menjadi sukses dan kaya raya tidak menjamin kebahagiaanmu dan membuat orang yang kau cintai akan tetap di sampingmu. itulah yang di alami oleh Aldebaran, menjadi seorang CEO sukses dan kaya tidak mampu membuat istrinya tetap bersamanya, namu sebaliknya istrinya memilih berselingkuh dengan sahabat dan rekan bisnisnya. yang membuat kehidupan Aldebaran terpuruk dalam kesedihan dan kekecewaan yang mendalam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ni Luh putu Sri rahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1
Ketenangan sebuah kanal air di pinggir kota yang biasanya tenang di sore hari tiba-tiba di pecahkan oleh makian seorang pria. Suara kemarahan itu di selingi dengan isak tangis yang selama ini ia tahan, dan kini meledak tanpa bisa di hentikan.
"BRENGSEK!! KENAPA... Kenapa... Tega-teganya kalian melakukan ini padaku..." ucapnya dengan penuh kemarahan, kekecewaan, dan kesedihan yang mendalam, ia tak mampu lagi menyembunyikan kesedihannya setelah memergoki istrinya—wanita yang telah ia nikahi selama 7 tahun terakhir mengkhianati pernikahan mereka dengan berselingkuh dengan sahabat dan juga rekan bisnisnya, dan semua itu terungkap tepat saat di hari ulang tahun pernikahan mereka—Aldebaran sudah tak bisa menahan rasa sakit di hatinya.
Aldebaran tak mampu lagi menahan rasa sakit di hatinya. Ia meremas dadanya berharap rasa sakit yang menggerogoti jiwanya hilang, namun ia tahu hal itu sia-sia. Rasa sakit yang ia rasakan begitu hebat hingga tak bisa ia tahan menghujam hatinya tanpa ampun.
Penampilannya yang biasanya rapi dan sempurna kini terlihat jauh dari kata seorang pria mapan dan terstruktur seperti yang selama ini ia tunjukan, pakaiannya berantakan, kemejanya kusut dasinya terlepas sembarangan dan rambutnya acak-acakan, wajahnya menunjukan frustasi dan terlihat lelah dengan bekas air mata masih membekas di pipinya menunjukan betapa hancurnya mental dan perasaanya saat ini.
"Tujuh tahun... Tujuh tahun Diana..." ucapnya pelan, suaranya pelan nyaris seperti bisikan. "...Tujuh tahun aku mencintaimu, mempercayaimu... Dan kau mengkhianatiku... Dengan sahabatku sendiri."
Kalimat itu keluar seperti duri yang mencabik-cabik tenggorokannya. Ia menunduk melihat pantulan dirinya di permukaan air kanal yang beriak pelan. Namun bayangan yang ia lihat terasa asing—bukan lagi seorang Aldebaran yang penuh percaya diri, melainkan seorang pria yang telah kehilangan segalanya.
Pernikahan yang selama ini terlihat baik-baik saja dan harmonis ternyata jauh dari ekspektasinya. Lalu Aldebaran melihat buket bunga mawar yang telah hancur dengan kelopaknya yang telah berserakan tergeletak di tanah, Aldebaran menatapnya dengan tatapan kosong seolah segalanya telah sia-sia selama tujuh tahun pernikahannya.
"Paman? Paman sedang apa, Kenapa menangis?"
Suara gadis kecil terdengar di belakangnya, suara itu lembut namun cukup untuk memecah lamunan Aldebaran.
Ia menoleh kebelakang dan meliat seorang gadis kecil sedang berdiri di sana, gadis itu mengenakan pakaian yang lusuh yang kebesaran hingga lengan baju itu menutupi sebagian lengan mungilnya dengan beberapa koran yang ia genggam erat di depan dadanya.
Lalu dengan lembut dan penuh minat mata gadis kecil itu jatuh pada buket bunga yang tergeletak di tanah. Beberapa kelopak bunganya telah patah dan berantakan akibat Aldebaran lemparnya dalam upaya untuk meredakan amarahnya.
"Kenapa bunganya di buang? Kan, bagus." Lanjut gadis kecil itu, polos.
Namun Aldebaran masih terdiam, ia tak menggubris pertanyaan itu. Aldebaran masih tenggelam dalam kesedihannya.
"Apa kau menyukainya?" Tanya Aldebaran, akhirnya, dengan suara yang terdengar datar.
Gadis kecil itu mengangguk penuh antusiasme, matanya berbinar penuh harap Aldebaran akan memberikannya.
Aldebaran menghela napas pelan sebelum mengambil buket bunga yang sempat ia buang tadi. "Apa... Tidak apa-apa? Ini sudah rusak?" Katanya, ada keraguan dalam kalimat Aldebaran. Seolah masih mempertimbangkan keputusan untuk memberikannya.
"Tidak apa-apa, ini masih bagus." Jawab gadis kecil itu, wajahnya tampak bahagia saat Aldebaran menyerahkan buket bunga itu.
Terlihat tubuh gadis kecil itu tenggelam oleh buket bunga yang ukurannya yang hampir sebesar dirinya.
"Waahh..." Serunya penuh kekaguman, mata gadis itu berbinar-binar saat menatap bunga-bunga itu.
Aldebaran tersenyum tipis saat melihat reaksi bahagia gadis kecil itu yang begitu sederhana. Untuk sesaat senyuman gadis kecil itu terasa seperti cahaya di tengah kegelapan hatinya.
"Terimakasih, Paman."
Aldebaran tertawa kecil meski, meski raut kesedihan masih tampak jelas di wajahnya.
