Anya tidak menyangka bahwa hidupnya suatu saat akan menghadapi masa-masa sulit. Dikhianati oleh tunangannya di saat ia membutuhkan pertolongan. Karena keadaan yang mendesak ia menyetujui nikah kontrak dengan seorang pria asing.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Japraris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 1
Mentari pagi menyinari landasan Bandara Internasional Soekarno-Hatta saat pesawat Anya mendarat. Tiga tahun. Tiga tahun Anya habiskan di negeri asing, mencari obat untuk luka hatinya yang menganga. Kini, ia kembali, membawa serta putri kecilnya, Kinan Leonardo, yang baru berusia empat tahun. Anya mengambil kopernya, menggenggam erat tangan Kinan, dan melangkah turun dari pesawat. Langkahnya mantap, namun debaran jantungnya terasa kuat.
"Mama, kita sudah sampai?" Suara Kinan penuh semangat, bergetar dengan rasa ingin tahu yang meluap. Mata besarnya bersinar, mencerminkan kegembiraan anak kecil yang akan menjelajahi dunia baru.
Anya tersenyum, "Iya, Sayang. Kita sudah sampai, tapi rumah kita masih agak jauh." Jemarinya membelai lembut rambut Kinan, mencoba menenangkan, bukan hanya Kinan, tetapi juga dirinya sendiri.
Anya menarik kopernya, tatapannya menyapu penjuru kota kelahiran. Kenangan—indah dan pedih—bermunculan silih berganti, membanjiri ingatannya. Di kota ini, ia pernah merasakan kehangatan keluarga, merasakan cinta yang membuncah, dan merasakan kekecewaan yang begitu dalam hingga nyaris menghancurkannya. Ia menggenggam erat tangan Kinan, menjaga agar putrinya tetap aman di tengah keramaian bandara. Langkah mereka tegap menuju parkiran, menuju sedan hitam yang telah David siapkan untuk menjemput mereka.
"Selamat datang, Nyonya," sapa sang sopir, senyumnya ramah dan hangat, seperti mentari pagi yang menyapa mereka. Ia dengan sigap mengambil alih koper dari tangan Anya.
"Terima kasih, Pak," jawab Anya, suaranya sedikit serak, menahan gejolak yang tak terbendung di dadanya.
Di dalam mobil, jalanan yang dulu begitu familiar kini terasa asing dan mencekam bagi Anya. Kenangan pahit dan manis bercampur aduk, membuatnya gelisah. Kebahagiaan pulang kampung bercampur dengan rasa takut yang mencekik. Namun, celoteh riang Kinan, yang tanpa henti bertanya tentang gedung-gedung pencakar langit dan pepohonan rindang di sepanjang jalan, menjadi oase di tengah gurun emosinya. Suara mungil itu bagai seberkas cahaya kecil yang menerobos kegelapan yang mengancam membenamkannya.
Mobil berhenti di depan rumah mewah itu—rumah yang pernah menjadi saksi bisu kehangatan keluarganya, rumah yang juga pernah menjadi saksi bisu kisah cintanya yang penuh duka dengan Arga, pria yang dulu pernah menjadi segalanya. Rumah itu tampak megah dari kejauhan, namun aura sunyi dan dinginnya terasa menusuk hingga ke sumsum tulang. Kesunyian itu seakan mencerminkan kekosongan dan kesepian yang kini menguasai hati Anya.
Anya membantu Kinan turun, mengambil koper dari tangan sopir, dan mengucapkan terima kasih dengan senyum tipis yang tak mampu menyembunyikan kegugupannya. Ia menutup pintu mobil dengan perlahan, suara detak jantungnya bergema di telinganya.
Kinan menatap rumah besar itu dengan tatapan polos dan bingung. "Mama, ini rumah kita?" Suaranya sedikit ragu, mencerminkan keraguannya.
Anya berusaha tersenyum, "Iya, Sayang. Ini rumah kita." Suaranya terdengar tenang, namun jantungnya berdebar kencang.
"Tidak ada Nenek, Kakek, Paman, dan Bibi yang menyambut?" Kekecewaan terlihat jelas di wajah Kinan yang polos. Bayangan kehangatan keluarga David—yang selalu menyambutnya dengan gembira—tampak tersirat di wajah kecilnya.
Anya mengerti. Kinan terbiasa dimanjakan dan disayangi keluarga David. Mereka begitu menyayangi Kinan, bahkan menganggapnya sebagai cucu sendiri. Kasih sayang yang Anya, karena keterbatasannya, tak mampu berikan sepenuhnya, Kinan dapatkan di tengah kehangatan keluarga besar David.
