋𝚒𝚜𝚊 𝚍𝚒𝚋𝚒𝚕𝚊𝚗𝚐 𝚌𝚒𝚗𝚝𝚊 𝚜𝚎𝚌𝚊𝚛𝚊 𝚝𝚒𝚋𝚊-𝚝𝚒𝚋𝚊, 𝚃𝚞𝚊𝚗.” 𝚉𝚞𝚎𝚗𝚊 𝚋𝚎𝚛𝚍𝚒𝚛𝚒 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚍𝚞𝚍𝚞𝚔𝚗𝚢𝚊.
“𝚂𝚊𝚢𝚊 𝚝𝚒𝚍𝚊𝚔 𝚑𝚊𝚗𝚢𝚊 𝚜𝚎𝚔𝚎𝚍𝚊𝚛 𝚖𝚎𝚖𝚋𝚎𝚛𝚒 𝚊𝚕𝚊𝚜𝚊𝚗, 𝚖𝚎𝚕𝚊𝚒𝚗𝚔𝚊𝚗 𝚔𝚎𝚗𝚢𝚊𝚝𝚊𝚊𝚗. 𝙷𝚊𝚝𝚒 𝚜𝚊𝚢𝚊 𝚖𝚎𝚛𝚊𝚜𝚊 𝚢𝚊𝚔𝚒𝚗 𝚓𝚒𝚔𝚊 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚝𝚊𝚔 𝚕𝚊𝚒𝚗 𝚊𝚍𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚓𝚘𝚍𝚘𝚑 𝚜𝚊𝚢𝚊.”
“𝙰𝚝𝚊𝚜 𝚍𝚊𝚜𝚊𝚛 𝚊𝚙𝚊 𝚑𝚊𝚝𝚒 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚖𝚎𝚛𝚊𝚜𝚊 𝚢𝚊𝚔𝚒𝚗, 𝚃𝚞𝚊𝚗? 𝚂𝚎𝚍𝚊𝚗𝚐𝚔𝚊𝚗 𝚔𝚒𝚝𝚊 𝚋𝚊𝚛𝚞 𝚜𝚊𝚓𝚊 𝚋𝚎𝚛𝚝𝚎𝚖𝚞. 𝙱𝚊𝚑𝚔𝚊𝚗 𝚔𝚒𝚝𝚊 𝚙𝚞𝚗 𝚋𝚎𝚛𝚋𝚎𝚍𝚊... 𝚓𝚊𝚞𝚑 𝚋𝚎𝚛𝚋𝚎𝚍𝚊. 𝙰𝚍𝚊 𝚑𝚞𝚔𝚞𝚖 𝚝𝚊𝚋𝚞 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚝𝚒𝚍𝚊𝚔 𝚋𝚒𝚜𝚊 𝚔𝚒𝚝𝚊 𝚕𝚊𝚗𝚐𝚐𝚊𝚛. 𝙸𝚜𝚕𝚊𝚖 𝚊𝚐𝚊𝚖𝚊 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚍𝚊𝚗 𝙺𝚛𝚒𝚜𝚝𝚎𝚗 𝚊𝚐𝚊𝚖𝚊 𝚜𝚊𝚢𝚊.”
𝙰𝚔𝚑𝚝𝚊𝚛 𝚝𝚎𝚛𝚜𝚎𝚗𝚢𝚞𝚖, 𝚕𝚊𝚕𝚞...
“𝙱𝚒𝚊𝚛𝚔𝚊𝚗 𝚝𝚊𝚔𝚍𝚒𝚛 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚖𝚎𝚗𝚓𝚊𝚕𝚊𝚗𝚔𝚊𝚗 𝚙𝚎𝚛𝚊𝚗𝚗𝚢𝚊. 𝙱𝚒𝚊𝚛𝚔𝚊𝚗 𝚍𝚘'𝚊 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚋𝚎𝚛𝚙𝚎𝚛𝚊𝚗𝚐 𝚍𝚒 𝚕𝚊𝚗𝚐𝚒𝚝. 𝙳𝚊𝚗 𝚓𝚒𝚔𝚊 𝚗𝚊𝚖𝚊 𝚜𝚊𝚢𝚊 𝚋𝚎𝚛𝚜𝚊𝚗𝚍𝚒𝚗𝚐 𝚍𝚎𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚗𝚊𝚖𝚊 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚍𝚒 𝙻𝚊𝚞𝚑𝚞𝚕 𝙼𝚊𝚑𝚏𝚞𝚍𝚣-𝙽𝚢𝚊, 𝚕𝚊𝚗𝚝𝚊𝚜 𝚔𝚒𝚝𝚊 𝚋𝚒𝚜𝚊 𝚊𝚙𝚊?”
𝙱𝚎𝚛𝚜𝚊𝚖𝚋𝚞𝚗𝚐...