"Jangan panggil aku paman, aku masih muda dan belum punya anak." Ucap Aldebaran, merasa sedikit tersinggung lalu ia tersenyum kali ini senyuman itu lebih tulus dari sebelumnya.
"Oh ya, namamu siapa?"
"Lilia..." ucap gadis itu dengan polos. "Paman, sebagai ganti kebaikan Paman yang memberikan Lilia bunga, Paman bisa ceritakan masalah Paman sama Lilia, Lilia akan mendengarkan." Kata Lilia, sambil menatap wajah Aldebaran lekat penuh rasa ingin tahu.
Aldebaran duduk dengan menumpukan kedua sikutnya di kedua lututnya, ia menunduk sambil menggelengkan kepalanya. Ia tersenyum, namun senyuman itu bukan senyum kebahagiaan, melainkan senyuman pahit yang penuh dengan rasa sakit dan kekecewaan.
Kemudian pandangan Aldebaran beralih pada Lilia yang masih setia duduk di sampingnya.
Gadis itu menatapnya, dengan mata besar dan ekspresi polos seorang anak berusia 9 tahun. "Aku tidak yakin kau akan mengerti..." kata Aldebaran pelan.
"Paman bisa cerita saja, Lilia akan menjadi pendengar yang baik." Kata Lilia, penuh meyakinkan, mencoba meyakinkan Aldebaran.
Aldebaran tersenyum kecil, lalu mengacak lembut rambut Lilia. "Ini bukan hal yang bisa kau dengarkan, Nak. Bagaimana kalau aku yang bertanya padamu?"
Mata Lilia melebar. Ia merasakan kehangatan saat Aldebaran mengusap kepalanya, sebuah sentuhan yang akrab yang sudah lama ia rindukan.
"Apa yang dilakukan gadis kecil seperti dirimu di tempat seperti ini sendirian? Dan orang tuamu dimana?" Tanya Aldebaran.
Seketika ekspresi wajah Lilia berubah setelah mendengar pertanyaan itu, ia tampak sedikit sedih tapi dengan segera mengubah ekspresi wajahnya. "Em... Lilia tinggal bersama paman dan Bibi Lilia."
Lilia terdiam cukup lama sebelum menjawab pertanyaan Aldebaran, ia menunduk lalu meliat ke arah Aldebaran.
"Ayah dan ibu lilia sudah lama bercerai... Dan sekarang mereka sudah memiliki keluarga masing-masing." lanjutnya pelan..
Aldebaran yang mendengar pernyataan Lilia langsung merasa tidak enak. "Maaf... Aku tidak bermaksud untuk... Aku sungguh tidak tahu." Katanya menyesal.
"tidak apa-apa..." Jawab Lilia pelan.
"Sekarang kau kelas berapa?" tanya Aldebaran.
"... Lilia sudah tidak sekolah lagi." Ucap Lilia, suaranya pelan hampir tidak terdengar.
"Kenapa?" Aldebaran mengerutkan alisnya saat ia mendengar jawaban Lilia, mencoba menggali informasi lebih dalam.
"Karena..."
"Paman dan bibikmu tidak mau menyekolahkanmu lagi?" belum sempat Lilia menjawab Aldebaran memotong perkataannya.
Lilia hanya menunduk dan tak menjawab.
"Apa kau tidak ingin sekolah lagi?" tanya Aldebaran lagi.
"Lilia tidak punya uang." jawab Lilia dengan polos, dan tanpa rasa ragu.
Lalu pandangan Aldebaran beralih pada koran-koran di tangan Lilia. "lalu koran itu?"
"Lilia... Membatu Paman Lilia berjualan, setiap hari Lilia harus mengantarkan koran." Jawab gadis itu, dengan begitu polos dan jujur.
"Dan... Ini koran terakhirmu hari ini?" Aldebaran menunjukan ke beberapa kota di tangan Lilia.
Lilia hanya mengangguk pelan sebagai jawaban. Lalu Aldebaran mengeluarkan dompetnya dari saku jasnya dan mengeluarkan beberapa lembar uang tunai. "Aku akan membeli semuanya." kata Aldebaran.
Mata Lilia berbinar penuh kebahagiaan setelah mendengar Aldebaran akan membeli seluruh koran yang ia bawa. "Benarkah? Paman akan beli semuanya?" katanya seolah tak percaya. Lalu Aldebaran memberikan beberapa lembar uang yang ia ambil dari dalam dompetnya.
"Paman... Ini terlalu banyak." Kata Lilia, lalu ia hanya mengambil selembar uang dari tangan Aldebaran.
"Tidak apa-apa, kau boleh simpan sisanya." Kata Aldebaran.
"Benarkah?!" Seru Lilia, tampak senang.
Meliat Lilia senang, Aldebaran mengangguk pelan. Kemudian ia bangkit berdiri, Aldebaran tersenyum tipis ketika meliat wajah bahagia gadis itu. "Lilia bisa pulang cepat." ucapnya dengan senyuman lebar di wajahnya, begitu sederhana, dan tulus dari kepolosan anak perempuan berusia 9 tahun.
Lalu Aldebaran berjalan menuju mobilnya, namun langkahnya terhenti saat Lilia memanggilnya. "Paman!" panggil Lilia, "apa besok kita bisa bertemu lagi?" tanya Lilia, penuh harap.
"Ya..." Jawab Aldebaran singkat sebelum akhirnya ia masuk ke dalam mobilnya.
Bersambung....
sukses buat novelnya, jangan lupa support baliknya di novel baru aku ya 🙏☺️