Anya berjongkok, menatap mata Kinan dengan penuh kelembutan. "Di sini hanya ada kita berdua, Sayang. Kakek, Nenek, Paman, dan Bibi Kinan ada di luar negeri." Senyumnya terasa dipaksakan, menutupi kesedihan yang begitu dalam. Ia tahu, kata-kata itu tak cukup untuk menggantikan kehangatan yang Kinan dapatkan dari keluarga David.
Pintu terbuka, dan tamparan kekecewaan langsung menghantam Anya. Ruang tamu, yang dulu dipenuhi foto-foto dirinya dan Arga, kini kosong melompong. Arga telah menghapus jejak mereka, seolah ingin menghapus Anya dari memorinya. Pernikahan kontrak itu telah berakhir, menyisakan luka dan kenangan pahit yang masih terasa perih. Kehampaan di ruang tamu itu mencerminkan kehampaan yang Anya rasakan di hatinya.
Anya meletakkan kopernya, mencoba mengendalikan gejolak emosi yang mengancam membanjiri dirinya. Ia mengajak Kinan menjelajahi rumah baru mereka, berharap bisa mengalihkan perhatian putrinya dari kesedihan yang terpancar dari dirinya.
"Mama, di mana kamarku?" tanya Kinan, suaranya penuh harap, matanya berbinar-binar menanti kejutan.
"Kamarmu di atas, Sayang. Nanti Mama tunjukkan," jawab Anya, suaranya lembut, namun getaran kegugupannya masih terasa.
Kamar Kinan, dengan dinding berwarna pink salem yang menenangkan, telah disiapkan dengan sempurna oleh Bibi. Kinan langsung berteriak girang melihatnya.
"Mama, kamar ini persis seperti kamarku di luar negeri!" serunya gembira, melompat-lompat kegirangan.
Anya merasa lega melihat putrinya bahagia. "Ya, Sayang. Kamu harus berterima kasih kepada Bibi nanti."
"Pasti, Mama. Rumah Ibu angkat jauh dari rumah kita?"
"Ya, Sayang."
Telepon berdering. David. Suaranya yang hangat terasa seperti seteguk air di padang pasir yang gersang.
"Kalian sudah sampai?"
"Iya, David. Baru sampai di rumah."
"Maaf aku tidak bisa menjemput kalian."
"Tidak apa-apa. Kamu lanjut saja pekerjaanmu."
"Oke. Nanti kita hiasi rumah ini dengan foto-foto Kinan dan kamu, biar Kinan betah tinggal di sini."
"Iya," jawab Anya, senyumnya merekah, menunjukkan rasa syukur yang tulus. David, sahabat dan tempat bersandarnya selama tiga tahun terakhir.
"Om David begitu baik." Ucap Kinan.
Anya mengingat kembali saat-saat awal kedatangannya di negeri asing. Keluarga David yang menyambutnya dengan hangat, menampungnya hingga ia mendapatkan pekerjaan dan tempat tinggal sendiri. Meskipun tinggal di apartemen yang dekat dengan kantornya, David selalu memperhatikannya, menanyakan kabar kehamilannya, dan bahkan sering mengungkapkan perasaannya—yang selalu Anya tolak dengan lembut. Rasa bersalah kembali menghantui Anya. David mencintainya, tetapi hatinya masih terikat pada masa lalu, pada bayang-bayang Arga.
"Iya, Sayang. Om David seperti kakak Mama."
"Rumah Om David jauh dari sini juga, Ma?"
"Tidak terlalu jauh. Nanti Mama ajak kamu ke rumahnya, juga ke rumah Ibu angkat."
Kinan tersenyum puas. Lalu, dengan suara polos dan sedikit naif, ia bertanya, "Mama, Papa di mana?" Ia memeluk kaki Anya erat-erat, mencari kehangatan dan jawaban.
Anya terdiam, kenangan pahit manis bersama Arga membanjiri pikirannya. Pernikahan kontrak mereka: tanpa cinta, tanpa anak, tanpa ikatan hati yang tulus. Hanya sebuah perjanjian yang telah berakhir, meninggalkan luka yang dalam. Senyum getir terukir di wajahnya, menutupi air mata yang hampir jatuh. Mustahil baginya untuk mengatakan yang sebenarnya pada Kinan: bahwa mereka telah bercerai, bahwa pernikahan itu hanyalah sebuah sandiwara, sebuah rahasia yang terkubur. Bahkan jika Anya mengaku Arga adalah ayah Kinan, akankah ada yang percaya? Ketiadaan foto mereka di dinding rumah menjadi bukti nyata bahwa mereka tak lagi memiliki hubungan apa pun.
"Papa kamu sudah pergi, Sayang," bisik Anya, suaranya bergetar menahan kesedihan yang mendalam. Ia memeluk Kinan erat-erat, berharap pelukan itu bisa sedikit meringankan beban luka di hatinya.
Thor buat keajaiban thor....
biarkan anya hidup thor...