Bekerja sebagai tim pengembangan di sekolah SMA swasta membuat Hawa Tanisha bertemu dengan musuh bebuyutannya saat SMA dulu. Yang lebih parah Bimantara Mahesa menjadi pemilik yayasan di sekolah tersebut, apalagi nomor Hawa diblokir Bima sejak SMA semakin memperkeruh hubungan keduanya, sering berdebat dan saling membalas omongan. Bagaimana kelanjutan kisah antara Bima dan Hawa, mungkinkah nomor yang terblokir dibuka karena urusan pekerjaan? ikuti kisah mereka dalam novel ini. Selamat membaca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ALASAN BERUBAH
Selama ini Hawa tak pernah sekalipun curhat soal Uki kepada Amelia atau teman kantor lainnya. Mereka hanya tahu kebiasaan Uki yang sangat perhatian soal makan Hawa saja, tapi soal kepribadian Uki dan latar belakangnya, Hawa keep sendiri. Toh selama ini tak ada yang mencurigakan atau aneh untuk dibahas dengan orang lain. Tapi tidak untuk kali ini, karena perubahan sikap Uki inilah, Hawa ingin minta saran kepada Amelia untuk menegur perubahan Uki. Kalau menuruti cara Hawa tentu akan berakhir tengkar. Padahal sejak dulu saat bertemu, Hawa dan Uki sepakat untuk tidak mencari kesalahan satu sama lain yang bisa memicu pertengkaran.
Biarlah untuk saat ini, Hawa mengingkari kesepakatan itu. Hatinya tak tenang. Otaknya terlalu berisik untuk curiga. Hawa pun menceritakan soal reuni, dia juga jengkel dengan kenyataan yang ada bahwa pulangnya Uki karena reuni SMP, bukan meluangkan waktu untuknya. Rasanya nyesek saja sih, kalau ingat itu.
Belum lagi soal tidak diajak reuni, tidur hotel, dan tak ada kabar sampai sekarang. Mau cuek dan menerima saja, tapi hati kecil Hawa terus mendorong untuk mencari tahu. Bahkan ia siap bertengkar juga.
"Nanti kalau dia tidak menjemput kamu dan tidak memberi kabar pasca reuni, kamu wajib curiga sih," begitu saran Amelia. Hawa mengangguk saja.
Hawa berusaha profesional pada pekerjaan, masih banyak tugasnya berkaitan dengan rundown pembinaan lomba non berjenjang. Apalagi ada event tahunan yang diadakan salah satu instansi swasta untuk pengembangan prestasi non akademik siswa. Ia mulai plotting pembina sesuai keahlian masing-masing, jadwal pembinaan hingga jadwal shooting untuk beberapa kategori lomba.
"Gimana?" tanya Amelia penasaran dengan kabar Uki, Hawa yang baru selesai menyusun rundown lomba menggeleng, sejak tadi bekerja di layar komputer, WA web tak menampilkan chat dari Uki. Padahal malam ini orang tua Hawa ingin bertemu Uki juga. Aish menjengkelkan sekali.
Baru saja Hawa sampai rumah, Uki chat mengajak keluar, kebetulan sekali dengan niatan papa, Hawa mengiyakan dan minta dijemput di rumah. Uki mengiyakan saja, toh selama ini papa Hawa tidak akan pernah mau menemuinya.
Hawa pun berpesan pada pak satpam rumah untuk menyuruh Uki langsung masuk ke ruang tamu saja, Hawa masih siap-siap. Uki dengan tenang pun masuk ke rumah, menunggu di ruang tamu. Dirinya begitu kaget saat mama dan papa Hawa menyapanya, sampai ponselnya jatuh. Mana Hawa tidak segera muncul, Uki serasa dijebak. Namun, ia bersikap sopan saja. Menyalami kedua orang tua Hawa, dan basa-basi menanyakan kabar beliau.
Papa seperti biasa akan diam saja, dan tersenyum tipis sesekali. Yang mendominasi obrolan tetap mama. Uki sudah tak tahan, menunggu Hawa. Sepertinya sang kekasih sengaja lama berdandan agar Uki bertemu dengan kedua orang tuanya deh.
Papa bicara ketika menanyakan aktivitas Uki di Sulawesi, dan mulai banyak bicara saat membicarakan pekerjaan dan ritme kerja Uki. Begitu Hawa datang, Uki lega setengah mati. Tapi jangan salah, moment inilah yang membuatnya kincep setengah mati.
"Kalian mau ke mana?" tanya papa, baru kali ini beliau ingin tahu kegiatan pacaran Hawa. Mama hanya diam sembari menatap sang putri dan Uki secara bergantian.
"Makan, Om!" jawab Uki sembari tersenyum canggung, papa pun mengangguk.
"Tapi sebelum makan malam, Om mau bicara sesuatu!" ucap beliau, mama dan Hawa diam saja. Membiarkan dua laki-laki itu serius dengan pembahasan masa depan Hawa terutama.
"Iya, Om. Silahkan," ucap Uki, mendadak perutnya mules, dan jantungnya berdegup kencan.
"Kalian kapan menikah?" tanya beliau tanpa basa-basi, bahkan tatapan beliau serius pada Uki. Sedangkan Uki ditatap dan tanya begitu hanya bisa menundukkan kepala, bingung dan tak siap yang pasti. Sampai detik ini ia belum punya rencana untuk menikahi Hawa. Tapi haruskah ia mengatakan belum siap juga bisa gawat. Ah sial. Tahu begini mending jemput Hawa dari kantor.
Uki menoleh ke Hawa, gadis itu juga hanya diam tak berniat mengalihkan pertanyaan sang papa. Apa mungkin ini adalah rencana Hawa?
"Bagaimana, Nak Uki?" tanya papa dengan wajah garangnya, tapi suara beliau tetap tenang. Uki pun menatap beliau, dengan sedikit ragu ia pun menjawab pertanyaan itu.
"InsyaAllah tahun depan, Om. Kebetulan kesempatan cuti ini saya ingin berdiskusi dengan Hawa soal pernikahan," ah Uki merutuki mulutnya. Kenapa ia berbohong juga, bagaimana kalau tahun depan ia masih belum siap. Ya sudahlah apa kata nanti. Masih ada beberapa bulan sebelum tahun baru, berharap papa dan Hawa lupa akan omongannya malam ini.
Saat ini Hawa dan Uki sudah di dalam mobil, hendak makan malam sesuai rencana Uki tadi. Namun keduanya terdiam, Hawa mendengar ucapan Uki bersama papa tadi kok merasa ada yang janggal, dan dirinya tak merasa bahagia atas pengakuan sang kekasih. Terkesan Uki mengada-ada saja, sekedar menjawab pertanyaan sang papa.
"Kamu gak pa-pa, Yang?" tanya Hawa setelah keduanya terdiam lama, dan hanya suara mesin mobil yang terdengarm
"Pa-pa lah, gak ada rencana langsung ditanya seperti itu," ucap Uki sedikit ketus. Benar kan dugaan Hawa, asal ceplos dan tak serius. Semakin membuat Hawa semakin meragu padanya. "Udah turun, yuk. Aku lapar!" lanjut Uki saat keduanya sampai di rumah makan. Tak ada lembut-lembutnya Uki sekarang, seperti tak ada semangat untuk bertemu Hawa. Sebenarnya dia kenapa sih. Hawa ingin protes saja namun ia tahan dulu.
"Aku ke toilet dulu," pamit Uki. Hawa hanya mengangguk, ingin rasanya ia menangis dicuekin seperti itu. Hawa anak tunggal, yang tak pernah dicuekin oleh orang terdekatnya. Bahkan Uki tahu soal itu.
Ponsel Uki bergetar, tampak nama Rudi memanggil. Hawa pun mengangkatnya takut penting. Belum sempat Hawa menyapa, orang di seberang telepon sudah menyapa duluan.
"Sayang, kamu menginap di hotel lagi kan?" air mata Hawa yang sejak tadi sudah mengumpul di pelupuk mata, spontan turun setelah mendengar suara perempuan yang menghubungi kekasihnya. Tangannya gemetar, tapi ia tetap ingin mendengar kelanjutan omongan perempuan itu.
"Sayang kok diam saja, masih sama Hawa? Aku tunggu di lobi hotel saja ya," Hawa memejamkan mata, air matanya semakin deras.
Ia mematikan ponsel begitu saja, berbarengan dengan munculnya Uki. "Kenapa Sayang?" tanya Uki heran melihat Hawa yang menangis sembari memegang ponselnya.
Hawa menyodorkan ponsel Uki, sembari mengusap air matanya, berusaha tetap tersenyum, tak mau terlihat lemah di depan Uki.
"Rudi telepon, katanya menunggu di lobi hotel," ucap Hawa datar. Suara tangisnya ditahan setengah mati agar terlihat dirinya baik-baik saja. Uki terdiam, tak segera mengambil ponselnya. Ia menyentuh tangan Hawa, mungkin sadar alasan Hawa menangis.
"Sayang, maaf!" ucapnya sembari menggenggam tangan Hawa erat.
Auto bawa sperangkat alat solat sekalian akhlak nyaa
awokwook /Curse/
Hawa: ga beLagak tapi belagu/Slight/
reader: bim, ci pox bim ampe engappp/Grin//Tongue/
maaf aq nyaranin jahat 🤭🤭🤭